Pendidik dan Mendidik Kesalehan Menurut al-Qur'an
Pertama, lantaran mendidik ialah salah satu profesi Allah swt. selain sebagai pencipta dan pemilik segalanya, ternyata Allah juga mempunyai nama Robbun. Kata robbun berasal dari kata rabba-yurobbi-tarbiyatan. Artinya mengatur dan juga mendidik. Sehingga robbun yang kita sebut, mempunyai makna yang bersahabat kaitannya dengan mendidik atau pendidikan.
Pengertian ini memperlihatkan bahwa Allah ialah Zat tunggal yang mendidik seluruh alam. Untuk itu, kata robbul alamin, selain bermaksud sebagai ilahi seluruh alam, juga pengatur dan pendidik dari semua alam. Manusia sebagai khalifah Allah juga mempunyai kiprah robbun itu, mendidik semoga segala sesuatunya sanggup teratur sesuai kemashlahatan yang diinginkan Allah swt.
Kedua, beruntungnya pendidik, selain lantaran itu ialah profesi Allah, ternyata juga profesi Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:
Kedua, beruntungnya pendidik, selain lantaran itu ialah profesi Allah, ternyata juga profesi Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:
قَالَ : خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ مِنْ بَعْضِ حُجَرِهِ ، فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا هُوَ بِحَلْقَتَيْنِ ، إِحْدَاهُمَا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ ، وَيَدْعُونَ اللَّهَ ، وَالأُخْرَى يَتَعَلَّمُونَ وَيُعَلِّمُونَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : كُلٌّ عَلَى خَيْرٍ ، هَؤُلاَءِ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ ، وَيَدْعُونَ اللَّهَ ، فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ ، وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ ، وَهَؤُلاَءِ يَتَعَلَّمُونَ وَيُعَلِّمُونَ ، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا , فَجَلَسَ مَعَهُمْ.
Hadis ini memperlihatkan betapa mulianya orang-orang yang berprofesi sebagai pendidik di mata Rasulullah. Sehingga sebagaimana yang tertera dalam hadis, Rasulullah justru menentukan bersama majelis ilmu. Sebab rahmatan lil alaminnya Rasul lantaran dia ialah utusan yang memperbaiki akhlak, dan itu ialah kiprah dari seorang pendidik.
![]() |
Prosesi Belajar / Ibtimes.co.uk |
Ketiga, dua profesi yang dijalankan Allah dan Rasul tentunya menempatkan profesi pendidik ini sebagai profesi yang diganjar pahala yang sangat banyak. Bahkan tidak berlebihkan kalau pendidik ialah orang-orang yang paling kaya dunia dan akhirat. Sebab dengan ilmu yang mereka punya, maka mereka punya investasi amal yang akan terus mengalirkan pahala meskipun mereka telah meninggal. Dikatakan dalam sebuah hadis.
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Berdasarkan hadis ini, maka pendidik, selain menyebabkan ilmunya sebagai amal jariyah juga menawarkan laba kepada orang bau tanah anak didik alasannya ialah telah menyebabkan anak tersebut sebagai amal jariyah, kalau anak tersebut berhasil dididik menjadi anak shaleh.
Teristimewa buat ilmu ini, bahwa setiap ilmu yang diamalkan, maka setiap itu pula orang yang mengajarkan ilmu tersebut akan mendapatkan pahala:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Semua ini memperlihatkan betapa beruntungnya ibu-ibu sebagai para pendidik, orang-orang yang pada hakikatnya ialah orang yang terkaya di dunia ini, dikarenakan telah mengambil profesi yang juga dijalankan oleh Allah dan Rasulullah.
Baca Juga: Dasar dan Tujuan Pendidikan dalam Islam
Apa yang harus dididikkan
Berdasarkan hadis ini, diketahui bahwa semua anak, awal lahirnya terlahir dengan fitrah keislamannya, atau penghambaannya kepada Allah sebagaimana komitmen kita dikala di alam sebelum alam rahim. Namun dikala terlahir itulah, orang bau tanah dan para pendidik lah yang mengarahkan mereka kepada keislaman, atau malah nasrani, yahudi dan majusi.
Lalu nilai apa yang menjadi tolak ukur pendidik berhasil mendidik dan mengarahkan kepada menjadi hamba Allah yang baik. Nilai itu ialah nilai kesalehan, sesuai doa nabi Ibrahim:
Dalam ayat ini, sangat jelas, nabi Ibrahim meminta keturunan, tidak dari kalangan berduit, tidak dari seseorang yang akan menjadi raja, tetapi menjadi orang-orang yang shaleh.
Kenapa Peserta Didik Harus Shaleh ?
Tentu pertanyaan mendasar, kenapa bukan meminta anak yang akan menjadi kaya? Yang akan menjadi raja, atau anak akil dan penguasa? Salah satu alasan mendasarnya ialah lantaran Allah tidak pernah menjamin orang kaya, tidak pula raja, tidak pula penguasa, tetapi justru Allah menjamin orang-orang shaleh. Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
Ayat ini dengan terang menyatakan bagaimana Allah menetapkan dirinya sebagai wali bagi orang-orang yang shaleh, yang akan menjamin mereka. Terkait hal ini, terdapat sebuah dongeng yang cukup menarik, bahwa suatu dikala khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz menginfakkan hampir seluruh hartanya. Melihat hal itu, penasehat Umar mengatakan, alangkah baiknya kalau ada harta yang kamu sisakan buat anak-anakmu wahai khalifah. Mendengar itu, Umar pribadi menjawab, “wahai penasehatku, belum dewasa ku ke depannya hanya akan menjadi dua, klo tidak shalih, maka akan menjadi mujrim. Kalo mereka ternyata menjadi orang-orang mujrim, maka sebanyak apapun harta yang saya wariskan, tidak akan ada gunanya, alasannya ialah Allah dengan terang menyatakan:
Tetapi kalau belum dewasa saya ke depannya shaleh, maka Allah sendiri yang akan menjaminnya.
Penjaminan Allah yang niscaya terhadap orang-orang shaleh ialah surga. Allah swt berfirman:
Dalam beberapa tafsir, dikatakan bahwa kata al-ardh di situ memperlihatkan nirwana yang disediakan Allah. Dengan begitu makna yang juga sanggup ditangkap ialah penduduk nirwana salah satu syaratnya ialah mempunyai sifat shaleh.
Untuk itu, harusnya kita sadar bahwa semua muslim yang setidaknya shalat juga meminta kepada Allah keshalehan ini.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak shaleh, sekaya apapun, menyerupai qorun, secerdas apapun menyerupai haman, seberkuasa apapun menyerupai fir’aun tetap akan hancur dan binasa.
Lalu Apa Makna keshalehan?
Maka teladan yang niscaya wacana bagaimana itu shaleh ialah melihat para Nabi. Kita ambil salah satu contonhya saja ialah nabi Ismail dikatakan:
Pertama, shadiqal wa’di wa kana rasulan nabiya: orang yang shaleh itu ternyata ialah orang yang menegakkan kebenaran dengan nilai kejujuran. Di dunia luar, salah satu nilai yang paling mahal ialah nilai kejujuran ini. Tidak hanya kejujuran perkataan tapi ketersesuaian antara pengecap hati dan laris perbuatan. Kejujuran atas keimanan, juga atas nilai-nilai ilahiyah yang dipedomani. Hingga dalam satu kalimat hikmah di katakan, kedamaian itu Cuma butuh satu nilai, yaitu nilai kejujuran. Rasulan dan nabiya: orang yang peduli dan mengindahkan pedoman agama, ajaran-ajaran kebaikan, alasannya ialah di dunia ini sudah banyak orang yang tau kebaikan tapi peduli terhadap kebaikan itu masih jarang.
Kedua ya’muru ahlahu bi as-shalah: orang shaleh ialah orang yang menegakkan ibadah kepada Allah juga menjadi teladan semoga sanggup menyuruh orang-orang untuk juga menegakkan shalat,
Pertama, ternyata yang kita ajarakan kepada anak didik kita ialah wacana agama ini. Nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam agama. sebagaimana Nabi yahya diajarkan kitab dan hikmah sejak kecil. Artinya pribadinya yang diajarkan terlebih dahulu.
Mengajarkan wacana rumus-rumus intinya ialah kasus mudah. Tapi menanamkan prinsip-prinsip agama di mana dengan itu, mereka akan melalui kehidupan itulah yang susah
Yang kedua, ialah pengajarannya dengan kasih sayang. Anak-anak harus diliputi kasih sayang, dihentikan diajarkan secara bengis. Sebab dengan kasih sayang tersebut mereka sanggup menyerap segala pengajaran tidak dengan jiwa yang tertekan. Bukan berarti anak tersebut dimanja. Kasih sayang tersebut juga dibarengi dengan sifat tegas, sabar dan mau mengayomi anak tersebut tujuannya semoga menjadi orang yang bertaqwa.
Ketiga Dididik untuk patuh terhadap orang tua. Kepatuhan ini mencakup kepatuhan menghargai, menaati membenarkan secara baik kalau orang bau tanah dalam kesalahan dan peduli. Hal ini diajarkan lantaran dikala anak sudah sanggup berbakti kpada orang tua, maka anak tersebut akan gampang menghargai orang lain. menghormati yang lebih bau tanah dan mencintai yang lebih muda.
Keempat mendidik semoga jangan sekali-kali menjadi anak yang sombong dan durhaka. Sebab kesombongan ialah dosa tertua manusia, sifat sombong, ialah sifat yang sanggup menutupi hati dari mendapatkan kebenaran. Dengan sombong tersebut anak gampang ingkar alasannya ialah hatinya telah bebal.
Jika ke empat poin ini dilakukan dengan penuh sungguh-sungguh, bersabar serta berharap penuh kepada Allah, maka pendidik tentunya akan melahirkan Yahya-Yahya di zaman sekarang, seorang anak yang dijamin oleh Allah selamat di waktu ia lahir dan di waktu ia telah kembali kepada Allah.
Baca Juga: Dasar dan Tujuan Pendidikan dalam Islam
Apa yang harus dididikkan
Pentingnya posisi pendidik sehingga, seorang pendidik pada kenyataannya telah menempatkan diri mereka pada dua keadaan, keadaan mulia dan keadaan riskan. Sebab para pendidik telah diberikan amanah Allah untuk mendidik generasi-generasi hamba Allah yang dikala itu masih menjadi “bahan mentah”, belum diisi apa-apa. Yaitu masih dalam keadaan fitrah.
Mereka mempunyai kiprah orang bau tanah untuk mengarahkan belum dewasa tersebut. sehingga kemuliaan pendidik ditentukan dari seberapa berhasil mereka mengarahkan anak didik tersebut kepada fitrah keislamannya; dikala itu mereka menjadi orang yang mulia. Tapi dikala anak didik tersebut justru menjauh dari fitrah keislamannya, maka di sinilah titik riskan seorang pengajar. Rasulullah telah menawarkan informasi:
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه
Berdasarkan hadis ini, diketahui bahwa semua anak, awal lahirnya terlahir dengan fitrah keislamannya, atau penghambaannya kepada Allah sebagaimana komitmen kita dikala di alam sebelum alam rahim. Namun dikala terlahir itulah, orang bau tanah dan para pendidik lah yang mengarahkan mereka kepada keislaman, atau malah nasrani, yahudi dan majusi.
Lalu nilai apa yang menjadi tolak ukur pendidik berhasil mendidik dan mengarahkan kepada menjadi hamba Allah yang baik. Nilai itu ialah nilai kesalehan, sesuai doa nabi Ibrahim:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Dalam ayat ini, sangat jelas, nabi Ibrahim meminta keturunan, tidak dari kalangan berduit, tidak dari seseorang yang akan menjadi raja, tetapi menjadi orang-orang yang shaleh.
Kenapa Peserta Didik Harus Shaleh ?
Tentu pertanyaan mendasar, kenapa bukan meminta anak yang akan menjadi kaya? Yang akan menjadi raja, atau anak akil dan penguasa? Salah satu alasan mendasarnya ialah lantaran Allah tidak pernah menjamin orang kaya, tidak pula raja, tidak pula penguasa, tetapi justru Allah menjamin orang-orang shaleh. Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Ayat ini dengan terang menyatakan bagaimana Allah menetapkan dirinya sebagai wali bagi orang-orang yang shaleh, yang akan menjamin mereka. Terkait hal ini, terdapat sebuah dongeng yang cukup menarik, bahwa suatu dikala khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz menginfakkan hampir seluruh hartanya. Melihat hal itu, penasehat Umar mengatakan, alangkah baiknya kalau ada harta yang kamu sisakan buat anak-anakmu wahai khalifah. Mendengar itu, Umar pribadi menjawab, “wahai penasehatku, belum dewasa ku ke depannya hanya akan menjadi dua, klo tidak shalih, maka akan menjadi mujrim. Kalo mereka ternyata menjadi orang-orang mujrim, maka sebanyak apapun harta yang saya wariskan, tidak akan ada gunanya, alasannya ialah Allah dengan terang menyatakan:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ
Tetapi kalau belum dewasa saya ke depannya shaleh, maka Allah sendiri yang akan menjaminnya.
Penjaminan Allah yang niscaya terhadap orang-orang shaleh ialah surga. Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Dalam beberapa tafsir, dikatakan bahwa kata al-ardh di situ memperlihatkan nirwana yang disediakan Allah. Dengan begitu makna yang juga sanggup ditangkap ialah penduduk nirwana salah satu syaratnya ialah mempunyai sifat shaleh.
Untuk itu, harusnya kita sadar bahwa semua muslim yang setidaknya shalat juga meminta kepada Allah keshalehan ini.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak shaleh, sekaya apapun, menyerupai qorun, secerdas apapun menyerupai haman, seberkuasa apapun menyerupai fir’aun tetap akan hancur dan binasa.
Lalu Apa Makna keshalehan?
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (84) وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ (85) وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ
Maka teladan yang niscaya wacana bagaimana itu shaleh ialah melihat para Nabi. Kita ambil salah satu contonhya saja ialah nabi Ismail dikatakan:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا (54) وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
Pertama, shadiqal wa’di wa kana rasulan nabiya: orang yang shaleh itu ternyata ialah orang yang menegakkan kebenaran dengan nilai kejujuran. Di dunia luar, salah satu nilai yang paling mahal ialah nilai kejujuran ini. Tidak hanya kejujuran perkataan tapi ketersesuaian antara pengecap hati dan laris perbuatan. Kejujuran atas keimanan, juga atas nilai-nilai ilahiyah yang dipedomani. Hingga dalam satu kalimat hikmah di katakan, kedamaian itu Cuma butuh satu nilai, yaitu nilai kejujuran. Rasulan dan nabiya: orang yang peduli dan mengindahkan pedoman agama, ajaran-ajaran kebaikan, alasannya ialah di dunia ini sudah banyak orang yang tau kebaikan tapi peduli terhadap kebaikan itu masih jarang.
Kedua ya’muru ahlahu bi as-shalah: orang shaleh ialah orang yang menegakkan ibadah kepada Allah juga menjadi teladan semoga sanggup menyuruh orang-orang untuk juga menegakkan shalat,
Ketiga, kana inda rabihi mardhiyyah. Orang-orang yang diridhai Allah lantaran hidupnya selalu berada di koridor isilam, wa radhitu lakum al-Islama dina
Baca Juga: Potret Pendidikan Rasulullah sampai Masa Dinasti Abbasiyah
Cara Menanamkan Kesalehan pada Peserta Didik
Dengan begitu maka sudah menjadi misi utama seorang pendidik untuk menanamkan kashalehan pada orang yang dididik. Cara menanamkan tersebut, sanggup didapatkan dari teladan remaja, yang di dalam al-Qur’an sendiri telah berhasil mendapatkan derajat shaleh, menyerupai nabi Yahya. Di dalam al-Qur’an difirmankan
Baca Juga: Potret Pendidikan Rasulullah sampai Masa Dinasti Abbasiyah
Cara Menanamkan Kesalehan pada Peserta Didik
Dengan begitu maka sudah menjadi misi utama seorang pendidik untuk menanamkan kashalehan pada orang yang dididik. Cara menanamkan tersebut, sanggup didapatkan dari teladan remaja, yang di dalam al-Qur’an sendiri telah berhasil mendapatkan derajat shaleh, menyerupai nabi Yahya. Di dalam al-Qur’an difirmankan
خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا
Pertama, ternyata yang kita ajarakan kepada anak didik kita ialah wacana agama ini. Nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam agama. sebagaimana Nabi yahya diajarkan kitab dan hikmah sejak kecil. Artinya pribadinya yang diajarkan terlebih dahulu.
Mengajarkan wacana rumus-rumus intinya ialah kasus mudah. Tapi menanamkan prinsip-prinsip agama di mana dengan itu, mereka akan melalui kehidupan itulah yang susah
وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا
Yang kedua, ialah pengajarannya dengan kasih sayang. Anak-anak harus diliputi kasih sayang, dihentikan diajarkan secara bengis. Sebab dengan kasih sayang tersebut mereka sanggup menyerap segala pengajaran tidak dengan jiwa yang tertekan. Bukan berarti anak tersebut dimanja. Kasih sayang tersebut juga dibarengi dengan sifat tegas, sabar dan mau mengayomi anak tersebut tujuannya semoga menjadi orang yang bertaqwa.
وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ
Ketiga Dididik untuk patuh terhadap orang tua. Kepatuhan ini mencakup kepatuhan menghargai, menaati membenarkan secara baik kalau orang bau tanah dalam kesalahan dan peduli. Hal ini diajarkan lantaran dikala anak sudah sanggup berbakti kpada orang tua, maka anak tersebut akan gampang menghargai orang lain. menghormati yang lebih bau tanah dan mencintai yang lebih muda.
لَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
Keempat mendidik semoga jangan sekali-kali menjadi anak yang sombong dan durhaka. Sebab kesombongan ialah dosa tertua manusia, sifat sombong, ialah sifat yang sanggup menutupi hati dari mendapatkan kebenaran. Dengan sombong tersebut anak gampang ingkar alasannya ialah hatinya telah bebal.
Jika ke empat poin ini dilakukan dengan penuh sungguh-sungguh, bersabar serta berharap penuh kepada Allah, maka pendidik tentunya akan melahirkan Yahya-Yahya di zaman sekarang, seorang anak yang dijamin oleh Allah selamat di waktu ia lahir dan di waktu ia telah kembali kepada Allah.
سَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
Buat lebih berguna, kongsi: