Masa Khulafah al-Rasyidin mulai oleh Abu Bakar yang berkuasa tahun 632-634 M. Pemerintahan Abu Bakar yang singkat habis untuk menuntaskan duduk masalah dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku Arab yang tidak mau tunduk pada Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dilakukan hanya dengan Nabi, sehingga secara otomatis batal dengan meninggalnya Nabi. Abu Bakar menuntaskan ini dengan apa yang dikenal sebagai perang riddah (perang melawan kemurtadan).
Pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar mengikuti apa yang terjadi pada masa Nabi, bersifat sentralistik, dimana kekuasaan legislative, direktur dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Abu Bakar sendiri yang diangkat khalifah dengan baiat menyebut dirinya sebagai khalifah al-nabi (pengganti nabi).1
Pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar mengikuti apa yang terjadi pada masa Nabi, bersifat sentralistik, dimana kekuasaan legislative, direktur dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Abu Bakar sendiri yang diangkat khalifah dengan baiat menyebut dirinya sebagai khalifah al-nabi (pengganti nabi).1
Umar ibn Khathab menggantikan Abu Bakar lewat penunjukan langsung, berkuasa tahun 634-644 M. Masa ini perluasan Islam pertama terjadi. Syiria, Palestina, sebagian besar Persia dan Mesir jatuh dalam kekuasaan Islam. Luasnya wilayah kekuasaan memaksa Umar bin Khattab untuk membangun system pemerintahan dan manajemen negera. Dalam hal ini, ia mencontoh adiministrasi yang berkembang di Persia. Administrasi pemerintahan dibagi menjadi 8 propinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir.
Departemen-departemen ditingkat pusat juga dibentuk, menyerupai keuangan, pekerjaan umum dan pengadilan. Umar yang menyebut dirinya sebagai amir al-mukminin (komandan orang beriman) juga membentuk bait al-mal, menempa mata uang dan membuat tahun hijrah, menerapkan system honor dan pajak tanah. Dalam bidang hokum, untuk pertama kalinya system ghanimah (pembagian harta rampasan perang sesuai dengan pedoman al-Qur’an dan Sunnah) tidak diberlakukan dan diganti dengan system gaji.2
Usman ibn Affan yang berkuasa sehabis Umar dipilih dengan system formatur yang terdiri atas 6 orang; Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqash dan Abd Rahman ibn Auf. Pada paruh pertama kekuasaannya yang panjang, tahun 644-655 M, Ustman meneruskan politik Umar melaksanakan perluasan ke luar. Menaklukkan Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan yang tersisa dari wilayah Persia. Dalam keilmuan, Utsman pertama kali yang membukukan al-Qur’an yang dikenal dengan mushaf utsmani hingga sekarang, untuk membakukan system pembacaan al-Qur’an yang mulai berbeda-beda ketika itu sesuai dialek wilayah masing-masing.
Akan tetapi, sehabis itu, Utsman tampak mulai tidak sanggup mengendalikan ambisi politik keluarganya (Bani Umaiyah) dan mengangkat mereka sebagai pejabat-pejabat penting dan “basah”. Parahnya, Utsman juga mengklaim diri sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) bukan khalifah al-nabi sebagaimana Abu Bakar, sehingga memberi kesan dictator dan berkuasa penuh. Perubahan politik Ustaman ini lalu mengakibatkan kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan shahabat dan kebanyakan masyarakat, sehingga melahirkan pemberontakan dan berpuncak pada terbunuhnya Utsman.3
Ali ibn Abi Thalib yang dibaiat sehabis Utsman berkuasa tahun 655-660 M. Masa pemerintahan Ali penuh dengan gejolak sebagai warisan dari system sebelumnya dan imbas kebijakan radikal yang diterapkan Ali. Khalifah Ali bin Abi Thalib memecat para gubernur yang diangkat Utsman, menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman dan mengembalikan kepada negara, menerapkan system pajak tahunan dan menghilangkan dukungan shahabat. Gejolak pertama ialah pemberontakan yang dilakukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, sedang yang kedua pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan, keluarga dan gubernur Syiria yang diangkat Utsman. Dua pemberontakan ini menunjukkan imbas teologis yang serius.
Usman ibn Affan yang berkuasa sehabis Umar dipilih dengan system formatur yang terdiri atas 6 orang; Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqash dan Abd Rahman ibn Auf. Pada paruh pertama kekuasaannya yang panjang, tahun 644-655 M, Ustman meneruskan politik Umar melaksanakan perluasan ke luar. Menaklukkan Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan yang tersisa dari wilayah Persia. Dalam keilmuan, Utsman pertama kali yang membukukan al-Qur’an yang dikenal dengan mushaf utsmani hingga sekarang, untuk membakukan system pembacaan al-Qur’an yang mulai berbeda-beda ketika itu sesuai dialek wilayah masing-masing.
Akan tetapi, sehabis itu, Utsman tampak mulai tidak sanggup mengendalikan ambisi politik keluarganya (Bani Umaiyah) dan mengangkat mereka sebagai pejabat-pejabat penting dan “basah”. Parahnya, Utsman juga mengklaim diri sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) bukan khalifah al-nabi sebagaimana Abu Bakar, sehingga memberi kesan dictator dan berkuasa penuh. Perubahan politik Ustaman ini lalu mengakibatkan kekecewaan dan ketidakpuasan di kalangan shahabat dan kebanyakan masyarakat, sehingga melahirkan pemberontakan dan berpuncak pada terbunuhnya Utsman.3
Ali ibn Abi Thalib yang dibaiat sehabis Utsman berkuasa tahun 655-660 M. Masa pemerintahan Ali penuh dengan gejolak sebagai warisan dari system sebelumnya dan imbas kebijakan radikal yang diterapkan Ali. Khalifah Ali bin Abi Thalib memecat para gubernur yang diangkat Utsman, menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman dan mengembalikan kepada negara, menerapkan system pajak tahunan dan menghilangkan dukungan shahabat. Gejolak pertama ialah pemberontakan yang dilakukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, sedang yang kedua pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan, keluarga dan gubernur Syiria yang diangkat Utsman. Dua pemberontakan ini menunjukkan imbas teologis yang serius.
Ketika Aisyah bertempur melawan Ali, sebagian shahabat menyerupai Abd Allah ibn Umar tidak sanggup mengambil perilaku dan menyerahkan keputusannya kepada Allah, alasannya ialah keduanya ialah keluarga Nabi. Aisyah ialah istri Nabi yang berarti ummul al-mukminin (ibunya orang mukmin) sedang Ali ialah menantu dan orang yang sangat bersahabat dengan Nabi. Sikap abstain sebagian shahabat inilah yang lalu berkembang menjadi Murjiah. Sementara itu, pertempuran Ali melawan Muawiyah melahirkan tiga aliran teologi besar dalam Islam. Mereka yang membela Ali lalu menjadi Syiah, yang mendukung Muawiyah menjadi Jama’ah atau Sunni, sedang yang tidak puas dengan keduanya menjadi Khawarij.4
Catatan Kaki
1 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta, Kota Kembang, 1989), 34-37.
2 Syibli Nukman, Umar Yang Agung, (Bandung, Pustaka, 1981), 264-276
3 A Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung, Rusyda, 1987), 87. Tentang perubahan gelar khalifah Ustman dan reaksi shahabat, lihat Mahmoud Ayub, The Crisis of Muslim History, (Bandung, Mizan, 2004).
4 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 58-62. Untuk perkembangan awal empat aliran teologi Islam ini, lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dini, I, (Beirut, Dar al-Ilmi, 1987), 50 dan seterusnya.
Catatan Kaki
1 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta, Kota Kembang, 1989), 34-37.
2 Syibli Nukman, Umar Yang Agung, (Bandung, Pustaka, 1981), 264-276
3 A Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung, Rusyda, 1987), 87. Tentang perubahan gelar khalifah Ustman dan reaksi shahabat, lihat Mahmoud Ayub, The Crisis of Muslim History, (Bandung, Mizan, 2004).
4 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 58-62. Untuk perkembangan awal empat aliran teologi Islam ini, lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dini, I, (Beirut, Dar al-Ilmi, 1987), 50 dan seterusnya.
Buat lebih berguna, kongsi: