Maksud Sikap Ihsan Dan Misalnya Dalam Islam

Perilaku Ihsan dan Contohnya dalam Islam

Tongkronganislami.net - Dalam hal beragama seseorang akan digolongkan ke dalam beberapa tingkatan, diantaranya: tingkatan Islam, Iman dan Ihsan. Ihsan ialah tingkatan tertinggi dari keberagamaan seseorang. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah r.a mengatakan:

عن أبي هُرَيرةَ قال: «كانَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارِزاً يَوْماً للنَّاسِ، فأتاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: ما الإِيمانُ؟ قال: «أنْ تُؤْمِنَ باللَّهِ، ومَلاَئِكتِهِ، وبِلقائه، وَرُسُلِهِ، وتُؤْمِنَ بالبَعْثِ». قال: ما الإِسلامُ؟ قال: «الإِسْلامُ: أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ ولا تُشْرِكَ بهِ، وَتُقِيمَ الصَّلاةَ، وَتُؤَدِّيَ الزَّكاةَ المَفْروضةَ، وتَصومَ رَمضانَ». قال: ما الإِحسانُ ؟ قال: «أنْ تَعْبُدَ اللَّهِ كأَنَّكَ تَراهُ، فإنْ لم تَكُنْ تَراهُ فإِنَّهُ يراك». 

Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Suatu hari Rasulullah S.a.w bersama orang-orang, kemudian datanglah Jibril a.s dan bertanya: Apakah keyakinan itu? Rasulullah menjawab: Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, mengimani hari pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para rasul-Nya, dan beriman pula kepada Hari Kebangkitan. Lalu ia tanya lagi: Apakah Islam itu? Nabi menjawab: Islam ialah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, menegakkan shalat, menunaikan zakat wajib, dan berpuasa pada bulan Ramadhan. Lalu ia bertanya lagi: Apakah ihsan itu? Nabi menjawabnya lagi: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jikalau tidak melihat-Nya anggap saja Dia yang Melihatmu. (HR. Bukhari)

Hadits Nabi S.a.w di atas, kalau kita simpulkan ialah bahwa Islām itu cenderung pada bentuk-bentuk formal, menyerupai ibadah mahdlah, dan amalan-amalan dhāhir lainnya. Sedangkan Imān ialah kita mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab yang diturunkan-Nya, rasul-rasul yang diutus-Nya, datangnya Hari Kiamat, dan percaya akan adanya takdir dan qadha Allah. Jadi, Islām itu rumusannya terdapat pada Rukun Islam yang lima: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan Imān rumusannya terdapat pada Rukun Iman yang enam.
Untuk menjadi muslim, seseorang hanya perlu bersyahadat: bahwa tidak ada ilahi selain Allah, dan Muhammad ialah utusan Allah. Orang yang mengerjakan shalat meskipun tidak genap 5 waktu sehari, tetap masih dianggap sebagai muslim. Tetapi untuk dianggap mukmin, agak berat sedikit, lebih berat dari sekedar anggapan muslim. 
Perilaku Ihsan dan Contohnya dalam Islam Maksud Perilaku Ihsan dan Contohnya dalam Islam
Pengertian Ihsan / Muslimdaily.net

Jika seseorang mengaku beriman kepada Allah, maka keimanannya itulah yang akan melarangnya untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Allah. Misalnya, seseorang telah berbohong kepada orang lain, tetapi orang tersebut tidak menyadari kalau dirinya telah dibohongi. Meskipun orang lain tidak menyadarinya, tetapi keimanannya akan menyatakan bahwa Allah mustahil sanggup dibohongi, alasannya Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa yang nampak dan yang tersembunyi dari diri kita. Oleh karenanya, orang yang berbuat maksiat, ia tidak sanggup disebut sebagai mukmin.

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Seorang pezina mustahil akan berzina saat beliau sedang beriman, dan seorang pencuri mustahil akan mencuri saat beliau sedang beriman. (HR. Bukhari)

Orang sanggup dengan gampang mengklaim dirinya sebagai muslim, asal pernah kelihatan masuk masjid atau kelihatan pernah shalat. Masalah apakah shalatnya benar-benar lillāhi ta’alā atau alasannya tujuan-tujuan tertentu, itu soal lain. Orang lain tidak dibenarkan menghukumi seseorang di luar yang nampak secara dhāhir. Artinya, khusyu’ atau tulus tidaknya seseorang melaksanakan suatu ibadah, orang lain tidak berwenang untuk mengukurnya, alasannya hal itu merupakan wilayah Allah. 

Orang yang berniat mencelakai orang lain tidak sanggup dijatuhi sangsi, alasannya masih sebatas niat, tetapi apabila niatnya itu telah diwujudkan dalam bentuk prilaku maka ia sanggup dijerat oleh hukum. Maka dari itu, Al-Qur’an menolak klaim orang-orang Arab Badui saat mereka menyampaikan kepada Rasul bahwa dirinya telah beriman.

قَالَتِ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُواْ وَلَـكِن قُولُواْ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِن تُطِيعُواْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لاَ يَلِتْكُمْ مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami gres berislam, alasannya keyakinan itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jikalau kau taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; bekerjsama Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q, s. al-Hujurāt / 49:14)

Sedangkan tingkatan Ihsān lebih tinggi daripada keduanya. Ihsān ialah melaksanakan sesuatu lebih dari sekedar tuntutan keberisalaman dan keberimanan. Jika dalam berislam kita diwajibkan shalat 5 waktu sehari, maka Ihsān akan melakukannya lebih dari itu, yaitu dengan menambahkan shalat-shalat sunnah lainnya, dan kewajiban puasa Ramadhan sebulan penuh oleh ihsan ditambah lagi dengan puasa-puasa sunnah di luar Ramadhan. 

Jika keimanan kita menuntut untuk tidak berbuat yang dihentikan oleh Allah, maka Ihsān melakukannya tidak sekedar menjauhi apa yang dihentikan oleh Allah, tetapi lebih dari itu Ihsān mendorong kita untuk melaksanakan apa yang dianjurkan oleh Allah. Jadi, Ihsān itu merangkum Islām dan Imān!

Rumusan Ihsān ialah “engkau beribadah seperti melihat Allah, dan jikalau engkau tidak melihat-Nya anggap saja Allah sedang melihatmu”. Jadi, Ihsān ialah perasaan akan ke-Maha Hadiran Allah dalam setiap gerak kita. Ihsān ialah perasaan bahwa kita melaksanakan sesuatu hanya ingin dilihat oleh Allah semata, bukan ingin dilihat orang lain.

Seorang karyawan jikalau ia bekerja dengan sungguh-sungguh alasannya sedang dilihat oleh manajernya, tetapi kembali malas dan asal-asalan saat manajernya pergi, maka ia tidak sedang melaksanakan Ihsān: bukan seorang muhsin. 

Seorang cowok yang kelihatan khusyu’ dan alim di hadapan calon mertuanya, namun kembali urakan dan menunjukkan budbahasa aslinya saat jauh dari calon mertuanya, maka yang menyerupai itu terang bukan tindakan Ihsān.

Dengan kata lain, Ihsān ialah bekerja dengan “pamrih”, tetapi pamrihnya untuk Allah semata. Ihsān mengajarkan kepada kita bahwa yang sedang menyaksikan perbuatan kita ialah Allah, Dzat Yang Maha segalanya. Jadi, Ihsān mendidik orang untuk bertanggungjawab atas apa yang menjadi kiprah dan kewajibannya: yaitu perilaku tanggungjawab yang dilandasi oleh perasaan tulus lillahi ta’ala.

Maka dari itu, ciri orang yang muhsin ialah beribadah dan bekerja dengan sungguh-sungguh, penuh dedikasi, bertanggungjawab, dan tulus. Orang muhsin ialah orang yang tulus (baca: buah keikhlasan). Oleh karenanya, dibutuhkan setiap mukmin menggapai Ihsān ini, alasannya ia merupakan tingkatan yang tertinggi dalam keberagamaan seseorang.

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: