Perkembangan Aturan Islam Era Dinasti Abbasiyah

Pada masa Dinasti Abbasiyah sangat tampak efek kebudayaan Persia (Iran) dan terutama pada masa al-Ma’mun (170-218 H-785-833 M) alasannya yaitu jabatan kementerian kebanyakan dari orang-oang Persia dan pemindahan ibukota dari Syam (Damaskus, Syiriah) ke Baghdad. Serta kemajuan yang pesat di bidang peradaban dan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah dengan perpaduan tiga peradaban, yaitu peradaban Arab, Yunani dan Persia serta adanya pendekatan antara umara dan ulama. Pada masa al-Ma’mun pernah berdiri suatu forum ilmu pengetahuan atau perpustakaan yang dinamakan Bait al-Hikmah yang menghimpun banyak sekali macam kitab dalam banyak sekali bahasa.[1]

Pada periode Bani Abbasiyah ini, lahirlah imam-imam mujtahid dari golongan ahl al-hadis dan ahl al-ra’y yang masing-masing mempunyai pengikut dan fatwa-fatwa mereka dibukukan. Di antara yang timbul dalam periode ini yaitu Imam yang empat, yang terus menerus hingga masa sekarang mazhab-mazhabnya menerima sambutan ramai dan dianut orang dengan kokoh.

Pada periode inilah, dibentuk aturan-aturan ijtihad, ushul fikih disusun dan barulah hasil ijtihad itu menjadi sangat aktual alasannya yaitu dalam periode ini fikih dibukukan. Periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas aturan dan menciptakan macam-macam kasus yang direka-reka dan muncul banyak sekali mazhab dan berjangkitnya perselisihan yang hebat dan luas. Terdapat pula munculnya golongan yang dinamai ahl al-zahir, yakni golongan yang berpegang pada lahir nas semata-mata tidak mau menggunakan takwil dan tidak suka menggunakan kias selain dari kias yang jali. Golongan ini diketuai oleh Daud bin Ali serta puteranya.[2] 

 Pada masa Dinasti Abbasiyah sangat tampak efek kebudayaan Persia  Perkembangan Hukum Islam Masa Dinasti Abbasiyah


Adanya inisiatif secara formal untuk membukukan pengetahuan yang berupa hadis-hadis dari Nabi saw. maupun penerapannya yang berupa fatwa dan keputusan-keputusan hakim menambah khazanah aturan Islam.[3] Ada beberapa fase perkembangan aturan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Adapun fase tersebut sebagai berikut:

Fase Awal Mula Perkembangan Hukum Islam

Perluasan wilayah pada masa Abbasiyah mengakibatkan munculnya masalah-masalah gres yang belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat Islampun makin banyak dan kompleks. Keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan aturan masalah-masalah tersebut. Hasil ijtihad mereka lalu dibukukan dalam kitab-kitab fikih (hukum). Karena itu, masa Abbasiyah merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fikih, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode Abbasiyah merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam banyak sekali penulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadis dan fikih (hukum Islam) dari banyak sekali mazhab.[4]

Perkembangan aturan Islam pada periode Abbasiyah belum pernah tercatat dalam sejarah sebelumnya. Kekayaan sarwah fiqhiyah memperlihatkan kedalaman dan orisinalitas yang mengagumkan. Saat itu, fikih menjadi disiplin ilmu tersendiri. Penulisan ushul fikih (kaidah-kaidah fiqhiyah) dan perumusan metodologi serta kaidah-kaidah ijtihad yang digunakan oleh para mujtahidin dan fukaha dalam menyimpulkan hukum-hukum dari sumber fikih mulai dirintis.
Periode Abbasiyah tercatat dalam sejarah sebagai suatu fase keadaan fikih tidak sekedar berputar di sekitar masalah-masalah pengambilan aturan atau fatwa-fatwa fukaha sahabat, menyerupai yang menjadi concern fukaha sebelumnya, tetapi merambah ke dalam persoalan-persoalan metodologis dan kemungkinan pencarian rumusan alternatif bagi pengembangan kajian fikih.

Ada beberapa faktor yang mempunyai andil dalam mengantarkan fikih menuju era keemasan. Faktor-faktor itu di antaranya:

a. Adanya perhatian para khalifah Bani Abbasiyah terhadap fikih dan para fukahanya. Berbeda dengan khalifah Bani Umayah yang memasung para fukaha, membatasi gerak mereka yang berani menantang kebijakan pemerintah. Khalifah Bani Abbasiyah mendekati para fukaha dan meletakkan mereka pada posisi yang terhormat. Perhatian yang besar, sanggup dilihat ketika Khalifah Harun al-Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwattha’ kepada kedua putranya, al-Amin dan al-Makmun.

b. Kebebasan berpendapat. Perhatian khalifah Bani Abbasiyah yang besar terhadap fikih dan fukaha juga tergambar dalam kebebasan beropini dan banyak sekali stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian berijtihad. Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak ikut campur dalam urusan fikih, contohnya dengan meletakkan peraturan yang mengikat kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi mazhab tertentu yang mengikat para hakim, mufti atau jago fikih mempunyai kebebasan untuk memilih aturan sesuai dengan metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad yang mereka gunakan.

c. Banyaknya fatwa pada periode Abbasiyah. 

d. Kodifikasi ilmu. 

e. Tersebarnya perdebatan dan tukar pikiran di antara para fukaha.[5] 

Pada permulaan masa Abbasiyah, mulailah timbul munazarah (pertukaran fikiran) dan perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah gres dalam menetapkan aturan bagi pemuka-pemuka tasyrik itu. Terjadinya perselisihan paham di masa sobat itu yaitu alasannya yaitu perbedaan paham di antara mereka dan perbedaan nas yang hingga kepada mereka, alasannya yaitu pengetahuan mereka dalam soal hadis tidak sama dan alasannya yaitu perbedaan pandangan perihal maslahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, di samping alasannya yaitu berlainan tempat.

Pembukuan Hukum Islam Masa Abbasiyah

Gagasan penulisan hukum-hukum fiqhiyah bahwasanya sudah muncul pada simpulan pemerintahan Bani Umayah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa di antara guru mereka alasannya yaitu khawatir lupa atau hilang. Sejak ketika itu, inisiatif untuk menulis hukum-hukum syariah terus berkembang. Beberapa fukaha Madinah mulai mengumpulkan fatwa-fatwa sobat dan tabi’in menyerupai Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana terlihat dalam kitab Muwattha’, karya monumental Imam Malik.[6]

Pembentukan Mazhab-mazhab Fikih Masa Abbasiyah

Banyak para mujtahid jago sunah yang menjelaskan dan mengkhususkan perhatiannya kepada kasus fikih. Para mujtahid mencurahkan hampir seluruh hidup dan kehidupannya untuk mendalami ilmu fikih, baik itu untuk istinbat ilmu fikih, maupun dalam mengerjakannya.

Tiap-tiap mujtahid senantiasa dikelilingi oleh para siswa yang ingin mempelajari ilmu fikih, ataupun ingin mengajukan duduk masalah yang mereka hadapi. Para jago fikih tersebut telah banyak mewariskan kumpulan-kumpulan hasil ijtihad mereka, baik yang tertulis dalam buku-buku fikih maupun yang berupa amanat yang senantiasa dipegang teguh oleh para siswa mereka. Kumpulan hasil ijtihad tersebut lalu dikenal dengan aliran-aliran fikih.[7]

Fase Kemunduran Pemikiran Hukum Islam Bani Abbasiyah

Kebanyakan mazhab pada masa dinasti Abbasiyah menyisahkan lembaran-lembaran kitab, sedangkan pengikutnya telah hilang. Sementara mazhab lainnya masih berkembang hingga ketika ini. Ada 8 mazhab, masing-masing dari Sunni, Syi’ah dan Khawarij yang demokrat yang masih ada pengikutnya hingga sekarang kecuali mazhab zahiri yang pengikutnya telah punah.[8]

Masa Abbasiyah sanggup dikatakan sebagai masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad VII-X Masehi).[9] Namun sehabis imam empat dan lain-lainnya meninggal, mulailah derajat ijtihad berangsur-angsur turun dan tidak lagi mengalami perkembangan. Sejak era ke-IV hijriyah atau masa kelesuan pemikiran, yaitu era X-XIX M., ruh taklidpun berangsur-angsur memengaruhi jiwa-jiwa ulama Islam.[10]

Kelesuan pemikiran yang terjadi alasannya yaitu adanya tanda-tanda taklid dan ittiba’ serta tidak ada lagi penggalian aturan Islam dari sumber aslinya dan hanya sekedar mengikuti pendapat dari mazhab masing-masing. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran hukumnya berhenti. 

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan kelesuan pemikiran, di antaranya:

a. Kesatuan wilayah Islam yang luas telah retak dan munculnya negara-negara gres yang membawa ketidakstabilan politik serta kuat pada aktivitas pemikiran hukum.

b. Rusaknya kesatuan pemerintahan yang menyebebkan merosotnya pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.

c. Timbulnya tanda-tanda kelesuan berpikir di mana-mana.[11]

Namun masa kelesuan pemikiranpun mulai redup dan timbulnya kembali masa kebangkitan sebagai reaksi dari perilaku taklid sehingga muncullah gerakan-gerakan gres untuk tetap melaksanakan ijtihad untuk menampung dan mengatasi duduk masalah dan perkembangan sosial.

Catatan kaki

[1]Muhammad Dja’far, Pengantar Ilmu Fiqhi, Suatu Pengantar perihal Ilmu Hukum Islam dalam Berbagai Mazhab (Cet. I, Jakarta: Penerbit Kalam Mulia, 1993), h. 75. 

[2]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Cet. I, Edisi II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 62. 

[3]Muhammad Dja’far, Op. Cit, h. 84. 

[4]Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 90. 

[5]Mun’im A. Sirry, op.cit., h. 61-67. 

[6]TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, h. 68. 

[7]Suparman Usman, op.cit., h. 91. 

[8]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (Cet. III, Damaskus: Darul Fikri, 1989), h. 28. 

[9]Said Ramadhan, Hukum Islam, Ruang Lingkup dan Kandungannya, alih bahasa oleh Suadi Sa’ad, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1986), h. 4. 

[10]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit, h. 64-65. 

[11]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam dan Tata Cara Hukum Islam di Indonesia, (Cet. V, Jakarta: Raja Grafido Persada, 1996), h. 137.

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: