Buah Dari Keikhlasan Dalam Bekerja

Buah dari Keihlasan dalam Bekerja

Tongkronganislami.net - Kiranya tidak ada yang lebih penting dalam sistem fatwa Islam kecuali kepercayaan wacana ikhlas. Secara harfiah, tulus berarti perilaku melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah S.w.t. Pada level keyakinan, tulus berarti hanya percaya dan mempercayai Allah Yang Ahad, yang tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang maksud yang dikandung dalam surat al-Ikhlās.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ

Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa". Allah ialah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. (Q, s. al-Ikhlās/112:4)

Pada level tindakan, tulus berarti berbuat sesuatu semata hanya untuk mencari ridha Allah, bukan untuk tujuan-tujuan lain. Artinya, tulus ialah kita berbuat sesuatu tanpa pamrih. Pamrih ialah kita berbuat sesuatu lantaran ingin dilihat atau didengar orang: dan pamrih inilah yang seringkali mendorong kita untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu. 

Pamrih lantaran ingin dilihat orang, dalam bahasa agama disebut riya’. Sedangkan pamrih untuk didengar, contohnya kita melaksanakan sesuatu biar namanya menjadi terkenal, menjadi terkenal dan lain sebagainya, disebut sum’ah. Baik riya’ maupun sum’ah keduanya termasuk jenis kemunafikan.

Seringkali kita berbuat sesuatu bukan untuk tujuan yang sesungguhnya, tapi untuk tujuan-tujuan lain yang kita sembunyikan. Seorang penderma yang mendermakan hartanya untuk membantu kaum fakir-miskin dan syi’ar Islam, belum tentu mendapat pahala dari Allah selama niatnya tidak tulus: tidak untuk mencari ridha Allah. Meskipun ia sanggup mengelabui semua orang bahwa tindakannya itu tulus, tetapi Allah mustahil bisa dikelabui, lantaran Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam lubuk hati kita yang paling dalam sekalipun. 
 Kiranya tidak ada yang lebih penting dalam sistem fatwa Islam kecuali kepercayaan wacana ik Buah dari Keikhlasan dalam Bekerja
Ikhlas / Serambiminang.com

Ia menerka bahwa dengan telah membantu para fakir miskin, telah menyumbang madrasah dan panti asuhan, telah membangun masjid, dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, dirinya telah berbuat suatu kebaikan: ia menerka bahwa dirinya telah berbakti kepada agama. Padahal tidaklah demikian, lantaran amalan dan perkiraannya itu ditolak oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu wacana orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q, s. al-Kahfi/18:103-104)

Orang-orang yang di dalam hatinya terselip perasaan riya’ atau sum’ah, yaitu perasaan senang dilihat dan didengar, ialah penipu, lantaran mereka senang dipuji untuk hal-hal yang bahwasanya tidak pernah mereka lakukan. Maka Al-Qur’an mengingatkan kita biar tidak terkecoh oleh tindakan kamuflase mereka.

لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوْاْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُواْ بِمَا لَمْ يَفْعَلُواْ فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 

Janganlah sekali-kali kau menyangka bahwa orang-orang yang bangga dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka senang dipuji untuk hal-hal yang bahwasanya tidak pernah mereka lakukan. Dan janganlah kau menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, lantaran bagi mereka siksa yang pedih. (Q, s. Alu Imrān/3:188)

Orang yang tidak tulus ialah orang yang membangun atau menampilkan kesan kepada orang lain di luar yang bahwasanya ada pada benak dan hati kecilnya. Dengan demikian orang akan mempunyai kesan terhadap dirinya sebagai orang yang baik, yang bertakwa, sopan, dan kesan-kesan baik lainnya, namun bahwasanya susila orisinil dalam dirinya jauh dari kesan-kesan tersebut.

Riya’ dan sum’ah –lawan dari ikhlas-- merupakan pangkal dari kehancuran jati diri manusia. Keduanya melahirkan perasaan iri hati dan hasud yang pada hakekatnya muncul lantaran ketidaksiapan seseorang untuk melihat orang lain bahagia, dan tidak suka melihat orang lain sukses. 

Ketidaksiapan ini secara tidak eksklusif diakibatkan oleh perasaan bahwa hanya dirinya sajalah yang boleh merengguk kebahagiaan itu: hanya dirinya sajalah yang boleh meraih sukses. Jadi, ia intinya ia tidak tulus melihat orang lain mendapat karunia dari Allah S.w.t.

Perasaan tidak tulus menyerupai inilah yang selalu dibisikkan setan kepada kita untuk senantiasa menggelincirkan insan dari jalan Allah: menarik hati kita semua biar melaksanakan sesuatu bukan untuk mencari ridha Allah. 

قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh alasannya ialah Engkau telah memutuskan bahwa saya sesat, niscaya saya akan menimbulkan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan niscaya saya akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka." (Q, s. al-Hijr / 15:39-40)

Meskipun setan sedemikian canggih dalam menarik hati dan menggelincirkan insan dari jalan yang benar, tetapi setan mengakui bahwa hanya orang tulus sajalah yang tidak bisa digodanya. Setan menyatakan mengalah jikalau dihadapkan kepada orang-orang yang ikhlas. 


Yaitu orang yang diantara cirinya adalah: melaksanakan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa pamrih, tampil apa adanya, dan lapang dada atas ketentuan Allah pada dirinya maupun orang lain. Maka, jikalau mau terbebas dari godaan setan, jadilah orang yang ikhlas!

Buat lebih berguna, kongsi: