Rasulullah saw telah bersabda,”Allah telah mewahyukan kepadaku:”Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para pemberi peringatan! Berilah informasi peringatan kepada kaummu, biar mereka jangan memasuki satu rumahpun dari rumah-rumahKu (masjid), kecuali dengan hati yang bersih, pengecap yang benar, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Janganlah mereka memasuki salah satu rumahKu (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tidak memberi rahmat, selama dia bangun di hadapanKu melaksanakan shalat sampai dia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya. Apabila dia telah mengembalikannya, Aku akan jadi alat pendengarannya yang dengan alat itu dia mendengar, dan Aku akan menjadi alat penglihatannya yang dengannya dia akan melihat, dan dia akan menjadi salah seorang kekasih dan orang pilihanKu, dan akan menjadi tetanggaKu bersama para Nabi, para shiddiqin, dan para syhuhada yang ditempatkan di dalam surga.”[Hadits Qudsiy riwayat Abu Na’im, Hakim, al-Dailami, dan Ibnu ‘Asakir dari Hudzaifah ra]
Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah memperlihatkan pesan kepada kaum muslim:”Wahai sekalian manusia! Janganlah kalian menganggap kecil dosa-dosa itu. Selidiki dan usahakanlah untuk mengikis habis dosa-dosa yang pernah dilakukan dengan jalan melaksanakan taubat…..Telah sia-sia dan merugi orang-orang yang keluar dari rahmat Allah yang mencakup segela sesuatu. Mereka telah diharamkan masuk ke nirwana yang luasnya seluas langit dan bumi. Ketahuilah, perasaan kondusif pada hari final zaman hanya dimiliki oleh orang-orang yang takut akan Rabbnya; adalah orang yang suka menjual barangnya yang sedikit untuk ditukarkan dengan barang yang lebih banyak, orang yang suka menukar yang fana’ (dunia) dengan yang kekal awet (akherat).”
Lalu, apakah kita masih pantas memasuki rumah Allah dan mendapat rahmat di sisi Allah swt, sementara itu, tangan dan hati kita masih berlumuran dosa dan kedzaliman. Pantaskah kita duduk di hadapanNya, sedangkan farji dan pandangan kita tidak pernah dijaga. Masihkah kita berharap menjadi kekasih Allah, padahal, kita masih suka menganiaya dan memusuhi kekasih-kekasihNya?
Pantaskah kita menjadi tamu Allah swt, padahal kita masih menanggung barang-barang aniayaan milik orang lain, tidak pernah henti-hentinya membebani rakyat dengan beban-beban berat, dan menguras harta dan peluh mereka?
Pantaskah kita menjadi tamu Allah swt, padahal kita masih menanggung barang-barang aniayaan milik orang lain, tidak pernah henti-hentinya membebani rakyat dengan beban-beban berat, dan menguras harta dan peluh mereka?
Pantaskah kita bermunajat memohon ampunan Allah, sementara itu kita getol menyudutkan bahkan merencanakan makar untuk memenjarakan dan menyakiti pembela-pembela agama Allah yang selalu merindukan tertegaknya al-Quran dan Sunnah?
Pantaskah kita berharap surganya Allah swt sementara itu kita gemar memburu dan memerangi kaum mukhlish yang selalu mendekatkan diri kepada Allah swt, dengan alasan terorisme, makar dan seribu alasan lainnya? Bukankah Allah swt telah menyatakan melalui ekspresi Nabi Mohammad saw, “Barangsiapa memusuhi kekasihKu, Aku telah mendeklarasikan perang kepadanya…”[Hadits Qudsiy, HR. Bukhari]
Betapa besar kepala dan sombongnya diri kita! Kita selalu membenci dan memusuhi orang yang dicintai Allah swt, namun masih berharap mendapat kecintaan dan rahmat dari Allah swt. Betapa banyak kekasih Allah swt yang distigma dengan cap-cap buruk, bahkan diperlakukan tidak manusiawi. Apakah kita tidak mengetahui atau akal-akalan tidak tahu, bahwa tidak ada perbuatan yang lebih hina dibandingkan memerangi dan memusuhi kekasih-kekasih Allah swt. Lantas, masih pantaskah kita menyandang gelar muslim dan mukmin, namun, kita enggan untuk tunduk dengan hukum Allah; bahkan memproduk aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Allah? Bila tidak pantas, kemudian apa gelar apa yang paling pantas bagi kita?
Buat lebih berguna, kongsi: