Pengertian Ihsan dan Ikhlas dalam Beribadah
Oleh: M Adib Fahrur Riza (09532020)
Oleh: M Adib Fahrur Riza (09532020)
Sebagian aspek keimanan telah dikaji secara terus menerus sehingga demikian dikenal oleh masyarakat. Saking populernya, orang menduga bahwa islam hanyalah itu-itu saja, tidak jauh dari persoalan-persoalan seputar fiqih ibadah, menyerupai thoharoh, shalat, zakat dan sebagainya; dan fiqih muamalah, menyerupai jual beli, serikat dagang, ganti rugi dan sebagainya. Islam tak cuma itu. Ada banyak aspek yang telah didalami dengan serius oleh para Ulama terdahulu.
Yang hendak kita kaji ialah aspek spiritual moral. Inilah salah satu segi peradaban Islam yang patut di kaji kembali. Aspek ini – betapapun penting nilainya—belum menerima perhatian yang semestinya sebagaiman sapek-aspek Islam yang lainnya. Sebuah pertanyaan akan muncul, mengapa, masalnya, masalah wudlu saja dibahas sebegitu rupa sehingga menjadi berjilid-jilid buku, sedangkan masalah ikhlas, tawakkal, taqwa, amanah, sabar tidak demikian. Padahal, ikhlas, tawakkal, sabar merupakan penyempurna, bahkan pilar-pilar utama keimanan.
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Selalu Melibatkan Allah menyampaikan bahwa sesungguhnya amal-amal lahiriah, baik ibadah maupun mu’amalah, tak kan tepat tanpa dibarengi amal-amal bathiniah itu.
Hadis ihwal Ihsan dan Keikhlasan dalam Ibadah
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ الْإِيمَانِ
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam muncul di antara kaum muslimin. Lalu tiba seorang pria dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Islam yakni engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jikalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari selesai zaman itu? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan saya ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan ihwal Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang sanggup mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang sanggup mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Panggillah ia kembali! Para sobat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Ia yakni Jibril, ia tiba untuk mengajarkan insan masalah agama mereka. (Shahih Muslim No.10)
Hadis serupa juga ada pada :
1. Shahih al-Bukhori, Kitāb al-Īmān, no. hadis 48; Kitāb Tafsīr al-Qur’an
2. Shahih Muslim, Kitāb al-Īmān no. hadis 9; Kitāb al-Īmān no. hadis 10; Kitāb al-Īmān no. 11
3. Sunan al-Nasa’i, Kitāb al-Īmān wa syārai’ihi no. hadis 4904; Kitāb al-Īmān wa syārai’ihi no. hadis 4905
4. Sunan Ibnu Majah, Kitāb al-Muqaddimah no. hadis 62; Kitāb al-Muqaddimah no. hadis 63
5. Musnad Ahmad, Musnad al-‘Āsyirah al-Mubasyirīn Bilahjatih no. Hadis 179; Musnad al-‘Āsyirah al-Mubasyirīn Bilahjatih no. Hadis 346; Musnad al-‘Āsyirah al-Mubasyirīn Bilahjatih no. Hadis 352; wa min Musnadi Bani Hasyim no. Hadis 2775; Kitāb Musnad al-Mukaṡirīna min aṣ- Ṣahābah no. Hadis 5593; Baqī Musnad al-Kāṡirīna no. Hadis 9137; Musnad asy-Syamiyīn no. Hadis 16541; Musnad asy-Syamiyīn no. Hadis 16751.[1]
Ketikan menjelaskan hadis jibril ini, Imam Nawawi menempatkan ihsan ke dalam maqam al-musyahadah (maqam penyaksian) dan maqam as-shiddiqin (maqam oang yang benar). Ketika Rasul SAW ditanya oleh jibril mengenai ihsan, ia menjawab “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jikalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu.” Ini yakni maqam penyaksian sejati (maqam al-musyahadah). Siapa saja yang menyaksikan secara eksklusif sang Raja niscaya tidak akan berani berpaling kepada yang lain. Hatinya tidak akan disibukkan oleh hal-hal yang lain selain dirinya kemudiam maksud dari “sesungguhnya Dia selalu melihatmu” yaitu Dia melihat kekhusyuanmu dalam shalat dan amal ibadahmu[2]
Ayat-ayat al-Qur’an yang Menyebutkan ihwal Ihsan
Sesungguhnya rahmat Allah amat akrab kepada orang-orang yang berbuat baik.(Q.S al-‘A’raf 56)
Tidak ada jawaban kebaikan kecuali kebaikan (pula).( Ar-rahman: 60)
Dan Hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya dia memberi jawaban kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang Telah mereka kerjakan dan memberi jawaban kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).Q.S. AN-Najm : 31
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia seorang yang muhsin(yang melaksanakan ihsan), Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Al-Baqarah : 112
Begitu banyak ayat al-Qur’an yang membuktikan ihwal ihsan. Disini cukuplah ayat-ayat itu sebagai bukti. Sebagaimana Rasulullah SAW mendefinisikan ihsan dalam Hadis di atas, ihsan yakni beribadah sengan penuh kerendahan dan kehadiran hati (khudu dan khusyuk), seolah-olah kita melihat Allah dan sadar bahwa Dia melihat kita.[3]
Hadis ihwal Ikhlas dalam Ibadah
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatanz[4]) tergantung niatnya[5]). Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya[6]) lantaran (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya lantaran menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau lantaran perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
Hadis serupa juga ada pada:
1. Shahih al-Bukhori, Kitāb al-manaqib, no. hadis 36
2. Shahih Muslim, Kitāb al-imārah no. hadis 3530
3. Sunan al-Nasa’i, Kitāb al-tahārah, no. Hadis74; Kitāb al-Īmān wa an-nuzur no. hadis 3734; Kitāb al-thalāq, no. Hadis 3383.
4. Sunan at-Tirmizi, Kitāb fadhāilul-jihad an Rasullillah . no hadis 1571
5. Sunan Ibnu Majah, Kitāb al-zuhud . no hadis 4217
6. Musnad Ahmad, Musnad al-‘Āsyirah al-Mubasyirīn Bilahjatih no. Hadis 163 dan
Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti aliran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: Dalam hadits ihwal niat ini meliputi sepertiga ilmu. Sebabnya yakni bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, verbal dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu cuilan dari ketiga unsur tersebut. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata," Hadits ini meliputi tujuh puluh cuilan dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata," Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
Sebab dituturkannya hadits ini, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk sanggup menikahi seorang perempuan yang konon bernama: “Ummu Qais” bukan untuk meraih pahala berhijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah lantaran Ummu Qais).[7]
حدثنا عمرو الناقد حدثنا كثير بن هشام حدثنا جعفر بن برقان عن يزيد بن الأصم عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
Dari Abu Hurairah RA. Berkata: Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya Allah tidak melihat pada tubuhmu dan tidak pula pada wajah rupa mu tapi melihat kepada hatimu dan amal-amal(ibadah) mu. Muslim no. 2564 [8]
Dalam riwayat ini di terangkan sesungguhnya amal yang dhohir tidak menghasilkan ketaqwaan,dan hal tersebut (amal dhohir) sanggup tetapkan hati untuk senantiasa mengagungkan,takut,dan mendekatkan diri kepada allah.dan yang dimaksudkan dengan melihatnya Allah disini yaitu mujazah dan muhasabahnya Allah (potensi melihatnya Allah), yakni Allah melihat apa yang didalam hati bukan hanya apa yang nampak dari luar. Dan Kapasitas pandangan Allah melampaui segala sesuatu. Dan pelajaran yang sanggup diambil dari klarifikasi tersebut semuanya dengan hati, seperi sabda Rasul SAW
" أَلَا إِنَّ فِي الْجَسَد مُضْغَة "
Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal darah (hati)[9]
mengenai hadis ini Al- maziry berkata bahwa sebagian orang berargumen bahwa nalar berada pada hati bukan di kepala[10]
Dalil al-Qur’an ihwal tulus
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[11], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” Al- bayyinah ; 5
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak sanggup mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sanggup mencapainya ( Al-hajj:37)
Katakanlah: "Jika kau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kau melahirkannya, niscaya Allah Mengetahui" (Ali imron:29).
Penjelasan mengenai ihsan dan keikhlasan dalam ibadah
a. Definisi ihsan dan keikhlasan
Ihsan dan kata-kata bentukannnya secara bahasa mempunyai beberapa makna di antaranya: ẖasuna: “menjadi atau tampak sempurna, indah, bagus”; ihsanan:”(berbuat cara) sempurna; ahsana:” ia melaksanakan suatu kebaikan yang besar”; ihsan: kebaikan.
Al juraini dalam kitab at-ta’rifat mengatakan: “Ihsan yakni kata benda-verbal (mashdar) yang mengacu kepada apa yang seharusnya dilakukan seseorang dengan cara yang sebaik-baiknya. Dari tinjauan syariat kata ini berarti beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak melihatnya, sesungguhnya ia melihatmu. Inilah pencapaian sejati dari ibadah seorang hamba yang didasarkan pada penyaksian hakikat ketuhanan dengan cahaya penglihatan spiritual (at-tahaqquq bi al-ubudiyyah ‘ala musyahadati hadhrah ar-rububiyyah bi nur al-bashirah). Jelasnya, penyaksian Allah sebagaimana Dia digambarkan dengan sifat-sifat-Nya dengan keyakinan, bukan dengan pandangan lahiriyah (fa huwa yarahu yaqinan wa la yarahu haqiqatan). Karena itulah nabi SAW, bersabda,” seolah olah kau melihatnya, lantaran seseorang menyaksikan nya dari balik hijab sifat-sifat-Nya”[12]
Sedangkan tulus berdasarkan bahasa yaitu dari kata khalasha yang berarti murni, yang kemudian menjadi ahklasha yang artinya mengambil inti sarinya atau memurnikan[13]. Al-ikhlash berdasarkan KH A. Rifa`i berarti bersih. Sedangkan berdasarkan istilah yakni membersihkan hati supaya ia menuju kapada Allah semata dalam melaksanakan ibadah dan hati dihentikan menuju selain Allah.[14] Kemudian, Abu Qasim al-qusyairy berkata dalam Risalahnya,” Ikhlas yakni menunggalkan tujuan kepada Dzat Yang Mahabenar dalam ketaatan”[15].
Sedangkan para ulama mendefinisikan tulus yakni menghendaki keridhaan Allah dengan suatu amal, membersihkan dari segala noda individual maupun duniawi. Tidak ada yang melatar belakangi suatu amal kecuali lantaran Allah dan demi akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, menyerupai kecenderungan dunia untuk diri sendiri, yang tampak maupun yang tersembunyi, lantaran syahwat, kedudukan atau harta benda. Ikhlas merupakan salah satu dari aneka macam amal hati dan bahkan tulus merupakan berada di barisan pemula dari amal-amal hati, alasannya diterimanya amal tidak sanggup menjadi tepat kecuali dengannya.[16]
Dari definisi diatas sanggup dipahami bahwa tulus memperlihatkan kesucian hati untuk menuju kepada Allah semata. Dalam beribadah hati dihentikan menuju kepada selain Allah, lantaran Allah tidak akan mendapatkan ibadah seorang hamba kecuali dengan niat tulus lantaran Allah semata. Disamping itu perbuatan ibadahnya harus sah dan benar berdasarkan syara`.
b. Korelasi antara Ihsan dengan Keikhlasan dalam ibadah
Seperti yang disebutkan di atas tadi bahwa islam, kepercayaan dan ihsan merupakan tiga pilar agama. Pilar pertama mewakili sisi mudah agama, termasuk ibadah amaliah dan kewajiban-kewajiban lainnya ,pilar kedua berkaitan dengan kepercayaan yang terletak dalam hati dan fikiran, dan pilar yang ketiga mewakili budpekerti tasawuf.
Ihsan merupakan aspek ketiga dari agama dikenal dengan aspek rohani.[17] Ketika keimanan kita benar dan keislaman kita sempurna, muncullah ihsan sebagai konsekwensi logis dari keduanya.[18]
Sesunggunya mereka yang beriman dan berinfak saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. ( Q.S. al-kahfi :30).
Ada beberapa cuilan ihsan, termasuk, semua sifat baik orang mukmin menyerupai taqwa, warak, tawadlu dan salah satunya yakni ikhlas.[19]
Ikhlas sangat kuat dalam langkah seorang muslim yang muknin dalam mencapai ihsan. Ketika kita menyebutkan definisi ihsan yakni an ta’buda allaha... maka akankita pahami bahwa ihsan ini bekerjasama dengan ibadah, dari kata an ta’buda yang berarti beribadah. Maka untuk mencapai tingkatan ihsan itu harus dengan ibadah yang semata-mata menghendaki keridhaan Allah dan membersihkannya dengan segala noda individual maupun duniawi.
c. Pengaplikaisan Ihsan dan Keikhlasan dalam amal keseharian
Ikhlas yakni penyegar amal, yang jikalau diletakkan pada amal manapun, sekalipun amal-amal itu mubah dan kebiasaan , sanggup merubahnya menjadi sebuah ibadah kepada Allah. Rasa lapar, dahaga, perjalanan dan nafkah yang dikeluarkan, menjadi sesuatu yang mendorong mereka kepada kebaikan di sisi Allah, selagi yang demikian dilakukan fisabilillah. Misal, setiap hari kita makan dan kita mengetahui bahwa makan yakni mubah hukunnya, namun yang demikian akan sanggup bernilai ibadah bila kita niat tulus supaya ibadah kita lancar atau dalam mencar ilmu sanggup bejalan dengan lancar. Sebab sarana dan alat itu tergantung pada tujuan dan sasarannya. Segala sesuatu yang membantu jihad fi sebilillah dan untuk meninggikan kalimat Allah dan serta menolonh dakwah-Nya, entah berupa persiapan, alat, latihan, keahlian dan ataupun yang lainnya, merupakan qurban kepada Allah, dengan begitu disana terkandung pahala[20]
Kesimpulan
"Tidak ada jawaban kebaikan kecuali kebaikan (pula ). (Q.S. Ar-Rahman: 60 ) Setiap pribadi muslim senantiasa dituntut berbuat ihsan dalam segala aspek amaliyahnya. Semua acara seorang muslim dalam kehidupannya harus tercebur dalam nuansa ihsan. Baik dalam acara ibadah mahdhah ( rutinitas ritual) menyerupai : sholat, do'a, dzikir, Tilawah Qur'an, haji ; juga dalam ibadah - ibadah 'aam dalam arti umum menyerupai : berdagang, menuntut ihmu, bertetangga, bekerja, berpolitik, berinteraksi dengan alam semesta, serta segala makhluk di alam raya ini. Semua harus diwarnai perilaku ihsan, begitulah yang di pesankan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya : "sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu " (HR. Muslim ).
Dalam syariat islam,ihsan mempunyai dua makna,yaitu :
1. Kebersamaan dengan Allah S.W.T. Ketika ditanya oleh Malaikat Jibril A.S ihwal makna ihsan,rasulullah S.A.W memperlihatkan pengertian : " Engkau mengabdi kepada Allah, seolah-olah engkau melihat Dia, kalau engkau tidak sanggup melihat- Nya maka yakinlah , Dia niscaya melihatmu ". ( HR. Muslim).
2. Berbuat baik lantaran Allah. Ihsan sanggup pula bermakna berbuat baik lantaran Allah SWT. Sebagaimana perintah-Nya : "Dan berbuat sepakat ( kepada Orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi" ( Al - Qashash : 77)
Ikhlas, menghendaki keridhaan Allah dengan suatu amal, membersihkan dari segala noda individual maupun duniawi. Tidak ada yang melatar belakangi suatu amal kecuali lantaran Allah dan demi akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, menyerupai kecenderungan dunia untuk diri sendiri, yang tampak maupun yang tersembunyi, lantaran syahwat, kedudukan atau harta benda sangat penting adalam amal ibadah keseharian. Karana untuk menjadi orang-orang yag tergolong muhsinin itu harus dengan ibadah yang semata-mata menghendaki keridhaan Allah.
Segala amal perbuatan manapun, sekalipun amal-amal itu mubah dan kebiasaan , sanggup merubahnya menjadi sebuah ibadah kepada Allah asalkan mendorong mereka kepada kebaikan di sisi Allah, selagi yang demikian dilakukan fisabilillah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baihaqi, Ahmad bin Hussain bin Aly bin Musa Abu Bakar sunan Baihaqi Kubra (Maktabah Dar al-Baz, Maktabah MUkarromah ) CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol.5,264
Al-Ghazaly, Muhammad, Selalu Melibatkan Allah. Terj. Abad Badruzzaman (Jakarta: serambi Ilmu Semesta
Al-Jurjaini, Al-syarif Ali ibn Muhammad, kitab at-ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, 1408/1988)
Al-Qardhawy , Yusuf, Niat dan Ikhlas Terj. Kathur Suhardi(Jakarta: pustaka al-kautsar, 1997)
An-Nasabury , Muslim Bin Hajjaj Abul-Husain Shohih muslim (Beirut: dar ihya at-turats al-araby) CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol.,7
An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya Bin Mary Syarhu Nawawi Ala Muslim. CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol. 8,36
An-Nawawi , Ibnu Syaraf, Syarah Arba’in Nawawi Fi Ahadisi As-Shahihah. CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol.,5
CD mausu’ah al-hadis asy-syarif. Global Islamic Softwere.1991-1997
Kabbani, Syekh Mohammad Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, Antivirus Kebatilan dan Kezaliman (Jakarta: serambi,2007)
Munawi, Ahmad Warson r, al- Munawwir, kamus Arab-Indonesia(Surabaya ; pustaka progresif, 1997)
Catatan Kaki
[1] CD mausu’ah al-hadis asy-syarif. Global Islamic Softwere.1991-1997
[2] Syekh Mohammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, Antivirus Kebatilan dan Kezaliman (Jakarta: serambi,2007)hal.49
[3] Syekh Mohammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, Antivirus Kebatilan dan Kezaliman (Jakarta: serambi,2007)hal.38
4 Yang dimaksud perbuatan di sini yakni amal ibadah yang membutuhkan niat.
5. Niat yakni harapan dan kehendak hati.
6. Makna kata "Hijrah" secara bahasa: meninggalkan, sedangkan berdasarkan syariat artinya: meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam dengan maksud sanggup melaksanakan aliran agamanya dengan tenang. Yang dimaksud dalam hadits ini yakni perpindahan dari Mekkah ke Madinah sebelum Fathu Makkah (Penaklukan kota Mekkah th. 8 H).
[7] Ibnu Syaraf An-Nawawi, Syarah Arba’in Nawawi Fi Ahadisi As-Shahihah. CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol.1,5
[8]Shohih muslim (Beirut: dar ihya at-turats al-araby) CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol.1,7
[9] Sunan Baihaqi Kubra no.10280 tahqiq: Muhammad abdul Qadir Atha (Maktabah Dar al-Baz, Maktabah MUkarromah ) CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol.5,264
[10] Syarhu Nawawi Ala Muslim. CD ROM. Al-maktabah al-syamilah, kutub el-barnamij fi tarajim wa tabaqat, Vol. 8,361
4.Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
[12] Al-syarif Ali ibn Muhammad al-Jurjaini, kitab at-ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, 1408/1988) h. 12
[13] Ahmad Warson Munawir, al- Munawwir, kamus Arab-Indonesia(Surabaya ; pustaka progresif,1997) hal.356
[14] Ahmad Rifa`i, abyan al hawaij, juz V(1261H) hal.142
[15] Yusuf al-qardhawy, Niat dan Ikhlas Terj. Kathur Suhardi(Jakarta: pustaka al-kautsar,1997) hal.77
[16] Yusuf al-Qardawi, Niat dan ikhlas. Terj. Kathur Suhardi (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1995) hal.17
[17] Syekh Mohammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan… hal.42
[18] Muhammad Al-ghazaly, Selalu Melibatkan Allah. Terj. Abad Badruzzaman (Jakarta: serambi Ilmu Semesta) hal. 66
[19] Syekh Mohammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan… hal.43
[20] Yusuf al-Qardawi, Niat dan tulus … hal 153
Buat lebih berguna, kongsi: