Makalah Invasi Politik dan Militer Barat Ke Dunia Islam Abad ke 18-13
A. Latar Belakang
Ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran di kurun ke 18 Eropa mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kerajaan Safawi hancur di awal kurun ke-18 M dan kerajaan Mughal hancur pada awal paro kedua kurun ke-19 M di tangan Inggris dan kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India. Kekuatan Islam terakhir yang masih disegani lawan yaitu kerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi waktu demi waktu terus mengalami kemunduran sehingga di juluki sebagai The Sick Man of Europe. Kelemahan kerajaan-kerajaan Islam mengakibatkan Eropa sanggup mencaplok, menduduki dan menjajah negeri-negeri Islam dengan mudah.[1]
Sejak penghujung kurun ke-18 hingga masa-masa pasca runtuhnya Kekhalifahan ‘Utsmani di Turki tahun 1924, yang dibarengi era imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam, kondisi kesejarahan umat Islam berada dalam titik yang menyedihkan.
Pada masa-masa itu, Dinasti Mogul Islam di India jatuh ke tangan imperialis Inggris, demikian juga dengan Kerajaan Safawiyah di Iran. Sejumlah negara-negara Islam atau berpenduduk dominan muslim juga berada dalam cengkraman imperialisme negara-negara Eropa. Sebut saja contohnya Indonesia yang berada di bawah kekuasaan Belanda, Libya dijajah oleh Italia; Tunisia, al-Jazair dan Maroko oleh Perancis, serta Mesir dan negara-negara sebelah selatan Jazirah Arab oleh Inggris.
Alasan lain yang kemudian menajadi pecahnya perang pada waktu itu yaitu pembunuhan Prince Ferdinand, putra mahkota Imperium Austria-Hungaria, yang berkuasa di jazirah Balkan dan Eropa Tengah. Tapi yang menjadi materi bakar perang, yang mengorbankan jutaan nyawa, yaitu perebutan koloni-koloni di Timur Jauh (daratan Cina) dan Afrika, yang telah terjadi puluhan tahun sebelumnya, dan daerah-daerah industri yang dipersengketakan di Eropa Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan diatas maka permasalah yang kemudian muncul yang akan menjadi objek kajian dan diskusi pada makalah ini yaitu bagaimana proses terjadinya invasi politik dan militer Barat ke Timur pada pada kurun ke 18 dan dampak yang ditimbulkan?
Baca Juga Makalah Sejarah Lainna:
Baca Juga Makalah Sejarah Lainna:
C. Latar Belakang Terjadinya Invasi Militer dan Politik Barat Ke Timur
Pada awal kebangkitannya, Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Dihadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan perang Islam yang sulit di kalahkan. Terutama kerajaan Usmani di Turki. Mereka berusaha melaksanakan penelitian perihal rahasia alam berusaha menaklukan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputu kegelapan. Setelah Christoper Colombus menemukan benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama menemukan jalan ke Timur melalui tanjung Harapan (1498) benua Eropa dan kepulauan hindia segerah jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua inovasi itu, sungguh tak terkirakan nilainya.[2]
Usai berhasil mengalami kebangkitan di kurun 16, Barat-Eropa kemudian menjalankan kebijakan imperialisme dan aksi agresinya ke banyak sekali belahan dunia Islam dan Arab yang diawali dengan aksi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dan kemudian Aljazair tahun 1830. Sejak itu sejumlah besar wilayah dunia Islam menjadi penggalan dari kekuasaan Eropa dan selebihnya masih di bawah pemerintahan Turki `Usmani yang sudah mulai melemah dan secara sarkastis sering disebut sebagai the sick man.[3]
Sejak penghujung kurun ke-18 hingga masa-masa pasca runtuhnya Kekhalifahan ‘Utsmani di Turki tahun 1924, yang dibarengi era imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam, kondisi kesejarahan umat Islam berada dalam titik yang menyedihkan.
Pada masa-masa itu, Dinasti Mogul Islam di India jatuh ke tangan imperialis Inggris, demikian juga dengan Kerajaan Safawiyah di Iran. Sejumlah negara-negara Islam atau berpenduduk dominan muslim juga berada dalam cengkraman imperialisme negara-negara Eropa. Sebut saja contohnya Indonesia yang berada di bawah kekuasaan Belanda, Libya dijajah oleh Italia, Tunisia, al-Jazair dan Maroko oleh Perancis, serta Mesir dan negara-negara sebelah selatan Jazirah Arab oleh Inggris.
Alasan lain yang kemudian menajadi pecahnya perang pada waktu itu yaitu pembunuhan Prince Ferdinand, putra mahkota Imperium Austria-Hungaria, yang berkuasa di jazirah Balkan dan Eropa Tengah. Tapi yang menjadi materi bakar perang, yang mengorbankan jutaan nyawa, yaitu perebutan koloni-koloni di Timur Jauh (daratan Cina) dan Afrika, yang telah terjadi puluhan tahun sebelumnya, dan daerah-daerah industri yang dipersengketakan di Eropa Barat.
Di daratan Cina, para kapitalis Jerman dan Inggris bersaing memperluas koloni mereka, yang mereka rampok sehabis perang candu. Di jazirah Arab dan Mesir, kekuasaan Imperium Turki, yang melemah, menciptakan kawasan yang kaya minyak dan di mana jalur utama perdagangan (Terusan Suez dan penggalan Timur Laut Mediterania), menjadi incaran kapitalis Inggris. Bahkan Konstantinopel (Ankara), yang menjadi ibukota Turki, dan penggalan selatan Balkan (wilayah jajahan Turki), menjadi incaran kapitalis dan monarkis Rusia.
Diawali dengan perlombaan pertumbuhan angkatan maritim dan persenjataan yang mengiringi persaingan ekspansi pasar, perdagangan, dan sumber-sumber materi mentah di koloni-koloni, dengan gampang informasi pembunuhan Pangeran Austria-Hungaria meletus menjadi Perang Dunia. Perang Dunia tersebut mempunyai simpulan yang diakibatkan situasi revolusioner pemberontakan para prajurit, kaum tani, dan kelas pekerja di negeri-negeri yang berperang (seperti revolusi Rusia 1917, revolusi Jerman 1918). Kemudian, terjadi pembagian wilayah-wilayah dunia melalui perjanjian Versailles. Tidak heran, kalau Perang Dunia I dikatakan oleh banyak sejarawan sebagai perang yang mengakhiri perang-perang (kolonial) lainnya.
Penjatahan dunia, yang dihasilkan perjanjian Versailles, ternyata tak mengakhiri ketegangan politik antar imperialis dunia. Malahan booming ekonomi yang muncul justru melahirkan tragedi yang lain terutama persaingan untuk ekspansi pasar. Itu disebabkan kelebihan kapasitas produksi di negeri-negeri imperialis ibarat AS dan Inggris. Resesi ekonomi 1929 yaitu titik di mana para kapitalis mulai memikirkan ekspansi pasar.[4]
D. Latar Belakang Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia
Pencarian Daerah Baru Bangsa-bangsa Eropa ke Dunia Timur, termasuk Indonesia, tidak sanggup dilepaskan dari peristiwa-peristiwa di Eropa pada kurun ke-18-19. Ekspansi Bangsa Eropa Ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke seluruh dunia menjadikan kolonialisme dan imperialisme Eropa dan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Bangsa Eropa menyebut zaman itu sebagai “the Age of Reconnaissance” atau Zaman Eksplorasi dan penjajahan awal. Zaman ini merujuk pada migrasi ke seluruh dunia. Bangsa yang melaksanakan kolonisasi disebut kaum kolonis, sedangkan zamanya disebut zaman kolonial, sistem politiknya disebut kolonialisme.
Faktor-faktor yang mendorong bangsa-bangsa Eropa melaksanakan penjajahan:
1. Semangat penakluk (reconquista) terhadap orang-orang yang beragama Islam.
2. Jatuhnya Konstantinopel, ibu kota Imperium Romawi Timur ke tangan Dinasti Usmani (Ottoman) Turki yang berada di bawah Sultan Muhammad II (1451-1481) pada1453.
3. Adanya rasa ingin tahu akan alam semesta, keadaan geografi, bangsa-bangsa.
4. Adanya impian untuk mendapat rempah-rempah.
5. Kisah penjelajahan Marcopolo (1254-1324), seorang pedagang dari Venesia, Italia, ke Cina yang dituangkan dalam buku “Book of Various Experiences.”
6. Ingin mendapat kekayaan sebanyak-banyaknya.[5]
Selama masa-masa tersebut negara-negara Islam terpuruk dalam keterbelakangan dan kemunduran peradaban di segala bidang baik sosial, politik, maupun ekonomi. Sementara didalam badan umat terjadi kelumpuhan potensi-potensi kekuatan yang dimilikinya. Ajaran-ajaran Islam banyak ditinggalkan, sebagaimana bid’ah dan khurafat menggejala dimana-mana. Sebagai respon terhadap situasi serba sulit bagi umat Islam ini, tumbuh benih-benih kesadaran di badan sekelompok cendekiawan yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaharuan dan hasilnya mengkristal menjadi apa yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Qaiwah al-Islāmiyah.
E. Dampak Yang Ditimbulkan Invasi Politik dan Militer Barat Ke Dunia Islam
India ketika berada pasa masa kemajuan kerajaan mughal yaitu negeri yang kaya dengna hasil pertanian. Hal itu yang kemmudian memicu bangsa Eropa untuk berdagang kesana. Kongsi dagang Inggris, British East India Company (BEIC) berusaha menguasai wilayah India penggalan Timur lantaran ia sudah merasa cukup kuat. Akibatnya penguasa-penguasa setempat mencoba untuk melawan namun tidak cukup berpengaruh untuk melawan kekuatan Inggris. Sehingga banyak kawasan ibarat Oudh, Bengal, dan Orissa jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, Ibukota kerjaan Mughal juga beradah di bawah baying-bayang kekuasaan Inggris lantaran pinjaman yang diberikan Inggris kapada raja ketika mengalahkan aliansi Sikh-Hindu berusaha menguasai kerajaan. Pada tahun 1879 M Inggris berusaha menguasai Afganistan dan kesultanan Muslim Baluchistin dimasukan di bawah kekuasaan India- Inggris, tahun 1899 M.[6]
Asia tenggara, negeri tempat Islam gres mulai berkembang yang merupakan kawasan rempah-remapah populer pada masa itu justru menjadi ajang perbutan Negara-negara Eropa. Kerajan Islam Malaka yang berdiri pada awal kurun ke -15 M di semenanjung Malaya yang strategis dan merupakan kerjaan Islam kedua di Asia Tenggara sehabis samudera pasai ditaklukkan portugis tahun 1511. Akibatnya perdagangan dan hasil pertanian di ambil alih oleh bangsa Eropa.
E. Upaya Tokoh-Tokoh Islam Untuk Bangkit Melawan Kolonialisme dan Imprealisme Barat
Sebagaimana telah disebutkan, benturan-benturan antara Islam dengan kekuatan Eropa telah menyadarakn umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama mencicipi hal itu diantaranya, Turki Usmani, lantaran kerjaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran dengan hal itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak balajat dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali dunia Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan yang didorong oleh dua faktor yang saling mendukung yaitu:
1. Pemurnian pedoman Islam dari unsur-unsur absurd yang pandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimbah gagasan-gagasan ibarat gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Sanusi dari Aljazair.
2. Tercermin dalam pengiriman para pelajar Muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke Negara-negara Eropa untuk menimbah ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.[7]
Jika dirunut jauh kebelakang, gerakan-gerakan pembaruan ini mempunyai akar sejarah pertumbuhan semenjak dari gerakan-gerakan reformasi keagamaan yang muncul dua kurun silam dan sanggup dijabarkan kedalam tiga gelombang. Pertama, berlangsung antara pertengahan kurun ke 18 hingga pertengahan kurun ke 19 yang diwakili oleh beberapa tokoh gerakan dakwah antara lain:
- Muhammad bin Abdul Wahhab (1702-1791) di Najed,
- Muhammad bin Nūh al-Fallaty (1752-1803) di Madinah,
- Waliyullāh al-Dahlawy (1702-1762) di India,
- Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkāni(1758-1874) di Yaman,
- Shihābuddin al-Alūsy (1803-1854) di Irak,
- Ali al-Sanesi (1778-1859) di Maroko
- Muhammad al-Mahdi (1843-1885) di Sudan.
Gelombang kedua, yaitu gelombang yang muncul antara perempat terakhir kurun ke 19 dan perempat awal kurun 20, ketika invasi militer dan politik imperialisme Barat berhasil menguasai negara-negara Arab dan Islam. Periode ini mengenal tokoh-tokoh seperti:
- Jamāluddin al-Afghāni (1839-1896) sebagai pioner,
- Abd al-Rahmān al-Kawākibi (w.1902), Muhammad `Abduh (1839-1905)
- Muhammad Rashīd Ridhā (1865-1935).
Gelombang ketiga, muncul sehabis Perang Dunia I, berupa gerakan-gerakan keIslaman yang lahir pada ahir tahun 1920-an dan berlangsung hingga pertengahan kurun 20 dan mulai bercirikan kerja kolektif dan terorganisir. Fase ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti:
1. Hasan al-Banna (w.1949) di Mesir,
2. Abd al-Hamīd ibn Bādīs (w.1940) di Aljazair,
3. Mustafā al-Sibe`ī ( w. 1965) di Suriah,
4. Abu al-Ali al Mawdudi (w.1979) di Pakistan ,
5. Sayyid Qulb (w.1966) dan Sa`īd al-Nursi (1878-1960) di Turki.
Dalam makalah ini penulis sedikit mengambil pemikiran Al-Kawākibi sebagai salah satu pemikir yang kemudian berdiri untuk melawan imprealisme Barat. Al-Kawākibi hidup di simpulan kurun ke-19 dan awal kurun ke-20. Dunia Arab-Islam yang pada waktu itu berada pada masa-masa kemunduran, mengalami interaksi cukup panjang dalam beberapa aspeknya dengan dunia Barat yang ketika itu sudah menikmati kemajuan ilmu pengetahuan sehabis usang terkungkung oleh kegelapan kurun pertengahan. Hal ini terjadi khususnya sehabis Muhamad `Ali Beshe (1769-1849) memberlakukan kebijakan keterbukaannya di Mesir ketika itu.
Sadar dengan situasi dan kondisi dunia Islam yang memperihatinkan, beberapa kalangan terpelajar kemudian tersengat rasa semangatnya untuk melaksanakan respon balik dan banyak sekali upaya guna menghadang ancaman tersebut baik di bidang politik, sosial maupun agama.
Maka lahirlah generasi nahdlah (kebangkitan) abad-19. Era pertama generasi ini mengenal nama-nama ibarat Hamden Khawjah (1773-1840), Khayr al-Den al-Tunisia (1812-1889), Rife'ah al-Ùahiewi (1801-1875) dll. Sebagai perintis, generasi mereka belum terlihat menonjol hingga munculnya generasi berikutnya yang dimotori oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad `Abduh (1849-1905). Pada masa generasi kedua inilah sosok Al-Kawākibi muncul dengan ide-idenya, terutama pasca pelariannya dari Aleppo ke Mesir. Saat itu Mesir merupakan pusat gerakan pembaharuan Arab-Islam yang aman dimana semenjak tahun 1860-an sejumlah pemikir dan pelopor dari banyak sekali negara Arab lainnya, terutama Suria dan Lebanon menjadikan negeri seribu menara tersebut sebagai tempat tujuan berhijrah.[8]
Sistem politik merupakan salah satu masalah paling menonjol dalam bangunan pemikiran pembaharuan Al-Kawakibi. Tema ini bahkan menjadi mainstream tulisan-tulisannya terutama terkait dengan kritiknya terhadap kekuasaan yang tiran, otoriter dan despotis. Dalam konferensi fiktif Umm al-Qur’an, seorang delegasi dari Palestina (Mandab al-Quds) semenjak sidang sesi kedua menyatakan bahwa keterbelakangan umat Islam dalam semua lini kehidupan merupakan jawaban dari kemunduran sistem politik pemerintahan yang berkuasa.
Sistem politik yang awalnya ‘demokratis’ pada era Khulafa urrashidin, bergeser menjadi sistem dinasti (kerajaan) yang pada masa-masa awalnya masih menghargai kaedah-kaedah pokok agama, namun kemudian menjadi kekuasaan yang sama sekali otoriter dan pada ahirnya melahirkan pemerintahan yang tiran. Dalam pandangan Al-Kawākibi dunia Islam yang telah terpisah-pisah menjadi negara-negara dan wilayah kekuasaan yang berdiri sendiri, bahkan ditambah pula dengan semakin banyaknya umat Islam yang hidup di negara-negara non-muslim, memerlukan ikatan-ikatan yang memersatukan. Unsur-unsur ikatan tersebut sanggup dikelompokan menjadi 3 bagian.
Pertama, Ikatan Keagamaan yang Sentralistik. Diimplementasikan dengan adanya seorang 'Khalifah' tunggal yang fungsi utamanya sebagai simbol persatuan spiritualitas keagamaan serta simbol politik dan manajemen dunia Islam. Sesuai konsep ini, keberadaan sang Khalifah sama sekali tidak membatalkan kedaulatan masing-masing Negara Islam.
Kedua, Ikatan Politik yang ter-desentralisasi. Terwujud melalui pembentukan institusi permusyawaratan yang anggotanya merupakan wakil-wakil dari seluruh dunia Islam. Fungsi institusi ini yaitu sebagai wadah koordinasi kebijakan-kebijkan politik bersama antar dunia Islam.
Ketiga, Ikatan Keilmuan Bersama, yang direpresentasikan dengan pembentukan Jam'iyyah Ta`lem al-Muwahiden, yaitu sebuah organisasi bersama milik dunia Islam yang bekerja untuk menunjukkan pendidikan bagi generasi muda sesuai dengan nilai-nilai Islam. Al-Kawakibi menganggap organisasi ini sebagai salah satu pilar penting lantaran menurutnya sumber segala penyakit dan kemunduran dunia Islam yaitu merajalelanya kebodohan aku.[9]
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang penulis telah paparkan pada penggalan sebelumnya maka penulis menunjukkan kesimpulan sebagai berikut:
- Semangat penakluk (reconquista) terhadap orang-orang yang beragama Islam.
- Jatuhnya Konstantinopel, ibu kota Imperium Romawi Timur ke tangan Dinasti Usmani (Ottoman) Turki yang berada di bawah Sultan Muhammad II (1451-1481M) pada1453 M.
- Adanya rasa ingin tahu akan alam semesta, keadaan geografi, bangsa-bangsa.
- Adanya impian untuk mendapat rempah-rempah.
- Kisah penjelajahan Marcopolo (1254-1324), seorang pedagang dari Venesia, Italia, ke Cina yang dituangkan dalam buku “Book of Various Experiences.”
- Ingin mendapat kekayaan sebanyak-banyaknya.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kawakibi, Pemikiran Politik Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam. www.google.com . diakses Minggu 25 Desember 2011
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Ed. I. Jakarta:PT RajaGrapindo Persada, 2007.
Ekonomi Perang dan Neoliberalisme,www.google.com.Diakses pada hari Sabtu 24 Desember 2011.
Mufradi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nasution, Harun. Theologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1986.
Pengaruh Barat Di Indonesia Pada Masa Kolonial. Html www.Google.Com. Diakses pada hari Minggu 25 Desember 2011.
Shaban. Sejarah Islam (Penafsiran Baru). Cet. I; Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Cet. I; Bogor: Kencana, 2003.
________________________________________
[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Ed. I. Jakarta:PT RajaGrapindo Persada, 2007. h.173
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Ed. I. Jakarta:PT RajaGrapindo Persada, 2007. h.173
[3] Al-Kawakibi, Pemikiran Politik Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam. www.google.com . diakses Minggu 25 Desember 2011
[4] Ekonomi Perang dan Neoliberalisme,www.google.com.Diakses pada hari sabtu 24 desember 2011.
[5] Pengaruh Barat Di Indonesia Pada Masa Kolonial. Html www.Google.Com. Diakses pada hari Minggu 25 Desember 2011.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Ed. I. Jakarta:PT RajaGrapindo Persada, 2007. h.173
[7] Ibid, h.184
[8] Al-Kawakibi, Pemikiran Politik Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam. www.google.com . diakses Minggu 25 Desember 2011
[9] Al-Kawakibi, Pemikiran Politik Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam. www.google.com . diakses Minggu 25 Desember 2011
[10] Pengaruh Barat Di Indonesia Pada Masa Kolonial. Html www.Google.Com. Diakses pada hari Minggu 25 Desember 2011.
Tulisan oleh Sirajuddin (mahasiswa pascasarjanan UIN Alauddin Makassar), Makalah Pendidikan perihal Invasi Politik dan Militer Barat Ke Dunia Islam Abad ke 18-13
Buat lebih berguna, kongsi: