Artikel Islami Perkembangan Fatwa Aturan Islam Kurun Modern


Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Era Modern
A. Risnawaty Widayani
NIM. 80100210001

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dilema fleksibilitas aturan Islam dan pembaharuan pemikiran selain sarat muatan sosiologis tidak sanggup dipungkiri bahwa fikih juga mempunyai dimensi teologis dan inilah yang membedakan fikih dengan aturan terminologi ilmu aturan modern. Akan tetapi penempatan caara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bias mengakibatkan anggapan bahwa fikih merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melaksanakan penilaian terhadap aturan-aturan fikih yang ada, lantaran secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut. Untuk itu perlu kajian yang bisa mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam fikih. 

Awal perjalanan sejarah, fikih merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini sanggup dilihat dari munculnya sejumlah mazhab aturan yang mempunyai corak tersendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik dimana mazhab aturan itu tumbuh dan berkembang.
Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Era Modern Artikel Islami Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Era Modern

Dialektika antara aturan dan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Maksudnya bahwa aturan dipengaruhi oleh dinamika masyarakatnya dan sebaliknya aturan akan besar lengan berkuasa terhadap masyarakatnya. Selain itu, perubahan aturan sanggup memengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyrakat sanggup mengakibatkan perubahan hukum. Bahkan ada adagium yang menyatakan bahwaالأحكام وليدة الحاجة (hukum lahir lantaran adanya tuntutan kebutuhan dalam masyarakat). Secara realitas diyakini bahwa dinamika masyarakat sanggup besar lengan berkuasa terhadap konsepsi hukum, contohnya modernitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat ternyata telah memengaruhi pandangan terhadap aturan Islam. Dengan perkataan lain bahwa modernitas telah membawa dampak terhadap banyak sekali aspek kehidupan insan termasuk terhadap konsepsi aturan khususnya aturan Islam.

Pembaharuan pemikiran aturan Islam pada masa modern umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi gres yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang dipakai cenderung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan soisal tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Walaupun tawaran metodologi aturan Islam tersebut mempunyai model yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan yang lainnya, namun secara umum mereka mempunyai kecenderungan rasional-filosofis atau dengan kata lain menggunakan paradigm logika burhani (rasio) sebagai pijakan pemikiran mereka.

Perubahan dalam masyarakat sanggup terjadi disebabkan lantaran adanya penemuan-penemuan gres yang mengubah perilaku hidup dan menggeser cara pandang serta membentuk contoh alur berpikir serta menimbulkan konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan bermasyarakat.

Perubahan masyarakat menuntut adanya perubahan hukum. Terjadinya interaksi antara perubahan aturan dan perubahan masyarakat yaitu fenomena nyata. Dengan kata lain perubahan masyarakat akan melahirkan tuntutan biar aturan yang menata masyarakat ikut berkembang bersamanya.

Rasionalitas yang dibangun oleh ulama fikih ingin melaksanakan daypikir yang sesuai dengan tuntunan Allah swt. yang ujungnya yaitu tercapainya kemaslahatan insan pada umumnya di dunia dan akhirat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dasar pemikiran aturan Islam modern?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran aturan Islam modern?
3. Bagaimana cara melaksanakan pemikiran aturan Islam modern?
4. Bagaimana corak pemikiran tokoh-tokoh pemikir aturan Islam modern?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Pemikiran Hukum Islam Modern

Hukum Islam yaitu aturan yang dibentuk untuk kemaslahatan hidup manusia. Hukum Islam sudah seharusnya bisa menawarkan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan insan baik dalam bentuk sebagai tanggapan terhadap suatu duduk kasus yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibentuk untuk menata kehidupan manusia. Hukum Islam dituntut untuk sanggup menyahuti duduk kasus yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut yang mengakibatkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam aturan Islam.1

Hukum Islam yaitu aturan yang hidup di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat sanggup berupa perubahan tatanan sosial, budaya, ekonomi dan lain-lainnya. Bahkan berdasarkan para andal linguistik dan semantik bahasa akan mengalami perubahan setiap 90 tahun. Perubahan dalam bahasa secara pribadi atau tidak pribadi mengandung arti perubahan dalam masyarakat. Hukum Islam hidup di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka aturan Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut. Hal itu dilakukan biar aturan Islam bisa mewujudkan kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan insan di segala tempat dan waktu. Dalam teori aturan Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai akhir adanya modernitas) sanggup dijadikan sebagai aturan gres (al-a>dah muhakkamah) selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pedoman Islam.2

Gambaran wacana kemampuan syariat Islam dalam menjawab tantangan modernitas sanggup diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat Islam diantaranya yaitu prinsip yang terkait dengan muamalah dan ibadah. Dalam bidang muamalah aturan asal segala sesuatu yaitu boleh kecuali apabila ada dalil yang memperlihatkan bahwa sesuatu itu dilarang. Sedangkan dalam bidang ibadah aturan asalnya yaitu terlarang kecuali ada dalil yang mendasarinya.3

Berdasarkan prinsip tersebut sanggup dipahami bahwa modernisasi yang terkait dengan segala macam bentuk muamalah diizinkan oleh syariat Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Berbeda dengan bidang muamalah, aturan Islam dalam bidang ibadah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi melainkan materinya harus berorientasi kepada nas al-Qur’an dan hadis yang telah mengatur secara terperinci wacana tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.

B. Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Modern

Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode yaitu periode klasik (650-1250 M.), periode pertengahan (1250-1800 M.) dan periode modern (1800 M.- dan seterusnya). Persepsi muslim tradisional (pra modern), aturan Islam menyajikan sebuah sistem yang ditakdirkan Tuhan yang tidak ada kaitannya dengan banyak sekali perkembangan historis. Muslim tradisional beropini bahwa al-Qur’an dan sunah telah menawarkan uraian rinci wacana segala sesuatu. Menurut muslim tradisional hanya ada satu sumber yang terdapat aturan-aturan aturan yang dikembalikan yaitu wahyu Tuhan. Ide wacana aturan natural tidak dikenal. Coulson menyimpulkan bahwa pemahaman tradisional wacana perkembangan aturan Islam tidak mempunyai historis.4

Menurut Harun Nasution era modern bermula pada masa ke-19, merupakan periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan dan mendapat tantangan serius. Melalui imperialisme, efek peradaban Barat terhadap dunia Timur, terutama dunia Islam sangat kuat. Akibatnya, beberapa aspek pedoman Islam dipertanyakan dan salah satu aspek tersebut yaitu pertanyaan yang ditujukan kepada doktrin aturan Islam. Pada perkembangan berikutnya modernitas ini besar lengan berkuasa terhadap konsepsi aturan Islam.5

Perubahan pemahaman terhadap konsepsi aturan Islam tersebut salah satunya dihembuskan oleh Schaht yang meruntuhkan anggapan tradisional wacana aturan Islam. Schaht tidak mengkaji aturan Islam secara teologis dogmatis, melainkan lebih bersifat historis dan sosiologis. Schaht menyajikan aturan Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berafiliasi erat dengan realitas sosial. Schaht menyimpulkan bahwa sebagian besar aturan Islam termasuk sumber-sumbernya merupakan akhir dari sebuah proses perkembangan historis.6

C. Cara Melakukan Pemikiran Hukum Islam Modern

Abad ke-20 merupakan masa kelanjutan dari kecenderungan ke arah modernisasi melalui pengabsahan diberlakukannya hukum-hukum Barat di beberapa negara Islam. Dalam kenyataanya, bangsa-bangsa muslim justru hanya berhasil menyebarkan sistem-sistem aturan yang modern secara terbatas pada aturan keluarga saja. Di pihak lain,muncul wacana menghendaki cara sekuler yang menyatakan perlunya dikembangkan Islam modern dengan cara memisahkan agama dari duduk kasus politik dan hukum.7

Di dunia Islam kini timbul tuntutan-tuntutan gres untuk kembali lagi kepada pandangan hidup yang Islami. Kebangkitan kembali Islam di bidang politik harus dibarengi tuntutan bagi pembinaan sistem aturan yang Islami, yang dilakukan oleh orang-orang yang meyakini bahwa syariahlah yang seharusnya menawarkan cirri khas Islam pada negara dan rakyatnya.8

Subhi Mahmasami mengemukakan perlunya reinterpretasi dan penyesuaian aturan Islam sejalan dengan perkembangan dunia modern ketika ini. Subhi Mahmasami menambahkan bahwa untuk mengobati penyakit taklid buta dan fanatisme terhadap mazhab dperlukan adanya ijtihad. Pintu ijtihad harus terbuka lebar bagi siapa saja yang mempunyai kemampuan yang sanggup dipercaya di bidang hukum. Memberikan kebebasan kepada kaum muslimin untuk menafsirkan aturan Islam, kebebasan berpikir dan menjadikan pikiran itu bisa membuat karya-karya ilmiah yang sanggup dipertanggungjawabkan kebenarannya.9

Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad untuk menyebarkan aturan Islam disebut gerakan pembaharuan aturan Islam, lantaran gerakan itu muncul untuk memutuskan ketentuan aturan yang bisa menjawab permasalahn dan perkembangan gres yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Menetapkan ketentuan aturan yang bisa menjawab permasalahn dan perkembangan gres itu mengandung dua unsur. Pertama, memutuskan aturan terhadap masalah gres yang belum ada ketentuan hukumnya, mirip masalah bayi tabung. Kedua, memutuskan dan mencari ketentuan aturan gres bagi suatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan insan masa sekarang. Maksud dari dengan tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan insan masa kini yaitu ketentuan aturan usang yang merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak bisa lagi merealisasikan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat masa kini.10

Sejalan dengan hal tersebut, Umar Shihab mengemukakan metode ijtihad yang cocok dengan kondisi ketika ini sebagai berikut:

1. Ijtihad Intiqa’i (Tarjih)

Para ulama salaf telah memecahkan banyak sekali permasalahan yang dihadapinya, bukan berarti apa yang mereka menetapkan atau hasilkan dalam bentuk ijtihad yaitu suatu ketetapan simpulan untuk sepanjang masa. Akan tetapi, para mujtahid kini dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara pendapat dan meneliti dalil-dalil yang dijadikan landasan atau mujtahid remaja harus menentukan pendapat yang dipandang kuat dan sesuai dengan kondisi.

Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu, melainkan ditransformasikan sesuai perkembangan zaman. Berkomitmen dengan suatu mazhab atau pendapat tidaklah salah, tetapi harus meneliti secara keseluruhan biar bisa mendapat ketetapan yang kuat dan sesuai dengan realitas masalah umat Islam ketika ini.

2. Ijtihad Insyai (Penalaran Baru)

Ijtihad ini sangat diharapkan lantaran banyak sekali permasalahan yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini yang belum pernah diungkap dalam kitab klasik dan semuanya memerlukan solusi secara ijtihadi.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi dunia banyak membawa efek contoh pikir dan perilaku hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi cirri utama masyarakat modern membuat praktik ilmu fikih kurang bisa lagi menjawab permasalahan gres tersebut.

Upaya untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan tercapai apabila mujtahid kini hanya terpaku pada pendapat ulama salaf, lantaran para mujtahid belum mengalami kasus-kasus itu dan berijtihad dalam hal tersebut.

3. Ijtihad Komparatif

Ijtihad komparatif yaitu menggabungkan kedua bentuk ijtihad intiqa>’i> dan insya>i>. Untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat perlu diupayakan adanya pendapat gres sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.11

Dari ketiga model ijtihad yang dianggap cocok pada masa kini ini dan paling relevan serta sanggup dipertanggungjawabkan kualitasnya secara ilmiah dan akademik yaitu dilakukan dengan cara kolektif (jama’i), yaitu ijtihad yang melibatkan beberapa andal lintas profesi. Ijtihad yang dilakukan secara secara bersama-sama dari orang yang mempunyai dan menguasai disiplin bermacam-macam akan bisa menyerap seluruh duduk kasus yang dihadapi. Hasil ijtihadnya pun diharapkan bisa menawarkan tanggapan secara utuh dan menyeluruh.12

Ijtihad kolektif merupakan bentuk ijtihad yang mengakui dan mengintegrasikan banyak sekali disiplin ilmu pengetahuan di kalangan andal untuk memecahkan problem aturan Islam yang terjadi di masyarakat. Keterlibatan banyak sekali para andal sanggup memudahkan jalan bagi seorang yang sedang menghadapi problematika serius.13

Ahli fikih kontemporer Yusuf Qaradhawi menyampaikan bahwa fikih harus berkaitan dengan kenyataan dan menjelaskan hikmahnya. Bahkan seyogyanya fikih kontemporer memanfaatkan hasil istinbat aturan para fuqaha yang bersifat umum dan kaidah yang berkaitan dengan perusahaan yang mereka menetapkan dalam rangka bergiat fikih perusahaa kontemporer. Contoh, pembahasan zakat ternak mirip unta, kambing dan sapi masih berpedoman pada kitab-kitab klasik yang belum menyentuh ranah perusahaan mirip perbankan, perusahaan sekurites, pasar saham, pasar uang, indeks saham dan sejenisnya yang membuat kaum muslimin bertanya wacana hukumnya di mana-mana.14

Searah dengan pendapat tersebut, reformasi serta renovasi bahasa kitab-kitab klasik yang dikemas ke dalam bahasa modern biar cepat dipahami dengan dengan bahasa masa kini, mirip mereformasi kata qullah, hasta, bintu labun, mud dan sejenisnya dengan ukuran standar masa kini mirip kilogram, meter meter kubik, dollar dan lain-lain.

Rasionalitas aturan Islam modern tidaklah sepenuhnya benar. Membuang atau menghilangkan pemikiran klasik tidaklah sepenuhnya salah. Menyandingkan dan menyelaraskan keduanya sangat diharapkan dalam kearifan hukum. Rasionalitas yang terbingkai oleh nas menjadi rambu bagi pemikir-pemikir aturan Islam modern untuk menjaga keaslian aturan biar tidak lepas dari maqasid syari’ah yang sesungguhnya.

D. Tokoh-tokoh Pemikir Hukum Islam Modern

1. Pemikiran Hukum Islam Jamaluddin al-Afghani
Namanya yaitu Jamaluddin al-Afghani bin Saftar, dari keluarga yang terpandang di Afghanistan. Nasabnya hingga kepada salah spesialis hadis Imam Turmudzi dan silsilahnya hingga kepada sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Orang orang Iran mengklaim bahwa Afghani yaitu kelahiran Asadabad Iran, Adapun orang India menjadikan desa Syirut sebagai tanah kelahiran Afghani. Sedang orang Turki menganggap Afghani yaitu kelahiran Azerbaijan.15

Afghani bisa dikatakan pencetus umat yang hampir kehidupannya dihabiskan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain demi untuk merealisasikan cita-citanya yaitu mempersatukan umat dan bersama mengusir penjajah dari bumi Timur. Afghani risikonya menyimpulkan bahwa penyakit yang diderita umat ketika itu yaitu akhir umat Islam yang tidak memahami dan mengamalkan pedoman Islam secara benar dan obat yang paling mujarab yaitu mengajak umat Islam untuk bersatu dan kembali kepada pedoman agama mereka.16

Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad 1254 H/ 1838 M. Pada waktu umur 8 tahun Afghani sudah mulai bergelut dengan banyak sekali ilmu setidaknya ada empat cabang ilmu yang ia kuasai : Ilmu bahasa Arab ( seperti, nahwu, sharaf, balaghah) , ilmu syariah ( mirip tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam , tasawwuf ), ilmu rasio ( mirip mantiq, falsafah, politik, teori alam dan ketuhanan), dan ilmu pasti ( mirip matematika, aljabar, astronomi. Kedokteran dan anatomi). Pada waktu umur 18 tahun Afghani telah menuntaskan pengembaraannya di belantara ilmu sehingga Afghani muncul sebagai seorang yang mempunyai kemampuan dalam banyak sekali ilmu dan kepribadian yang menakjubkan. Mazhab yang dianut Afgani yaitu Hanafi. Meski mengikuti mazhab tertentu tetapi komitmen Afghani terhadap sunah luar biasa. Afghani juga konsisten terhadap pokok-pokok dan cabang dari mazhabnya, semangat beragamanya sebagaimana ratifikasi orang-orang yang hidup pada masanya.17

Menurut Afghani yaitu kemajuan yang hakiki berdiri di atas pondasi ilmu dan moral sementara kemajuan materi yang diraih barat dengan mendirikan bangunan-bangunan yang megah, pabrik-pabrik berkelas, kota-kota yang dihias dengan indah atau rakitan-rakitan senjata dan bom pemusnah bukanlah kemajuan yang ideal lantaran kemajuan materi yang tidak diimbangi dengan kemajuan moral hanya akan membuat sebuah peradaban yang sangat lemah dan gampang diombang-ambingkan. Pemikiran Afghani dan gaya hidupnya mempunyai beberapa karakteristik antara lain: Watak ruhiyyah yang bisa dilihat dari segala tindakan Afghani baik ketika mengucapkan kata-katanya atau ketika diam.

Jiwa agamis yang menempel pada Afghani yang mewarnai semua ide-ide dan angan-angannya. Kesadaran moral yang tinggi yang menguasai seluruh perbuatannya.

Afghani mengkritik perilaku para politisi Timur yang kurang tabah dan tabah dalam menghadapi cobaan. Orang Barat tetap komitmen terhadap apa yang mereka yakini benar meski itu bersama-sama salah, sementara orang timur tidak komitmen dalam segala hal meski itu benar. Afghani juga berusaha untuk menyemangati umat Islam untuk melaksanakan ijtihad dan tidak pasrah mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui landasan dalil alias bertaklid buta.18

Afghani juga mengkritisi kaum fatalis yang tidak mau berjuang untuk mengusir penjajah dan hanya mengharapkan turunnya pertolongan Allah tanpa melaksanakan usaha dan ikhtiar. Afghani juga menyampaikan bahwa tak ada orang islam pun baik Sunni, Zaidiyyah, Ismailiyyah, Wahabi, atau Khawarij yang berfaham Jabriyyah (fatalisme), bahkan semua aliran tersebut beropini bahwa insan diberikan kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya dan inilah bersama-sama arti dari kebijaksanaan Tuhan dan keadilannya sehingga hanya orang yang berinfak baik yang akan mendapat pahala nirwana dan orang yang berinfak jahat yang akan mendapat siksa neraka. Menurut Afghani ilmu sejarah, sosial, serta ilmu alam selalu didasarkan pada keyakinan adanya qada dan qadar. Afghani juga mengkritik orang-orang yang menganggap bahwa kemunduran Islam lantaran mereka berpegang pada qada dan qadar.19

Afghani mengomentari keadaan umat ketika itu “Penyakit umat ini yaitu mereka selalu ingin berpecah belah dan setuju untuk tidak bersepakat”.

Afghani yaitu orang yang cinta damai. Afghani menyampaikan bahwa banyak negeri yang dibuka oleh Islam dengan damai, dan pilihan yang diberikan pada orang andal kitab yaitu dua hal yaitu memeluk Islam atau membayar pajak. Kedua pilihan ini bertujuan untuk menghindari pertumpahan darah. Jihad dalam Islam menurutnya dakwah untuk mengajak kepada agama dan moral ke seluruh penjuru dunia. Afghan yaitu seorang Muslim sejati yang selalu menggunakan rasiomya. Afghani mengkritik orang yang taklid dalam aqidah tanpa mengetahui dalil, sementara banyak nas yang menyampaikan bahwa kebahagian akan dicapai oleh orang yang mengunakan akalnya. Afghani juga menyampaikan bahwa al-Qur`an diturunkan yaitu untuk dipahami dan ditadabburi dan bukan untuk dijadikan hiasan atau dicampakkan dari praktek keseharian.20

Afghani menganggap bahwa pilihan yang sempurna bagi masa depan peradaban Islam yang menjanjikan yaitu dengan cara menolak penyakit taklid terhadap tradisi yang membabi buta dan tetap berpegang pada referensi-referensi Islam ( Marji`iyyah Islamiyyah ), Afghani menyampaikan “kita sebagai orang Islam tidak akan mendapatkan kebaikan sama sekali apabila kemajuan dan tamaddun yang kita capai tidak didasarkan pada pondasi agama dan al-Qur`an, yang mana kita tidak akan lepas dari kemunduran kita ini kecuali dengan menempuh jalan ini”. Agama yaitu pilar umat dan satu-satunya diam-diam seorang insan sanggup meraih kebahagian. Afghani berusaha membangunkan negeri-negeri Islam dari tidur panjangnya. Melenyapkan penjajah Inggris dari tanah air mereka. Afghani sangat membenci Inggris, itulah mengapa disetiap kesempatan Afghani selalu mengobarkan semangat umat untuk menentang Inggris.21

2. Pemikiran Hukum Islam Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 dalam sebuah keluarga petani di Mesir Hilir. Abduh dididik oleh guru privat dan qari dari Quran. Ketika memasuki usia tiga belas tahun Abduh dikirim ke mesjid Ahmadi yang merupakan salah satu forum pendidikan terbesar di Mesir. Beberapa ketika kemudian Abduh melarikan diri dari sekolah dan menikah. Abduh terdaftar di al-Azhar pada tahun 1866. Abduh mempelajari logika, filsafat dan mistisisme di al-Azhar University di Kairo. Abduh yaitu seorang murid dari Jamaluddin al-Afghani. Seorang filsuf dan pembaharu agama yang menganjurka Pan-Islamisme untuk melawan kolonialisme Eropa. Pada tahun 1877, Abduh dianugerahi tingkat Alim dan mulai mengajar logika, teologi dan etika di al-Azhar. Abduh diangkat sebagai profesor sejarah di Kairo, guru sekolah tinggi pembinaan Dar al-Ulum. Pada tahun 1878, Abduh juga ditunjuk untuk mengajar bahasa Arab di Khedivial School of Languages. Abduh diangkat sebagai kepala editor dan surat kabar resmi Negara. Abduh percaya bahwa pendidikan yaitu cara terbaik untuk mencapai tujuan. Abduh mendukung pendidikan agama yang baik yang akan memperkuat moral anak dan pendidikan ilmiah yang akan memupuk kemampuan anak.22

Muhammad Abduh ingin menjadikan Islam kompatibel dengan rasionalisme masa ke-19. Menurut Abduh umat Islam tidak bisa hanya bergantung pada interpretasi dari teks yang disediakan oleh ulama masa pertengahan, mereka perlu menggunakan kecerdikan untuk mengikuti perubahan zaman.. Abduh menyampaikan bahwa insan diberikan intelijen sehingga bisa dibimbing oleh pengetahuan. Abduh menyampaikan bahwa dua harta terbesar yang berkaitan dengan agama bahwa insan yaitu kemerdekaan menghiasi dengan kemauan dan kebebasan berpikir dan pendapat. Abduh percaya bahwa perkembangan peradaban di Eropa Barat didasarkan pada dua prinsip ini. Abduh berpikir bahwa Eropa terbangun untuk bertindak setelah sejumlah besar dari mereka bisa menjalankan pilihan mereka dan untuk mencari fakta-fakta dengan pikiran mereka.23 

Abduh melalui karya-karyanya menggambarkan Allah sebagai pendidik insan dari masa kanak-kanak melalui perjaka dan kemudian ke dewasa. Menurut Abduh, Islam yaitu satu-satunya doktrin agama yang sanggup dibuktikan dengan penalaran. Muhammad Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905.24

3. Pemikiran Hukum Islam Rasyid Ridha

Rasyid Ridha yaitu Murid Muhammad Abduh yang terdekat. Lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suriah). Menurut keterangan, ia berasal dari keuturunan al-Husan, yaitu Husain bin Ali Abi Thalib lantaran itu ia menggunakan gelar al-Sayyid di depan namanya. Dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan beragama dan terhormat.25

Semasa kecil Ridha dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalaman untuk berguru menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Di Madrasah ini, selain bahasa Arab di ajarkan pula bahasa Turki dan Perancis. Selain pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di masa itu sekolah-sekolah missi Katolik telah mulai muncul di Suriah dan banyak menarik perhatian orang renta untuk memasukkan bawah umur mereka berguru di madrasah tersebut.26

Pemikiran Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abdullah melalui majalah al-Urwah al-Mustqa. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang diperbolehnya dari al-Syekh Husain al-Jisr dan yang kemudian di perluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad Abduh amat memengaruhi jiwanya.27

Semasa hidupnya Rasyid Ridha menulis dan menafsirkan Al-Qur’an yang diberi nama tafsir al-Manar yang merupakan tafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Abduh yang diteruskan oleh Rasyid Ridha yang kemudian menjadi karangan dari Rasyid Ridha itu sendiri

- Syekh Muhammad Rasyid Ridha merupakan salah seorang tokoh pembaharuan di Mesir yang juga murid dari Muhammad Abduh
- Rasyid Ridha yaitu penulis dari tafsir Al-Qur’an yang di beri nama al-Manar yang merupakan tafsiran yang dilanjutkan dari gurunya yaitu Muhammad Abduh itu sendiri 

Ide-ide pembahasan wacana yang dibawa Rasyid Ridha yaitu dalam bidang agama, bidang politik, bidang pendidikan dan toleransi bermazhab 

Rasyid Ridha lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon. Yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suriah) dan meninggal dunia pada bulan Agustus 1935 

Rasyid Ridha mirip halnya Muhammad Abduh, menghargai kecerdikan manusia, sungguhpun penghargaan terhadap kecerdikan manusia. 

Rasyid Ridha mirip halnya Jamaluddin al-Afghani juga melihat perlunya dihidupkan kembali kesatuan umat Islam 

Walaupun ide-ide yang dimajukan Rasyid Ridha banyak kemiripan/kesamaan dengan ide-ide Muhammad Abduh namun antara murid dan guru terdapat perbedaan yaitu guru lebih liberal dari murid, guru tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam. sedang Rasyid Ridha sebaliknya masih memegang mazhab dan masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Taimiyah.28 

4. Pemikiran Hukum Islam Sayyid Ahmad Khan.

Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Sayyaid Ahmad Khan yaitu Sayyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 1754 - 1759 ) dan semenjak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan Agama dan berguru bahasa Arab dan bahasa Persia. Ahmad Khan yaitu sosok orang yang gemar membaca buku dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan.29

Ahmad Khan gunakan waktu dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh , pemuka agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan kejayaan Islam, mirip Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Pada tahun 1861 Ahmad Khan mendirikan sekolah Inggris di Muradabad, dan pada tahun 1878 juga mendirikan sekolah Mohammedan Angio Oriental College ( MAOC ) di Aligarh yamg merupakan karya yamg paling bersejarah dan besar lengan berkuasa untuk memajukan perkembangan dan kemajuan Islam di India.30

Seorang berjulukan Sayyid Ahmad Khan (gelar darah biru di India) mendekati penjajah Inggris untuk meraih keuntungan. Ahmad Khan mulai melangkah untuk meninggalkan agamanya (Islam) dan menganut agama yang dipeluk oleh bangsa Inggris. Ia mulai menulis sebuah buku dimana ia menyatakan bahwa Taurat dan Bibel tidak pernah diubah-ubah oleh tangan manusia, untuk mendapatkan pangkat dari tangan penjajah. Orang Inggris tidak percaya kepadanya sehingga ia benar-benar menyatakan bahwa dirinya yaitu “seorang Kristen”. Ia sadar bahwa usahanya yang hina ini sia-sia belaka dan ia tidak bisa mengubah agama penganut Islam kecuali beberapa orang saja. Maka ia memulai cara lain dalam pengabdiannya kepada pemerintah Inggris: dengan memecah belah persatuan umat Islam. Ia memunculkan dirinya sebagai seorang naturalis ateis dan menyatakan bahwa tak ada sesuatu apapun kecuali alam (nature) dan bahwa alam ini tidak ada Tuhan yang menciptakan, Ia menyatakan bahwa semua Nabi yaitu naturalis, tidak percaya kepada Tuhan yang membuat undang-undang.31

Pemerintah Inggris merasa senang dengan usahanya itu, dan melihat bahwa cara tersebut yaitu yang paling baik untuk merusak hati kaum Muslimin. Mereka menghormati dan menjunjung Ahmad Khan dan membantu dia untuk mendirikan sekolah di Alighar dengan nama sekolah “Muhammadiyin”, sebagai perangkap untuk menghimpun pemuda-pemuda Mu’min dan dididik berdasarkan pemikiran Ahmad Khan.32

Sayyid Ahmad Khan yang kemudian dihujat dan dicap kafir oleh para ulama’ Makkah, dia tidak pribadi frustasi dalam memperjuangkan pendapatnya, bahkan dia tidak menggubrisnya. Sementara berdasarkan cendekiawan muda Muslim India, dia diagungkan lantaran mempunyai ide-ide yang cemerlang untuk membangkitkan umat Islam India dari keterpurukan.33

Jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan itu bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris.34

Atas usaha-usahanya dan atas perilaku setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris, Sayyid Ahmad Khan risikonya berhasil dalam merobah pandangan Inggris terhadap umat Islam India. Dan sementara itu anjuran supaya jangan mengambil perilaku melawan tetapi perilaku berteman dan erat dengan Inggris untuk menjalin hubungan baik antara orang Inggris dan umat Islam.

Diantara ide-ide yang cemerlang itu yaitu sebagai berikut :

a. Sayyid Ahmad Khan beropini bahwa peningkatan kedudukan umat Islam India, sanggup diwujudkan dengan hanya bekerjasama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan menentang kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal in justru akan membuat mereka tetap mundur dan risikonya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Atas usaha-usahanya dan atas perilaku setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris. Sayyid Ahmad Khan risikonya berhasil dalam merobah pandangan Ingris terhadap umat Islam India. Cita citanya untuk menjalani hubungan baik antara Inggris dan umat Islam, biar demikian umat Islam sanggup di tolong dari kemunduran.

b. Sayid Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mundur lantaran mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban gres di barat. Dasar peradaban gres ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern yaitu hasil pemikiran manusia. Akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kapada wahyu, ia beropini bahwa kekuatan kecerdikan terbatas. Sungguhpun mempunyai batas, tetapi percaya pada kebebasan dan kemerdekaan insan dalam menentukan kehendak.

c. Sejalan dengan ide-ide di atas, ia menolak faham Taklid bahkan tidak segan-segan menyerang faham ini. Sumber pedoman Islam berdasarkan pendapatnya hanyalah al- Qur’an dan hadis. Pendapat ulama’ di masa lampau tidak mengikat bagi umat Islam dan diantara pendapat mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu sanggup ditinggalkan. Masyarakat insan senantiasa mengalami perubahan dan oleh lantaran itu perlu diadakan ijtihad gres untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang berobah itu. 

d. Menurut Ahmad Khan yang menjadi dasar bagi sistem perkawinan dalam Islam, berdasarkan pendapatnya, yaitu sistem monogami, dan bukan sistem poligami sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’-ulama’ dizaman itu. Poligami yaitu pengecualian bagi sistem monogami itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum pemotongan tangan bagi pencuri bukan suatu aturan yang wajib dilaksanakan, tetapi hanya merupakan aturan maksimal yang dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Disamping aturan potong tangan terdapat aturan penjara bagi pencuri. Perbudakan yang disebut dalam al-Qur’an hanyalah terbatas pada hari-hari pertama dari usaha Islam. Sesudah jatuh dan menyerahnya kota Makkah, perbudakan tidak dibolehkan lagi dalam Islam. Tujuan bersama-sama dari do’a ialah mencicipi kehadiran Tuhan, dengan lain kata do’a diharapkan untuk urusan spiritual dan ketenteraman jiwa. Ahmad Khan menolak faham bahwa tujuan do’a yaitu meminta sesuatu dari Tuhan dan Tuhan mengabulkan seruan itu lantaran kebanyakan do’a tidak pernah dikabulkan Tuhan.

e. Dalam wangsit politik, Sayyid Ahmad Khan, beropini bahwa umat Islam merupakan satu umat yang tidak sanggup membentuk suatu negara dengan umat Hindu. Umat Islam harus mempunyai negara tersendiri,. Bersatu dengan umat Hindu dalam satu negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam secara umum dikuasai umat Hindu yang lebih tinggi kemajuannya.

Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada kecerdikan manusia, sama-sama menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada aturan alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh umat Islam pada umumnya diwaktu itu.35

5. Pemikiran Hukum Islam Syaikh Sayyid Sabiq

Syaikh Sayyid Sabiq dilahirkan tahun 1915 H di Mesir dan meninggal dunia tahun 2000 M. Ia merupakan salah seorang ulama al-Azhar yang menuntaskan kuliahnya di fakultas syari’ah. Kesibukannya dengan dunia fiqih melebihi apa yang pernah diperbuat para ulama al-Azhar yang lainnya. Ia mulai menekuni dunia tulis-menulis melalui beberapa majalah yang eksis waktu itu, mirip majalah mingguan al-Ikhwan al-Muslimun. Di majalah ini, ia menulis artikel ringkas mengenai Fiqih Thaharah. Dalam penyajiannya dia berpedoman pada buku-buku fiqih hadis yang menitikberatkan pada masalah aturan mirip kitab Subulussalam karya ash-Shan’ani, Syarah Bulughul Maram karya Ibn Hajar, Nailul Awthar karya asy-Syaukani dan lainnya.36

Syaikh Sayyid Sabiq mengambil metode yang membuang jauh-jauh fanatisme mazhab tetapi tidak menjelek-jelekkannya. Ia berpegang kepada dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’, mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk pembaca, menghindari istilah-istilah yang runyam, tidak memperlebar dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat biar mereka cinta agama dan menerimanya. Beliau juga antusias untuk menjelaskan pesan tersirat dari pembebanan syari’at (taklif) dengan meneladani al-Qur’an dalam menawarkan alasan hukum.37

Juz pertama dari kitab dia yang populer Fiqih Sunnah diterbitkan pada tahun 40-an di masa 20. Ia merupakan sebuah risalah dalam ukuran kecil dan hanya memuat fiqih thaharah. Pada mukaddimahnya diberi sambutan oleh Syaikh Imam Hasan al-Banna yang memuji manhaj (metode) Sayyid Sabiq dalam penulisan, cara penyajian yang anggun dan upayanya biar orang menyayangi bukunya. Setelah itu, Sayyid Sabiq terus menulis dan dalam waktu tertentu mengeluarkan juz yang sama ukurannya dengan yang pertama sebagai kelanjutan dari buku sebelumnya hingga risikonya berhasil diterbitkan 14 juz. Kemudian dijilid menjadi 3 juz besar. Belaiu terus mengarang bukunya itu hingga mencapai selama 20 tahun mirip yang dituturkan salah seorang muridnya, Syaikh Yusuf al-Qardhawi.38

Banyak ulama yang memuji buku karangan dia ini yang dinilai telah memenuhi hajat perpustakaan Islam akan fiqih sunnah yang dikaitkan dengan mazhab fiqih. Karena itu, secara umum dikuasai kalangan intelektual yang belum mempunyai komitmen pada mazhab tertentu atau fanatik terhadapnya begitu antusias untuk membacanya. Jadilah bukunya tersebut sebagai sumber yang memudahkan mereka untuk merujuknya setiap mengalami kebuntuan dalam beberapa permasalahan fikih.

Buku itu kini sudah tersebar di seluruh pelosok dunia Islam dan dicetak sebagian orang beberapa kali tanpa seizin pengarangnya. Tetapi, ada kalanya sebagian fanatisan mazhab mengkritik buku Fiqih Sunnah dan menilainya mengajak kepada ‘tidak bermazhab’ yang pada risikonya menjadi jembatan menuju ‘ketidak beragamaan’.39

Sebagian ulama menilai Sayyid Sabiq bukanlah termasuk penyeru kepada ‘tidak bermazhab’ sekali pun dia sendiri tidak berkomitmen pada mazhab tertentu. Alasannya, lantaran dia tidak pernah mencela mazhab-mazhab fiqih yang ada dan tidak mengingkari keberadaanya.

Sementara sebagian ulama yang lain, mengkritik buku tersebut dan menilai Syaikh Sayyid Sabiq sebagai orang yang terlalu bebas dan tidak menawarkan fiqih perbandingan sebagaimana mestinya di dalam mendiskusikan dalil-dalil naqli dan aqli serta melaksanakan perbandingan ilmiah di antaranya, kemudian menentukan mana yang lebih rajih (kuat) berdasarkan ilmu. Apa yang dinilai para penentangnya tersebut tidak pada tempatnya.40 

Sebenarnya buku yang dikarang Sayyid Sabiq itu harus dilihat dari sisi untuk siapa ia menulis buku itu. Beliau tidak menulisnya untuk kalangan para ulama tetapi untuk secara umum dikuasai kaum pelajar yang memerlukan buku yang gampang dan praktis, baik dari sisi format atau pun content (isi). Di antara ulama yang mengkritik buku tersebut yaitu seorang ulama hadis yang terkenal, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani yang kemudian menulis buku ‘Tamaamul Minnah Bitta’liq ‘ala Fiqhissunnah”. Kitab ini menyerupai takhrij bagi hadis-hadis yang terdapat di dalam buku fiqih sunnah.41

Syaikh Sayyid Sabiq merupakan sosok yang selalu mengajak biar umat bersatu dan merapatkan barisan. Beliau mengingatkan biar tidak berpecah belah yang sanggup mengakibatkan umat menjadi lemah. Beliau juga mengajak biar membentengi para pemudi dan perjaka Islam dari upaya-upaya musuh Allah dengan membiasakan mereka berinfak islami, mempunyai kepekaan, memahami segala permasalahan kehidupan serta memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini biar mereka terhindar dari perangkap musuh-musuh Islam.42

Sayyid Sabiq juga pernah mengingatkan bahwa Israel yaitu musuh turun-temurun umat ini yang selalu memusuhi kita secara berkesinambungan. Beliau pernah bertemu dengan salah seorang pengajar asal Palestina yang bercerita kepada beliau, “Suatu kali saya pernah melihat seorang Yahudi sangat serius duduk menghafal Kitabullah dan hadis-hadis Rasulullah. Lalu saya tanyakan kepadanya, ‘Kenapa kau melaksanakan ini.?’ Ia menjawab, ‘Agar kami sanggup membantah kalian dengan argumentasi. Kalian yaitu orang-orang yang reaktif dan sangat sensitif, lantaran itu kami ingin mengendalikan lewat sensitifitas kalian itu. Jika kami berdebat dengan kalian, kami akan menggunakan ayat-ayat dan hadis Nabi kalian. Kami juga akan menyebutkan sebagian permisalan dalam bahasa Arab yang mendukung permasalahan kami sehingga kalian bertekuk lutut terhadap seruan kami dan mempercayai kebenarannya.”43

6. Pemikiran Hukum Islam Najamuddin al-Thufi

Najamuddin al-Thufi yaitu seorang ulama fikih dan ushul fikih yang menganut mazhab Hanbali. Mempunyai nama lengkap Najamuddin Abi al-Rabi’ Sulaiman bin Abduh al-Qawi bin Abduh al-karim ibn Said al-Thufi al-Salsari al-baghdadi. Lahir pada tahun 670 H di kawasan Thufi yang merupakan wilayah Sarsar dan wafat pada tahun 716 H.44

Najamuddin al-Thufi digolongkan tokoh pemikir aturan Islam modern meskipun lahir sebelum masa modern. Hal ini dikarenakan al-Thufi mempunyai corak pemikiran rasional yang menjadi cirri pemikiran modern. Al-Thufi juga melahirkan pemikiran lebih maju daripada tokoh pemikir aturan Islam di zamannya. Hal inilah yang menjadi lantaran al-Thufi digolongkan tokoh pemikir aturan Islam modern.

Al-Thufi mengawali pendidikan di kota kelahirannya dengan berguru pada beberapa ulama. Di bidang fikih, al-Thufi menguasai kitab al-Mukhtasar al-Kharqi dan di bidang bahasa Arab, al-Thufi menguasai kitab al-Luma’ karangan Ibn Jinny. Al-Thufi juga berguru fikih pada Syaikh Zainuddin Ali bin Muhammad Sarsary, seorang fakih mazhab Hanbali. Pada tahun 691 H, al-Thufi ke Baghdad menghafal kitab al-Muharram fi al-Fiqh pada Syaikh Taqiyuddin al-Zarirany. Belajar bahasa Arab pada Abi Abdillah bin Muhammad al-Mausuly. Belajar ushul fikih pada Nasr al-Faruqy serta berguru hadis pada Rasyid Abi Qasim, Ismail bin al-Tabbal, Abd al-Rahman bin Sulaiman al-Harrany dan Abi Bakar al-Qalanisy. Kebanyakan guru al-Thufi bermazhab Hanbali, sehingga tidak mengherankan jikalau al-Thufi juga seorang pemganut mazhab Hanbali. Pada tahun 704 H, al-Thufi ke Damaskus berguru hadis pada Taqiyuddin al-Maqdisy, tahun 705 H ke Mesir berguru hadis pada Syarifuddin al-Dimyaty dan mempelajari kitab al-Kitab karya Sikawaih pada Abi Hayyan al-Nahury. Al-Thufi termasuk orang yang cerdas serta mempunyai hafalan yang kuat bahkan al-Thufi mempelajari kitab dengan otodidak.45

Berbekal ilmu yang dikuasainya, al-Thufi berupaya menyebarkan pemikiran dan mengajak para ulama di zamannya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadis secara pribadi dalam mencari kebenaran tanpa terikat pada pendapat orang lain atau mazhab fikih manapun. Di antara pemikiran al-Thufi, wacana maslahah (keselamatan). Menurut al-Thufi, inti dari seluruh pedoman Islam yang termuat dalam nas yaitu maslahah bagi umat manusia, karenya seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan proteksi nas. Maslahah merupakan dalil yang paling kuat secara berdikari dan sanggup dijadikan alasan dalam menetukan aturan syara’.46

Pandangan al-Thufi tersebut sangat bertentangan dengan faham yang dianut secara umum dikuasai ulama ushul fikih di zamannya. Menurut para ulama ushul fikih, bagaimanapun bentuknya, maslahah harus mendapat proteksi dari syara’. Pandangan inilaj yang mengakibatkan al-Thufi terasing dari para ulama ushul fikih di zamannya. Akan tetapi, banyak dikaji dan dianalisis para ulama sesudahnya.47

Adapun kunci perbedaan pemikiran al-Thufi dengan ulama lain yaitu penempatan pendapat kecerdikan yang lebih tinggi daripada wahyu atau hadis. Bagi al-Thufi dasar syariat Islam yaitu kemaslahatan, sedangkan kemaslahatan itu sanggup dicapai melalui akal, maka dalam menentukan sesuatu maslahat atau mafsadat tidak diperuntukkan wahyu atau hadis tetapi cukup daypikir akal.48

Pendapat al-Thufi ini banyak menimbulkan kecaman dari para ulama sezaman dan sesudahanya, banyak pula yang memuji keberaniannya. Dalam perkembangan pemikiran aturan di zaman modern cukup banyak pemikir aturan Islam yang menghargai pendapat dan ketegasan al-Thufi yang menyatakan bahwa seseorang harus berani memunculkan dan menyebarkan pendapatnya sendiri tanpa harus terikat dengan pendapat orang lain. Prinsip al-Thufi wacana kebebasan kecerdikan dalam menentukan aturan terhadap persoalan-persoalan yang bersifat muamalah duniawi dan adat kebiasaan di zaman modern mendapat proteksi yang cukup luas, khususnya bagi pembaharu aturan Islam di banyak sekali belahan dunia Islam.49

7. Pemikiran Hukum Islam Al-Syathibi

Mempunyai nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Gharnaty dan lebih dikenal dengan sebutan al-Syathiby. Al-Syathiby yaitu pemikir aturan Islam bermazhab Maliki. Belum diketahui secara pasti tanggal kelahiran al-Syathiby namun pada umumnya mereka menyakini bahwa al-Shathiby wafat pada tahun 790 H/1388 M.50

Walaupun pemikiran al-Syathiby agak mirip dengan al-Thufi (menggunakan rasio) tetapi perbedaan keduanya terletak pada penempatan akal. Bagi al-Thufi, kecerdikan segala-galanya sedangkan al-Syathiby kecerdikan tetap harus mengikut nas. Pemikiran al-Syathiby cenderung sama dengan pemikiran jumhur. Konsep dasar al-Syathiby menemukan turuq dan menemani maqasid Syar’ah. Konsep besar al-Syathiby pada i’tibaru ma’alat memperkenalkan zadu zari’ah (memblok susukan kemafasdatan), fathu zari’ah (membuka jalan kemaslahatan), maqasid mukallaf (maksud seseorang). Munculnya al-Syathiby pada masa ke 8 H yang menambahkan teori maqashid asy-syari’ah yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks. Di sinilah al-Syathiby merobah dari rasionalisme deduktif menjadi rasionalisme induktif (Istiqra’). Jika Ibn Khaldul dianggap besar lantaran karyanya Muqaddimah, maka al-Syathiby dianggap besar lantaran karyanya, al-Muwafaqat.51

BAB III
KESIMPULAN

1. Konsep dasar pemikiran aturan Islam modern mengedepankan modernitas yang realistis sesuai kebutuhan dan tuntutan duduk kasus yang diharapkan bisa menjawab segala duduk kasus dari segala aspek.

2. Pemikiran aturan Islam terus mengalami perkembangan seiring dengan duduk kasus yang makin kompleks. Pemikiran ulama terdahulu dianggap sudah relevan dalam menyahuti segala persoalan. Merubah paradigma taklid buta dengan rasionalitas.

3. Mayoritas ulama mendukung akan perkembangan pemikiran aturan Islam tetapi berbeda dalam penerapan sistem. Para ulama setuju mengedepankan rasional tanpa harus meninggalkan nas. Hal ini dilakukan biar maqasid Tuhan tetap terjaga.

4. Tokoh-tokoh pembaharuan aturan Islam, yaitu:

a. Jamaluddin al-Afghani
b. Muhammad Abduh
c. Rasyid Ridha
d. Ahmad Khan
e. Sayyid Sabiq
f. Najamuddin al-Thufi dan
g. al-Syathiby.

Tokoh-tokoh pembaharuan aturan Islam tersebut meninggalkan karya dan pemikiran yang luar biasa untuk selanjutnya diteruskan oleh generasi muslim dalam mereformasi aturan Islam setia zaman biar tetap menjaga keaslian aturan Islam dan menjadikan Islam tetap menjadi agama di kalangan umat Islam yang mulai meninggalkan dan meminggirkan aturan serta menjadikan Islam bukan lagi agama tetapi budaya.


DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3. Cet. I; Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Donohue, John J. dan John L. Esposito. Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah. Cet. IV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Harun, Nasroen. Ushul Fiqih I. Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996.
Muallim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Mustafa dan Abdul wahid. Hukum Islam Kontemporer. Cet. I; Jakarta: sinar Grafika, 2009.
Nasution, Harun. Pembaharuann dalam islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990.
Qardhawy, Yusuf. Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taklid Versus Ijtihad, terj. Husein Muhammad. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Soleh, A. khudori. (ed) Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003
Al-Thufi, Najamuddin Abu al-Arabi Sulaiman bin Abd al-Karim bin Said. Syarh Mukhtasar al-Rauddah, Juz 3. Muassasah al-Risalah, t.th.
Uways, Abdul Halim. Fiqih Statis Dinamis. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

1 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.12. 
2 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Pres, 1999), h. 23. 
3 Nasroen Harun, Ushul Fiqih I (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), h. 34. 
4 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. II; Jakarta:PT Bulan Bintang, 1990), h. 42. 
5 Ibid., h.46. 
6 Abdul Halim Uways, Fiqih Statis Dinamis (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 14 . 
7 John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah (Cet. IV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), h. 319. 
8 Ibid., h. 321. 
9 Ibid., h. 324. 
10 Husein Muhammad, Dasar Pemikiran Hukum Islam: Taqlid Versus Ijtihad (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 120. 
11 Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 76-77. 
12 Ibid. 
13 Ibid., h. 78. 
14 Ibid. 
15 www.biografitokoh.com 
16 - 43 Ibid. 
44 Najamuddin Abu al-Arabi Sulaiman bin Abd al-Karim bin Said al-Thufi, Syarh Mukhtasar al-raud{ah, Juz 3 (Muassasah ar-Risalah, t.th), h.21. 
45 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3 (Cet. I; Jakarta: Ikhtiar gres Van Hoeve, 1996), h. 1836. 
46 Nasroen Harun, op. cit., h. 138. 
47-49 Ibid. 
50 Biografi Imam Syathibi.htm. 
51 Ibid.

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: