Tongkronganislami.net - Terbentuknya Dinasti Muwahhidun (1090-1147) beranjak dari kondisi Afrika Utara pada waktu kekuasaan Dinasti Murabithun mulai melemah. Wafatnya Yusuf bin Tasyufin pada tahun 1106 M, berakibat jelek bagi Murabithun, alasannya yaitu pemimpin-pemimpin setelah ia yaitu orang-orang yang lemah. Kondisi semakin kacau ketika pimpinan fuqaha’ dipegang oleh seorang sufi yang ekstrim dan mulai menyimpang dari pedoman al-Qur’an dan Sunnah (paham tajassum/mengatakan bahwa Tuhan mempunyai bentuk menyerupai badan manusia). Kehidupan masyarakat sudah materialistis, di samping terjadinya stagnasi dalam pemikiran para pengikut Imam Malik, yang menyatakan tidak perlu lagi mempelajari Tafsir al-Qur’an dan hadits alasannya yaitu semua itu telah dilakukan oleh Imam Malik.
Dalam kondisi demikian muncul Ibn Tumart (1078-1130) dari kabilah masmudah pasca mencar ilmu dari beberapa kawasan sentra penyebaran Islam (Cordova, Alexandria, Makkah dan Bagdad) dan juga mencar ilmu kepada al-Ghazali yang beraliran asy’ariah. Sekitar tahun 1100 M ia kembali ke Maroko dan membuatkan ajarannya yang menerima sambutan baik dari masyarakat. Inti ajarannya yaitu tauhidullah, mengesakan Tuhan dan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan pedoman Islam ia kritik secara tajam. Di samping memperkenalkan pedoman itu Ibn Tumart juga mendakwakan dirinya sebagai al-Mahdi yang akan membangkitkan kebenaran dan keadilan.[1]
Gerakan yang dibangun menurut kebenaran dan kemurnian pedoman Islam tersebut berhasil merangkul banyak pengikut dari masyarakat, walaupun terkadang dakwahnya tidak selalu mulus. Pada tahun 1117 M Ibn Tumart dan pengikutnya terusir dari tempat tersebut, sehingga ia pergi ke Marakesy. Namun, alasannya yaitu ditempat tersebut kehadirannya tidak begitu menerima sambutan, alhasil ia pergi ke Tilimsan (Tinmal/Tanmaal). Dari tempat inilah ia menyusun kekuatan yang berwujud menjadi sebuah dinasti di temani oleh Abdul Mu’min yang ia dapatkan di Marakesy.
Untuk membuatkan dakwahnya ia mengirim da’i keberbagai kawasan untuk mengajak kepada kebenaran (amar ma’ruf) dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang jelek (nahi mungkar). Kepada pengikutnya ia menyerukan supaya mendirikan shalat sempurna waktu, berakhlak terpuji, taat pada undang-undang, menciptakan wirid yang dibentuk oleh imam Mahdi dan mendalami kitab-kitab aqidah al-Muwahhidun.
Pada tahun 1130, Ibn Tumart digantikan oleh sahabat sekaligus jenderalnya, ’Abd al-Mu’min ibn ’Ali, anak seorang pembuat tembikar dari suku Zanatah, yang dalam perkembangannya menghancurkan pasukan Dinasti Murabbitun bersahabat Talimcen, yang diduduki beserta Fez, Ceuta, Tangier, dan Agmat; setelah mengepung Maroko selama 11 bulan (1146-1147. Setelah menguasai Maroko dan Spanyol, ’Abd al-Mu’min melanjutkan penaklukan ke Aljazair pada tahun 1152, ke Tunisia tahun 1158, dan Tripoli pada tahun 1160, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah muslim, seluruh pesisir dari Atlantik sampai perbatasan Mesir dihimpun dengan Spanyol sebagai suatu imperium independen.
Pasca ajal ’Abd al-Mu’min (w. 1163), ia digantikan oleh seorang putra budak kristen, Abu Yusuf Ya’qub al-Manshur (1184-1199), pemimpin yang paling tenar pada masa kekuasaan dinasti Muwahhidun.[2] Dan pada perkembangan sampai masa kekuasaannya, pemimpin yang pernah berkuasa pada masa kekuasaan dinasti Muwahhidun berjumlah 12 orang yang tidak dibahas satu persatu dalam goresan pena ini, di antaranya:
Perkembangan Islam pada masa Dinasti Muwahhidun
Dalam kondisi demikian muncul Ibn Tumart (1078-1130) dari kabilah masmudah pasca mencar ilmu dari beberapa kawasan sentra penyebaran Islam (Cordova, Alexandria, Makkah dan Bagdad) dan juga mencar ilmu kepada al-Ghazali yang beraliran asy’ariah. Sekitar tahun 1100 M ia kembali ke Maroko dan membuatkan ajarannya yang menerima sambutan baik dari masyarakat. Inti ajarannya yaitu tauhidullah, mengesakan Tuhan dan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan pedoman Islam ia kritik secara tajam. Di samping memperkenalkan pedoman itu Ibn Tumart juga mendakwakan dirinya sebagai al-Mahdi yang akan membangkitkan kebenaran dan keadilan.[1]
Gerakan yang dibangun menurut kebenaran dan kemurnian pedoman Islam tersebut berhasil merangkul banyak pengikut dari masyarakat, walaupun terkadang dakwahnya tidak selalu mulus. Pada tahun 1117 M Ibn Tumart dan pengikutnya terusir dari tempat tersebut, sehingga ia pergi ke Marakesy. Namun, alasannya yaitu ditempat tersebut kehadirannya tidak begitu menerima sambutan, alhasil ia pergi ke Tilimsan (Tinmal/Tanmaal). Dari tempat inilah ia menyusun kekuatan yang berwujud menjadi sebuah dinasti di temani oleh Abdul Mu’min yang ia dapatkan di Marakesy.
Untuk membuatkan dakwahnya ia mengirim da’i keberbagai kawasan untuk mengajak kepada kebenaran (amar ma’ruf) dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang jelek (nahi mungkar). Kepada pengikutnya ia menyerukan supaya mendirikan shalat sempurna waktu, berakhlak terpuji, taat pada undang-undang, menciptakan wirid yang dibentuk oleh imam Mahdi dan mendalami kitab-kitab aqidah al-Muwahhidun.
Pada tahun 1130, Ibn Tumart digantikan oleh sahabat sekaligus jenderalnya, ’Abd al-Mu’min ibn ’Ali, anak seorang pembuat tembikar dari suku Zanatah, yang dalam perkembangannya menghancurkan pasukan Dinasti Murabbitun bersahabat Talimcen, yang diduduki beserta Fez, Ceuta, Tangier, dan Agmat; setelah mengepung Maroko selama 11 bulan (1146-1147. Setelah menguasai Maroko dan Spanyol, ’Abd al-Mu’min melanjutkan penaklukan ke Aljazair pada tahun 1152, ke Tunisia tahun 1158, dan Tripoli pada tahun 1160, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah muslim, seluruh pesisir dari Atlantik sampai perbatasan Mesir dihimpun dengan Spanyol sebagai suatu imperium independen.
Pasca ajal ’Abd al-Mu’min (w. 1163), ia digantikan oleh seorang putra budak kristen, Abu Yusuf Ya’qub al-Manshur (1184-1199), pemimpin yang paling tenar pada masa kekuasaan dinasti Muwahhidun.[2] Dan pada perkembangan sampai masa kekuasaannya, pemimpin yang pernah berkuasa pada masa kekuasaan dinasti Muwahhidun berjumlah 12 orang yang tidak dibahas satu persatu dalam goresan pena ini, di antaranya:
- Ibn Tumart (w.1130 M)
- Abdul Mu’min (w.1163 M)
- Abu Yaqub Yusuf ibn Abdul Mu’min (w.1184 M)
- Abu Yusuf Yaqub ibn Abu Yaqub Yusuf (w.1199 M)
- Muhammad ibn al-Nashir (w.1214 M)
- Al-Muntashir (w.1223 M)
- Abdul Wahid ibn al-Muntashir (w.1224 M)
- Abu Muhammad al-Adil(w.1227 M)
- Al-Ma’mun (w.1233 M)
- Abdul Wahid II (w.1243 M)
- Al-Mutamid (w.1266 M)
Al-Wasiq.
Perkembangan Islam pada masa Dinasti Muwahhidun
![]() |
Peta Kekuasaan Dinasti Muwahhidun |
Pada zaman Muwahhidun Andalus mencapai puncaknya, terutama pada zaman Al-mu’min, perkembangan peradaban islam, terutama perkembangan ilmu. Meski kemajuan itu intinya merupakan kelanjutan dari peradaban masa sebelumnya, tetapi mereka mempunyai sisi-sisi peradaban yang menarik dan menonjol. Sisi-sisi keindahan dan kedalaman apresiasi mereka terhadap makna kehidupan tercermin dalam karya sastra mereka. Berikut perkembangan pada zaman al-Muwahhidun:
a. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam bidang sastra dan bahasa, al-Muwahhidun banyak melanjutkan kemajuan yang telah dicapai al-Murabithun, tokoh-tokohnya di antaranya yaitu :[3]
1) Ibn al-Khafajar (w.1139 M)
2) Abu Bakr Muhammad ibn Zuhr (w.1110 M)
3) Ibn Quzman atau Abengusman (w.1160 M).
Pada masa ini muncul pula tokoh-tokoh lexicographer menyerupai :[4]
1) Ibn Sida’ (w.1066 M)
2) Abu Bakr al-Turtusi yang dikenal dengan Ibn Abi Randaq (w.1130 M), dengan karyanya Siraj Al-Mulk.
Di samping itu juga terdapat beberapa tokoh-tokoh yang populer yang hidup pada masa kekuasaan Dinasti Muwahhidun antara lain:
1) Ibn Bajjah (533 H/1139 M), seorang filosof dengan karyanya The Rule of Solitary. Ia juga berada di bidang musik yang disebut Avenpace atau Abenpace.[5]
2) Ibn Thufayl, (581 H/ 1185-1186 M), seorang filosof dengan karyanya Hayy bin Yaqzhan. Ia juga seorang dokter, jago geografi dan penyair Andalusia atau yang dikenal dengan nama Al-andalusi, Al-Kurtubi, Al-Isibily.[6]
3) Ibn Rusyd (1126-1198 M), ia yaitu seorang filosof , dokter, jago matematika, fikih, jago hukum, juga seorang poplemik atau dikenal dengan sebutan Averrous.[7] Dan berikut karya-karyanya :
- Bidang filsafat, karyanya Tahafut al-Tahafut.
- Bidang kedokteran, karyanya Kulliyat fi at-Thib (aturan umum kedokteran).
- Bidang fiqih, karyanya Bidayah al-Mujtahid.
4) Ibn Zuhr atau Avenzoar (w.1198 M), ia yaitu seorang tabib dan jago bedah populer yang hidup sezaman dengan Ibn Rusyd.[8]
5) Ibn Jubair, seorang pengembara dari Andalusia, buku pengembaraannya dianggap sebagai puncak karya seni satra pengembaraan bangsa Arab yang tiada tandingnya. Dia bekerja sebagai penulis bagi penguasa Granada dari dinasti al- Muwahhidun, ia lebih dikenal sebagai penulis dan penyair. Akan tetapi pengembaraannyalah yang membawanya kepada kedudukan yang sangat terhormat dalam ilmu geografi.[9]
6) Ibn al-Arabi atau Ibn Suraka, ia berada di bidang tasawuf yang mengajarkan Wihdat al-Wujud.[10]
7) Abu Madyan, pendiri tarekat Syadzaliyah di Spanyol.[11]
b. Bidang Arsitektur
Dalam bidang arsitektur pada zaman dinasti al-Muwahhidun juga cukup maju dengan didirikannya banyak sekali bangunan dan berikut pemberian peradabannya:
- Menara Giralda di Sevilla.
- Ribatul Fath yang memalsukan gaya Alexandria.
- Dan juga mendirikan rumah sakit yang besar di Marakesy. [12]
c. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi Dinasti Muwahhidun mengadakan hubungan dagang yang luas terutama dengan pulau-pulau di seputar Italia, menyerupai Genoa, Pisa, Marseille, Vanice, dan Silsilia.[13]
Kemunduran Dinasti Muwahhidun
Kemegahan Dinasti al-Muwahhidun setelah wafatnya Abu Ya’qub Yusuf I, tidak sanggup bertahan lama. Sumber sejarah menyebutkan bahwa pasca pemerintahan Abu Ya’qub Yusuf I, yakni ketika Abu Yusuf al-Mansur tampil menggantikannya, selesai pemerintahannya telah menyampaikan gejala kemunduran bagi dinasti ini.[14] Kemajuan yang telah dicapai oleh pemimpin terdahulu, tidak bisa dipertahankan lagi oleh pemimpin sesudahnya.
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kemunduran bagi Dinasti al-Muwahhidun, antara lain:
Faktor Internal
Salah satu indikasi faktor internal yang mengakibatkan terjadinya kemunduran dinasti ini yaitu tampilnya pemimpin yang tidak bisa menangkap peluang dan mengakomodasi banyak sekali isu terkini pengembangan, yakni ketika Muhammad al-Nashr (1184 M) tampil menggantikan pemimpin sebelumnya, dengan usianya yang relatif muda, kurang lebih 17 tahun usianya ketika itu. Ia belum mempunyai kapabilitas serta kematangan emosional yang memadai. Padahal untuk menjadi pemimpin sebuah wilayah yang luas, sangat diharapkan managerial skill serta pengetahuan dan pengalaman yang cukup, supaya mempunyai dapat dipercaya di dalam mengendalikan roda pemerintahan.
[9]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., h. 199
a. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam bidang sastra dan bahasa, al-Muwahhidun banyak melanjutkan kemajuan yang telah dicapai al-Murabithun, tokoh-tokohnya di antaranya yaitu :[3]
1) Ibn al-Khafajar (w.1139 M)
2) Abu Bakr Muhammad ibn Zuhr (w.1110 M)
3) Ibn Quzman atau Abengusman (w.1160 M).
Pada masa ini muncul pula tokoh-tokoh lexicographer menyerupai :[4]
1) Ibn Sida’ (w.1066 M)
2) Abu Bakr al-Turtusi yang dikenal dengan Ibn Abi Randaq (w.1130 M), dengan karyanya Siraj Al-Mulk.
Di samping itu juga terdapat beberapa tokoh-tokoh yang populer yang hidup pada masa kekuasaan Dinasti Muwahhidun antara lain:
1) Ibn Bajjah (533 H/1139 M), seorang filosof dengan karyanya The Rule of Solitary. Ia juga berada di bidang musik yang disebut Avenpace atau Abenpace.[5]
2) Ibn Thufayl, (581 H/ 1185-1186 M), seorang filosof dengan karyanya Hayy bin Yaqzhan. Ia juga seorang dokter, jago geografi dan penyair Andalusia atau yang dikenal dengan nama Al-andalusi, Al-Kurtubi, Al-Isibily.[6]
3) Ibn Rusyd (1126-1198 M), ia yaitu seorang filosof , dokter, jago matematika, fikih, jago hukum, juga seorang poplemik atau dikenal dengan sebutan Averrous.[7] Dan berikut karya-karyanya :
- Bidang filsafat, karyanya Tahafut al-Tahafut.
- Bidang kedokteran, karyanya Kulliyat fi at-Thib (aturan umum kedokteran).
- Bidang fiqih, karyanya Bidayah al-Mujtahid.
4) Ibn Zuhr atau Avenzoar (w.1198 M), ia yaitu seorang tabib dan jago bedah populer yang hidup sezaman dengan Ibn Rusyd.[8]
5) Ibn Jubair, seorang pengembara dari Andalusia, buku pengembaraannya dianggap sebagai puncak karya seni satra pengembaraan bangsa Arab yang tiada tandingnya. Dia bekerja sebagai penulis bagi penguasa Granada dari dinasti al- Muwahhidun, ia lebih dikenal sebagai penulis dan penyair. Akan tetapi pengembaraannyalah yang membawanya kepada kedudukan yang sangat terhormat dalam ilmu geografi.[9]
6) Ibn al-Arabi atau Ibn Suraka, ia berada di bidang tasawuf yang mengajarkan Wihdat al-Wujud.[10]
7) Abu Madyan, pendiri tarekat Syadzaliyah di Spanyol.[11]
b. Bidang Arsitektur
Dalam bidang arsitektur pada zaman dinasti al-Muwahhidun juga cukup maju dengan didirikannya banyak sekali bangunan dan berikut pemberian peradabannya:
- Menara Giralda di Sevilla.
- Ribatul Fath yang memalsukan gaya Alexandria.
- Dan juga mendirikan rumah sakit yang besar di Marakesy. [12]
c. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi Dinasti Muwahhidun mengadakan hubungan dagang yang luas terutama dengan pulau-pulau di seputar Italia, menyerupai Genoa, Pisa, Marseille, Vanice, dan Silsilia.[13]
Kemunduran Dinasti Muwahhidun
Kemegahan Dinasti al-Muwahhidun setelah wafatnya Abu Ya’qub Yusuf I, tidak sanggup bertahan lama. Sumber sejarah menyebutkan bahwa pasca pemerintahan Abu Ya’qub Yusuf I, yakni ketika Abu Yusuf al-Mansur tampil menggantikannya, selesai pemerintahannya telah menyampaikan gejala kemunduran bagi dinasti ini.[14] Kemajuan yang telah dicapai oleh pemimpin terdahulu, tidak bisa dipertahankan lagi oleh pemimpin sesudahnya.
Ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya kemunduran bagi Dinasti al-Muwahhidun, antara lain:
Faktor Internal
Salah satu indikasi faktor internal yang mengakibatkan terjadinya kemunduran dinasti ini yaitu tampilnya pemimpin yang tidak bisa menangkap peluang dan mengakomodasi banyak sekali isu terkini pengembangan, yakni ketika Muhammad al-Nashr (1184 M) tampil menggantikan pemimpin sebelumnya, dengan usianya yang relatif muda, kurang lebih 17 tahun usianya ketika itu. Ia belum mempunyai kapabilitas serta kematangan emosional yang memadai. Padahal untuk menjadi pemimpin sebuah wilayah yang luas, sangat diharapkan managerial skill serta pengetahuan dan pengalaman yang cukup, supaya mempunyai dapat dipercaya di dalam mengendalikan roda pemerintahan.
Akibat dari banyak sekali kelemahan yang dimiliki al-Nashr tersebut, maka di dalam mengendalikan pemerintahannya lebih banyak dipegang oleh menteri-menterinya yang saling merebut mengambil simpati khalifah yang masih muda, sehingga situasi ini dimanfaatkan oleh lawan-lawan al-Muwahhidun, termasuk sisa-sisa al-Murabithun yang belum sanggup dilumpuhkan, kembali melaksanakan perlawanan. Termasuk munculnya pemberontakan dari Bani Ghaniyyah yang pernah ditaklukkan oleh penguasa sebelumnya, yaitu Abu Ya’qub. Mereka kembali melaksanakan perlawanan dengan motifnya menjatuhkan kekuasaan al-Muwahhidun.
Di samping itu, kurangnya kontrol dan perhatian pemerintah sentra terhadap daerah-daerah yang jauh dari sentra pemerintahan, mengakibatkan adanya impian mereka untuk memisahkan diri. Hal ini menyampaikan bahwa adanya wilayah yang luas yang tidak bisa dimenej dengan baik, justeru sangat berpotensi terhadap terjadinya instabilitas dalam negeri, alasannya yaitu adanya bahaya desintegrasi. Ancaman desintegrasi ini, menyerupai munculnya Yaghamrasan ibn Zayyan di Tlemen pada tahun 1236 M yang sanggup mendirikan kerajaan, Abd al-Wadiyyah yang merdeka di Maghrib.
Di samping itu, kurangnya kontrol dan perhatian pemerintah sentra terhadap daerah-daerah yang jauh dari sentra pemerintahan, mengakibatkan adanya impian mereka untuk memisahkan diri. Hal ini menyampaikan bahwa adanya wilayah yang luas yang tidak bisa dimenej dengan baik, justeru sangat berpotensi terhadap terjadinya instabilitas dalam negeri, alasannya yaitu adanya bahaya desintegrasi. Ancaman desintegrasi ini, menyerupai munculnya Yaghamrasan ibn Zayyan di Tlemen pada tahun 1236 M yang sanggup mendirikan kerajaan, Abd al-Wadiyyah yang merdeka di Maghrib.
Pada tahun berikutnya Abu Zakariyya sebagai gubernur al-Muwahhidun di Ifriqiyyah menyatakan kemerdekaan dari Tunis dan mendirikan Dinasti Hifsiyyah. Keadaan ini semakin memperparah kondisi Dinasti al-Muwahhidundan alhasil membawa kepada kejatuhan dinasti ini, yakni pada tahun 1269 M, ketika ibu kota Maroko jatuh ke tangan Dinasti Marawiyyah. Dengan berdirinya Dinasti Marawiyyah, maka berakhirlah Dinasti al-Muwahhidun yang pernah jaya dan sempat bertahan selama satu era lebih.
Faktor Eksternal
Bersamaan dengan kemunduran Dinasti al-Muwahhidun, sebagai akumulasi dari banyak sekali problem sosial politik dalam negeri, pasukan Salib yang telah dikalahkan oleh Salahuddin di Palestina kembali ke Eropa dan mulai menggalang kekuatan gres di bawah pimpinan Alfonso IX. Kekuatan Nasrani ini mengulangi serangannya ke Andalusia dan berhasil mengalahkan kaum muslimin. Karena penguasa al-Muwahhidun merasa terdesak, alhasil meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Maroko). Sedangkan Cordova jatuh ke tangan penguasa Nasrani pada tahun 1238 M, menyusul Seville jatuh pada tahun 1248 M. Serangan-serangan yang dilakukan pasukan Nasrani ini telah mengakibatkan seluruh Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, kecuali Granada.[15]
Catatan Kaki
[1]Philip K. Hitti, History of The Arab, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dkk dengan judul Sejarah Arab (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006 ) h. 693.
[2]Philip K. Hitti, Ibid., h. 697
[3]Dudung Abdurrahman. Sejarah Peradaban Islam Cet. I; Yogyakarta: LESFI, 2004.
[4] Ibid., h. 122
[5] Musurifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Cet. 3; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
[6]Ibid., h. 139
[7]Husayin Ahmad Amin, Seratus Tokoh dan Sejarah Islam (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 192.
[8] Dudung Abdurrahman, Dudung Abdurrahman. Sejarah Peradaban..., h. 274.
Faktor Eksternal
Bersamaan dengan kemunduran Dinasti al-Muwahhidun, sebagai akumulasi dari banyak sekali problem sosial politik dalam negeri, pasukan Salib yang telah dikalahkan oleh Salahuddin di Palestina kembali ke Eropa dan mulai menggalang kekuatan gres di bawah pimpinan Alfonso IX. Kekuatan Nasrani ini mengulangi serangannya ke Andalusia dan berhasil mengalahkan kaum muslimin. Karena penguasa al-Muwahhidun merasa terdesak, alhasil meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara (Maroko). Sedangkan Cordova jatuh ke tangan penguasa Nasrani pada tahun 1238 M, menyusul Seville jatuh pada tahun 1248 M. Serangan-serangan yang dilakukan pasukan Nasrani ini telah mengakibatkan seluruh Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, kecuali Granada.[15]
Catatan Kaki
[1]Philip K. Hitti, History of The Arab, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dkk dengan judul Sejarah Arab (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006 ) h. 693.
[2]Philip K. Hitti, Ibid., h. 697
[3]Dudung Abdurrahman. Sejarah Peradaban Islam Cet. I; Yogyakarta: LESFI, 2004.
[5] Musurifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam Cet. 3; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
[6]Ibid., h. 139
[7]Husayin Ahmad Amin, Seratus Tokoh dan Sejarah Islam (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 192.
[8] Dudung Abdurrahman, Dudung Abdurrahman. Sejarah Peradaban..., h. 274.
[9]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., h. 199
[10]Musyrifah Sunanto,ejarah Islam Klasik; Perkembangan..., h. 128
[11]Ibid
[11]Ibid
[12]Ibid., h. 139
[13]Ibid., h. 140
[14] Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT.Ichtiar Baru van-Hoeve, 1993.
[15] C.E.Broswort, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul “Dinasti-dinasti Islam”, Bandung: Mizan, 1993.
[13]Ibid., h. 140
[14] Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT.Ichtiar Baru van-Hoeve, 1993.
[15] C.E.Broswort, The Islamic Dynasties, diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan judul “Dinasti-dinasti Islam”, Bandung: Mizan, 1993.
Buat lebih berguna, kongsi: