Sejarah Perang Hunain - Ketika Hawazin mengetahui kesuksesan kaum muslimin dalam penaklukan Makkah, mereka khawatir pasukan Muhammad akan menyerang mereka dan menghancurkan rumah-rumah mereka. Maka sebelum terjadi, mereka berpikir untuk menyerang kaum muslimin lebih dulu dan menyiapkan segala yang dibutuhkannya.
Malik bin 'Auf al-Nashriy mengumpulkan orang-orang Hawazin dan Tsaqif. Dia berjalan membawa pasukannya hingga tiba di Wadi Authas (lembah Authas). Berita ini telah hingga ke indera pendengaran kaum muslimin sesudah 15 hari dari penaklukan Makkah dan mereka segera berkemas-kemas menghadapi kabilah Hawazin dan Tsaqif. Malik rupanya cukup cerdik. Dia menetapkan untuk memerintahkan pasukannya meninggalkan Wadi Authas dan menyingkir ke puncak Hunain di lorong sempit sebuah lembah. Wadi Authas dibiarkan tanpa pertahanan.
Di daerah itu, Malik mengatur dan menawarkan perintah-perintahnya. Di antara perintahnya ialah kalau kaum muslimin tiba di lembah, maka pasukannya harus segera menyerang mereka secara serentak dan memberi pukulan yang mematikan sehingga barisan mereka bubar. Serangan ini dibutuhkan akan mengacaukan barisan pasukan pemburu dan pemanah Muhammad sehingga sebagian mereka dengan sebagian yang lain campur aduk dan saling memukul. Di tengah suasana itu, pasukan Malik akan melancarkan serangan gencar dan keras. Malik risikonya menetapkan taktik ini dan menunggu kedatangan pasukan Islam.
Tidak berapa usang pasukan kaum muslimin tiba. Rasululah bergerak dengan membawa 10.000 pasukan yang gres menaklukkan Makkah ditambah 2.000 pasukan dari orang Quraisy yang gres masuk Islam di Makkah. Pasukan besar ini dan sejumlah para pengikutnya bergerak untuk berperang. Mereka tiba di lembah Hunain sore hari, kemudian berencana istirahat di sana hingga menjelang fajar. Akan tetapi, di ujung simpulan malam, pasukan bergerak, sementara Rasul yang menunggang bagal putihnya berada di barisan simpulan pasukan.
Pasukan bergerak menuruni lembah dan tidak mencicipi adanya ancaman. Namun, di tengah keheningan itu, tiba-tiba kabilah-kabilah musuh menyerang mereka. Malik bin 'Auf telah memberi komando kaum prianya untuk menyerang kaum muslimin secara mendadak. Serangan dilancarkan dengan sangat kejam. Kaum muslimin dihujani anak panah. Mereka dalam kegelapan waktu fajar tidak mencicipi apa-apa kecuali hujan anak panah yang menimpa mereka dari semua arah. Mereka panik dan galau alasannya ialah serangan yang munculnya secara tiba-tiba. Keadaan mereka kacau dan menjadi tumpang.
Pasukan Muhammad mengalami goncangan yang sangat berat. Mereka mundur dalam posisi terus terjangkit dan meninggalkan medan tanpa menunggu komando apa pun. Ketakutan telah menguasai mereka dan kecemasan menerkam hati mereka. Setiap orang dari mereka takut terhadap musuh. Mereka terpaksa lari meninggalkan Rasul tanpa menunggu perintah. Beliau dibiarkan tertinggal di ujung belakang pasukan.
Mereka benar-benar dalam keadaan terjangkit yang memaksa mereka berlomba-lomba melarikan diri. Tidak ada yang tersisa dan tetap bertahan di medan kecuali Rasulullah dan 'Abbas serta sekelompok kecil pasukan. Sisa-sisa pasukan yang masih bertahan untuk menemani Rasul terus melaksanakan perlawanan. Mereka tetap bertahan di tengah kepungan serangan musuh. Rasul bangun di tengah bulat kecil para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Ansor serta Ahlu Bait (keluarga Rasul). Di tengah penjagaan ketat di tengah segelintir para sahabatnya yang masih menawarkan perlawanan sambil bertahan, dia memanggil-manggil kaum muslimin yang lari.
"Di mana orang-orang itu!?" seru Rasul.
Akan tetapi, kaum muslimin tidak mendengar panggilan ini. Mereka juga tidak menoleh kepada Nabi alasannya ialah takut, goncang, dan ngeri akan hantaman maut, apalagi melihat adonan pasukan Hawazim dan Tsaqif yang masih terus melempari mereka dengan lemparan maut yang amat dahsyat, menikam setiap pasukan yang ditemukan, dan menghujani mereka dengan anak panah. Mereka terus lari dan mundur meninggalkan induk pasukan. Karena itu, masuk akal kalau mereka tidak mendengar panggilan Rasul dan tidak dapat memenuhinya.
Rasulullah pada waktu itu bangun dan bertahan sendiri (dengan segelintir sahabatnya) dalam keadaan terkucil merupakan posisi yang paling agung sekaligus mengkhawatirkan. Masa dan detik yang dijalaninya ialah masa yang paling mengkhawatirkan dan sulit. Hampir semua pasukannya meninggalkan beliau. Mereka semua lari meninggalkan Rasul dan tidak ada bedanya apakah yang dari kalangan para sobat yang usang (kecuali beberapa sahabatnya yang militan) ataukah para sobat yang gres (baru masuk Islam). Akan tetapi, Rasul tidak berputus asa. Beliau terus-menerus memanggil dan mengajak para sahabatnya yang lari semoga segera kembali dan turun ke medan laga, namun mereka tidak mendengarkannya. Akan tetapi, pada sisi lain, orang-orang yang gres masuk Islam yang mendengar Muhammad dirajam kepungan bahaya, justru membicarakannya dengan komentar-komentar sinis dan bergembira atas tragedi yang menimpa beliau.
"Hari ini sihir [Muhammad] telah batal!" kata Kaldah bin Hambal dengan sinis.
"Hari ini saya menyaksikan pembalasan dendamku pada Muhammad," ucap Syaibah bin 'Utsman bin Thalhah, "hari ini saya benar-benar telah membunuh Muhammad!"
"Kekalahan mereka tidak hingga hanya berhenti di bawah maritim ini," kata Abu Sufyan.
Malik bin 'Auf al-Nashriy mengumpulkan orang-orang Hawazin dan Tsaqif. Dia berjalan membawa pasukannya hingga tiba di Wadi Authas (lembah Authas). Berita ini telah hingga ke indera pendengaran kaum muslimin sesudah 15 hari dari penaklukan Makkah dan mereka segera berkemas-kemas menghadapi kabilah Hawazin dan Tsaqif. Malik rupanya cukup cerdik. Dia menetapkan untuk memerintahkan pasukannya meninggalkan Wadi Authas dan menyingkir ke puncak Hunain di lorong sempit sebuah lembah. Wadi Authas dibiarkan tanpa pertahanan.
Di daerah itu, Malik mengatur dan menawarkan perintah-perintahnya. Di antara perintahnya ialah kalau kaum muslimin tiba di lembah, maka pasukannya harus segera menyerang mereka secara serentak dan memberi pukulan yang mematikan sehingga barisan mereka bubar. Serangan ini dibutuhkan akan mengacaukan barisan pasukan pemburu dan pemanah Muhammad sehingga sebagian mereka dengan sebagian yang lain campur aduk dan saling memukul. Di tengah suasana itu, pasukan Malik akan melancarkan serangan gencar dan keras. Malik risikonya menetapkan taktik ini dan menunggu kedatangan pasukan Islam.
Tidak berapa usang pasukan kaum muslimin tiba. Rasululah bergerak dengan membawa 10.000 pasukan yang gres menaklukkan Makkah ditambah 2.000 pasukan dari orang Quraisy yang gres masuk Islam di Makkah. Pasukan besar ini dan sejumlah para pengikutnya bergerak untuk berperang. Mereka tiba di lembah Hunain sore hari, kemudian berencana istirahat di sana hingga menjelang fajar. Akan tetapi, di ujung simpulan malam, pasukan bergerak, sementara Rasul yang menunggang bagal putihnya berada di barisan simpulan pasukan.
Pasukan bergerak menuruni lembah dan tidak mencicipi adanya ancaman. Namun, di tengah keheningan itu, tiba-tiba kabilah-kabilah musuh menyerang mereka. Malik bin 'Auf telah memberi komando kaum prianya untuk menyerang kaum muslimin secara mendadak. Serangan dilancarkan dengan sangat kejam. Kaum muslimin dihujani anak panah. Mereka dalam kegelapan waktu fajar tidak mencicipi apa-apa kecuali hujan anak panah yang menimpa mereka dari semua arah. Mereka panik dan galau alasannya ialah serangan yang munculnya secara tiba-tiba. Keadaan mereka kacau dan menjadi tumpang.
Pasukan Muhammad mengalami goncangan yang sangat berat. Mereka mundur dalam posisi terus terjangkit dan meninggalkan medan tanpa menunggu komando apa pun. Ketakutan telah menguasai mereka dan kecemasan menerkam hati mereka. Setiap orang dari mereka takut terhadap musuh. Mereka terpaksa lari meninggalkan Rasul tanpa menunggu perintah. Beliau dibiarkan tertinggal di ujung belakang pasukan.
Mereka benar-benar dalam keadaan terjangkit yang memaksa mereka berlomba-lomba melarikan diri. Tidak ada yang tersisa dan tetap bertahan di medan kecuali Rasulullah dan 'Abbas serta sekelompok kecil pasukan. Sisa-sisa pasukan yang masih bertahan untuk menemani Rasul terus melaksanakan perlawanan. Mereka tetap bertahan di tengah kepungan serangan musuh. Rasul bangun di tengah bulat kecil para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Ansor serta Ahlu Bait (keluarga Rasul). Di tengah penjagaan ketat di tengah segelintir para sahabatnya yang masih menawarkan perlawanan sambil bertahan, dia memanggil-manggil kaum muslimin yang lari.
"Di mana orang-orang itu!?" seru Rasul.
Akan tetapi, kaum muslimin tidak mendengar panggilan ini. Mereka juga tidak menoleh kepada Nabi alasannya ialah takut, goncang, dan ngeri akan hantaman maut, apalagi melihat adonan pasukan Hawazim dan Tsaqif yang masih terus melempari mereka dengan lemparan maut yang amat dahsyat, menikam setiap pasukan yang ditemukan, dan menghujani mereka dengan anak panah. Mereka terus lari dan mundur meninggalkan induk pasukan. Karena itu, masuk akal kalau mereka tidak mendengar panggilan Rasul dan tidak dapat memenuhinya.
Rasulullah pada waktu itu bangun dan bertahan sendiri (dengan segelintir sahabatnya) dalam keadaan terkucil merupakan posisi yang paling agung sekaligus mengkhawatirkan. Masa dan detik yang dijalaninya ialah masa yang paling mengkhawatirkan dan sulit. Hampir semua pasukannya meninggalkan beliau. Mereka semua lari meninggalkan Rasul dan tidak ada bedanya apakah yang dari kalangan para sobat yang usang (kecuali beberapa sahabatnya yang militan) ataukah para sobat yang gres (baru masuk Islam). Akan tetapi, Rasul tidak berputus asa. Beliau terus-menerus memanggil dan mengajak para sahabatnya yang lari semoga segera kembali dan turun ke medan laga, namun mereka tidak mendengarkannya. Akan tetapi, pada sisi lain, orang-orang yang gres masuk Islam yang mendengar Muhammad dirajam kepungan bahaya, justru membicarakannya dengan komentar-komentar sinis dan bergembira atas tragedi yang menimpa beliau.
"Hari ini sihir [Muhammad] telah batal!" kata Kaldah bin Hambal dengan sinis.
"Hari ini saya menyaksikan pembalasan dendamku pada Muhammad," ucap Syaibah bin 'Utsman bin Thalhah, "hari ini saya benar-benar telah membunuh Muhammad!"
"Kekalahan mereka tidak hingga hanya berhenti di bawah maritim ini," kata Abu Sufyan.
Mereka ini dan orang-orang yang segolongannya yang menyampaikan perkataan-perkataan kejam ialah orang-orang yang berada dalam pasukan kaum muslimin. Mereka berasal dari kalangan orang-orang yang gres masuk Islam di Makkah. Mereka tiba berperang bersama Rasulullah, akan tetapi kekalahan (keterdesakan pasukan Islam) menampakkan apa yang disembunyikan jiwa mereka. Berbeda dengan niat tulus para sobat Rasul yang juga sama-sama ikut lari. Demikian itu alasannya ialah tidak ada harapan apapun dalam jiwa mereka untuk kerja mencari sesuatu dalam peperangan.
Posisi Rasul benar-benar sulit. Waktu itu ialah waktu yang amat sulit dan dahsyat. Dalam situasi yang begitu sulit dan berat, Rasul menetapkan untuk tetap di medan peperangan dan bahkan terus maju ke medan sambil bertahan dari serangan musuh dengan bagal putihnya. Orang yang bersama dia ialah pamannya, 'Abbas bin 'Abd al-Muththalib, dan Abu Sufyan bin Harits bin 'Abd al-Muththalib. Abu Sufyan memegang tali kendali bagalnya dan berusaha bertahan. Sedangkan pamannya, 'Abbas, ikut pula memanggil-manggil dengan suaranya yang lantang yang sekiranya didengar orang dari semua lorong. 'Abbas meneriakkan bunyi lantangnya semoga mereka segera kembali ke induk pasukan.
"Hai kaum Ansor!" teriak 'Abbas, "Hai orang-orang yang ngobrol!"
'Abbas mengulang-ulang seruannya hingga gema suaranya dari dinding ke dinding lembah memantul dan mengirimkan gelombang bunyi yang sahut-menyahut. Sayup-sayup, gema bunyi itu risikonya terdengar oleh kaum muslimin yang sedang terpojok kena gempuran musuh. Mereka menjadi ingat Rasulullah. Ingat pada jihad mereka. Terlintas di benak mereka suatu citra wacana akhir kekalahan alasannya ialah serangan kaum musyrik dan akhir kemenangan syirik atas mereka.
Posisi Rasul benar-benar sulit. Waktu itu ialah waktu yang amat sulit dan dahsyat. Dalam situasi yang begitu sulit dan berat, Rasul menetapkan untuk tetap di medan peperangan dan bahkan terus maju ke medan sambil bertahan dari serangan musuh dengan bagal putihnya. Orang yang bersama dia ialah pamannya, 'Abbas bin 'Abd al-Muththalib, dan Abu Sufyan bin Harits bin 'Abd al-Muththalib. Abu Sufyan memegang tali kendali bagalnya dan berusaha bertahan. Sedangkan pamannya, 'Abbas, ikut pula memanggil-manggil dengan suaranya yang lantang yang sekiranya didengar orang dari semua lorong. 'Abbas meneriakkan bunyi lantangnya semoga mereka segera kembali ke induk pasukan.
"Hai kaum Ansor!" teriak 'Abbas, "Hai orang-orang yang ngobrol!"
'Abbas mengulang-ulang seruannya hingga gema suaranya dari dinding ke dinding lembah memantul dan mengirimkan gelombang bunyi yang sahut-menyahut. Sayup-sayup, gema bunyi itu risikonya terdengar oleh kaum muslimin yang sedang terpojok kena gempuran musuh. Mereka menjadi ingat Rasulullah. Ingat pada jihad mereka. Terlintas di benak mereka suatu citra wacana akhir kekalahan alasannya ialah serangan kaum musyrik dan akhir kemenangan syirik atas mereka.
Akhirnya, mereka menyadari bahwa kekalahan perang ini akan membawa akhir kehancuran agama dan kaum muslimin. Karena itu, mereka berteriak sahut-menyahut dari semua arah untuk menyambut panggilan 'Abbas. Mereka segera kembali ke induk pasukan dan terjun ke lautan peperangan dan menghangatkan diri dengan apinya dalam keberanian yang tinggi dan jarang ditemui. Mereka berkumpul di seputar Rasul. Jumlah pasukan lambat laun semakin bertambah.
Mereka memasuki medan laga dan meladeni perang tanding, melawan musuh, dan memanggang diri di tungku api peperangan. Melihat sambutan ini, Rasul bertambah tenang. Beliau mengambil segenggam pasir, kemudian melemparkannya ke wajah musuh seraya mengucapkan, "Syaahatil Wujuuh/Amat buruklah wajah-wajah (kalian)!"
Kaum muslimin terus merangsek ke tengah medan dengan menganggap simpulan hidup di jalan Allah ialah kenikmatan. Peperangan semakin dahsyat sehingga Hawazin dan Tsaqif yakin bahwa mereka berada di tengah-tengah kebinasaan. Maka, mereka pun melarikan diri dalam keadaan kalah tanpa menunggu waktu. Harta benda dan wanita-wanita mereka ditinggalkan di belakang menjadi harta rampasan perang (ghanimah) kaum muslimin.
Pasukan kaum muslimin berusaha memburu mereka dan berhasil menawan mereka dalam jumlah yang cukup besar. Korban terbunuh dari pihak musuh juga besar. Pengejaran dilarang ketika mereka hingga di Wadi Authas (lembah Authas). Di daerah itu, kaum muslimin masih sempat menewaskan beberapa musuh dan menyerang sisa-sisanya dengan keras. Akan tetapi, komandan mereka, Malik bin 'Auf, berhasil melarikan diri ke Thaif dan berlindung di sana. Dengan demikian, Allah memenangkan kaum muslimin dengan kemenangan yang semakin menguatkan posisi mereka. Dalam hal ini, Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya):
"Sesungguhnya Alah telah menolong kau (hai para mukiminin di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kau menjadi congkak alasannya ialah banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kau lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman. Dan, Allah menurunkan bala tentara yang kau tidak melihatnya dan Allah menimpakan tragedi kepada orang-orang kafir. Dan, demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir" (QS. At-Taubah 25-26).
Kaum muslimin memperolah harta ghanimah yang banyak. Jika dihitung berdasarkan ukuran ketika ini, jumlahnya 22.000 unta, 40.000 kambing, dan 4.000 ons perak. Orang-orang musyrik yang terbunuh banyak. Gadis-gadis dan wanita-wanita Hawazin yang tertawan ada 6.000 orang. Mereka diboyong ke Wadi Ji'ranah (lembah Ji'ranah) sebagai tawanan. Sementara korban di pihak kaum muslimin jumlahnya juga tak terhitung alasannya ialah banyaknya. Kitab-kitab sirah menyebutkan ada dua kabilah kaum muslimin yang musnah.
Nabi saw. kemudian melaksanakan shalat ghaib untuk mereka. Rasulullah saw. meninggalkan ghanimah dan para tawanan ini di Ji'ranah, kemudian dilanjutkan untuk mengepung Thaif, daerah proteksi Malik bin 'Auf sesudah kekalahannya di Hunaian. Rasul memerintahkan semoga kepungan semakin diperketat, namun Thaif bagi Bani Tsaqif ialah kota yang mempunyai benteng yang kuat. Penduduknya mempunyai pengetahuan perang untuk menghadapi kepungan. Mereka juga mempunyai kekayaan alam yang melimpah. Di samping itu, Tsaqif menguasai teknik melempar tanah dan tombak dengan baik. Dalam peperangan ini, mereka melempari kaum muslimin dengan lembing dan anak panah.
Di antara kaum muslimin banyak yang terbunuh. Tidak gampang bagi kaum muslimin untuk menembus pertahanan musuh. Karena itu, mereka mendirikan kemah yang jaraknya cukup jauh dari benteng musuh. Kaum muslimin tinggal di perkemahan itu sambil menunggu apa yang akan diperbuat Allah terhadap mereka. Dan, tidak usang kemudian sumbangan datang. Nabi saw. meminta sumbangan pada Bani Daus untuk melempari Thaif dengan manjanik. Mereka tiba kepada Nabi saw. sesudah empat hari dari pengepunangan dengan membawa peralatan senjata.
Kaum muslimin menyerang pasukan Thaif dan melemparinya dengan manjanik. Mereka juga mengirimkan senjata homogen "tank" yang dibawa masuk dari bawah pertahanan musuh. Dengan senjata itu, mereka merangkak, kemudian merayap tembok benteng Thaif untuk membakarnya. Sayang, mereka tidak merasa ada potongan-potongan besi yang dipanaskan dengan api dan siap menjebak mereka. Potongan-potongan besi itu benar-benar berhasil menghalau mereka dan memperabukan dababah (sejenis tank untuk alat merangkak dan merayap tembok) mereka. Mereka lari.
Tha'if memanaskan potongan-potongan besi hingga meleleh, kemudian melemparkannya ke dababah sehingga membakarnya. Potongan-potongan besi itulah yang membahayakan kaum muslimin sehingga mereka lari. Ketika mereka lari, Tsaqif masih melempari mereka dengan panah dan banyak di antara mereka yang terbunuh. Dengan demikian, kaum muslimin gagal memasuki Tha'if.
Kegagalan ini memaksa kaum muslimin memakai taktik baru. Mereka menggunduli kebun-kebun Bani Tsaqif dan membakarnya dengan harapan mereka akan menyerah. Namun, mereka tidak menyerah. Akan tetapi, sebelum serangan berikutnya dilancarkan, bulan haram (bulan-bulan yang dimuliakan suku-suku Arab dan haram di dalamnya melaksanakan peperangan) telah mulai tiba alasannya ialah Dzulqa'dah telah tampak.
Rasulullah saw. menetapkan kembali dari Tha'if menuju Makkah dan singgah di Ji'ranah, daerah penyimpanan harta ghanimah dan tawanan mereka. Kemudian Malik bin 'Auf tiba menyusul daerah persinggahan Rasul alasannya ialah dia telah berjanji kepadanya bahwa kalau Malik tiba kepada Rasul dalam keadaan muslim, maka dia mengembalikan harta dan keluarganya serta menambahnya 1.000 unta. Malik tiba dengan menyatakan keislamannya.
Dia mengambil apa yang dijanjikan Rasul. Hal itu menyebabkan para sobat khawatir penggalan ghanimah mereka akan berkurang kalau Rasul tetap memberikannya kepada orang Hawazin itu. Karena itu, mereka menuntut ghanimah segera dibagikan di antara mereka dan masing-masing memaksa untuk mengambil tiap harta fai'-nya (rampasan perang). Mereka saling berbisik-bisik membicarakan problem harta ghanimah sehingga bisik-bisik itu hingga terdengar Rasul.
Beliau bangun di samping seekor unta, kemudian mengambil selembar bulunya dari penggalan punuk dan meletakkannya di antara kedua jarinya, kemudian menariknya seraya bersabda, "Hai manusia! Demi Allah, tidaklah saya menguasai (memonopoli) sebagian dari harta jarahan (fai') kalian dan tidak juga selembar bulu unta ini kecuali seperlimanya. Yang seperlima dikembalikan kepada kalian. Maka, penuhilah penjahit dan yang dijahit. Sesungguhnya khianat pada keluarga amat memalukan. Dia niscaya akan terkena api dan air neraka pada hari kiamat."
Beliau memerintahkan tiap sobat mengembalikan apa yang telah diambilnya dari harta ghanimah sehingga harta tersebut terbagi dengan adil. Kemudian dia membaginya menjadi lima bagian. Seperlimanya dipisahkan untuk dirinya sendiri dan sisanya (empat per lima) dibagikan kepada para sahabatnya. Tiap-tiap bagian, dia berikan kepada Abu Sufyan dan anaknya, Mu'awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin 'Amru, Huwaithab bin 'Abd al-'Uzza, Hakim bin Hizam, al-'Alla bin Jariyah (lima orang yang terakhir ini ialah dari bani Tsaqif), 'Uyayyinah bin Hashan, Aqra' bin Habis, Malik bin 'Auf an-Nashariy, dan Shafwan bin Umayyah.
Masing-masing orang diberi 100 unta sebagai perhiasan atas penggalan mereka sekaligus sebagai pengikat dan penyejuk hati mereka (sebagai penggalan dari mu'allaf). Beliau juga menawarkan 50 ekor unta kepada orang-orang selain mereka (mu'allaf) sebagai perhiasan penggalan mereka. Beliau telah memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu'allaf. Dalam pembagian harta ghanimah ini, dia berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan perilaku politisnya.
Akan tetapi, sebagian kaum muslimin masih ada yang tidak mengetahui hikmah kemuliaan dan pembagian Rasul ini. Perbuatan dia sempat menciptakan kaum Ansor saling membicarakannya di antara sesama mereka. Mereka berkata kepada sesama kaum mereka, "Demi Allah, Rasulullah telah menemui (bergabung dengan) kaumnya!" Perkataan itu kuat pada jiwa mereka. Sa'ad bin Ubadah yang juga ikut menggunjingkan kebijakan Rasul ini, perkataannya hingga terdengar beliau, Lalu dia bertanya, "Di manakah posisimu mengenai hal itu, hai Sa'ad?!"
"Tidak lain saya menjadi penggalan dari kaumku, wahai Rasul," jawab Sa'ad. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya.
"Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di daerah ini!" pinta Rasul pada Sa'ad.
Sa'ad kemudian mengumpulkan mereka, kemudian Rasul berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini. "Hai orang-orang Ansor," sapa Rasul, "ucapan-ucapan kalian telah hingga kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang gres dalam diri kalian alasannya ialah aku. Bukankah saya telah mendatangi kalian dalam keadaan tersesat kemudian Allah memberi kalian hidayah, dalam keadaan kekurangan kemudian Allah mengayakan kalian, dan dalam keadaan saling bermusuhan kemudian Allah mempersatukan hati kalian."
"Benar, Allah dan Rasul-Nya lebih memberi keamanan dan lebih utama," jawab mereka serempak.
"Mengapa kalian tidak menjawabku, hai orang-orang Ansor?!" tanya Rasul kemudian.
Kaum muslimin terus merangsek ke tengah medan dengan menganggap simpulan hidup di jalan Allah ialah kenikmatan. Peperangan semakin dahsyat sehingga Hawazin dan Tsaqif yakin bahwa mereka berada di tengah-tengah kebinasaan. Maka, mereka pun melarikan diri dalam keadaan kalah tanpa menunggu waktu. Harta benda dan wanita-wanita mereka ditinggalkan di belakang menjadi harta rampasan perang (ghanimah) kaum muslimin.
Pasukan kaum muslimin berusaha memburu mereka dan berhasil menawan mereka dalam jumlah yang cukup besar. Korban terbunuh dari pihak musuh juga besar. Pengejaran dilarang ketika mereka hingga di Wadi Authas (lembah Authas). Di daerah itu, kaum muslimin masih sempat menewaskan beberapa musuh dan menyerang sisa-sisanya dengan keras. Akan tetapi, komandan mereka, Malik bin 'Auf, berhasil melarikan diri ke Thaif dan berlindung di sana. Dengan demikian, Allah memenangkan kaum muslimin dengan kemenangan yang semakin menguatkan posisi mereka. Dalam hal ini, Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya):
"Sesungguhnya Alah telah menolong kau (hai para mukiminin di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kau menjadi congkak alasannya ialah banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kau lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman. Dan, Allah menurunkan bala tentara yang kau tidak melihatnya dan Allah menimpakan tragedi kepada orang-orang kafir. Dan, demikianlah pembalasan kepada orang-orang kafir" (QS. At-Taubah 25-26).
Kaum muslimin memperolah harta ghanimah yang banyak. Jika dihitung berdasarkan ukuran ketika ini, jumlahnya 22.000 unta, 40.000 kambing, dan 4.000 ons perak. Orang-orang musyrik yang terbunuh banyak. Gadis-gadis dan wanita-wanita Hawazin yang tertawan ada 6.000 orang. Mereka diboyong ke Wadi Ji'ranah (lembah Ji'ranah) sebagai tawanan. Sementara korban di pihak kaum muslimin jumlahnya juga tak terhitung alasannya ialah banyaknya. Kitab-kitab sirah menyebutkan ada dua kabilah kaum muslimin yang musnah.
Nabi saw. kemudian melaksanakan shalat ghaib untuk mereka. Rasulullah saw. meninggalkan ghanimah dan para tawanan ini di Ji'ranah, kemudian dilanjutkan untuk mengepung Thaif, daerah proteksi Malik bin 'Auf sesudah kekalahannya di Hunaian. Rasul memerintahkan semoga kepungan semakin diperketat, namun Thaif bagi Bani Tsaqif ialah kota yang mempunyai benteng yang kuat. Penduduknya mempunyai pengetahuan perang untuk menghadapi kepungan. Mereka juga mempunyai kekayaan alam yang melimpah. Di samping itu, Tsaqif menguasai teknik melempar tanah dan tombak dengan baik. Dalam peperangan ini, mereka melempari kaum muslimin dengan lembing dan anak panah.
Di antara kaum muslimin banyak yang terbunuh. Tidak gampang bagi kaum muslimin untuk menembus pertahanan musuh. Karena itu, mereka mendirikan kemah yang jaraknya cukup jauh dari benteng musuh. Kaum muslimin tinggal di perkemahan itu sambil menunggu apa yang akan diperbuat Allah terhadap mereka. Dan, tidak usang kemudian sumbangan datang. Nabi saw. meminta sumbangan pada Bani Daus untuk melempari Thaif dengan manjanik. Mereka tiba kepada Nabi saw. sesudah empat hari dari pengepunangan dengan membawa peralatan senjata.
Kaum muslimin menyerang pasukan Thaif dan melemparinya dengan manjanik. Mereka juga mengirimkan senjata homogen "tank" yang dibawa masuk dari bawah pertahanan musuh. Dengan senjata itu, mereka merangkak, kemudian merayap tembok benteng Thaif untuk membakarnya. Sayang, mereka tidak merasa ada potongan-potongan besi yang dipanaskan dengan api dan siap menjebak mereka. Potongan-potongan besi itu benar-benar berhasil menghalau mereka dan memperabukan dababah (sejenis tank untuk alat merangkak dan merayap tembok) mereka. Mereka lari.
Tha'if memanaskan potongan-potongan besi hingga meleleh, kemudian melemparkannya ke dababah sehingga membakarnya. Potongan-potongan besi itulah yang membahayakan kaum muslimin sehingga mereka lari. Ketika mereka lari, Tsaqif masih melempari mereka dengan panah dan banyak di antara mereka yang terbunuh. Dengan demikian, kaum muslimin gagal memasuki Tha'if.
Kegagalan ini memaksa kaum muslimin memakai taktik baru. Mereka menggunduli kebun-kebun Bani Tsaqif dan membakarnya dengan harapan mereka akan menyerah. Namun, mereka tidak menyerah. Akan tetapi, sebelum serangan berikutnya dilancarkan, bulan haram (bulan-bulan yang dimuliakan suku-suku Arab dan haram di dalamnya melaksanakan peperangan) telah mulai tiba alasannya ialah Dzulqa'dah telah tampak.
Rasulullah saw. menetapkan kembali dari Tha'if menuju Makkah dan singgah di Ji'ranah, daerah penyimpanan harta ghanimah dan tawanan mereka. Kemudian Malik bin 'Auf tiba menyusul daerah persinggahan Rasul alasannya ialah dia telah berjanji kepadanya bahwa kalau Malik tiba kepada Rasul dalam keadaan muslim, maka dia mengembalikan harta dan keluarganya serta menambahnya 1.000 unta. Malik tiba dengan menyatakan keislamannya.
Dia mengambil apa yang dijanjikan Rasul. Hal itu menyebabkan para sobat khawatir penggalan ghanimah mereka akan berkurang kalau Rasul tetap memberikannya kepada orang Hawazin itu. Karena itu, mereka menuntut ghanimah segera dibagikan di antara mereka dan masing-masing memaksa untuk mengambil tiap harta fai'-nya (rampasan perang). Mereka saling berbisik-bisik membicarakan problem harta ghanimah sehingga bisik-bisik itu hingga terdengar Rasul.
Beliau bangun di samping seekor unta, kemudian mengambil selembar bulunya dari penggalan punuk dan meletakkannya di antara kedua jarinya, kemudian menariknya seraya bersabda, "Hai manusia! Demi Allah, tidaklah saya menguasai (memonopoli) sebagian dari harta jarahan (fai') kalian dan tidak juga selembar bulu unta ini kecuali seperlimanya. Yang seperlima dikembalikan kepada kalian. Maka, penuhilah penjahit dan yang dijahit. Sesungguhnya khianat pada keluarga amat memalukan. Dia niscaya akan terkena api dan air neraka pada hari kiamat."
Beliau memerintahkan tiap sobat mengembalikan apa yang telah diambilnya dari harta ghanimah sehingga harta tersebut terbagi dengan adil. Kemudian dia membaginya menjadi lima bagian. Seperlimanya dipisahkan untuk dirinya sendiri dan sisanya (empat per lima) dibagikan kepada para sahabatnya. Tiap-tiap bagian, dia berikan kepada Abu Sufyan dan anaknya, Mu'awiyah, Harits bin Harits, Harits bin Hisyam, Suhail bin 'Amru, Huwaithab bin 'Abd al-'Uzza, Hakim bin Hizam, al-'Alla bin Jariyah (lima orang yang terakhir ini ialah dari bani Tsaqif), 'Uyayyinah bin Hashan, Aqra' bin Habis, Malik bin 'Auf an-Nashariy, dan Shafwan bin Umayyah.
Masing-masing orang diberi 100 unta sebagai perhiasan atas penggalan mereka sekaligus sebagai pengikat dan penyejuk hati mereka (sebagai penggalan dari mu'allaf). Beliau juga menawarkan 50 ekor unta kepada orang-orang selain mereka (mu'allaf) sebagai perhiasan penggalan mereka. Beliau telah memenuhi semua kebutuhan orang-orang mu'allaf. Dalam pembagian harta ghanimah ini, dia berada dalam puncak kedermawanan dan kemuliaan serta kearifan dan kegeniusan perilaku politisnya.
Akan tetapi, sebagian kaum muslimin masih ada yang tidak mengetahui hikmah kemuliaan dan pembagian Rasul ini. Perbuatan dia sempat menciptakan kaum Ansor saling membicarakannya di antara sesama mereka. Mereka berkata kepada sesama kaum mereka, "Demi Allah, Rasulullah telah menemui (bergabung dengan) kaumnya!" Perkataan itu kuat pada jiwa mereka. Sa'ad bin Ubadah yang juga ikut menggunjingkan kebijakan Rasul ini, perkataannya hingga terdengar beliau, Lalu dia bertanya, "Di manakah posisimu mengenai hal itu, hai Sa'ad?!"
"Tidak lain saya menjadi penggalan dari kaumku, wahai Rasul," jawab Sa'ad. Dia bahkan mendukung perkataan kaumnya.
"Kalau begitu, kumpulkan kaummu untukku di daerah ini!" pinta Rasul pada Sa'ad.
Sa'ad kemudian mengumpulkan mereka, kemudian Rasul berbicara kepada orang-orang yang tidak puas ini. "Hai orang-orang Ansor," sapa Rasul, "ucapan-ucapan kalian telah hingga kepadaku. Kalian telah menemukan hal yang gres dalam diri kalian alasannya ialah aku. Bukankah saya telah mendatangi kalian dalam keadaan tersesat kemudian Allah memberi kalian hidayah, dalam keadaan kekurangan kemudian Allah mengayakan kalian, dan dalam keadaan saling bermusuhan kemudian Allah mempersatukan hati kalian."
"Benar, Allah dan Rasul-Nya lebih memberi keamanan dan lebih utama," jawab mereka serempak.
"Mengapa kalian tidak menjawabku, hai orang-orang Ansor?!" tanya Rasul kemudian.
"Dengan apa kami harus menjawabmu, wahai Rasulullah?" kata mereka. "Hanya milik Allah dan Rasul-Nya segala anugerah dan keutamaan," tambah mereka.
Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, "Demi Allah, seandainya kalian menghendaki, niscaya kalian akan mengatakan, membenarkan, dan membenarkan! Engkau tiba kepada kami dalam keadaan dibohongi, kemudian kami membernarkanmu, dalam keadaan terlonta-lonta kemudian kami menolongmu, dalam keadaan terbuang kemudian kami memberi perlinungan kepadamu, dan dalam keadaan kekurangan kemudian kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Ansor, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kelunakan pada dunia yang saya harus menyatukan kalian dengannya menjadi suatu kaum semoga selamat dan saya menyerahkan kalian pada Islam kalian. Hai orang-orang Ansor, apakah kalian tidak ridha terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta, sementara kalian kembali pada kendaraan kalian dengan Rasulullah? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, niscaya saya menjadi orang di antara kaum Ansor. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan oang-oang Ansor ke bukit yang lain, niscaya saya berjalan di bukit kaum Ansor. Ya Allah, rahamatilah kaum Ansor, bawah umur kaum Ansor, bawah umur dari bawah umur kaum Ansor ..."
Belum habis pidato Rasul ini, kaum Ansor menangis dengan tangis yang keras dan menyayat hati hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. "Kami lebih ridha dengan Rasulullah sebagai penggalan (kami)," jawab mereka dengan air mata yang masih membasah. Kemudian mereka kembali ke kemah-kemah dan kendaraan mereka.
Baca Juga: Kronologi Penyebab Terjadinya Perang Mut'ah
Setelah itu, Rasulullah saw. keluar dari Ji'ranah menuju Makkah dalam keadaan ihram untuk umrah. Beliau berangkat dengan pasukannya. Setelah selesai melaksanakan umrah, dia mengangkat 'Utab bin Usaid menjadi Gubernur Makkah, sementara Mu'adz bin Jabal ditunjuk sebagai guru yang akan membina penduduk Makkah dan memberi pemahaman mereka wacana Islam. Kemudian dia bersama kaum Ansor dan Muhajirin kembali ke Madinah.
Rasulullah kemudian melanjutkan sabdanya, "Demi Allah, seandainya kalian menghendaki, niscaya kalian akan mengatakan, membenarkan, dan membenarkan! Engkau tiba kepada kami dalam keadaan dibohongi, kemudian kami membernarkanmu, dalam keadaan terlonta-lonta kemudian kami menolongmu, dalam keadaan terbuang kemudian kami memberi perlinungan kepadamu, dan dalam keadaan kekurangan kemudian kami memberi kecukupan kepadamu. Hai kaum Ansor, apakah kalian menemukan dalam diri kalian kelunakan pada dunia yang saya harus menyatukan kalian dengannya menjadi suatu kaum semoga selamat dan saya menyerahkan kalian pada Islam kalian. Hai orang-orang Ansor, apakah kalian tidak ridha terhadap orang-orang yang pergi dengan kambing-kambing dan unta, sementara kalian kembali pada kendaraan kalian dengan Rasulullah? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya tidak ada hijrah, niscaya saya menjadi orang di antara kaum Ansor. Seandainya orang-orang berjalan ke suatu bukit dan oang-oang Ansor ke bukit yang lain, niscaya saya berjalan di bukit kaum Ansor. Ya Allah, rahamatilah kaum Ansor, bawah umur kaum Ansor, bawah umur dari bawah umur kaum Ansor ..."
Belum habis pidato Rasul ini, kaum Ansor menangis dengan tangis yang keras dan menyayat hati hingga air mata mereka membasahi janggut-janggut mereka. "Kami lebih ridha dengan Rasulullah sebagai penggalan (kami)," jawab mereka dengan air mata yang masih membasah. Kemudian mereka kembali ke kemah-kemah dan kendaraan mereka.
Baca Juga: Kronologi Penyebab Terjadinya Perang Mut'ah
Setelah itu, Rasulullah saw. keluar dari Ji'ranah menuju Makkah dalam keadaan ihram untuk umrah. Beliau berangkat dengan pasukannya. Setelah selesai melaksanakan umrah, dia mengangkat 'Utab bin Usaid menjadi Gubernur Makkah, sementara Mu'adz bin Jabal ditunjuk sebagai guru yang akan membina penduduk Makkah dan memberi pemahaman mereka wacana Islam. Kemudian dia bersama kaum Ansor dan Muhajirin kembali ke Madinah.
Sejarah Singkat Perang Hunain ini di salin dan diterjemahkan dari buku al-Daulah al-Islaamiyyah karangan Taqiyyuddin al-Nabhani
Buat lebih berguna, kongsi: