Artikel Islami Iman dan Maksiat
Arif Rijalul Fikry
Termasuk sunnatullah di dunia ini yakni bahwa barang siapa yang taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan beruntung baik di dunia dan akhirat. Sebaliknya barang siapa yang meninggalkan agama dan perintah-Nya maka dia akan termasuk orang-orang yang merugi di dunia dan akhirat. Iman merupakan hal yang terpenting dalam sistem aqidah dan amal dalam Islam. Sejatinya seorang mukmin selalu berusaha mewujudkan di dalam dirinya keperibadian sejati yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal yang harus diperhatikan di dalam proses penghayatan kepada Sang Pencipta Yang Maha Suci itu diharapkan suatu kondisi yang bersih, baik jasmaninya maupun rohaninya. Kebersihan rohani disini dimaksudkan higienis dari sifat-sifat tercela yang sanggup menjerumuskan dalam kemaksiatan.
Selama ini kita telah banyak meninggalkan jalan Allah dalam kehidupan ini. Hati yang keras merupakan duduk kasus yang akan membawa akhir sangat berbahaya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Manusia telah banyak tertipu akan keindahan dunia yang dibujuk oleh syetan-syetan sehingga berimplikasi untuk melaksanakan bermacam-macam kemaksiatan tanpa ada rasa peduli terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka menghalalkan aneka macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal tersebut seakan-akan sudah menjadi tradisi bagi umat insan ketika ini. Kami memohon kepada Allah biar terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa, dan semoga kita diberikan taubat dan ampunan, bila terlanjur berbuat dosa. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa hamba-hambanya.
Definisi Iman
Menurut bahasa kepercayaan berarti pembenaran hati.[1] Sedangkan berdasarkan istilah, kepercayaan yakni membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan verbal dan mengamalkan dengan anggota badan. Ini yakni pendapat jumhur. “Membenarkan dengan hati” maksudnya mendapatkan segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.“Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya, mengucapkan dua kalimah syahadat, syahadat “Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad yakni utusan Allah).“Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota tubuh mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya. Kaum salaf mengakibatkan amal termasuk dalam pengertian iman. Dengan demikian kepercayaan itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.
Iman yakni unsur pokok dalam keberagamaan manusia, lantaran hal tersebut menjadi aktivis bagi unsur-unsur lainnya, yang berupa ibadah maupun akhlaq. Ketika kepercayaan sudah menempat pada hati insan ia akan menjadi sesuatu yang berproses dan bergelombang sehingga membentuk sikap dan sikap yang baik.[2] Iman mempunyai imbas terhadap kehidupan seseorang baik itu secara individu ataupun sosial. Prinsip kepercayaan tidak hanya kita pahami pada ranah teologi saja, melainkan ada unsur sosiologi yang berfungsi sebagai wadah aplikasi kepercayaan kita. Sebagaimana kita ketahui bahwa kepercayaan itu terdiri dari tiga ranah, ranah teologi, individual dan sosiologi. Ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Pengertian Maksiat
Maksiat lawannya taat. Hanya Allah swt yang tahu kadar ketatan dan kemaksiatan seseorang. Ketaatan menjadi suatu yang manis bagi si mukmin, manakala maksiat yakni suatu kelzatan bagi mereka yang ingkar. Sesungguhnya maksiat dan pengaruhnya sangat membahayakan insan di dunia dan akhirat. Seorang mukmin senantiasa harus berhati-hati dalam kehidupan sehariannya biar tidak terperangkap dalam kemaksiatan. Walaupun hanya Allah swt yang tahu semua kadar tindakan ketaatan dan juga kemaksiatan manusia, namun kesan dan pengaruhnya sanggup dilihat semasa hidup di dunia. Ketika kemaksiatan sudah merajalela, maka tidak heran bila kita sering melihat aneka macam petaka yang menimpa umat manusia. Seolah-olah hal itu merupakan tanda-tanda alam saja, namun ketika kita melihat dari segi historisitas, banyak ayat al Qur’an atau pun Hadis yang menceritakan akan peristiwa yang terjadi akhir kemaksiatan manusia. Kita ingat akan kisah nabi Nuh, kita tahu wacana kisah nabi Luth, kisah nabi Musa, kisah nabi Hud, kaum mereka diadzab oleh Allah lantaran melaksanakan aneka macam kemaksiatan dan dosa.
Iman dan Kemaksiatan
Timbul pertanyaan, apakah kita sanggup menganggap mukmin terhadap seseorang yang bisa menanamkan lafadz “tiada dewa selain Allah” di dalam hatinya, tetapi dia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dan tidak menjauhi apa yang dihentikan Allah? Seorang yang beriman tidak hanya semata-mata membenarkan dalam hati saja, melainkan ada sebuah agresi dalam kehidupan kesehariannya yang membuktikan aplikasi keimanannya. Pada hakikatnya, pemisahan itu tidak pernah terjadi. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, dia mengatakan, “tidaklah sanggup diterima nalar sehat kepercayaan seseorang yang mengetahui bahwa shalat itu wajib, dan dia mendengar permintaan Allah setiap hari dalam hidupnya, marilah shalat, akan tetapi tidak sekalipun ia menyambut permintaan itu sepanjang hidupnya”.[3] Kita mengetahui bahwa Iman itu merupakan tashdiq (pembenaran) yang disertai dengan amal. Kita juga telah mengetahui bahwa tashdiq dengan amal itu dua hal yang tidak sanggup terpisahkan. Maka apabila terdapat tashdiq amalnya pun ada, begitu pun sebaliknya.
Iman seorang hamba akan bertambah dan meningkat bilamana ketaatan dan ibadahnya bertambah dan meningkat, sebaliknya keimanannya akan menurun bilamana kadar ketaatan dan ibadahnya menurun. Perbuatan maksiat sangat besar lengan berkuasa kepada kepercayaan seseorang, apabila kemaksiatan tersebut dalam bentuk syirik besar atau kekufuran, maka bisa mengikis keimanan hingga ke dasar-dasarnya.
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S An Nisa 48)
Dalam ayat lain Allah berfirman: dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kau yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (Q.S At Taubah 124)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah kepercayaan mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.(Q.S Al Anfal 2)
Ayat tersebut menegaskan bahwa kepercayaan itu sanggup bertambah dan sanggup juga berkurang. Sesungguhnya amal itu merupakan belahan dari iman. Dan kepercayaan itu bertambah ketika kita melaksanakan hal-hal yang sesuai dengan pedoman dan undang-undang yang berlaku berupa al Qur’an dan Hadis. Sedangkan kepercayaan itu berkurang manakala ia melanggar dan keluar dari koridor pedoman agama yang berupa kemaksiatan. Keimanan orang-orang yang beriman berbeda-beda, tidak sama satu dengan yang lainnya. Bahkan ketika bertambahnya amal shalih dan keyakinan pada diri seseorang, maka bertambahlah keimanannya dan menjadi lebih utama dibanding dengan orang yang selainnya.
Iman sanggup dikatakan sebagai kekuatan dan perisai untuk menangkis segala kemungkaran, kemaksiat dan perbutan tercela lainnya. Ketika kepercayaan seseorang itu dalam keadaan baik, maka orang itu akan mencerminkan sifat-sifat terpuji, baik itu dalam sikap, sikap maupun tutur katanya. Orang beriman itu pada hakikatnya berusaha untuk tidak melaksanakan hal yang sanggup merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Karena patut kita sadari bahwa kepercayaan itu tidak hanya berhenti pada aspek teologi saja, namun termasuk di dalamnya aspek sosial sebagai upaya implementasi dari keimanan tersebut. Ketika kepercayaan sudah menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan seseorang, tentu saja orang itu akan diiringi sikap-sikap terpuji sesuai dengan konsep agama yang sudah termaktub dalam al Qur’an dan Hadits. Dan sudah dipastikan perbuatan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama akan menjauh dengan sendirinya. Iman itu menyerupai filter dan parameter yang bisa menyaring dan mengukur kesadaran seseorang dalam menjalani ajaran-ajaran agama.[4]
Dalam hadits dikatakan:
عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لايزني الزاني حين يزني وهومؤمن ولايسرق السارق حين يسرق وهومؤمن ولايشرب الخمر حين يشربها وهومؤمن (رواه البخاري ومسلم وغيرها)
Dari Abu Hurairah, dia berkata, bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda “pezina tidak akan berzina tatkala ia berzina dalam keadaan beriman; pencuri tidak akan mencuri takala ia mencuri dalam keadaan beriman; dan peminum khamar tidak akan minum khamar tatkala ia minum dalam keadaan beriman.(HR. Bukhari Muslim)[5]
Hadits ini tidak memilki asbabul wurud yang pasti.[6] Namun ketika mencermati dari sisi teks semata, kita akan menemukan bahwasannya hadits tersebut menerangkan prinsip orang beriman itu tidak akan melaksanakan hal-hal yang berbau kemaksiatan. Logikanya, ketika seseorang melaksanakan kemaksiatan mirip yang telah termaktub dalam hadits di atas, orang tersebut bukan lagi seorang mukmin. Karena sejatinya setiap orang mukmin itu akan terus mendidik dan membina keperibadiannya untuk selalu melaksanakan hal-hal yang baik dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela.[7]
Para mutakallimin berbeda pendapat dalam memilih status seorang mukmin yang melaksanakan kemaksiatan. Sebagian kaum Khawarij berasumsi bahwa ketika seoang mukmin melaksanakan maksiat, katakan saja membunuh, yang merupakan salah satu kriteria dosa besar, maka orang tersebut menjadi kafir. Aliran ini memilki pemahaman yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit nalar serta fanatik.[8] Disisi lain, ada juga golongan yang beranggapan bahwa perbuatan maksiat ataupun dosa besar tidak mempengaruhi kadar kepercayaan seseorang. Menurut mereka, prinsip dasar kepercayaan itu hanya sebatas ratifikasi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah. Masalah maksiat ataupun dosa besar yang dilakukan, urusan tersebut dikembalikan kepada Allah semata dan akan dipertanggungjawabkan pada yaumul hisab kelak. Golongan ini kita kenal dengan kaum Murjiah. Sedangkan kaum Mu’tazilah menggunakn istilah fasik bagi orang yang melaksanakan maksiat ataupun dosa besar. Mereka berasumsi bahwa orang tersebut tidak termasuk kafir mirip apa yang telah dikemukakan oleh kaum Khawarij.
Sekarang ini insan sedang berhadapan dengan perubahan zaman yang sanggup mengubah teladan hidup mereka. Persoalan yang muncul dari perubahan tersebut berupa krisis akhlaq. Hal itu terjadi akhir dari keindahan dunia yang dihiasi aneka macam macam sajian yang sangat menggiurkan. Lemahnya kepercayaan juga turut andil terhadap fenomena tersebut. Akhirnya mereka karam dalam kehidupan yang hanya merupakan panggung sandiwara, mereka menyangka akan hidup awet di dunia. Mereka lupa akan kematian, yaumul hisab, nirwana dan neraka sehingga mereka terjerumus ke lubang kemaksiatan. Menurut Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar M.A, sumber timbulnya krisis akhlaq yaitu:[9]
1. Longgarnya pegangan agama yang menimbulkan hilangnya kontrol diri.
2. Pembinaan moral yang dilakukan orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif.
3. Derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik, sekuleristik.[10]
Rendahnya kualitas akhlaq dan kepercayaan seseorang merupakan faktor utama tindakan kriminalitas dan maksiat lainnya dalam kehidupan masyarakat. Krisis akhlaq sekarang telah menjalar kepada masyarakat luas, tidak mengenal itu dari kalangan elite politik, pelajar, pedagang dan kalangan lainnya. Sering kita dijumpai praktik kolusi, korupsi, nepotisme, pemerkosaan, penyelundupan, penipuan, pencurian, perzinahan, tawuran dan aneka macam macam kriminalitas lainnya baik dalam bentuk media elektronik maupun media cetak. Melihat kondisi yang demikian, sepatutnya kita melaksanakan intropeksi diri dan penilaian untuk membina akhlaq yang mulia sehingga menjadi mukmin yang hakiki. Perubahan sosial dan arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat mengakibatkan proses training akhlaq sulit direalisasikan. Karena tidak sedikit dari dinamika tersebut yang melenceng jauh dari nilai-nilai Qur’an. Bahkan tidak jarang hal itu mempengaruhi psikologi yang menghawatirkan, mirip kehilangan pegangan dan tujuan serta makna hidup seseorang.
Dengan demikian, training akhlaq mulia merupakan keharusan yang bersifat mutlak dan merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Hal tersebut harus menjadi kepedulian semua pihak, alasannya yakni akhlaq menjadi pilar tumbuh berkembangnya dinamika sosial. Pembinaan akhlaq menekankan pada sikap, watak dan sikap yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa berakhlaq karimah, lantaran akhlaq merupakan implikasi dari tauhid kepada Allah. Dari sini kita sanggup menilai, seberapa benarkah seseorang itu benar-benar beriman, lantaran kepercayaan sangat bersahabat kaitannya dengan semua amal kita.
Kesimpulan
Selama ini, kita berasumsi bahwasannya kepercayaan itu terletak pada ranah teologi saja. Padahal disisi lain ranah individual dan sosiologi mempunyai peranan penting sebagai wujud implementasi dari keimanan. Kalau kita mengkaji lebih dalam wacana al Qur’an dan Hadis, banyak sekali ayat-ayat maupun teks yang menyatakan bahwa kepercayaan itu bersahabat kaitannya dengan amal dan akhlaq. Iman sanggup bertambah, dan segala sesuatu yang bisa bertambah, tentu bisa juga berkurang. Bertambahnya keimanan seseorang terjadi ketika orang tersebut melaksanakan perbuatan-perbuatan shalih. Berkurangnya kepercayaan disebabkan adanya kemaksiatan yang dikerjakan dan ditinggalkannya amal shalih. Seorang mukmin berkurang imannya sejauh mana ia meninggalkan amal shalih atau ia melaksanakan kemaksiatan.
Daftar Pustaka
Abdul Khalid, Abdul Rahman. Garis Pemisah Antara Kufur dan Iman. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Abul A’la Maududi, Yusuf Qardlawi, Muhammada Khairul Jalad, Hakekat Tauhid Dalam Kehidupan Seorang Muslim. Darul Ulum Press, 1990.
Al Munawwar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur’an, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Az Zairi, Amir Saad. Manajemen Kalbu Resep Sufi Menghentikan Kemaksiatan, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2002.
Yusuf, Muhammad. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits: Relasi Iman dan Sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Buat lebih berguna, kongsi: