Artikel Islami Kebijakan Pendidikan Islam era Awal hingga Modern di Indonesia
Pola dan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia tidak sanggup lepas dari apa yang diilustrasikan pada kebijakan pemerintah Belanda yang dikala itu menguasai Indonesia, hal ini berawal dari dunia perdagangan. Pemerintah kolonia Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern berdasarkan sistem persekolahan yang berkembang di dunia Barat, sedikit banyak menghipnotis sistem pendidikan Indonesia, yaitu pesantren. Padahal diketahui bahwa pesantren merupakan satu-satunya forum pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya kolonia Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.
Hal ini sanggup dilihat dari terpecahnya dunia pemdidikan di Indonesia pada kala 20 M menjadi dua golongan, yaitu: 1. pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler yang tidak mengenal pemikiran agama, 2. Pendidikan yang diberikan pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Dengan kata lain berdasarkan istilah Wirjosukarto yang dikutip oleh Muhaimin, pada periode tersebut terdapatterdapat dua corak pendidikan, yaitu corak usang yang berpusat pondok pesantren dan corak gres dari akademi sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang dikelola Belanda khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi yaitu pendidikan umum, sedangkan pada forum pendidikan Islam lebih menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang mempunyai kegunaan bagi penghayatan agama.[1]
Dengan terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat berbeda, tentunya tidak akan mendatangkan laba bagi perkembangan masyarakat Indonesia bagi masa yang akan datang, bahkan akan merugikan masyarakat muslim sendiri. Di suatu sisi dipandang perlu untuk mengetahui perkembangan dunia luar teknologi, di sisi lain juga dibutuhkan adanya pemahaman keagamaan yang telah ditanamkan jauh hari sebelum Belanda tiba dengan pendidikan pesantren.
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam, dan mendapat tantangan dan tentangan berat dengan didirikannya sekolah Belanda yang dikelola secara modern oleh Belanda yang berisikan materi perihal ketrampilan duniawi lantaran untuk sekolah pesantren memerluakan biaya yang tinggi. Sementara pada sekolah Belanda hanya orang-orang dari kalangan tetentu yang bisa mengikutinya, sedang untuk kalangan bawah tidak bisa mendapat pendidikan, sehingga ada sebagian diantara rakyat Indonesia yang masih tidak bisa baca tulis, lantaran tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Dalam hal ini muncul kesadaran dari pendidikan Islam ulama-ulama yang pada waktu itu juga menyadari bahwa sistem pendidikan tradisional dan tabrak tidak lagi sesuai dengan iklim pada masa itu. Maka dirasakanlah akan pentingnya menawarkan pendidikan secara teratur di madrasah atau sekolah secara teratur. Muhammad Abduh dan Rasid Ridha dengan pembaruan di bidang sosial dan kebudayaan berdasarkan tradisi Islam Al Qur’an dan Hadis yang dibangkitkan kembali dengan memakai ilmu-ilmu Barat.
Hal ini merupakan jalan untuk maju dan berpartisipasi di madrasah madrasah Islam dengan terus mengadakan pembaruan, dengan memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat ke dalam kurikulum, maka muncullah tokoh-tokoh pembaruan di Indonesia yang mendiikan sekolah Islam di man-mana.
Dengan demikian sanggup ditegaskan bahwa disamping kedua corak pendidikan sebelumnya, juga terdapat corak yang ketiga yang merupakan sintera dari corak usang dan corak baru. Corak pendiikan yang ketiga muncul sintesis, muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang muncul semenjak tahun 1909, yang dipelopori oleh pembaruan Islam. Seperti Madrasah Diniyyah School yang didirikan oleh Zainuddin Labia El Yunisa 1890-1924, pada tahun 1915 sebagai sekolah agam petama yang dilaksanakan berdasarkan sistem pendidikan modern yakni memakai alat tulis, dan memakai alat peraga.[2]
Pesantren dan Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang memperlihatkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan berdasarkan Sudjoko Prasodyo, “ pesantren yakni forum pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama kala pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di asrama dalam pesantren tersebut. Dengan demikian dalam forum pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya mempunyai unsur-unsur seperti: kiai, santri, masjid, sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau materi pelajaran.
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya forum kependidikan yang tahan terhadap aneka macam gelombang modernisasi. Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, mengakibatkan pesantren tetap survive hingga hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di aneka macam Dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam ibarat pesantren yang bisa bertahan. Kebanyakan lenyap sesudah tergusur oleh perluasan sistem kehidupan umum atau sekuler. Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu taktik untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian pesantren bisa bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
Sebagai forum pendidikan Islam, pesantren intinya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih, hadis dan mustalahul hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf, serta ilmu-ilmu agama yang lain.
Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu:
a.Periode Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk yang gres yang disebut madrasah.
Madrasah sebagai forum pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem usang dengan sistem gres dengan jalan mempertahankan nilai-nilai usang yang masih baik yang masih sanggup dipertahankan dan mengambil sesuatu yang gres dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh lantaran itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya yakni apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di indonesia sanggup dikembalikan pada dua situasi, yaitu:
a. Gerakan Pembaharuan di Indonesia
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia muncul pada awal kala ke-20 yang dilatar belakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A Steenbrink dengan mengidentifikasikan empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain:
§ Keinginan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Hadis.
§ Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah.
§ Mempekuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik.
§ Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk perilaku dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh lantaran itu, pemunculan madrasah tidak bisa dilepas dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai oleh perjuangan beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.
b. Respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan hindia Belanda.
Pertama kali bangsa Belanda tiba ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi lantaran kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai wilayah Nusantara sekaligus denagn mengembangkan fahamnya yang populer denagn semboyan 3G yaitu, Glory ( kemenangan dan kekuasaan), Gold ( emas atau kekayaan bangsa Indonesia ), dan Gospel ( upaya salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia ).
Dalam membuatkan misi-misinya itu, belanda (VOC) mendirikan sekolah-sekoalh kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolahnya mencapai 16 sekolah dan 18 sekolah di sekitar pulau-pulau Ambon, di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 30 sekolah. Dengan demikian, untuk kawasan Batavia saja, sekolah kristen sudah berjumlah 50 buah. Melalui sekolah-sekolah inilai Belanda menanamkan pengaruhnya di kawasan jajahannya.
Pada perkembangan selanjutnya di awal kala ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan belum dewasa bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarkan secara tradisional-tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan tentangan berat, terutama lantaran sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat mengakibatkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk menawarkan respons dan balasan terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di timur tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan forum pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi yang dinamakan Madrasah atau Sekolah.
Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 januari 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus duduk kasus keberagaman di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya madarasah.
Pendidikan Islam di Masa Perubahan (1900-1908)
Pendidikan Islam berdasarkan sistem lama, hanya terdiri dari dua tingkat saja: pengajian Qur’an dan Pengajian Kitab. Hampir seluruh pendidikan Islam di Indonesia ibarat demikian keadaannya. Kemudian banyaklah pelajar-pelajar dan guru-guru agama di Indonesia, semisal di Minangkabau pergi naik haji ke Makkah, serta bermukim di sana melanjutkan pelajarannya bertahun-tahun lamanya kepada guru besar Arab.
Setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka ajarkan Ilmu-ilmu Agama dan Bahasa Arab yang mereka pelajari di Makkah itu. Dengan jalan demikain bertambah tinggilah mutu ilmu-ilmu agama serta bertambah luas dan mendalam di seluruh Indonesia. Pada masa itu boleh dikata bahwa pelajaran agama di Indonesia sama atau hampir sama dengan di Makkah. Maka banyaklah pemuda-pemuda Islam Indonesia yang hanya berguru pada ‘Alim Ulama keluaran Makkah di Indonesia saja, sehingga mereka menjadi ‘Alim yang tidak kurang mutunya dari ‘Alim ‘Ulama Makkah.
Perbedaan yang nayat pada masa perubahan itu yakni pelajaran ilmu Sharaf, Nahwu, Fiqh, dan Tafsir yang dahulu hanya dipelajari dalam satu macam kitab saja, kini telah dipelajari dalam bermacam-macam kitab. Untuk ilmu nahwu misalnya: Al Jurumiyah dan Alfiah, untuk ilmu Sharaf Al Kailani, Taftazani, dan sebagainya, untuk ilmu Fiqh Fathul Qarib Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahab, Mahalli,kadang-kadang hingga pada kitab Tuhfah dan Nihayah. Untuk ilmu Hadis Hadis arbain, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan lain sebagainya. Sedang untuk ilmu Tafsir ibarat Tafsir Jalalain, Baidhawi, Khazin, dan sebagainya.[4]
Oleh lantaran itu betambah perkembangan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab di seluruh Indonesia hingga dua belas jenis ilmu dalam bermacam-macam kitab, yaitu: Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tafsir, Tauhid, Hadis, Mustalahul Hadis, Mantiq, Ma’ani, Bayan, Badi’, Ushul Fiqh.
Kesimpulan
Berdasarkan keterangan di atas, sanggup diketahui bahwa sistem pendidikan Islam itu sudah ada semenjak awal munculnya Islam. Namun untuk perkembangannya barulah akahir-akhir ini, terutama dalam bidang Hadis dan ilmu-ilmu yang bersangkutang dengannya. Adapun salah satu sebabnya yakni adanya tekanan dari Belanda dan pelarangan dalam membuatkan Islam secara bebas, selain itu, Umat Islam sendiri disibukkan dengan ilmu-ilmu Fiqih serta Al Qur’an. Sedang hadis hanya dibentuk sampingan saja. Dan srkarang sesudah muncul pemikir-pemikir Islam Hadis bangun dari masa kemandekannya menuju masa kebangkitan, hal ini terbukti dengan banyaknya dijumpai sarjana Tafsir Hadis serta buku-buku perihal Hadis.
Daftar Pustaka
Mukhtar, Abdul Khalik. Hadis Nabi dalam Teori dan Praktek.Yogyakarta: TH Press, 2004.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Tashrif, Muhammad. Kajian Hadis Di Indonesia. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007.
Yunus, Mhmud. Sejarah Pendidikan Islam di indonesi. Jakarta: Mutiara, 1979.
Buat lebih berguna, kongsi: