Perkembangan Aliran Aturan Islam Dalam Bidang Al-Mu’Amalah Al-Maliyah Wa Al-Iqtisadiyyah

Perkembangan Pemikiran Hukum Islam dalam Bidang al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyyah
Pembahasan mengenai al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah (aturan keuangan) dekat kaitannya dengan pembahasan sebelumnya. Jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip kepemilikan harta dan pemanfaatannya yang melahirkan aturan dagang dan bisnis maka jenis mu’amalah ini termasuk dalam bidang privat. Namun kalau dikaitkan dengan ekonomi perusahaan atau negara yang melahirkan aturan ekonomi (economic law), maka cakupan dan ruang lingkupnya sangatlah luas; menyentuh pula bidang publik yang melahirkan aturan pidana dan aturan manajemen Negara. Pemerintah terlibat eksklusif dalam pengawasan terhadap segala kegiatan ekonomi pasasr dengan segala perangkat hukumnya ibarat adanya waliy al-hisbah (muhtasib), qadi, syurtah (polisi) dan lain-sebagainya. Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus bertugas mengawasi dan mengelola pendapatan dan belanja negara (al-mawarid wa al-nafaqat) demi kepentingan warga Negara.

Perkembangan Pemikiran Hukum Islam dalam Bidang al Perkembangan Pemikiran Hukum Islam dalam Bidang al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyyah
Al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah tidak diragukan lagi keberadaannya dalam Islam. Ia digali dari sumber utamanya sendiri yaitu Quran dan hadis. Sebelumnya Islam tiba mangajarkan konsep-konsep dasar kepemilikian harta dan pemanfaatannya yang nota-bene harus diperhatikan dan diamalkan oleh seorang muslim sebagai pelaku ekonomi sebelum melaksanakan al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah. Konsep-konsep dasar ini sebagai berikut:
1. Harta secara mutlak yaitu milik Allah
2. Manusia diperintahkan mencari dan mendapatkan harta
3. Islam memerintahkan membelanjakan harta
4. Islam melarang menumpuk, menimbun, serta berlomba memperbanyak harta
Aturan-aturan kepemilikan harta dan pemanfaatannya serta tatanan ekonomi tersebut yang dicanangkan oleh Islam semenjak kedatangannya di tangan Rasulullah saw., khususnya ketika aturan Islam didukung oleh sebuah Negara di kota Madinah. Sungguh suatu fenomena sejarah yang menarik ketika nabi saw. telah hingga ke Madinah, pekerjaan pertama yang dia lakukan sehabis membangun mesjid sebagai daerah ibadah, pendidikan dan pemerintahan yaitu membangun pasar untuk kaum muslimin dengan tujuan melepaskan mereka dari monopoli kaum Yahudi dan penguasaan mereka terhadap ekonomi kota Madinah. Selanjutnya, Nabi saw. mengatur perdagangan sesuai aturan-aturan gres ibarat kebebasan dagang, keadilan, ketepatan timbangan, pelarangan segala bentuk kebijaksanaan kancil dan praktek monopoli serta semua keburukan sistem perdagangan jahiiyah sebelumnya.
Keadaan di atas berlanjut hingga masa al-khulafa al-rasyidun, sehingga Umar bin Khattab ra. berkata, “orang yang tidak mengerti aturan pasar tidak sanggup ambil serpihan dalam kegiatan pasar”. Kondisi ini pula yang mendorong kemajuan dan kejayaan ekonomi kaum muslimin ketika dia menjabat khalifah. Saat itu, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muaz bin Jabal ra. di wilayah Yaman sehingga Muaz mengirimkan hasil zakat kepada khalifah Umar ra. Namun hasil zakat itu dikembalikan kepada Muaz. Ketika Muaz mengirimkan sepertiga hasil zakat tersebut, umar kembali menolaknya. Maka dia pun ra. pun berkata, “andai saya menjumpai orang miskin di wilayah ini, tentu saya tidak akan mengirimkan apapun kepada Anda”. Begitu pula di Bahrain, ketika Abu Hurairah menyerahkan uang senilai 500 dirham (setara 6,25 miliar rupiah) hasil kharaj (pajak) provinsi Bahrain kepada khalifah Umar dan ia pun terperanjat seakan tak percaya. Ketika keesokan harinya Abu Hurairah ra. menyerahkan kembali uang tersebut, Umar ra. berkata kepadanya, “apakah itu harta yang sah?”. Abu Hurairah menjawab, “yang jelas, inilah kenyataanya”.
Khalifah Umar ra. dikenal pula sebagai peletak dasar-dasar perpajakan dalam Islam, mengakibatkan bait al-mal sebagai forum resmi ekonomi negara dalam sebuah diwan (departemen atau kementrian) khusus dan membentuk sebuah distributor yang memudahkan santunan gaji. Umar ra. juga mengeluarkan kebijakan untuk tidak membagi tanah taklukan perang kepada para prajurit perang, melainkan menetapkannya sebagai miliki umum (milik negara) dan kepada mereka yang mendudukinya dikenakan pajak tanah. Umar ra. dikenal pula yang pertama kali memutuskan bea cukai barang impor yang masuk ke wilayah kekhalifaan Islam sebesar 10% (‘usyr). Juga pada pejabat yang dia angkat, Umar melaksanakan audit kekayaan secara berkala, yang sebelumnya dia mencatat kekayaan pejabat terebut sebelum diangkat.
Luasnya wilayah kekhalifahan Islam yang diwarisi Dinasti Umayyah, mengakibatkan perembesan dan penerimaan aturan-aturan dan bentuk-bentuk kelembagaan dari luar tidak terelakkan, khusunya pada masa-masa awal pemerintahan Dinasti ini. Coulson mencontohkan, komunitas non-Muslim (ahlu Zimmah, yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan Nasrani) oleh pemerintah Umayyah diharuskan membayar pajak (sebagai imbalan atas proteksi terhadap hak-hak mereka). Pajak ibarat ini pada awalnya diatur pula dalam aturan perorangan atau keperdataan mereka masing-masing lewat konsep fides (keimanan) dalam aturan Romawi. Contoh lain, jabatan inspektur pasar (yang kemudian disebut amil al-suq); satu jabatan administrative yang diserap dari jabatan inspektur pasar di Bizantium yang disebut agronomos.
Perkembangan selanjutnya terlihat ketika Abdul Malik (685-705 M) menerbitkan uang logam Arab pada tahun 695 M. Uang logam ini terdiri dari dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Sebelumnya, beliu pernah mencetak uang emas dan perak, namun itu hanyalah tiruan dari mata uang Romawi (Bizantium) dan Persia, mengikuti Umar, Mua’wiyah dan khalifah terdahulu yang merasa cukup dengan mata uang ajaib tesebut yang sudah beredar ketika itu, di samping beberapa uang perak Himyar. Setahun kemudian, al-Hajjaj, wakil Abdul Malik di Irak mencetak mata uang perak di Kufah.
Satu dasawarsa kemudian menjelang seratus tahun pasca wafatnya Rasulullah saw., kejayaan dan kemakmuran kembali terulang. Umar Ibn Abdul Aziz dengan masa jabatan hanya tiga tahun, bisa mengakibatkan kekayaan negara waktu itu begitu melimpah bahkan tidak ditemukan seorang pun yang berhak mendapatkan zakat.
Memasuki era Abbasiyah, pengkajian dan pendalaman aturan-aturan al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah semakin berkembang. Para ulama di masa keemasan fiqih ini merinci, memperdalam dan memperluas pembahasannya dalam kitab-kitab fiqih yang mereka susun. Bahkan di masa ini secara khusus, Khalifah Harun al-Rasyid telah memerintahkan Abu Yusuf Ya’qub sebagai Qadi al-Qudah waktu itu, guna menyusun kitab aliran dalam penyelenggaraan keuangan dan ekonomi Negara. Selanjutnya terbitlah kitab al-Kharaj yang memuat aturan-aturan perpajakan serta sumber-sumber pendapatan dan keuagan Negara, antara lain: zakat, ganimah, anfal, fai’, jizyah, kharaj serta sumber-sumber lainnya. Setelah itu berturut-turut muncul kitab Iktisab al-Rizq oleh Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, kitab al-Kharaj oleh Yahya Ibn Adam, dan seterusnya.
Hingga selesai masa Dinasti Abbasiyah, kajian ekonomi dan keuangan masih menghiasi kitab-kitab yang disusun oleh para ulama. Konsep kepemilikan umum (state property/barang-barang publik), pendapatan dan belanja negara, aturan mendapatkan uang dari negara, hubungan ekonomi rakyat dan pemerintah serta pembebasan ekonomi secara umum dituangkan oleh al-Gazali (w. 1111 M) dalam “Halal dan Haram” yang termaktub dalam tujuh pasal pada kitab fenomenal dia Ihya ‘Ulum al-Din, jilid 2. Bahkan Abu Ja’far al-Dawudi menulis kitab al-Amwal yang khusus mengangkat pembahasan ini. Dan sehabis Dinasti Abbasiyah benar-benar runtuh, Ibnu Khaldun (1332-1406 H) masih mengangkat pembahasan ini dalam sebuah kajian ekonomi dan keuangan yang sangat sistematis dalam “al-Muqaddimah”.
Keuangan dan ekonomi negara di masa Dinasti Abbasiyah menjadi perhatian utama pemerintah. Biro pajak (diwan al-kharaj) dan departemen keuangan (bait al-mal), ibarat pada masa Dinasti Abbasiyah, tetap menjadi forum negara yang paling penting, dan kepalanya merupakan pejabat penting dalam pemerintahan. Selain zakat dari kaum muslimin, sumber pendapatan utama negara masa ini yaitu pendapatan dari bangsa lain, pajak berupa jizyah (pajak kepala), maupun kharaj (pajak tanah), uang tebusan, fai’ dan ‘usyr. Kondisi ini membawa Dinasti Abbasiyah ke puncak kemakmuran dan kejayaan ekonomi. Diriwayatkan bahwa ketika khalifah al-Mansur, kas negara berjumlah 600 juta dirham dan 14 juta dinar. Ketika khalifah Harun wafat, jumlahnya mencapai lebih dari 900 juta dirham, dan ketika khalifah al-Muktafi, kas negara mencakup permata, prabot rumah tangga dan perumahan senilai 100 juta dinar.
Pada masa pemerintahan Dinasti Usmaniyah, jizyah (pajak kepala) yang dibebankan kepada rakyat non-muslim disamakan dengan al-Badal Askari (pajak/tebusan yang dibayarkan untuk membebaskan diri dari kewajiban militer). Tampaknya, paska wafatnya Sultan Sulaiman al-Qanuni pada tahun 1566, kiprah hukum-hukum keuangan dan ekonomi Islam (al-mu’amalah al-maliyyah wa al-iqtisadiyah) lambat laun kemilau memudar seiring mundurnya Daulah Usmaniyah. Puncaknya pada awal era ke-19 M, melalui reformasi tanzimat yang berlangsung antara tahun 1839-1880, kesannya diundangkanlah aturan dagang pada tahun 1850 sebagiannya yaitu terjemahan eksklusif dari undang-undang aturan dagang Prancis, termasuk aturan wacana pembayaran bunga. Selanjutnya, diterbitkan undang-undang aturan program dagang (undang-undang pokok peradilan dagang) pada tahun 1861 dan undang-undang aturan niaga bahari pada tahun 1863, pada hakikatnya, keduanya yaitu undang-undang aturan Prancis. Untuk menerapkan semua undang-undang teresbut, dibangunlah sistem gres wacana peradilan sekuler yaitu Nizamiye (Nishamiyah) yang bernaung di bawah kementrian kehakiman.
Usaha untuk mengembalikan peran, al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyah ke dalam sistem pemerintahan dan kemasyarakatan telah diupayakan dengang diterbitkannya majallah al-Ahkam al-‘Adliyah (oleh para ulama penentang reformasi tanzimat) yang merupakan kitab undang-undang aturan perdata Islam pada tahun 1869. Namun tampaknya, majallah ini lebih kepada peraturan keperdataan dari segi al-Mu’amalah al-Maddiyah dan sebagian kecil aturan peradilan.
Memasuki era modern, kajian mengenai al-Mu’amalah al-Maliyah wa al-Iqtisadiyyah tetap bergema, termasuk yang lebih spesifik fiqh al-Siayasah al-Maliyah (politik ekonomi Islam). Sebut saja misalnya: Abul A’la Maududi dengan kitabnya Usus al-Iqtisad baina al-Islam wa al-Nuzum al-Mu’asirah, Sayyid Qutb dengan al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islamiyyah fi al-Islam. Taqiyuddin An-Nabhani dengan al-Nizam al-Iqtisadiy fi al-Islam, Mustafa al-Siba’iy dengan Isytirakiyah al-Islamiyah, Abdul Qadim Zallum dengan al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Yusuf al-Qardawi dengan fiqh al-Zakah serta yang lainnya. Di Indonesia, ada T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dengan bukunya Baitul Mal.
Kajian ini selanjutnya mengilhami berdirinya bank-bank Islam atau bank-bank Syariah di seluruh dunia. Di Indonesia, berdiri bank Muamalat Indonesia (BMI) serta banyak sekali BMT (Bait al-Mal wa al-Tamwil) yang beroperasi secara syariat Islam. Ini juga mengilhami dibukanya jurusan bahkan fakultas ekonomi Islam di banyak sekali Universitas Islam dan perguruan tinggi tinggi lainnya. Atau perkenalan terhadap mata kuliah ekonomi atau perbankan Islam sebagai serpihan dari kurikulum fakultas atau jurusan ekonomi. Khusus mengenai zakat, menurut UU No. 38 tahun 1998 maka pengelolaan zakat tidak dilakukan oleh Negara, tetapi oleh tubuh amil zakat yang dibuat oleh pemerintah.
Daftar Pustaka
Kata al-Maliyah dalam bahasa Indonesia berarti harta benda atau sesuatu yang dimiliki berupa uang atau kekayaan yang dimanfaatkan demi untuk kelangsungan hidup. Sedang “iqtisadiyyah” semakna dengan kata “ekonomi”. Oleh alasannya itu, dalam literatur fiqh, mu’alah ini merupakan rentetan dari al-Mu’amalah al-Madaniy dan termasuk kajian fiqh mu’amalah. Lihat Rifyal Ka’bah, op. cit., h. 235-236. Serta Ridwan Mas’ud dan Muhammad , Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat (cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 3-4.
Hukum Ekonomi, berarti hukum-hukum yang berkaitan dengan banyak sekali kegiatan ekonomi. Yang kemudian mengilhami kajian siyasah maliyah (politik ekonomi Islam)
Abul A’la al-Maududi, Usus al-Iqtisad baina al-Islam wal Mua’shirah terj. Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam dan Berbagai Sistem Masa Kini (cet.II; Bandung: PT. Alma’arif, 1984), h. 116-138.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 287.
Philip K. Hitti, History of The Arabs (cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 270-272. Menurutnya ini yaitu serpihan arabisasi dan reformasi manajemen pemerintahan, khusunya dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Sultan Sulaiman al-Qainuni atau Sulaiman I yaitu Sultan ke-10 Dinasti Usmaniyah, memerintah antara tahun 1520 hingga 1566 M. Ia dikenaloleh rakyatnya dengan sebutan “al-Qanuniy”. Beliau telah berhasil membuat undang-undang aturan Daulah Usmaniyah yang diterapkan hingga masar reformasi pada awal era ke-19 M. oleh generasi selanjutnya. “Al-Qanuniy” ini diabadikan menjadi nama himpunan perundang-undangan. Philip K. Hitti, ibid., h. 910-911.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, t.th.
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Jawi, M. Shiddiq. Kejayaan Ekonomi pada Masa Khalifah dalam Majalah al-Wa’iy No. 79/VII, 1-31 Maret 2007.
Ka’bah, Rifyal. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Khairul Bayan, 2004.
Mas’ud, Ridwan dan Muhammad. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Cet. I; Yogyakarta: UII Press, 2005.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu FIqh. Cet. II; Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 1987.
-------, Peradilan Hukum dan Acara Islam. Cet. II; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: