Artikel Islami Metodologi Ijtihad Para Mujtahidin
(Para Imam Mazhab)
(Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, Ahmad, dan Ja‘far)
Oleh:M. Ali Rusdi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Munculnya mazhab dalam sejarah tidak terlepas dari adanya pemikiran fikih dari masa sahabat, tabi‘in hingga muncul mazhab-mazhab fikih pada periode ini. Seperti aturan yang dipertentangkan oleh Umar bin Kattab dengan Ali bin Abi Talib ialah masa ‘iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya. Golongan sobat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya mazhab-mazhab yang dianut.
Di samping itu, adanya imbas turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya ihwal timbulnya mazhab tasyrik, ada beberapa faktor yang mendorong, di antaranya:
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga aturan Islampun menghadapi aneka macam macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Mu. nculnya ulama-ulama besar pendiri mazhab-mazhab fikih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi ihwal fikih, yang disebut al-maz\|hab atau al-madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa Barat menjadi school, kemudian perjuangan tersebut diteruskan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika menentukan salah satu pendapat dari ulama-ulama mazhab ketika menghadapi masalah hukum, sehingga pemerintah (khalifah) merasa perlu menegakkan aturan Islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal ihwal masalah politik menyerupai pengangkatan khalifah-khalifah dari suku tertentu, ikut mengatakan andil bagi munculnya aneka macam mazhab aturan Islam.
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan mazhab-mazhab fikih Islam yang mempunyai metodologi kajian aturan serta fatwa-fatwa fikih tersendiri, dan mempunyai pengikut dari aneka macam lapisan masyarakat. Dalam sejarah pengkajian aturan Islam dikenal beberapa mazhab fikih yang secara umum terbagi dua, yaitu mazhab Suni dan mazhab Syiah. Di kalangan suni terdapat beberapa mazhab, yaitu Hanafiyah, Maliki, Syafiyah dan Hanabilah. Sedangkan di kalangan syiah terdapat dua mazhab fikih, yaitu Zaidiyah dan Jakfariyah. Namun yang masih berkembang hingga kini ialah mazhab Ja‘fariyah dan Syi’ah Imamiyah.
B. Rumusan Masalah
Latar belakang tersebut menggambarkan ihwal mazhab-mazhab fikih dalam Islam yang masih eksis hingga kini baik dari golongan Suni maupun dari golongan syiah. Dari latar belakang itu sanggup disimpulkan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana metode ijtihad yang digunakan oleh lima imam mujtahid dalam merumuskan hukum?
2. Bagaimana perbedaan metode yang digunakan oleh imam lima mazhab berimplikasi dalam merumuskan hukum?
3. Apa yang melatar belakangi perbedaan pendapat dikalangan lima mazhab tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab dalam Islam
Sebenarnya ikhtilaf telah ada pada masa sahabat. Hal ini terjadi antara lain lantaran perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nas (sunah) yang hingga kepada mereka. Selain itu juga lantaran pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan perbedaan pandangan ihwal dasar penetapan aturan serta berlainan tempat. Ketika agama Islam telah tersebar meluas ke aneka macam penjuru, banyak sobat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang gres tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat itu, Qasim ‘Abd al-‘Aziz Khamisi menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan ikhtilaf di kalangan sobat ada tiga yakni:
1. Perbedaan para sobat dalam memahami nas-nas al-Qur’an
2. Perbedaan para sobat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sobat disebabkan lantaran rakyu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Jalaluddin Rahmat beropini bahwa salah satu alasannya ialah utama ikhtilaf di antara para sobat ialah mekanisme penetapan aturan untuk masalah-masalah gres yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.
Setelah berakhirnya masa sobat yang dilanjutkan dengan masa tabi‘in, muncullah generasi tabi‘ al-tabi‘in. Ijtihad para sobat dan tabi‘in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di aneka macam wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan tabi‘ al-tabi‘in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki kala kedua Hijriyah, ketika pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Abbasiyyah.
Masa Bani Abbasiyah ialah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’the golden age’’. Pada masa itu, umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu, telah berkembang aneka macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa abnormal ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan aneka macam penemuan gres di aneka macam disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar Bani Umayyah. Hal ini memungkinkan mereka sanggup mencapai hasil lebih banyak, lantaran landasannya telah dipersiapkan oleh Bani Umayyah yang besar.
Periode ini dalam sejarah aturan Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fikih Islam, di mana lahir beberapa mazhab fikih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fikih agung yang berjasa mengintegrasikan fikih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fikih hingga sekarang.
Sebenarnya periode ini ialah kelanjutan periode sebelumnya, lantaran pemikiran-pemikiran di bidang fikih yang diwakili mazhab jago hadis dan jago rakyu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fikih, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki kala kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab aturan dan dua kala kemudian mazhab-mazhab aturan ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melaksanakan istinbat} hukum.
Kelahiran mazhab-mazhab aturan dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tidak pelak lagi menjadikan aneka macam perbedaan pendapat dan beragamnya produk aturan yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab menyerupai Abu Hanafah, Malik, Syafi‘i, Ahmad ibn Hanbal dan lainnya, masing-masing memperlihatkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para imam mazhab ini pada awalnya hanya bertujuan untuk mengatakan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan aneka macam duduk masalah aturan yang dihadapi, baik dalam memahami nas al-Qur’an dan hadis maupun kasus-kasus aturan yang tidak ditemukan jawabannya dalam nas.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia-tanpa disadari berkembang menjadi menjadi kepercayaan untuk menggali aturan dari sumbernya. Dengan semakin mengakar dan melembaganya kepercayaan pemikiran aturan ketika antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian imam mazhab muncul sebagai aliran atau mazhab yang akibatnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melaksanakan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, lantaran menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam perjuangan melaksanakan istinbat} hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut dalam pemikiran aturan Islam disebut dengan permintaan fikih.
Sampai ketika ini, fikih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu‘iyyah, sebagai akhir dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nas dan mengkaji aturan yang tidak ada nasnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada z}ahir nas}, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Menurut irit penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, hingga kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini memperlihatkan kedinamisan umat Islam, lantaran pola pikir insan terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi pegangan orang hingga sekarang. Masing-masing mazhab tersebut mempunyai pokok-pokok pegangan yang berbeda dan pada akibatnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya ialah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan sunah.
B. Metode Ijtihad Imam Mujtahid
Perkembangan mazhab-mazhab fikih telah muncul banyak mazhab fikih. para jago sejarah fikih telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada akad para jago sejarah fikih mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan hingga sekarang. Menurut M. Must}afa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan hingga kini hanya tujuh mazhab saja yaitu: mazhab Hanafiyah, Maliki, Syafi‘iyah, Hanabilah, Zaidiyah, Imamiyah dan ‘Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fikih sebagai berikut :
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. Ahl al-ra’y: Kelompok ini dikenal pula dengan mazhab Hanafiyah.
b. Ahl al-hadis terdiri atas mazhab Maliki, mazhab Syafi‘i, mazhab Hanabilah.
2. Syi’ah; Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah; mazhab al-Auza‘i, mazhab al-Z}ahiri, mazhab al-Tabari dan mazhab al-Laisi.
Pendapat lainnya menjelaskan bahwa mazhab fikih yang muncul sehabis sobat dan kibar al-tabi‘in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berhubungan dengan aliran ahl al-sunnah. Namun, tidak semua aliran itu sanggup diketahui dasar-dasar dan metode istinbat} hukumnya.
Dari klarifikasi tersebut, sanggup disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui aneka macam pandangan mazhab ihwal aneka macam masalah aturan Islam secara keseluruhan bukanlah duduk masalah gampang alasannya ialah harus mengkaji dan mencari setiap literatur aneka macam pandangan mazhab-mazhab tersebut.
Adanya aliran-aliran dalam fikih ini lantaran adanya perbedaan di sekitar metode berijtihad yang menjadikan perbedaan pendapat. Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah kelompok-kelompok fikih yang mulanya terdiri dari murid-murid para imam mujtahid. Kelompok-kelompok ini berkembang dan tersebar. Selain itu, kelompok-kelompok inipun mempertahankan pendapat Imamnya, kemudian akibatnya terbentuklah mazhab-mazhab menyerupai yang ada sekarang.
Pada masa kini ini ada lima (5) aliran fikih yang besar dan banyak dianut di dunia Islam hingga ketika ini, yaitu mazhab Hanafiyah, Maliki, Syafi‘iyah, dan mazhab Ja‘fari/mazhab Imamiyah. Berikut akan dipaparkan pendiri mazhab tersebut serta metode ijtihad yang dikembangkannya:
1. Metodologi Ijtihad Imam Abu Hanifah
a. Biografi Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berjulukan lengkap al-Nu‘man ibn S|abit ibn Zuta al-Taimi. Imam Abu Hanifah ialah pelopor mazhab Hanafiyah. Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 Hijrah (699 M.) di sebuah perkampungan berjulukan Anbar di sekitar Kufah, 'Irak. Abu Hanifah hidup di zaman pemerintahan Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwan, khalifah Bani Umayyah yang kelima. Abu Hanifah berketurunan Persia dan ayahnya seorang peniaga kain.
Abu Hanifah dibesarkan di kota Kufah dengan kehidupan yang bahagia dan mewah. Sejak kecil, Abu Hanifah sudah terdidik dalam urusan perniagaan dan menerima akomodasi untuk menuntut ilmu. Hal ini menjadikannya seorang saudagar yang berpengetahuan tinggi dan berpegang teguh dengan aturan Allah. Abu Hanifah seorang yang berakhlak mulia, pemurah, ikhlas, berani, suka memberi nasihat, rajin berusaha dan bercita-cita tinggi. Beliau sering bangkit malam untuk mengerjakan salat malam dan membaca al-Qur’an.
Abu Hanifah wafat dalam bulan Rajab tahun 150 H. (767 M.) dalam usia 70 tahun yaitu semasa pemerintahan khalifah Abu Ja‘far al-Mans}ur, khalifah ’Abbasiyah yang kedua. Jenazah ulama agung ini dimakamkan dengan penuh penghormatan oleh puluhan ribu umat Islam di tanah pekuburan al-Khaizaran di kota Bagdad.
b. Pola pikir dan faktor yang memengaruhi Abu Hanifah
Secara geografis, Abu Hanifah (80-150 H) lahir di Kufah Irak yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Ahli fikih kawasan ini sering dihadapkan pada aneka macam duduk masalah hidup berikut problematikanya yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa menggunakan ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan Hijaz (Mekkah dan Madinah, khususnya Madinah). Masyarakat kawasan ini masih dalam suasana kehidupan sederhana, menyerupai keadaan pada masa Nabi saw. Untuk mengatasi masalah, para fukaha cukup mengandalkan al-Qur’an, sunah dan Ijmak para sahabat. Oleh lantaran itu, mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad menyerupai fuqaha Irak. Sebaliknya, Abu Hanifah menghadapi duduk masalah kemasyarakatan di Irak, kawasan yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari sentra isu hadis Nabi saw. terpaksa atau selalu menggunakan budi (rasionya). Faktor lain yang memengaruhi Abu Hanifah ialah kajian awalnya pada Ilmu Kalam/teologi.
c. Metode yang digunakan Abu Hanifah dalam berijtihad
Metode yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan aturan (istinbat}) berdasarkan pada tujuh hal pokok:
1) Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2) Sunah Rasul sebagai klarifikasi terhadap hal-hal global yang ada dalam al-Qur’an.
3) Fatwa sobat (aqwal al-sahabah) lantaran mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab al-nuzul al-Qur’an serta asbab al-wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabi‘in tidak mempunyai kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4) Kias (analogi) yang digunakan apabila tidak ada nas sarih dalam al-Qur’an, hadis maupun aqwal al-s}ah}abah.
5) Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju aturan lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya kias atau kias tersebut berlawanan dengan nas.
6) Ijmak yaitu akad para mujtahid dalam suatu masalah aturan pada suatu masa tertentu.
7) ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nasnya dalam al-Qur’an, sunah dan belum ada praktiknya pada masa sahabat. Hal ini dilakukan lantaran banyaknya budaya yang ada di sekitar Imam Abu Hanifa hidup.
Tujuh dalil syariah yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah merupakan suatu hal yang masuk akal alasannya ialah Imam Abu Hanifah hidup jauh dari sumber anutan Islam yaiyu Mekkah dan Madinah, sehingga sumber hokum yang digunakan ialah ada lima macam al-Qur’a,, sunah, perkataan sahabat, ijmak dan urf.
2. Metodologi Ijtihad Imam Malik ibn Anas
a. Biografi Imam Malik ibn Anas
Imam Malik yang berjulukan lengkap Abu ‘Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn ‘Amr ibn Haris ibn Gaiman ibn Kutail ibn ‘Amr ibn Haris al- As}bah}i, lahir di Madinah pada tahun 717 M. Kakeknya berjulukan ‘Amir, termasuk salah seorang sobat besar Nabi di Madinah. Malik berguru hadis di bawah bimibngan al-Zuhri yang merupakan seorang ulama hadis terbesar pada masanya, dan juga di bawah bimbingan perawi hadis, Nafi‘, seorang budak yang dimerdekakan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar. Perjalanan Malik keluar dari Madinah hanya untuk melaksanakan haji. Karenanya, Malik mencukupkan diri mempelajari ilmu yang tersedia di Madinah.
Imam Malik pernah dipenjara pada tahun 764 M. oleh pemerintah Madinah, lantaran Imam Malik menciptakan ketetapan aturan yang menyatakan bahwa perceraian yang dipaksa tidak sah. Ketetapan aturan ini bertentangan dengan ketetapan pemerintah bahwa terdapat sumpah setia dari kalangan istri. Bila mereka melanggar sumpah tersebut, maka otomatis dicerai. Malik kemudian dipenjara dan disiksa, sehingga terdapat cedera di lengannya. Apabila melaksanakan salat, Imam Malik tidak bisa mengangkat tangannya ke dada. Karena itu, berdasarkan beberapa riwayat, Malik kemudian melaksanakan shalat dengan kedua tangan di sisinya.
b. Pola Pikir dan Faktor yang Memengaruhi Imam Malik
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik (93-179 H/712-798 M.) lahir di Madinah yang dikenal sebagai kawasan hadis dan tempat tinggal para sobat Nabi saw. fukaha di sini lebih mengerti hadis dibanding dengan fukaha lainnya, contohnya Irak. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa kampung dan sederhana, yaitu suatu kehiduan yang menjadikan al-Qur’an dan sunah serta Ijmak sobat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar pola keputusan hukum. Di sini, para fukaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio, lantaran Madinah sebagai tempat asal dan erat Mekah. Dengan demikian, sangat masuk akal kalau Imam Malik lebih cenderung menguasai hadis dan kurang menggunakan rasio dibanding Imam Abu Hanifah lantaran faktor sosial dan budaya masyarakat.
c. Metode Ijtihad Imam Malik
Prinsip dasar mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan aneka macam instruksi yang mereka temukan dalam al-Muwat}t}a’. Dasar mazhab Maliki ialah al-Qur’an, sunah, ijmak, tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah berdasarkan mereka), kias, fatwa sahabat, al-mas}lah}ah al-mursalah, ‘urf; istih}san, istis}h}ab, sadd al-z|ari’ah, dan syar’u man qablana. Prinsip dasar mazhab Maliki sanggup disederhanakan dasar fikih mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu al-Qur’ an, sunah Nabi saw., ijmak, dan rasio. Alasannya ialah lantaran berdasarkan Imam Malik, fatwa sobat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya ialah penggalan dari sunnah Nabi saw. Dalil-dalil yang termasuk rasio ialah al-mas}lah}ah al-mursalah, sadd al-z\ari’ah, istih}san, ‘urf, dan istis}h}ab. Menurut para jago permintaan fikih, kias jarang sekali digunakan mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah dari pada qiyas.
3. Metodologi Ijtihad Imam al-Syafi’i
a. Biografi Imam al-Syafi’i
Nama lengkap imam al-Syafi’i ialah Muh}ammad ibn Idris al-’Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘`Ubaid ibn ‘`Abd al-Yazid ibn Hasyim ibn ‘`Abd al-Mut}t}alib ibn ‘`Abd Manaf. Imam al-Syafi’i dilahirkan di Gazza (suatu kawasan erat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekah, dan ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Pendidikan al-Syafi’i dimulai semenjak Imam al-Syafi’i berada di Mekah. Imam al-Syafi’i menghafal al-Qur’an dan mempelajari hadis. Menjelang usia 9 tahun, al-Syafi’i telah menuntaskan pelajaran baca tulis, bahkan telah bisa menghafal al-Qur’an 30 juz serta menguasai sejumlah hadis Nabi. Imam al-Syafi’i mempunyai minat yang sangat tinggi dalam berguru bahasa Arab sehingga mendorong untuk meninggalkan ibunya pergi ke perkampungan Bani Hudail, suatu kabilah yang masih murni bahasa Arabnya, guna mendalami bahasa Arab. al-Syafi’i memperoleh fasāhah dari mereka, menghafal banyak syair dari mereka, sehingga sebuah pepatah ihwal kefasihannya dibuat.
Beranjak dewasa, Imam al-Syafi’i berguru fikih ahl al-h}adīs kepada Imam Malik di Madinah, kemudian mempelajari fikih ahl al-ra’y kepada Muhammad ibn al-Hasan al-S}aiban di Irak. Dengan demikan, ia menguasai dua corak fikih, yaitu fikih ahl al-hadīs dan fikih ahl al-ra’y.
b. Latar belakang yang memengaruhi pemikiran aturan Imam al-Syafi’i dalam berijtihad
Imam al-Syafi’i ialah seorang ulama besar yang bisa mendalami serta menggabungkan antara metode ijtihad Imam Malik dan metode imam Abu Hanifah, sehingga menemukan metode ijtihadnya sendiri yang mandiri. Imam al-Syafi’i sangat hati-hati dalam berfatwa, sehingga dalam fatwanya itu ada keseimbangan antara rasio dan rasa.
Faktor pluralisme pemikiran, situasi dan kondisi ketika Imam al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M.) lahir dan hidup sangat jauh berbeda dengan kedua imam sebelumnya, dikarenakan telah ada karya ulama. Pada masa imam al-Syafi’i hidup, telah banyak jago fikih, baik sebagai murid imam Abu Hanifah atau imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi aneka macam pemikiran fikih fukaha, baik dari Mekah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir menjadikan al-Syafi’i mempunyai wawasan yang luas ihwal aneka macam aliran pemikiran fikih. Dalam pandangan penulis, hal tersebut sanggup disebut sebagai faktor pluralisme pemikiran yang memengaruhi imam al-Syafi’i.
Faktor geografis, faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat al-Syafi’i lahir. Mesir ialah kawasan kaya dengan warisan budaya Yunani, Persia, Romawi dan Arab. Kondisi budaya yang kosmopolit ini mengatakan imbas besar terhadap pola pikir imam al-Syafi’i.
Faktor sosial dan budaya ikut memengaruhi terhadap pola pikir imam al-Syafi’i dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul al-qadim dibangun di Irak tahun 195 H/811 M. Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, imam al-Syafi’i banyak berguru kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam al-Syafi’i dan berhasil dipengaruhi olehnya: (a) Ah}mad ibn Hambal, (b) al-Karabisi, (c) al-Za’rafani, dan (d) Abu S|aur. Setelah tinggal di Irak, al-Syafi’i melaksanakan perjalanan ke beberapa kawasan dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir, Imam Syafi’i bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umunya ialah rekan imam Malik. Imam Malik ialah penerus fikih ulama Madinah atau ahl al-h}adis\. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul al-jadid. Dengan demikian, qaul al-qadim ialah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’y, sedangkan qaul al-jadid ialah pendapatnya yang bercorak hadis/klasik.
c. Metode Ijtihad yang digunakan Imam Syafi’i
Dasar-dasar mazhab Syafi'i sanggup dilihat dalam kitab us}ul al-fiqh al-Risalah dan kitab fikih al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut imam al-Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan aturan furu'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut:
1) Al-Qur’an, tafsir secara lahiriyah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriyahnya. Imam al-Syai'i pertama kali selalu mencari alasannya dari al-Qur’an dalam menetapkan aturan Islam.
2) Sunah dari Rasulullah saw. digunakan jikalau tidak ditemukan acuan dari al-Qur’an. Imam Syafi'i sangat berpengaruh pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nas}ir al-Sunnah (pembela sunah Nabi).
3) Ijmak atau akad para sobat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijmak yang diterima imam al-Syafi'i sebagai landasan aturan ialah ijmak para sahabat, bukan akad seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, lantaran menurutnya hal menyerupai ini mustahil terjadi.
4) Kias dalam kitab al-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijmak tidak juga ditemukan hukumnya, akan tetapi imam al-Syafi'i menolak dasar istih}san dan istis}h}ab sebagai salah satu cara menetapkan aturan Islam.
4. Metodologi Ijtihad Imam Ahmad bin Hambal
Ahmad bin Hambal ialah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal ibn Hilal ibn As’ad ibn Idris ibn ‘Abdillah ibn Hayyan ibn ‘Abdillah ibn Anas ibn ‘Auf ibn Qasit ibn Mazin ibn Syaiban ibn Z|uhail ibn Sa‘labah al-Zuhli al-Syaibani. Nasab Imam Ahmad bin Hambal bertemu dengan nasab Nabi pada Nizar ibn Ma‘ad ibn ‘Adnan, yang berarti bertemu nasab pula dengan Nabi Ibrahim.
Ketika Imam Ahmad bin Hambal masih dalam kandungan, orang tuanya pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah ke kota Bagdad. Di kota itulah Imam Ahmad bin Hambal dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ al-awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Pesatnya perkembangan zaman tidak menciptakan Imam Ahmad ibn Hambal (164-241 H.) berpikir rasional, bahkan hasil rumusannya sangat ketat dan kaku dibanding Imam Maliki yang tradisional. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor yang menjadikan Ahmad ibn Hambal berpikir menyerupai itu, yaitu faktor munculnya aneka macam aliran. Pada masa itu, aliran Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, dan Murjiah yang kesemua aliran tersebut telah banyak keluar atau menyimpang dari anutan Islam yang sebenarnya. Semisal Mu’tazilah beropini bahwa al-Qur’an ialah makhluk, suatu pendapat yang melanggar konsensus ulama pada ketika itu. Faktor inilah yang mengakibatkan Imam Ahmad ibn Hambal mengajak kepada masyarakat untuk berpegang teguh kepada hadis dan sunah. Sikap ini berbeda dengan Imam al-Syafi’i yang melawan ijtihad rasional pada ketika itu dengan memadukan hadis dan rasio. Sebaliknya, Imam Ahmad ibn Hambal justru beropini bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang teguh kepada hadis atau sunah.
Faktor politik dan budaya. Ahmad ibn Hambal hidup pada periode pertengahan kekhalifahan ‘Abbasiyah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode ini sering kali timbul pergolakan, konflik, dan kontradiksi yang berkisar pada soal kedudukan putra mahkota dan khilafat antara belum dewasa khalifah dan saudara-saudaranya. Saat itu, aliran Mu’tazilah berkembang bahkan menjadi mazhab resmi negara pada pemerintahan al-Ma’mun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq.
Langkah-lankah ijtihad yang dilakukan oleh Ahmad ibn Hambal sebagai berikut:
1) Menurut Ahmad ibn Hambal, sumber aturan pertama dalah al-nusus, yaitu al-Qur’an dan hadis yang marfu’.
2) Fatwa sahabat. Apabila imam Ahmad menerima fatwa sobat dan tidak menemukan pendapat yang berbeda dengannya, maka ia tidak berpaling ke rasio dan kias.
3) Apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, maka imam Ahmad menentukan pendapat yang sangat erat kepada al-Qur’an dan sunah.
4) Mengambil hadis mursal dan da‘if sekiranya tidak ada yang menghalanginya.
5) Kias digunakan apabila dalam keadaan darurat.
Metode ijtihad yang dikembangkan imam Ahmad ibn Hambal memperlihatkan bahwa pola pemikiran literalis.
5. Metodologi Ijtihad Imam Ja‘far al-Sadiq
Nama lengkapnya ialah Muhammad al-Baqir ibn ‘Ali Zain al-‘Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Talib, imam keenam Syi’ah Isna ‘Asyarah. Imam Ja‘far lahir pada tanggal 17 Rabi al-Awwal 82 H./701 M. dan wafat 148 H./765 M. Dari pihak bapaknya, Imam Ja‘far keturunan Rasulullah saw. yang silsilahnya hingga kepadanya melalui Fatimah al-Zahra. Oleh alasannya ialah itu, Imam Ja‘far termasuk ahl al-bait, sedangkan dari ibunya Imam Ja‘far keturunan Abu Bakar al-Siddiq.
Bagi mazhab Syiah yang dua belas, al-Qur’an dan hadis juga merupakan sumber utama, tetapi hadis yang mereka terima hanyalah hadis yang sanadnya bersambung ke ahl al-bait. Mazhab ini banyak dianut di Iran.
Keahlian imam Ja’far dalam bidang fikih terlihat dari fatwa-fatwanya yang kemudian dijadikan asas lahirnya mazhab Ja‘fari sebaimana mazhab-mazhab lain terutama mazhab suni, menetapkan al-Qur’an dan hadis sebagai sumber aturan utamanya, kemudian ijmak dan idrak al-‘aql (penalaran akal).
Golongan Imamiyah menggunakan budi dalam dua hal yaitu untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, dan untuk mentakhrijkan aturan dari Kitabullah, hadis dan ijmak, budi dinilai sebagai sumber aturan sejauh tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Akal hanya berkedudukan sebagai alat yang dengannya sanggup ditentukan aturan yang dasarnya telah tersirat dalam al-Qur’an dan sunah.
Golongan Syiah juga beropini bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan ulama-ulama mereka terus mengadakan ijtihad. Mujtahid dalam pandangan Syiah ialah Imam, tetapi menunggu imam yang dinanti (Imam Mahdi), para ulama Syiah menggantikan imam dengan mengadakan ijtihad untuk kepentingan umat.
Sekalipun mazhab Ja‘fari menggunakan budi dalam menetapkan hukum, mereka tidak mau mengunakan qiyas dan istih}san lantaran keduanya didasarkan pada khayal dan dugaan murni yang tidak valid digunakan sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Lima mazhab yang telah dipaparkan di atas sanggup dilihat dengan gampang dalam tabel sebagai berikut:
BAB III
KESIMPULAN
Imam mazhab yang lima menggunakan metode yang bermacam-macam imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahl al-ra’y serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh aneka macam ulama di zamannya. Mazhab Hanafiyah dikenal banyak menggunakan ra’y, qiyas, dan istih}san. Prinsip dasar mazhab Maliki ialah al-Qur’an, Sunnah Nabi saw., Ijma’, tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah berdasarkan mereka), qiyas, fatwa sahabat, al-maslahah al-mursalah, ‘urf, Istihsan, Istishab, sadd al-zari‘ah, dan syar’u man qablana. Dasar fiqh mazhab Maliki sanggup disederhanakan tersebut dalam empat hal, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi saw., ijma’ dan rasio. Imam Syafi’I mempunyai menggunakan 4 dalil syariah dalam ijtihadnya yaitu al-Qur’an, sunah, ijmak dan kias. Prinsip dasar mazhab Ahmad ibn Hambal ialah sebagai berikut: al-nusus yaitu; al-Qur’an, sunnah Nabi saw., dan ijma’, fatwa sahabat. Sedangkan kalangan ulama syiah yaitu imam Ja’far mempunyai empat pegangan dalam berijtihad yaitu al-Qur’an, sunah, ijmak, dan akal.
Perbedaan metode yang digunakan oleh para imam mazhab sangat memengaruhi terhadap hasil ijtihadnya yaitu beragamnya khasanah fikih ketika ini.
Pada dasarnya perbedaan pengambilan dalil-dalil syariah dikalangan ulama mazhab dipengaruhi oleh empat hal yaitu perbedaan latar belakang pribadi atau kehidupan, latar belakang keilmuan, situasi dan kondisi yang mengitarinya, dan tujuan yang ingin dicapai oleh para imam mazhab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz (et. al.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Dahlan, Abdul Aziz. (et. al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II Cet. I; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Dewan Redaksi. Ensklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtian Van Hoeve, 1994.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab, Jakarta: Rajawali Pres, 1998.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Ibntang, 1995.
Imbabi, Musthofa. Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al-Tijariyyah al-kubro, t.th.
Ismail, Ahmad satori. Pasang Surut Perkembangan Fikih Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Ismail, Ahmad satori. Pasang Surut Perkembangan Fikih Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Khallaf, Abdul Wahab. Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Khomis, Qasim Abdul Aziz. Aqwal al-Sahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.
Mahjuddin, Ilmu Fikih, Jember: P.T. GBI Pasuruan, 1991.
Mubarok, Jaih. Modifikasi Hukum Islam; Studi ihwal Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Muhniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2008.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II Jakarta: UI. Press, 1985.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 2002.
Reza, Muhammad. Syiah dalam Sunnah; Mencari Titik Temu yang Terabaikan, Jakarta: Citra, 2005.
SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.
Saleh, Abdul Mun’in. Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah,, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001.
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fikih Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Sulaiman, Abd. Al-Wahab Ibrahim Abu. al-Fikr al-Ushuli, Jeddah: Dar al-Syuruq, 1983.
Al-Syaka’ah, Mustafa Muhammad. Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani, 1994.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997.
Zaid, Faruq Abu. dan Umar Syihab, Hukum Islam dan Tranformasi Pemikiran, Semarang: Dina Utama, t.th.
Zuhri, M. Hukum Islam dalam Lintas Sejarah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Buat lebih berguna, kongsi: