Makalah Paham Rasionalisme dalam Perspektif Islam
Oleh: Qoem Aulassyahid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga kini objek kajian filsafat Barat telah mengalami tiga fase. Fase pertama ialah kajian filsafat yang menekankan kepada kosmologi atau disebut kosmosentris. Fase kedua filsafat yang menyebabkan hati dan pedoman agama sebagai sentra kajian atau disebut sebagai teosentris. Ketiga, kajian yang menempatkan insan sebagai subjek sekaligus objek atau disebut antroposentris[1]
Salah satu faham yang cukup memperlihatkan efek pada masa peralihan teosentris ke zaman antroposentris ialah faham rasionalisme. Hingga kini faham rasionalisme telah memperlihatkan sumbangsih konsep penggunaan budi dan kajian ilmiah yang begitu besar bagi ilmu pengetahuan.
Hingga kini objek kajian filsafat Barat telah mengalami tiga fase. Fase pertama ialah kajian filsafat yang menekankan kepada kosmologi atau disebut kosmosentris. Fase kedua filsafat yang menyebabkan hati dan pedoman agama sebagai sentra kajian atau disebut sebagai teosentris. Ketiga, kajian yang menempatkan insan sebagai subjek sekaligus objek atau disebut antroposentris[1]
Salah satu faham yang cukup memperlihatkan efek pada masa peralihan teosentris ke zaman antroposentris ialah faham rasionalisme. Hingga kini faham rasionalisme telah memperlihatkan sumbangsih konsep penggunaan budi dan kajian ilmiah yang begitu besar bagi ilmu pengetahuan.
Di samping itu, faham rasionalisme juga tidak luput dari kritikan bila dihadapkan pada konsep Islam.[2] Berangkat dari klarifikasi di atas, maka goresan pena ini mencoba mengelaborasi faham rasionalisme ini serta mencoba melihatnya dari persepektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Rasionalisme mempunyai akar kata dari kata rasio. Adapun Rasio, berasal dari kata bahasa Inggris reason. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti hubungan, pikiran. Ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang akar katanya dari ratio, menyerupai kata rasional, rasionalisasi, dan rasionalisme. Kata rasional mengandung arti sifat, yang berarti masuk akal, berdasarkan pikiran dan pertimbangan yang logis, berdasarkan pikiran yang sehat, cocok dengan akal. kata rasionalisasi mengandung makna proses, cara menciptakan sesuatu dengan budi sehat atau menjadi masuk akal.[3]
Berdasarkan makna di atas, maka secara sederhana rasionalisme ialah sebuah pandangan yang berpegang bahwa budi merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran atau aliran atau pedoman yang berdasarkan ratio, ide-ide masuk akal.[4]
Adapun secara istilah, rasionalisme ialah prinsip bahwa budi harus diberi peranan utama dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis yang menekankan budi sehat sebagai sumber utama pengetahuan.[5] Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui budi yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya digunakan untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal, atau secara eksplisit sanggup dinyatakan bahwa budi tidak memerlukan pengalaman.[6]
Sehingga sanggup difahami bahwa Paham rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan insan ialah rasio. Makara dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka tidak mungkin insan itu sanggup memperoleh ilmu pengetahuan.
Adapun secara istilah, rasionalisme ialah prinsip bahwa budi harus diberi peranan utama dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan filosofis yang menekankan budi sehat sebagai sumber utama pengetahuan.[5] Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui budi yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya digunakan untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal, atau secara eksplisit sanggup dinyatakan bahwa budi tidak memerlukan pengalaman.[6]
Sehingga sanggup difahami bahwa Paham rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan insan ialah rasio. Makara dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka tidak mungkin insan itu sanggup memperoleh ilmu pengetahuan.
Rasio itu ialah berpikir, maka berpikir inilah yang kemudian membentuk pengetahuan, dan insan yang berpikirlah yang akan memperolah pengetahuan. Semakin banyak insan itu berpikir maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat.
Berdasarkan pengetahuan, insan berbuat dan menentukan tindakannya, sehingga nantinya ada perbedaan prilaku, perbuatan, dan tindakan insan sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang didapat. Rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. ia juga butuh dunia nyata. Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia faktual di dalam banyak sekali pengalaman empirisisnya. Maka dengan demikian, kualitas pengetahuan insan ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar, maka semakin erat pula insan itu kepada kesempurnaan.[7]
B. Sejarah Kemunculan Paham Rasionlisme
Munculnya faham rasionalisme ini sangat erat kaitannya dengan kemunduran peradaban Barat di kala pertengahan. Pada zaman tersebut insan kurang dihargai sebagai manusia. kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja, bukan berdasarkan yang dibentuk oleh manusia. hingga anti titik puncak kemunduran Barat tersebut, orang-orang mulai menyadari perlu adanya revitalisasi kembali sistem kehidupan sebagaimana kejayaan filsafat Barat era Plato dan Aristoteles.
B. Sejarah Kemunculan Paham Rasionlisme
Munculnya faham rasionalisme ini sangat erat kaitannya dengan kemunduran peradaban Barat di kala pertengahan. Pada zaman tersebut insan kurang dihargai sebagai manusia. kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja, bukan berdasarkan yang dibentuk oleh manusia. hingga anti titik puncak kemunduran Barat tersebut, orang-orang mulai menyadari perlu adanya revitalisasi kembali sistem kehidupan sebagaimana kejayaan filsafat Barat era Plato dan Aristoteles.
Sistem kehidupan yang menempatkan insan sebagai ukuran kebenaran dalam segala aspek. Adanya harapan dan perjuangan tersebut kemudian melahirkan era kebangkitan bagi orang-orang Barat. Era tersebut hingga kini dikenal dengan era renaisans.[8]
Berdasarkan latar belakang tersebut maka sangat masuk akal bila zaman renaisans sangat diwarnai dengan faham humanisme. Humanisme sendiri mengehendaki ukuran haruslah manusia. karena insan mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, menentukan dan menentukan. Humanisme menganggap insan bisa mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri humanisme salah satunya juga ialah pengggunaan budi dan pengalaman dalam merumuskan pengetahuan.[9] Mulai dari sini rasio telah menerima peranan penting dalam kehidupan Barat.
Dengan mengikuti perkembangan insan dan alam di zaman renaisans tersebut, kebutuhan untuk menyusun pemikiran kontemporer menjadi satu sistem filsafat yang koheren kembali muncul. Descartes, yang dianggap bapak filsafat modern kemudian mengajukan konsep rasionalisme sebagai sistem filsafat modern. Di sinilah rasionalisme muncul sebagai sistem filsafat pertama.[10] Hal ini memperlihatkan pentingnya pemikiran rasionalisme Descartes sebagai penggerak faham ini. Untuk itu dalam rangka mengakji faham rasionalisme, dalam goresan pena ini, konsep tersebut akan menjadi pembahasan inti.
C. Descartes, Bapak Filsafat Modern dan Faham Rasionalisme
Rene Descartes dilahirkan pada 1596 dan tinggal di sejumlah negeri di Eropa di beberapa periode kehidupannya. Bahkan sebagai seorang cowok ia mempunyai hasrat yang berpengaruh untuk mendapatkan wawasan mengenai hakikat insan dan alam raya.[11] Tahun 1604-1612, ia berguru logika, filsafat matemika dan fisika.[12] Di sini ia memperoleh pengetahuan dasar perihal karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, musik dan akting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka sangat masuk akal bila zaman renaisans sangat diwarnai dengan faham humanisme. Humanisme sendiri mengehendaki ukuran haruslah manusia. karena insan mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, menentukan dan menentukan. Humanisme menganggap insan bisa mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri humanisme salah satunya juga ialah pengggunaan budi dan pengalaman dalam merumuskan pengetahuan.[9] Mulai dari sini rasio telah menerima peranan penting dalam kehidupan Barat.
Dengan mengikuti perkembangan insan dan alam di zaman renaisans tersebut, kebutuhan untuk menyusun pemikiran kontemporer menjadi satu sistem filsafat yang koheren kembali muncul. Descartes, yang dianggap bapak filsafat modern kemudian mengajukan konsep rasionalisme sebagai sistem filsafat modern. Di sinilah rasionalisme muncul sebagai sistem filsafat pertama.[10] Hal ini memperlihatkan pentingnya pemikiran rasionalisme Descartes sebagai penggerak faham ini. Untuk itu dalam rangka mengakji faham rasionalisme, dalam goresan pena ini, konsep tersebut akan menjadi pembahasan inti.
C. Descartes, Bapak Filsafat Modern dan Faham Rasionalisme
Rene Descartes dilahirkan pada 1596 dan tinggal di sejumlah negeri di Eropa di beberapa periode kehidupannya. Bahkan sebagai seorang cowok ia mempunyai hasrat yang berpengaruh untuk mendapatkan wawasan mengenai hakikat insan dan alam raya.[11] Tahun 1604-1612, ia berguru logika, filsafat matemika dan fisika.[12] Di sini ia memperoleh pengetahuan dasar perihal karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, musik dan akting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus.
Descartes menyukai guru-gurunya, tetapi kecewa karena progam studinya. Ia kecewa karena sistem pengajaran dan merasa perihatin melihat keadaan ilmu pengetahuan waktu itu; matematika, fisika, ilmu-ilmu humaniora, dan lain-lain. Tema keraguan, ketakutan ditipu, kewaspadaan, dan pencarian keyakinan merupakan pokok bahasan yang selalu dibicarakan dalam filsafat Descartes (Cartesian).
Salah satu kejadian penting di dalam hidupnya –yang kemudian menjadikannya sebagai pemerhati filsafat modern- yaitu saat ia memutuskan untuk mengadakan perjalanan keliling eropa. Dia mengemukakan bahwa semenjak itu ia membulatkan tekadnya untuk mencari kebijaksanaan yang akan ditemukannya dalam dirinya sendiri atau di dalam perjalannya.[13] Dia kemudian bergabung dengan angkatan bersenjata dan pergi berperang, yang dengan itu memungkinkannya untuk melewati banyak sekali daerah di penggalan Eropa tengah. Di kemudian hari, ia tinggal selama beberapa tahun di Paris.
Salah satu kejadian penting di dalam hidupnya –yang kemudian menjadikannya sebagai pemerhati filsafat modern- yaitu saat ia memutuskan untuk mengadakan perjalanan keliling eropa. Dia mengemukakan bahwa semenjak itu ia membulatkan tekadnya untuk mencari kebijaksanaan yang akan ditemukannya dalam dirinya sendiri atau di dalam perjalannya.[13] Dia kemudian bergabung dengan angkatan bersenjata dan pergi berperang, yang dengan itu memungkinkannya untuk melewati banyak sekali daerah di penggalan Eropa tengah. Di kemudian hari, ia tinggal selama beberapa tahun di Paris.
Pada tanggal 1629 ia pergi ke negeriBbelanda, di mana ia menetap selama hampir dua puluh tahun, menyusun karya-karya matematika dan filsafatnya. Pada tahun 1649, ia diundang ke swedia oleh ratu Chirstina. Tapi persinggahannya di daerah ini mendatangkan serangan radang paru-paru dan ia meninggal pada isu terkini cuek 1650 saat berumur 54 tahun.[14] descartes kemudian hidup melalu karya-karyanya yang dikenal hingga sekarang.[15]
Bagi Descartes, rasio ialah instansi tertinggi untuk mengetahuai sesuatu. Pengetahuan merupakan jalan, bukti keberadaan (eksistensi) manusia, dan bahkan menjadi ukuran kebernilaian manusia.[16] Rasionalitas Descartes sama halnya rasionalitasnya Plato, menyatakan bahwa budi universal ada dalam semua manusia, pemikiran merupakan elemen terpenting dalam sifat alami manusia, pemikiran merupakan alat satu-satunya atas kepastian pengetahuan, dan budi merupakan satu-satunya jalan untuk menentukan apa yang secara moral benar dan baik serta yang membentuk masyarakat yang baik.[17]
Kegelisahan awal Descartes terkait wacana filsafat di eranya ialah ia melihat adanya semacam ketepatan dan kepastian yang tidak dimiliki oleh filsafat tradisional. Ia dengan terang mengungkapkan: “Rantai panjang yang terdiri dari penalaran yang sangat sederhana dan mudah, yang biasa digunakan oleh jago geomerti untuk memecahkan persoalan-persoalan sulit, telah menjelaskan kepadaku bahwa segala sesuatu yang masih ada dalam ruang lingkup pengetahuan insan tentu saling berafiliasi dengan cara yang sama”.[18]
Dengan demikian, filsafat pada masa lampau terlalu gampang memasukkan penalaran yang bias jadi benar ke dalam khazanah penalaran yang sebenarnya, dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Padahal, kepastian itu hanya mungkin bila didasarkan pada kenyataan yang mau tidak mau harus diterima dan diakui. Sehingga, hanya penalaran pasti yang seharusnya menjadi penggalan dan diskursus filosofis. Kalau sesuatu yang lain yang bersifat tidak pasti dimasukkan ke dalamnya, maka yang didapat ialah gabungan antara yang masuk budi dengan yang tidak masuk akal, menyerupai yang terdapat dalam filsafat tradisional.[19]
Untuk itu, Descartes berupaya mencari kepastian dengan cara mencurigai semua yang ada, termasuk tradisi filsafat yang diterimanya. Menurutnya, orang tidak harus mendapatkan kebenaran-kebenaran yang telah dibentuk sarjana-sarjana lain. Orang harus menemukan kebenaran sendiri dan harus mencari pemahaman dan keyakinan pribadi. Descartes mengatakan, “Andaikata kita membaca setiap kata dari karya-karya Plato dan Aristoteles tanpa kepastian pendapat kita sendiri, maka kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat. Pengertian historis kita sanggup bertambah, namun pemahaman kita tidak.”[20]
Bagi Descartes, rasio ialah instansi tertinggi untuk mengetahuai sesuatu. Pengetahuan merupakan jalan, bukti keberadaan (eksistensi) manusia, dan bahkan menjadi ukuran kebernilaian manusia.[16] Rasionalitas Descartes sama halnya rasionalitasnya Plato, menyatakan bahwa budi universal ada dalam semua manusia, pemikiran merupakan elemen terpenting dalam sifat alami manusia, pemikiran merupakan alat satu-satunya atas kepastian pengetahuan, dan budi merupakan satu-satunya jalan untuk menentukan apa yang secara moral benar dan baik serta yang membentuk masyarakat yang baik.[17]
Kegelisahan awal Descartes terkait wacana filsafat di eranya ialah ia melihat adanya semacam ketepatan dan kepastian yang tidak dimiliki oleh filsafat tradisional. Ia dengan terang mengungkapkan: “Rantai panjang yang terdiri dari penalaran yang sangat sederhana dan mudah, yang biasa digunakan oleh jago geomerti untuk memecahkan persoalan-persoalan sulit, telah menjelaskan kepadaku bahwa segala sesuatu yang masih ada dalam ruang lingkup pengetahuan insan tentu saling berafiliasi dengan cara yang sama”.[18]
Dengan demikian, filsafat pada masa lampau terlalu gampang memasukkan penalaran yang bias jadi benar ke dalam khazanah penalaran yang sebenarnya, dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Padahal, kepastian itu hanya mungkin bila didasarkan pada kenyataan yang mau tidak mau harus diterima dan diakui. Sehingga, hanya penalaran pasti yang seharusnya menjadi penggalan dan diskursus filosofis. Kalau sesuatu yang lain yang bersifat tidak pasti dimasukkan ke dalamnya, maka yang didapat ialah gabungan antara yang masuk budi dengan yang tidak masuk akal, menyerupai yang terdapat dalam filsafat tradisional.[19]
Untuk itu, Descartes berupaya mencari kepastian dengan cara mencurigai semua yang ada, termasuk tradisi filsafat yang diterimanya. Menurutnya, orang tidak harus mendapatkan kebenaran-kebenaran yang telah dibentuk sarjana-sarjana lain. Orang harus menemukan kebenaran sendiri dan harus mencari pemahaman dan keyakinan pribadi. Descartes mengatakan, “Andaikata kita membaca setiap kata dari karya-karya Plato dan Aristoteles tanpa kepastian pendapat kita sendiri, maka kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat. Pengertian historis kita sanggup bertambah, namun pemahaman kita tidak.”[20]
Untuk itu, Cita-cita Descartes sebagai seorang filusuf ialah membangun sebuah sistem filsafat yang didasarkan pada intuisi dan deduksi yang akan tetap pasti dan abadi. Apa yang ditentukan Descartes untuk menemukan prinsip awal untuk filsafat matematisnya, dan akan menjadi landasan filsafat yang benar-benar pasti bisa disimpulkan. Namun apa yang menjadi persyaratan keyakinan mendasar, Descartes menyebutkan tiga hal:
Bagi Descartes, untuk mencapai pengetahuan yang benar perlulah orang menyisihkan pengandaian yang begitu saja dan kemudian mulai mengadakan penyelidikan atas obyek pengetahuannya dengan budi budi.
Agar sanggup memperlihatkan dasar yang kokoh pada filsafat dan ilmu pengetahuan yang ingin diperbaruinya itu, Descartes memerlukan suatu metode yang baik. Descartes beropini bahwa ia telah menemukan metode yang dicarinya itu, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya. Ia bermaksud menjalankan metode ini seradikal mungkin. Descartes memerintahkan biar seluruh pengetahuan yang dimiliki seseorang harus diragukan.
[1] Kosmosentris ialah paradigma filsafat Yunani: kosmos, alam raya berada di sentra perhatian para filosof. Teosentris ialah faham filsafat yang berkembang pada kala pertengahan di Barat. Faham ini menempatkan nilai-nilai agama sebagai sumber kebenaran. Adapun ontroposentris ialah paradigma filsafat yang menempatkan insan sebagai center court. Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p.37
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati semenjak Thales hingga Capra, (Bandung: Rosda karya, 2000), p. 126-127
[3] Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: gramedia pustaka utama, 2002), p. 925
[4] A susanto, filsafat ilmu, suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitemologis dan aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), p. 36
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakata: gramedia pustaka utama, 2002), p 928-929
[6] A susanto, filsafat ilmu, suatu kajian dalam dimensi ontologis..., p. 141
[7] Soejono Soemargono, Berfikir Seca ra Kefilsafatan, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988), p. 108.
[8] Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’. Renaissance memperlihatkan suatu gerakan yang mencakup suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan insan dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksprimen, dalam berbagi seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. Lihat. Lorens Bagus. (1996). Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia, hlm. 953-954.
[9] Ahmad Tafsir. (2000). Filsafat umum budi dan hati semenjak Thales hingga Capra. Bandung: Rosdakarya. hlm. 126-127.
[10] Joustein Gaarder, Dunia Shopie: Sebuah Novel Filsafaat, (Bandung: Mizan, 2013), p. 367
[11] Descartes saat masih kecil menerima nama baptis rene, tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan si filsuf kecil. Juhaya S Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 92
[12] Franz Magniz Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 2002). P, 71. Pendidikan pertamanya di peroleh di College Des Jesuites De La Fleche. Di sini ia memperolah pengetahuan dasar perihal karya ilmiah latin di Yunani, bahasa Prancis, musik dan kating, logika Aristoteles dan etika Nichomacus
[13] Rene Descartes, Diskursus dan Metode terj. Ahmad faridl ma’ruf (yogyakarta: IriSoD, 2012), p. 132
[14] Jostein garden, dunia sophie, terj. Rahmani astuti, (bandung: mizan, 2008), p. 366
[15] Karya-karya Descartes yang diketahui hingga kini di antaranya: Les Regles Pour La Direction De I’spit, Le Monde, Disocours De La Methode, Medititation Metpysiques dan lain-lain.
[16] Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 44
[17] T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat Dari Socrates Ke Sarte (Yogyakarta: Jendela, 2002), p. 80
[18] Zubaedi, at.al, Filsafat Barat, Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010), p. 19
[19] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, ter. Hardono Hadi (Yogyakarta; Kanisius, 1994), p. 30
[20] Zubaedi, at.al, Filsafat Barat, Dari Logika Rene Descartes.., p. 20
[21] James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar (Yogyakarta; Kanisius, 2010), p. 5
[22] K Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), p. 22
[23] ibid., p. 37
[24] Rene Descartes, Discourse on method and Meditations on First Philosophy, trj. Donal A. Cress (Cambridge: Hackett Publishing Company Indianapolis, 1980), p. 10
206 Mudji Sutrisno, at.al, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet II, p. 57
[25] Mudji Sutrisno, at.al, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet II, p. 57
[26] Titius Smith Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 232
[27] Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Fisafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), p. 101
[28] Ibid, p. 45
[29] Titius Smith Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 232
[30] Ibrahim Madkhur, fi al-falsafah al-Islamiyah: manhaj wa at-tathbiqiyyah, juz I, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), p. 21
[31] ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (saudi arabia, markaz al-tsaqafi al-arabi), p. 57
[32] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Martin Press), p. 128
[33] Muhsin Mahdi, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, dalam jurnal al-hikmah, edisi 4 februari 1992, p. 56
[34] Setidaknya ada tiga mazhab bahasa yang berkembang: pertama, mazhab basrah. Yaitu mazhab yang cenderung memperhatika n kordinasi rasional dengan bahasa. Kedua mazhab kufah. Berbeda dengan mazhab basrah yang bersandar pada logika, mazhab ini menekankan pada prinsip linguistik sehingga lebih bebas dalam mendapatkan aturan-aturan yang berbeda. Ketiga mazhab baghdad. Mazhab ini berusaha menggabungkan dan mengkompromikan antara ketatnya mazhab basrah dan longgarnya mazhab kufah. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1936), p. 296-298
[35] Noel J Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), p. 48
[36] Muhsin Mahdi, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam..., p. 58
[37] dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menunjkkan bagaimana Islam menempatkan budi pada posisi penting. al-seperti pada al-Baqarah: 111
[38] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), p. 10
[39] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya, (Mesir: Dar al-Ma’arif 1966), p. 120
[40] Selengkapnya: Yusuf al-Qaradhawi, ad-Din fi ‘Ashr al-‘Ilm, (Amman: Dar al-Furqan, 1996)
- Kepastiannya haruslah semacam kemustahilan untuk diragukan, bisa dibuktikan sendiri melalui akal, terang dan berbeda (dari keyakinan lainnya).
- Kepastiannya haruslah yang simpulan dan tidak bergantung pada kepastian dari keyakinan lainnya.
- Haruslah mengenai sesuatu yang ada (sehingga keyakinan atas keberadaan benda lainnya bisa disimpulkan).[21]
Agar sanggup memperlihatkan dasar yang kokoh pada filsafat dan ilmu pengetahuan yang ingin diperbaruinya itu, Descartes memerlukan suatu metode yang baik. Descartes beropini bahwa ia telah menemukan metode yang dicarinya itu, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya. Ia bermaksud menjalankan metode ini seradikal mungkin. Descartes memerintahkan biar seluruh pengetahuan yang dimiliki seseorang harus diragukan.
Hal ini berarti bahwa, kesangsian metodis harus mencakup juga kebenaran-kebenaran yang hingga kini dianggap pasti, contohnya ada suatu dunia material, bahwa dirinya mumpunyai tubuh, bahwa Tuhan ada. Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal ini, maka itulah pengetahuan yang pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan.[22]
Descartes berpendapat, bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cogito) akan bisa untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang sanggup digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Mengapa Descartes menyangsikan eksistensinya sendiri? Sebab Descartes menangkapnya dengan begitu terang dan terpilah, sehingga keraguan-keraguan menjadi tak berdaya. Yang “jelas dan terpilah” ialah suatu yang bercahaya berkat sinarnya sendiri.
Descartes berpendapat, bahwa dengan suatu refleksi yang teliti mengenai kebenaran pertama (cogito) akan bisa untuk menemukan di dalamnya jaminan bagi kebenaran, yang sanggup digunakan sebagai patokan bagi kepastian selanjutnya. Mengapa Descartes menyangsikan eksistensinya sendiri? Sebab Descartes menangkapnya dengan begitu terang dan terpilah, sehingga keraguan-keraguan menjadi tak berdaya. Yang “jelas dan terpilah” ialah suatu yang bercahaya berkat sinarnya sendiri.
Pendirian ini ialah kenyataan yang begitu positif dan pribadi selalu termuat di dalam inspirasi yang terang dan terpilah-pilah, sehingga isinya ialah real, perbedaan antara subyek dan obyek ditekan, dan budi mencapai apa yang mempunyai nilai pengetahuan tak bersyarat.[23] Ada empat langkah metodis yang diambil Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan benar, di antaranya:
1. Bertolak dari keragu-raguan metodis, yaitu tidak ada yang diterima sebagai suatu yang benar sebagai pemecahan yang memadai, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan terlalu cepat dan prasangka, dan tidak memasukkan apapun dalam pandangannya kecuali apa yang amat tampak terang dalam fikiran, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
2. Sistematik pemikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman obyek yang paling sederhana dan gampang dikenali, kemudian meningkat ketahapan yang lebih rumit, dan bahkan dengan mengatur urutan obyek secara alamiah. Konsekuwensinya harus menghindarkan diri dari perilaku tergesa-gesa dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusannya hanya mendapatkan sesuatu yang dihadirkan pada budi dengan sedemikain terang dan tegas, sehingga tidak mungkin untuk disangsikan.
3. Semua materi dan kasus diteliti, dibagi secara terperinci, secara sedikit demi sedikit hingga pada pengertian yang simpel dan adikara munuju pada pengertian yang komplek dan relatif.
4. Akhirnya sampailah pada tinjauan kasus yang bersifat universal, artinya menciptakan perincian yang selengkap mungkin, sehingga ditemukan suatu kepastian, maka dengan demikian tidak ada lagi keraguan.[24]
Descartes menyebut keraguan itu sebagai “keraguan metodis universal”. Keraguan bersifat universal karena direntang tanpa batas atau hingga keraguan itu membatasi diri. Disebut metodis karena keraguan itu merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis, sebagai suatu cara untuk mencapai kebenaran. Keraguan bukan dalam arti kebingungan yang kepanjangan, tetapi sebagai perjuangan untuk mempertanyakan yang dilakukan budi budi. Keraguan ini dipratekkan bukan demi keraguan, melainkan sebagai tahap awal dalam mencapai kepastian.
Melalui keraguan metodis semacam inilah, berdasarkan Descartes ditemukan adanya satu yang tidak sanggup diragukan yaitu bahwa “aku ragu-ragu”, bila dirinya menyangsingkan sesuatu. Arti ini menunjukkan, kesangsian secara pribadi menyatakan adanya “aku”. Hasil penyangsingan metodis pertama sehabis Descartes mencurigai segala sesuatu ialah “aku ada”. Descartes merumuskan pemenuannya dengan kalimat “Cogito Ergo Sum” saya berfikir maka saya ada.[25]
Mengenai pernyataan ini perlu ditegaskan dua hal. Pertama, istilah berfikir digunakan Descartes dengan pengertian yang agak luas, tidak semata-mata acara penalaran, tetapi mencakup acara sadar yang lain menyerupai meragukan, memahami, membayangkan, berkehendak, berimajinasi dan merasa. Kedua, pernyataan cogito ergo sum secara harfiah dierjemahkan “saya berfikir maka saya ada.”
1. Bertolak dari keragu-raguan metodis, yaitu tidak ada yang diterima sebagai suatu yang benar sebagai pemecahan yang memadai, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan terlalu cepat dan prasangka, dan tidak memasukkan apapun dalam pandangannya kecuali apa yang amat tampak terang dalam fikiran, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
2. Sistematik pemikiran dilakukan dengan bertitik tolak dari pemahaman obyek yang paling sederhana dan gampang dikenali, kemudian meningkat ketahapan yang lebih rumit, dan bahkan dengan mengatur urutan obyek secara alamiah. Konsekuwensinya harus menghindarkan diri dari perilaku tergesa-gesa dan prasangka. Adapun dalam keputusan-keputusannya hanya mendapatkan sesuatu yang dihadirkan pada budi dengan sedemikain terang dan tegas, sehingga tidak mungkin untuk disangsikan.
3. Semua materi dan kasus diteliti, dibagi secara terperinci, secara sedikit demi sedikit hingga pada pengertian yang simpel dan adikara munuju pada pengertian yang komplek dan relatif.
4. Akhirnya sampailah pada tinjauan kasus yang bersifat universal, artinya menciptakan perincian yang selengkap mungkin, sehingga ditemukan suatu kepastian, maka dengan demikian tidak ada lagi keraguan.[24]
Descartes menyebut keraguan itu sebagai “keraguan metodis universal”. Keraguan bersifat universal karena direntang tanpa batas atau hingga keraguan itu membatasi diri. Disebut metodis karena keraguan itu merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis, sebagai suatu cara untuk mencapai kebenaran. Keraguan bukan dalam arti kebingungan yang kepanjangan, tetapi sebagai perjuangan untuk mempertanyakan yang dilakukan budi budi. Keraguan ini dipratekkan bukan demi keraguan, melainkan sebagai tahap awal dalam mencapai kepastian.
Melalui keraguan metodis semacam inilah, berdasarkan Descartes ditemukan adanya satu yang tidak sanggup diragukan yaitu bahwa “aku ragu-ragu”, bila dirinya menyangsingkan sesuatu. Arti ini menunjukkan, kesangsian secara pribadi menyatakan adanya “aku”. Hasil penyangsingan metodis pertama sehabis Descartes mencurigai segala sesuatu ialah “aku ada”. Descartes merumuskan pemenuannya dengan kalimat “Cogito Ergo Sum” saya berfikir maka saya ada.[25]
Mengenai pernyataan ini perlu ditegaskan dua hal. Pertama, istilah berfikir digunakan Descartes dengan pengertian yang agak luas, tidak semata-mata acara penalaran, tetapi mencakup acara sadar yang lain menyerupai meragukan, memahami, membayangkan, berkehendak, berimajinasi dan merasa. Kedua, pernyataan cogito ergo sum secara harfiah dierjemahkan “saya berfikir maka saya ada.”
Sebenarnya maksud cogito ialah menyadari, oleh karena itu pernyataan cogito ergo sum harus dimengerti “saya menyadari, maka saya ada.” Kata menyadari sangat penting karena dalam klimaksnya Descartes hingga pada kesimpulan bahwa saya sebagai yang sadar. Bahwa yang sadar atau kesadaran itu ialah saya yang secara pribadi mengenal dirinya sendiri. Bagi Descartes tidak ada kebenaran yang pasti selain diri sendiri, yang sedang meragu-ragukan itu pasti ada.
Hal ini didasari oleh keyakinan Descartes bahwa tindakan seseorang yang ragu perihal wujudnya sendiri, menyebabkan dirinya insaf perihal kebenaran pernyataan bahwa seseorang itu ada. Melalui metode ini, maka cara Descartes menyebabkan skeptisisme ialah sebagai titik tolak, dan mempergunakan untuk mengungkapkan suatu dasar bagi keyakinan-keyakinan. Skeptis disini bukan hanya dalam arti sempit yaitu perilaku bahwa pengetahuan itu mustahil, dan bahwa perjuangan untuk mencari kebenaran tidak ada gunananya.
Hal ini didasari oleh keyakinan Descartes bahwa tindakan seseorang yang ragu perihal wujudnya sendiri, menyebabkan dirinya insaf perihal kebenaran pernyataan bahwa seseorang itu ada. Melalui metode ini, maka cara Descartes menyebabkan skeptisisme ialah sebagai titik tolak, dan mempergunakan untuk mengungkapkan suatu dasar bagi keyakinan-keyakinan. Skeptis disini bukan hanya dalam arti sempit yaitu perilaku bahwa pengetahuan itu mustahil, dan bahwa perjuangan untuk mencari kebenaran tidak ada gunananya.
Sekeptis yang digunakan Descartes ialah sekeptisisme yang hanya merupakan perilaku mempersoalakan suatu perkiraan atau kesimpulan, hingga hal-hal tersebut diteliti secara benar. Artinya, Descartes sebagai pemakai metode kesangsian cenderung untuk menekankan kemungkinan adanya kesalahan yang bersifat inhern dari majemuk cara untuk memperoleh pengetahuan. Hal tersebut sanggup ditunjukkan bahwa semua pengetahuan ialah bersifat manusiawi, dan bahwa kemampuan insan ialah lemah dan terbatas, dan bahwa indera dan budi keduanya tidak sanggup diandalkan.[26]
Selain kasus metode keraguan, Descartes juga mengungkapkan bahwa apa yang terang dan terpilah-pilah itu tak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar diri kita. Descartes menjelaskan, bahwa suatu benda atau kejadian yang tampak dan sanggup kita amati bukanlah benda atau kejadian itu sendiri. Adanya benda atau kejadian kita ketahui dengan rasio atau budi kita. Suatu benda atau kejadian pada dirinya (das ding an sich) tidak sanggup diamati. Yang kita amati itu bukanlah benda melainkan penampakannya saja.
Selain kasus metode keraguan, Descartes juga mengungkapkan bahwa apa yang terang dan terpilah-pilah itu tak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar diri kita. Descartes menjelaskan, bahwa suatu benda atau kejadian yang tampak dan sanggup kita amati bukanlah benda atau kejadian itu sendiri. Adanya benda atau kejadian kita ketahui dengan rasio atau budi kita. Suatu benda atau kejadian pada dirinya (das ding an sich) tidak sanggup diamati. Yang kita amati itu bukanlah benda melainkan penampakannya saja.
Pengetahuan kita perihal benda atau kejadian itu sendiri bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan, sentuhan, atau khayalan, melainkan karena investigasi oleh rasio. Apa yang kita duga kita lihat dengan mata itu hanya sanggup kita ketahui dengan kuasa evaluasi kita yang terdapat di dalam rasio.[27]
Justru karena kesaksian apa pun dari luar tidak sanggup dipercayai, berdasarkan Descartes, seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya, sambil memakai norma “jelas dan terpilah-pilah”.[28] Tindakan ragu perihal dirinya, menyebabkan dirinya sadar perihal keberadaan pernyataan bahwa seseorang itu memang ada.
Justru karena kesaksian apa pun dari luar tidak sanggup dipercayai, berdasarkan Descartes, seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya, sambil memakai norma “jelas dan terpilah-pilah”.[28] Tindakan ragu perihal dirinya, menyebabkan dirinya sadar perihal keberadaan pernyataan bahwa seseorang itu memang ada.
Kesimpulannya, Dengan metode Keraguan awal total merupakan metode yang menciptakan pengetahuan menjadi terang netral (mengesampingkan semua aspek praduga baik itu budaya maupun agama ) dalam mendapatkan pengetahuan. Dan bukan “skeptisime” yang dikemukakan oleh David Hume, yakni skeptisime bukan langkah awal tapi menjadi langkah akhir/kesimpulan, bahwa kita tidak mungkin mengetahui apapun. dan terpilah-pilah, sebagai titik tolak untuk mengungkapkan suatu dasar atas keyakinan-keyakinan.[29]
D. Paham Rasionalisme dalam Perspektif Islam
Terkait rasionalisme sebagai faham filsafat, dalam badan Islam dilayangkan tuduhan yang cukup serius dari orientalis mengenai filsafat. Semisal Renan menyatakan bahwa Islam tidak punya filsafat dan tidak ada konsep rasio. Apa yang disebagai filsafat Islam, hanya jiplakan dari karya-karya filsafat Yunani yang diterjemahkan, khususnya filsafat Aristoteles. Sementara Duhem menuduh bahwa filsafat Islam ialah nukilan dari neo-Platonism. Yang lain menyatakan bahwa yang sebetulnya ialah filsafat Barat.[30] Hingga kini pandangan menyerupai ini masih sangat marak diyakini bahkan oleh orang Islam sendiri.
Pernyataan menyerupai ini tentu merupakan pernyataan yang tidak benar. Al-Jabiri menjelaskan bahwa menjustifikasi rasionalisme atau filsafat pada umumnya dalam Islam ialah hasil jiplakan merupakan pernyataan yang tidak ilmiah.[31] Setidaknya ada dua alasan dalam hal ini. Pertama, berguru atau berguru tidak berarti menggandakan dan membebek semata.
D. Paham Rasionalisme dalam Perspektif Islam
Terkait rasionalisme sebagai faham filsafat, dalam badan Islam dilayangkan tuduhan yang cukup serius dari orientalis mengenai filsafat. Semisal Renan menyatakan bahwa Islam tidak punya filsafat dan tidak ada konsep rasio. Apa yang disebagai filsafat Islam, hanya jiplakan dari karya-karya filsafat Yunani yang diterjemahkan, khususnya filsafat Aristoteles. Sementara Duhem menuduh bahwa filsafat Islam ialah nukilan dari neo-Platonism. Yang lain menyatakan bahwa yang sebetulnya ialah filsafat Barat.[30] Hingga kini pandangan menyerupai ini masih sangat marak diyakini bahkan oleh orang Islam sendiri.
Pernyataan menyerupai ini tentu merupakan pernyataan yang tidak benar. Al-Jabiri menjelaskan bahwa menjustifikasi rasionalisme atau filsafat pada umumnya dalam Islam ialah hasil jiplakan merupakan pernyataan yang tidak ilmiah.[31] Setidaknya ada dua alasan dalam hal ini. Pertama, berguru atau berguru tidak berarti menggandakan dan membebek semata.
Dalam kenyataannya, interaksi antara Islam dengan budaya yang lebih maju, menyerupai India dan Persia tidak kemudian menghilangkan nilai-nilai prinsipil yang terdapat dalam Islam, bahkan yang terjadi sebaliknya. Sehingga seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain, tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan filsafatnya sendiri. ini pun terjadi dalam perkembangan filsafat Barat sendiri. menyerupai Aristoteles sebagai muridnya Plato, tetapi Aristoteles tidak dianggap menjiplak filsafat gurunya.
Kedua, realitas yang ada memperlihatkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani.[32] Buktinya, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual muslim khususnya dalam kajian agama (baca: filsafat ilmu dan agama). dalam bidang fikih penggunaan naral rasional dalam pengggalian aturan dengan istihsan, istishlah dan qiyas telah lazim digunakan tokoh-tokoh mazhab yang hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Begitu pula dibidang teologi, penggunaan rasio dalam memahami ayat al-Qur’an menyerupai wujud ilahi juga telah memakai metode rasional, menyerupai yang dilakukan oleh Muktazilah.[33]
Lebih jauh lagi, sanggup dikatakan bahwa kemunculan sistem berfikit rasional dalam Islam diindikasikan oleh beberapa fakta sejarah:
1. Didorong oleh munulnya mazhab-mazhab bahasa karena ada kebutuhan untuk memahami al-Qur’an.[34] keniscayaan aturan logika dalam bahasa inilah yang telah mendorong munculnya pemikiran rasional dalam bidang aturan maupun teologi pada fase-fase selanjutnya, jauh sebelum datangnya filsafat Yunani
2. Kajian resmi Islam yang ada relevansinya dengan kajian filosofis dan rasional banyak sekali ragam. Seperti penggunaan takwil, pembedaan antara istilah musytarak dengan yang tunggal, pengunnaan qiyas bahkan telah ada semenjak masa Nabi Muhammad sendiri.[35]
3. Kajian-kajian rasionalistik dalam khazanah Islam juga menciptakan jago fikih dan teologi harus menguasai metode berfikir.[36]
Berdasarkan ini, maka sangat terang bahwa kajian rasionalistis dalam Islam telah terbangun semenjak usang dibandingkan peradaban Barat termasuk Yunani. Hal ini karena memang Islam menempatkan budi dalam kedudukan yang penting.[37] kemandirian rasionalisme Islam juga terlihat dari bagaimana konsep filsafat Islam dan Barat sangatlah berbeda.
Kedua, realitas yang ada memperlihatkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani.[32] Buktinya, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual muslim khususnya dalam kajian agama (baca: filsafat ilmu dan agama). dalam bidang fikih penggunaan naral rasional dalam pengggalian aturan dengan istihsan, istishlah dan qiyas telah lazim digunakan tokoh-tokoh mazhab yang hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Begitu pula dibidang teologi, penggunaan rasio dalam memahami ayat al-Qur’an menyerupai wujud ilahi juga telah memakai metode rasional, menyerupai yang dilakukan oleh Muktazilah.[33]
Lebih jauh lagi, sanggup dikatakan bahwa kemunculan sistem berfikit rasional dalam Islam diindikasikan oleh beberapa fakta sejarah:
1. Didorong oleh munulnya mazhab-mazhab bahasa karena ada kebutuhan untuk memahami al-Qur’an.[34] keniscayaan aturan logika dalam bahasa inilah yang telah mendorong munculnya pemikiran rasional dalam bidang aturan maupun teologi pada fase-fase selanjutnya, jauh sebelum datangnya filsafat Yunani
2. Kajian resmi Islam yang ada relevansinya dengan kajian filosofis dan rasional banyak sekali ragam. Seperti penggunaan takwil, pembedaan antara istilah musytarak dengan yang tunggal, pengunnaan qiyas bahkan telah ada semenjak masa Nabi Muhammad sendiri.[35]
3. Kajian-kajian rasionalistik dalam khazanah Islam juga menciptakan jago fikih dan teologi harus menguasai metode berfikir.[36]
Berdasarkan ini, maka sangat terang bahwa kajian rasionalistis dalam Islam telah terbangun semenjak usang dibandingkan peradaban Barat termasuk Yunani. Hal ini karena memang Islam menempatkan budi dalam kedudukan yang penting.[37] kemandirian rasionalisme Islam juga terlihat dari bagaimana konsep filsafat Islam dan Barat sangatlah berbeda.
Leaman mengungkapkan bahwa perbedaan antara filsafat Islam dan Barat tidak hanya terletak pada premis-premis yang digunakan. Bukan juga pada valid tidaknya tata cara penulusuran argumen. Tetapi jauh lebih dari itu perbedaannya terletak dalam melihat sumber otoritas kebenaran. Dalam arti pemikiran teologi Islam didasarkan pada teks suci, sementara filsafat Barat didasarkan pada premis-premis logis yang budi menjadi tolak ukur mutlak.[38]
Perbedaan ini dibuktikan dengan bagaimana ulama muslim yang jago dalam kajian filsafat mengkritik produk filsafat Barat yang tidak mengindahkan kebenaran teks suci. Seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali. Dalam Tahafuh al-Falasifah, ia mengkritik pemikiran filsafat yang menganggap bahwa alam itu abadi, ilahi tidak mengetahui hal-hal yang partikular dan tidak ada kebangkitan ruhani.[39]
Perbedaan ini dibuktikan dengan bagaimana ulama muslim yang jago dalam kajian filsafat mengkritik produk filsafat Barat yang tidak mengindahkan kebenaran teks suci. Seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali. Dalam Tahafuh al-Falasifah, ia mengkritik pemikiran filsafat yang menganggap bahwa alam itu abadi, ilahi tidak mengetahui hal-hal yang partikular dan tidak ada kebangkitan ruhani.[39]
Sejalan dengan hal tersebut, Al-Qardhawi juga menegaskan bahwa, dalam Islam logika rasional sangat penting. alasannya ialah banyak sekali nilai-nilai dalam al-Qur’an perlu dituntut pembuktiannya dengan akal. namun al-Qur’an mengatur etika berasional. Di antaranya menjauhi rasional yang hanya taqlid kepada perkataan orang terdahulu meskipun salah, kepada pemimpin dan penguasa dan kepada orang-orang udik dan tidak mengindahkan agama.[40]
Kesimpulan.
Berdasarkan pemaparan di atas, secara sederhana sanggup disimpulkan bahwa rasionalisme ialah paradigma filsafat yang menempatkan budi sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Kemunculannya dilatarbelakangi dari pergeseran kajian filsafat dari teosentris ke anthroposentris. Tokoh terpenting dalam faham ini ialah Rene Descartes.
Kesimpulan.
Berdasarkan pemaparan di atas, secara sederhana sanggup disimpulkan bahwa rasionalisme ialah paradigma filsafat yang menempatkan budi sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Kemunculannya dilatarbelakangi dari pergeseran kajian filsafat dari teosentris ke anthroposentris. Tokoh terpenting dalam faham ini ialah Rene Descartes.
Rasionalisme Sumber segala sesuatu kebenaran ialah fikiran, dan penalaran budi merupakan penalaran yang terang dan tegas. Adapun pengalaman (empiris) hanya menguatkan gagasan yang telah ada dalam pikiran. Islam mempunyai budaya rasional yang berdikari dan jauh lebih dahulu dari pada Barat.
Perbedaan Islam dengan Barat dalam memakai rasio ialah Islam tidak memperlihatkan otoritas mutlak kepada akal. bagi Islam, budi pun butuh bimbingan wahyu untuk mengetahui kebenaran hakiki.
Baca Juga: Makalah Kritik Al-Ghazali Terhadap Filosof Yunani dan Tanggapan Ibnu Rusyd
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir: Dar al-Ma’arif 1966
Al-Jabiri, ‘Abid, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, saudi arabia, markaz al-tsaqafi al-arabi
Al-Qaradhawi,Yusuf ad-Din fi ‘Ashr al-‘Ilm, Amman: Dar al-Furqan, 1996
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1936
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: gramedia pustaka utama, 2002
Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Coulson Noel J, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: P3M, 1987
Descartes, Rene, Diskursus dan Metode terj. Ahmad faridl ma’ruf yogyakarta: IriSoD, 2012
____________, Discourse on method and Meditations on First Philosophy, trj. Donal A. Cress Cambridge: Hackett Publishing Company Indianapolis, 1980
Gaarder, Joustein, Dunia Shopie: Sebuah Novel Filsafaat, terj. Rahmani astuti, Bandung: Mizan, 2013
Gallagher, Kenneth T, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hadi Yogyakarta; Kanisius, 1994
Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta; Kanisius, 2010
Hitti, Philip K., History of The Arabs, New York, Martin Press
Lavine, T. Z, Petualangan Filsafat Dari Socrates Ke Sarte Yogyakarta: Jendela, 2002
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali Press, 1998
Madkhur, Ibrahim, fi al-falsafah al-Islamiyah: manhaj wa at-tathbiqiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, tt
Mahdi, Muhsin, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, dalam jurnal al-hikmah, edisi 4 februari 1992,
Mudji Sutrisno, at.al, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman Yogyakarta: Kanisius, 1994
Mulkhan, Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Nolan, Titius Smith, Persoalan-Persoalan Filsafat Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Fisafat Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Praja, Juhaya S, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2010
Soemargono, Soejono, Berfikir Seca ra Kefilsafatan, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988
Susanto, A, filsafat ilmu, suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitemologis dan aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2009
__________________, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis Yogyakarta: Kanisius, 2002
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati semenjak Thales hingga Capra, Bandung: Rosda karya, 2000
Zubaedi, at.al, Filsafat Barat, Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010
Catatan Kaki
Baca Juga: Makalah Kritik Al-Ghazali Terhadap Filosof Yunani dan Tanggapan Ibnu Rusyd
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu Hamid, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir: Dar al-Ma’arif 1966
Al-Jabiri, ‘Abid, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, saudi arabia, markaz al-tsaqafi al-arabi
Al-Qaradhawi,Yusuf ad-Din fi ‘Ashr al-‘Ilm, Amman: Dar al-Furqan, 1996
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1936
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: gramedia pustaka utama, 2002
Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Coulson Noel J, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: P3M, 1987
Descartes, Rene, Diskursus dan Metode terj. Ahmad faridl ma’ruf yogyakarta: IriSoD, 2012
____________, Discourse on method and Meditations on First Philosophy, trj. Donal A. Cress Cambridge: Hackett Publishing Company Indianapolis, 1980
Gaarder, Joustein, Dunia Shopie: Sebuah Novel Filsafaat, terj. Rahmani astuti, Bandung: Mizan, 2013
Gallagher, Kenneth T, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, terj. Hardono Hadi Yogyakarta; Kanisius, 1994
Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta; Kanisius, 2010
Hitti, Philip K., History of The Arabs, New York, Martin Press
Lavine, T. Z, Petualangan Filsafat Dari Socrates Ke Sarte Yogyakarta: Jendela, 2002
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali Press, 1998
Madkhur, Ibrahim, fi al-falsafah al-Islamiyah: manhaj wa at-tathbiqiyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, tt
Mahdi, Muhsin, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, dalam jurnal al-hikmah, edisi 4 februari 1992,
Mudji Sutrisno, at.al, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman Yogyakarta: Kanisius, 1994
Mulkhan, Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Nolan, Titius Smith, Persoalan-Persoalan Filsafat Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Fisafat Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Praja, Juhaya S, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2010
Soemargono, Soejono, Berfikir Seca ra Kefilsafatan, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988
Susanto, A, filsafat ilmu, suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitemologis dan aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2009
__________________, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis Yogyakarta: Kanisius, 2002
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati semenjak Thales hingga Capra, Bandung: Rosda karya, 2000
Zubaedi, at.al, Filsafat Barat, Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010
Catatan Kaki
[1] Kosmosentris ialah paradigma filsafat Yunani: kosmos, alam raya berada di sentra perhatian para filosof. Teosentris ialah faham filsafat yang berkembang pada kala pertengahan di Barat. Faham ini menempatkan nilai-nilai agama sebagai sumber kebenaran. Adapun ontroposentris ialah paradigma filsafat yang menempatkan insan sebagai center court. Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p.37
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati semenjak Thales hingga Capra, (Bandung: Rosda karya, 2000), p. 126-127
[3] Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: gramedia pustaka utama, 2002), p. 925
[4] A susanto, filsafat ilmu, suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitemologis dan aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), p. 36
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakata: gramedia pustaka utama, 2002), p 928-929
[6] A susanto, filsafat ilmu, suatu kajian dalam dimensi ontologis..., p. 141
[7] Soejono Soemargono, Berfikir Seca ra Kefilsafatan, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988), p. 108.
[8] Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’. Renaissance memperlihatkan suatu gerakan yang mencakup suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan insan dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksprimen, dalam berbagi seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. Lihat. Lorens Bagus. (1996). Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia, hlm. 953-954.
[9] Ahmad Tafsir. (2000). Filsafat umum budi dan hati semenjak Thales hingga Capra. Bandung: Rosdakarya. hlm. 126-127.
[10] Joustein Gaarder, Dunia Shopie: Sebuah Novel Filsafaat, (Bandung: Mizan, 2013), p. 367
[11] Descartes saat masih kecil menerima nama baptis rene, tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan si filsuf kecil. Juhaya S Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 92
[12] Franz Magniz Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 2002). P, 71. Pendidikan pertamanya di peroleh di College Des Jesuites De La Fleche. Di sini ia memperolah pengetahuan dasar perihal karya ilmiah latin di Yunani, bahasa Prancis, musik dan kating, logika Aristoteles dan etika Nichomacus
[13] Rene Descartes, Diskursus dan Metode terj. Ahmad faridl ma’ruf (yogyakarta: IriSoD, 2012), p. 132
[14] Jostein garden, dunia sophie, terj. Rahmani astuti, (bandung: mizan, 2008), p. 366
[15] Karya-karya Descartes yang diketahui hingga kini di antaranya: Les Regles Pour La Direction De I’spit, Le Monde, Disocours De La Methode, Medititation Metpysiques dan lain-lain.
[16] Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 44
[17] T. Z. Lavine, Petualangan Filsafat Dari Socrates Ke Sarte (Yogyakarta: Jendela, 2002), p. 80
[18] Zubaedi, at.al, Filsafat Barat, Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2010), p. 19
[19] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, ter. Hardono Hadi (Yogyakarta; Kanisius, 1994), p. 30
[20] Zubaedi, at.al, Filsafat Barat, Dari Logika Rene Descartes.., p. 20
[21] James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar (Yogyakarta; Kanisius, 2010), p. 5
[22] K Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), p. 22
[23] ibid., p. 37
[24] Rene Descartes, Discourse on method and Meditations on First Philosophy, trj. Donal A. Cress (Cambridge: Hackett Publishing Company Indianapolis, 1980), p. 10
206 Mudji Sutrisno, at.al, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet II, p. 57
[25] Mudji Sutrisno, at.al, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet II, p. 57
[26] Titius Smith Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 232
[27] Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Fisafat (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), p. 101
[28] Ibid, p. 45
[29] Titius Smith Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 232
[30] Ibrahim Madkhur, fi al-falsafah al-Islamiyah: manhaj wa at-tathbiqiyyah, juz I, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), p. 21
[31] ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (saudi arabia, markaz al-tsaqafi al-arabi), p. 57
[32] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Martin Press), p. 128
[33] Muhsin Mahdi, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, dalam jurnal al-hikmah, edisi 4 februari 1992, p. 56
[34] Setidaknya ada tiga mazhab bahasa yang berkembang: pertama, mazhab basrah. Yaitu mazhab yang cenderung memperhatika n kordinasi rasional dengan bahasa. Kedua mazhab kufah. Berbeda dengan mazhab basrah yang bersandar pada logika, mazhab ini menekankan pada prinsip linguistik sehingga lebih bebas dalam mendapatkan aturan-aturan yang berbeda. Ketiga mazhab baghdad. Mazhab ini berusaha menggabungkan dan mengkompromikan antara ketatnya mazhab basrah dan longgarnya mazhab kufah. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1936), p. 296-298
[35] Noel J Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), p. 48
[36] Muhsin Mahdi, al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam..., p. 58
[37] dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menunjkkan bagaimana Islam menempatkan budi pada posisi penting. al-seperti pada al-Baqarah: 111
[38] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), p. 10
[39] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya, (Mesir: Dar al-Ma’arif 1966), p. 120
[40] Selengkapnya: Yusuf al-Qaradhawi, ad-Din fi ‘Ashr al-‘Ilm, (Amman: Dar al-Furqan, 1996)
Buat lebih berguna, kongsi: