Siapakah Yang Disebut Berilmu? Part 1


Oleh: Qaem Aulassyahied

Istilah chair yang digunakan di dunia akademis Barat dipergunakan untuk menyebut orang yang sangat hebat dalam bidang tertentu. Di US misalnya, tidak semua profesor punya posisi sebagai chair.Tetapi sebaliknya, mereka yang menempati posisi tersebut biasanya ialah seorang guru besar. Orang Indonesia sering menyebut ketua jurusan atau kepala departemen dengan istilah chair. Hal ini jikalau ditelisik, memberikan pemahaman bahwa istilahchair tidak lah merujuk pada struktur jabatan, tapi lebih pada kajian disiplin keilmuan. Seseorang yang disebut chair di bidang hak asasi insan (HAM) sanggup jadi bukan merupakan kepala departemen jurusan secara struktural, tetapi secara akademis, ia sudah barang tentu “kepala” dalam bidang tersebut.
Namun taukah kita, bahwa ternyata istilah chair yang digunakan dalam dunia akademis Barat ini bahwasanya berasal dari terminologi Islam. Menurut profesor George Makdisi, “Faktanya, istilah chair untuk menyebut seorang profesor (ahli dalam suatu disiplin ilmu) berasal dari gaya tradisional pendidikan Islam. Di mana seorang guru mengajar di atas dingklik (chair) sementara murid-murid duduk di bawah mengelilinginya." Bahkan dalam konteks sejarah, istilah profesor di dunia Barat juga terjemahan dari term “mufti” di dunia Islam (Nurussyariah, 2013: 149).

penjelasan di atas, setidaknya memperlihatkan citra bagaimana Barat yang lahir dari kehidupan sekuler dan Islam sama-sama memperlihatkan perhatian terhadap pendidikan, sehingga orang yang mempunyai ilmu pantas diberi gelar dan otoritas khusus dibanding orang lain. Kesamaan pandangan pada titik ini ternyata tidak banyak melahirkan kesamaan-kesamaan berikutnya. Bahkan kenyataannya, pendidikan Barat dan pendidikan Islam mempunyai jurang perbedaan yang cukup curam.Salah satunya ialah pandangan keduanya dalam melihat orang yang pantas disebut berilmu.

yang digunakan di dunia akademis Barat dipergunakan untuk menyebut orang yang sangat hebat da Siapakah yang disebut berilmu?  Part 1

Pendidikan sekuler sangat mementingkan kajian keilmuan yang objektif. Maknanya, suatu ilmu atau hasil penelitian sanggup dikatakan objektif jikalau ilmu, pengetahuan atau hasil aktivitas keilmuan itu bebas dari kepentingan dan nilai, termasuk salah satunya ialah nilai religi, contohnya dorongan iman. Bukan menjadi belakang layar lagi jikalau konsep ini berkembang dalam faham sekularisme, alasannya ialah sekuler itu sendiri mencoba memisahkan “urusan tuhan” dengan “urusan manusia”.Dalam arti, pada ranah dunia termasuk pendidikan haruslah higienis dari nilai, kepentingan dan motivasi yang berbau agama (Qaradhawy, 1997: 10).

Dampak dari pandangan ini cukup jelas, di mana para pemerhati pendidikan yang berbasis pada pendidikan sekuler tidak mengakibatkan pembentukan karakter, adat dan moral calon didik sebagai salah satu tujuan utama sebuah pendidikan. Pembentukan Karakter hanya salah satu dari sekian efek pengetahuan seseorang yang terbentuk dari proses pendidikannya, baik itu aksara mulia atau pun buruk. Tujuan terpenting bagi mereka ialah bagaimana calon didik sanggup menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya kemudian melaksanakan aktivitas keilmuan dan penelitian untuk mendapat pijakan teori keilmuan berikutnya guna semakin menyebarkan suatu disiplin ilmu. Seorang anak yang memenangkan olimpiade sains akan dianggap sukses dan dihargai dibanding anak yang menjadi patuh, dermawan, penyayang, penyabar lantaran pendidikan yang ia dapat.

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: