Inilah Konsep Takaful (Asuransi Islam) Dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Sampai Ulama Fikih Modern Yang Wajib Anda Pahami

Konsep Takaful (Asuransi Islam) dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Hingga Ulama Fikih Modern 

Kajian asuransi dalam aturan Islam merupakan hal yang gres dan belum pernah ditemukan dalam literatur-literatur fikih klasik. Hal ini sanggup dimaklumi, lantaran sistem asuransi sayriah gres masuk ke dunia Timur (baca: Islam) pada era XIX M. Oleh lantaran itu para ulama imam madzhab dan ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan mereka tidak memberi aliran aturan terhadap masalah asuransi.1

Sebenarnya ada sebuah konsep wacana asuransi yang berkembang pada zaman Rasulullah SAW, yaitu yang disebut ‘aqilah.2 ‘Aqilah, menyerupai yang dikutip oleh Muhammad Muslehuddin dari buku Encyclopedia of Islam, ialah sebutan untuk seorang laki-laki cukup umur yang berdasarkan aturan agama harus membayar penalti (‘aql), lantaran secara tidak sengaja telah mengakibatkan selesai hidup seorang muslim.3

Ketetapan ini berdasarkan pada putusan Rasulullah SAW. Suatu hari, terjadi pertengkaran antara dua orang perempuan suku Hudzail. Salah satunya, yang sedang hamil, dibunuh oleh perempuan satunya lagi dengan menggunakan watu yang dipukulkan ke belahan rahimnya dan perempuan itu meninggal. Maka, Rasulullah SAW memutuskan bahwa sanaknya (‘aqilah atau, berdasarkan istilah lain, ashabah, yaitu kerabat dari jalur bapak), sesuai dengan etika usang harus membayar uang denda4 kepada sanak famili dari perempuan yang telah dibunuh.5 Hal ini juga sesuai dengan firman Allah SWT, 

Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali lantaran tidak salah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min lantaran tidak salah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jikalau mereka berinfak (membebaskan si pembunuh dari uang diyat)”. (QS. An-Nisaa’ [4]: 92)6

Prinsip pemberian ganti rugi dalam banyak sekali jenis atau berupa uang atas selesai hidup atau luka terhadap seseorang benar-benar sangat membantu menghapuskan atau setidak-tidaknya mengurangi permusuhan antarsuku dan balas dendam keluarga yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan menjadikan kerugian yang sangat besar, baik itu nyawa maupun harta benda. 

Kebiasaan ini memperlihatkan laba bagi bangsa Arab lantaran membawa banyak sekali macam tujuan dan manfaat, antara lain:7

a. Mengurangi pertumpahan darah dan balas dendam antarbangsa Arab.
b. Mengalihkan tanggung jawab individu menjadi tanggung jawab kolektif, sehingga membantu tercapainya keamanan sosial bagi individu setiap suku bangsa Arab.
c. Mengurangi beban keuangan individu dengan mengalihkan kewajiban tersebut kepada kelompok.
d. Mengembangkan semangat kolaborasi dan persaudaraan di antara anggota yang diwujudkan dengan saling membantu beban individu sesama anggota kelompok atau anggota suku.

Ilustrasi di atas memperlihatkan citra bahwa sistem pengalihan tanggung jawab (baca: asuransi) sebetulnya sudah ada semenjak zaman Rasulullah SAW, tetapi sifat serta bentuknya masih sangat sederhana. Berbeda dengan sistem serta konsep asuransi yang berkembang pada masa sekarang. Oleh lantaran itu penulis perlu untuk meredefinisi terhadap konsep asuransi (asuransi Islam atau takaful) melalui kajian literatur-literatur fikih klasik. Sehingga pada belahan ini penulis akan mengisinya dengan pengertian kafalah, dasar aturan kafalah, rukun dan syarat kafalah serta macam-macam kafalah.
 dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Hingga Ulama Fikih Modern Inilah Konsep Takaful (Asuransi Islam) dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Hingga Ulama Fikih Modern yang Wajib Anda Pahami
Kebijakan Asuransi (Foto: Bisnisforlife.com)

Pengertian Kafalah

Pengertian asuransi berdasarkan peristilahan di Indonesia telah dijelaskan pada pasal 246 KUHD dan UU No. 2 Tahun 1992 wacana Usaha Perasuransian. Kata “asuransi” sendiri tidak berasal dari bahasa Indonesia, melainkan berasal dari bahasa Belanda, assurantie, dan di dalam aturan Belanda digunakan kata verzekering. 

Kata verzekering kemudian disalin ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”.8 Dari peristilahan assurantie terasebut, kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung (sebagai hebat aturan menyerupai Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro menggunakan kata “penjamin” dan “terjamin”)9. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya asuransi frudential syariah.

Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris)10, sehingga dari istilah tersebut ada “penanggung” yang disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut dengan mu’amman lahu atau musta’min.11 

Istilah-istilah tersebut intinya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling terkenal dipergunakan sebagai istilah lain dari asuransi syariah dan juga paling banyak dipergunakan di banyak sekali negara termasuk Indonesia ialah istilah takaful.
 dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Hingga Ulama Fikih Modern Inilah Konsep Takaful (Asuransi Islam) dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Hingga Ulama Fikih Modern yang Wajib Anda Pahami
Defenisi Asuransi (Foto: Infotentangasuransi.wordpress.com)
Istilah takaful ini pertama kali dipergunakan oleh Daar al-Maal al-Islami, sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang bangun pada tahun 1983.12

Istilah takaful dalam ilmu tashrif atau sharaf termasuk dalam barisan bina muta’aadi, yaitu yang artinya saling menanggung atau menanggung bersama,13 dalam kamus al-Munawwir diartikan sebagai pertanggungan yang berbalasan, hal saling menanggung.14

Kata takaful sebetulnya tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Namun, ada sejumlah kata yang seakar kata dengan takaful, menyerupai dalam surat Thahaa [20] ayat 40, yaitu: “Ketika saudara perempuanmu berjalan, kemudian ia berkata (kepada Fir’aun): ‘Bolehkah saya memperlihatkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’.” (QS. Thahaa [20]: 40)15

Yakfulu sanggup juga diartikan menjamin, menyerupai dalam surat an- Nisaa’ [4] ayat 85, yaitu: “Barangsiapa yang memberi syafaat yang buruk, pasti ia akan memikul (risiko) belahan daripadanya” (QS. an-Nisaa’ [4]: 85)16

Apabila kita memasukkan asuransi takaful ke dalam lapangan kehidupan muamalah, maka takaful dalam pengertian muamalah mengandung arti, yaitu saling menanggung risiko di antara sesama insan sehingga antara yang satu dengan yang lain menjadi penanggung atas risiko masing-masing.17

Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’,18 yang ditujukan untuk menanggung risiko. Takaful dalam pengertian ini sesuai dengan al- Qur’an, Artinya: “…. Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Maidah [5]: 2)19

Takaful yang mempunyai akar kata yang sama dengan al-kafalah berdasarkan bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan berdasarkan istilah yang dimaksud dengan al-Kafalah atau al-Dhaman sebagaimana dijelaskan pula oleh para ulama ialah sebagai berikut:

Menggabungkan beban kepada beban yang lain dalam penagihan dengan jiwa, hutang atau zat benda”.

Pengertian al-Kafalah yang kedua ialah: “Menggabungkan beban kepada beban yang lain dalam pokok (asal) hutang”.20

Menurut Madzhab Maliki bahwa al-Kafalah ialah: “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.21

Menurut Madzhab Hanbali bahwa yang dimaksud dengan al-Kafalah ialah: “Iltizam (kewajiban untuk menghadirkan) sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.22

Menurut Madzhab Syafi’i bahwa yang dimaksud dengan al-Kafalah ialah: “Akad yang memutuskan iltizam (kewajiban untuk menghadirkan) hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan tubuh oleh orang yang berhak mengahadirkannya”.23

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh madzhab Syafi’i di atas bahwa al-Kafalah terdiri atas tiga macam, yaitu: Al-Kafalat al-Dayn, al- Kafalah al-‘Ain dan al- Kafalah al- Abdan.

Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan al-kafalah ialah: “Proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan atau usul dengan materi sama atau hutang atau barang atau pekerjaan.”24

Kafiil adalah: penjamin, yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan makful bihi (yang ditanggung).
Ashiil adalah: orang yang berhutang, yaitu orang yang ditanggung.

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalany bahwa yang dimaksud dengan al-Kafalah ialah: “Iltizam (kewajiban untuk menghadirkan) sesuatu atas hutang harta.”25

Dalam Ensiklopedi Islam kafalah didefinisikan sebagai berikut: “Kafalah ialah suatu bentuk perbuatan menolong orang lain dengan cara menjamin seorang yang berhutang yang tidak tahu atau belum bisa untuk membayarnya di hadapan pemberi hutang, baik dengan harta atau dirinya sendiri.”26
Sementara itu berdasarkan Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya No.21/DSN-MUI/X/2001 wacana Pedoman Umum Asuransi Syariah memperlihatkan definisi takaful (dalam hal ini takaful diidentikkan dengan asuransi syariah, ta’min dan tadhamun) sebagai berikut:

Takaful ialah perjuangan saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memperlihatkan contoh pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui komitmen (perikatan) yang sesuai dengan syariah.”27

Sebenarnya masih cukup banyak definisi wacana kafalah, tetapi apa yang penulis sajikan kiranya sudah cukup. Setelah diketahui definisi-definisi al-Kafalah atau al-Dhaman berdasarkan para ulama di atas, kiranya sanggup dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-Kafalah atau al-Dhaman ialah menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam usul dan hutang.28

Dasar Hukum Kafalah

Kafalah disyariatkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijma’. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Ya’kub Berkata: ’Sekali-kali saya tidak akan melepaskan (pergi) bahu-membahu kamu, sebelum kau memperlihatkan janji yang teguh kepadaku atas nama Allah, bahwa kau pasti membawanya kembali kepadaku’.” (QS. Yusuf [12]: 66)29

Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman: “..... Dan barangsiapa yang sanggup mengembalikannya (piala raja), maka ia akan memperoleh materi makanan seberat beban unta dan saya yang menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf [12]: 72)30

Dasar aturan al-kafalah yang kedua ialah al-Sunnah, dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi yang menghasankannya serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).31

“Diceritakan oleh Abu ‘Ashim dari Yazid bin Abi Ubaid dari Salamah bin al- Akwa’ ra. Sesungguhnya telah dibawa kehadapan Nabi SAW mayit seseorang untuk dishalatinya, maka ia berkata: ‘Apakah ia masih punya hutang?’ Kami menjawab: ‘tidak’, maka Nabi menyalatinya. Kemudian dibawa lagi mayit yang lain, maka ia berkata: ‘Apakah ia masih punya hutang?’ Kami menjawab: ‘ya’, kata beliau, Shalatkanlah sobat kalian itu (sedangkan Nabi SAW sendiri tidak menylatinya). Berkata Abu Qatadah: ‘Saya yang menangggung hutangnya ya Rasulullah’, maka Nabi menyalatinya”. (HR. Imam Bukhori)32

Dalam hal ijma’ para ulama beropini bahwa, al-kafalah diperbolehkan. Hal ini didasari pada fakta bahwa orang-orang Islam mempraktekkan sistem kafalah pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, bahkan hingga sekarang, tanpa adanya teguran dari seorang ulama pun.33

Rukun dan Syarat Kafalah

Tidak ada bantahan dari kalangan Fuqaha’ wacana diperbolehkannya kafalah. Hanya saja terjadi perbedaan dalam beberapa hal yang menyangkut masalah teknis pelaksanaannya, menyerupai pada rukun dan syarat kafalah sebagai berikut:

Menurut Madzhab Hanafi (termasuk Muhammad bin Hasan asy- Syaibani, salah seorang murid Abu Hanifah, w. 189 H) bahwa rukun kafalah ialah satu, yaitu ijab dan qabul.34 Ijab berasal dari orang yang menjamin (Dhamin atau Kafil) dan qabul berasal dari orang yang dijamin (Daain, yaitu madhmun lah atau makful lah). 

Sedangkan berdasarkan Abu Yusuf (w. 182 H), salah seorang murid Abu Hanifah dan Jumhur Fuqaha’ menyampaikan bahwa rukun kafalah hanya ijab saja, sementara qabul tidak termasuk dalam rukun kafalah.35 

Rukun kafalah berdasarkan sebagian Jumhur Ulama ada 4, yaitu: Dhamin, Madhmun, Madhmun ‘anhu dan Shighat. Sementara Ulama Madzhab Syafi’i menambahkan rukun yang kelima, yaitu Madhmun lah.36

Menurut pendapat sebagian ulama yang lain menyampaikan bahwa rukun dan syarat kafalah ialah sebagai berikut:37

1. Dhamin, Kafil atau Za’im yaitu orang yang menjamin. Syarat orang yang menjamin antara lain adalah:

a. Baligh dan berakal, yaitu orang yang hebat bertransaksi. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang dibawah pengampuan tidak sanggup menjadi penjamin. Adapun jaminan orang sakit yang hampir mati, dalam masalah jaminan harta, ialah tidak lebih dari sepertiga demikian juga jaminan yang dilakukan oleh seorang perempuan.38

Pada awalnya yang dipandang sebagai subyek aturan ialah manusia. Sejalan dengan perkembangan contoh pikir manusia, kemudian tubuh hukum39 yang mengurusi kepentingan umum juga dipandang sebagai subyek aturan menyerupai manusia.40 Hal yang demikian itulah yang oleh aturan diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Keberadaan tubuh aturan dalam ketentuan aturan Islam memang tidak diatur secara rinci di dalam nas. Namun, syariat (termasuk ketentuan mengenai tubuh hukum) yang berkembang di masyarakat dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.41 

Kiranya sanggup dipahami jikalau keberadaan tubuh hukum, menyerupai Perseroan Terbatas (PT), CV, Firma (Fa) ataupun Yayasan, sanggup dikategorikan sebagai subyek aturan yang mempunyai kriteria sama menyerupai manusia, antara lain:
  • Memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
  • Mempunyai kemampuan untuk menolong orang yang dijaminnya.
  • Dikelola oleh orang yang baligh dan berakal, dalam arti mempunyai kompetensi untuk melaksanakan transaksi.42

b. Merdeka (tidak dicegah dalam membelanjakan hartanya atau mahjur) dan dilakukan atas kehendaknya sendiri.43 Kafalah tidak sah jikalau dilakukan oleh seorang budak, lantaran budak harus meminta ijin terlebih dahulu kepada majikannya apabila akan melaksanakan suatu transaksi. Oleh lantaran itu budak tidak mempunyai kemampuan (ahliyyah) untuk melaksanakan transaksi (tabarru’) tanpa ijin dari majikannya.

Apabila syarat merdeka ini diterapkan pada masa sekarang, maka syarat ini sanggup diartikan sebagai kebebasan untuk menggunakan haknya (hartanya) tanpa adanya interfensi dari pihak lain dalam melaksanakan kegiatannya. Sebab pada masa kini ini sistem perbudakan sudah tidak berlaku lagi.

c. Al-kafil harus mengetahui al- Makful ‘anhu (orang yang dijaminnya) dan dilarang menjamin hal-hal yang belum pasti.44 Artinya bahwa jaminan itu harus seizin orang yang dijamin. Hal ini dimaksudkan semoga antara penjamin dan orang yang dijamin tidak terjadi kesalahpahaman terhadap hal yang dijadikan jaminan.

Dalam hal jaminan tubuh sebagian fuqoha’ berselisih pendapat mengenai penjamin ketika orang yang dijaminnya meninggal atau pergi. Ibnu al-Qashim beropini apabila orang yang dijaminnya meningggal di rumah, maka penjamin tidak dikenakan kewajiban apapun. Jika meningal dalam perjalanan, apabila dimungkinkan untuk dihadirkan, maka penjamin wajib untuk menghadirkannya.45

Apabila orang yang dijamin bepergian, maka ada tiga ketentuan (pendapat) yang diungkapkan oleh para fuqoha’, yaitu:46
  • Penjamin harus mendatangkan orang yang dijamin atau ia mengganti sejumlah kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan fuqoha’ Madinah.
  • Penjamin harus ditahan hingga ia sanggup menghadirkan orang yang dijamin atau mengetahui kematiannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan fuqoha’ Irak.
  • Penjamin tidak terkena kewajiban apapun, kecuali bahwa ia harus menghadirkannya, jikalau ia mengetahui tempatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu ‘Ubaid al-Qashim bin Salam.

Dalam hal jaminan harta, fuqoha’ beropini bahwa jikalau orang yang dijamin meninggal atau bepergian, maka penjamin harus mengganti kerugian. Mereka berselisih pendapat jikalau penjamin dan orang yang dijamin sama-sama kaya.

Imam Malik beropini bahwa al-Makful lah dilarang menagih dari penjamin jikalau orang yang dijaminnya masih mampu.47

Abu Tsaur beropini bahwa hamalah dan kafalah ialah sama. Oleh lantaran itu penjamin wajib menanggung beban sedangkan orang yang dijamin menjadi bebas, dilarang satu macam harta ditanggung oleh dua orang. 

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Abi Layla dan Ibnu Syubrumah.48 Hal ini didasarkan pada hadits Qubaishah bin al-Makhariqi r.a,: “Aku membawa suatu tanggungan maka saya mendatangi Nabi SAW, kemudian saya bertanya kepada ia tentangnya. Maka ia bersabda, ‘kami akan mengeluarkan tanggungan tersebut atas namamu dari unta sedekah. Hai Qubaishah, sesungguhnya kasus ini tidak halal kecuali pada tiga hal’. Kemudian ia menyebutkan seorang lelaki yang membawa suatu tanggungan dari lelaki lain sehingga ia melunasinya”.49

Segi pengambilan dalil dari hadits ini ialah, bahwa Nabi SAW membolehkan petuntutan terhadap orang yang menjamin tanpa mempertimbangkan kondisi orang yang dijaminnya.

2. Madhmun lah atau Makful lah

Yaitu orang yang mendapatkan jaminan. Syaratnya ialah diketahui oleh orang yang menjamin (Dhamin atau Kafil). Hal ini sangat penting, mengingat tabiat insan berbeda-beda dalam menghadapi orang yang berhutang. Terutama sekali dilakukan untuk menghindari kekecewaan bila orang yang dijamin menciptakan ulah50.

Syarat yang kedua ialah hadir dalam majlis sewaktu terjadi akad. Menurut Abu Hanifah makful lah harus hadir dalam majlis, alasannya kafalah berarti kepemilikan dan kepemilikan tidak akan ada tanpa adanya ijab dan qabul sebagaimana disyaratkan dalam shighat akad.51

Menurut Abu Yusuf, kafalah yang artinya pemindahan beban hanya membutuhkan ijabnya kafil. Maka, hanya ijab saja yang dibutuhkan untuk menyempurnakan adanya akad.52

Syarat ketiga ialah berakal. Menurut madzhab Hanafi, tidak sah jikalau qabul diucapkan oleh orang gila, anak kecil dan seorang mumayyyiz (belum baligh).53

3. Madhmun ‘anhu atau Makful ‘anhu

Yaitu orang yang dijamin (berhutang). Orang yang berhutang tidak disyaratkan, lantaran pada prinsipnya hutang itu harus lunas. Menurut Abu Hanifah,54 Madhmun ‘anhu atau Makful ‘anhu harus sanggup menyelamatkan Madhmun bih atau Makful bih, baik oleh dirinya sendiri atau al-kafil. 

Karena itu menurutnya, tidak dibenarkan kafalah bagi orang gulung tikar yang sudah meninggal. Tetapi berdasarkan asy-Syaibani, Abu Yusuf dan dominan Fuqoha’, sah-sah saja menanggung beban orang yang meninggal, sebagaimana terjadi pada kasus Abu Qatadah tersebut di atas. Selain itu, madhmun ‘anhu atau makful ‘anhu harus diketahui oleh al- kafil.55

4. Madhmun bih atau Makful bih

Yaitu obyek jaminan hutang, berupa uang, barang atau orang. Obyek jaminan hutang disyaratkan bahwa keadaannya diketahui dan telah ditetapkan. Oleh alasannya itu tidak sah dhaman (jaminan), jikalau obyek jaminan hutang tidak diketahui dan belum ditetapkan, lantaran ada kemungkinan unsur gharar.

5. Shighat

Yaitu pernyataan yang diucapkan oleh orang yang menjamin. Disyaratkan keadaan shighat mengandung makna jaminan, diucapkan oleh orang yang menjamin dan tidak digantungkan pada sesuatu.56 

Misalnya: “Saya menjamin hutangmu kepada Si A”, dan sebagainya yang mengandung ungkapan jaminan. Shighat hanya diharapkan bagi pihak penjamin. Dengan demikian, dhaman ialah pernyataan sepihak saja.

Hendaknya diingat bahwa jaminan berlaku hanya menyangkut harta dengan sesama insan saja, tidak dengan Allah SWT. Misalnya: menjamin eksekusi qishas bagi pembunuh dan potong tangan bagi pencuri. Hukuman tersebut harus dijalani oleh orang yang melaksanakan dan dilarang dialihkan kepada orang lain.

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah, kafalah sanggup dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu:57 

a. Dengan Cara Tanjiz 

Yaitu adanya ungkapan wacana penjaminan secara sepihak dari orang yang menjamin, misalkan: “aku sebagai penjamin untukmu”, “Aku tanggung hutang si Fulan” dan lain-lain yang merupakan pernyataan kafalah.

Kafalah dengan cara menyerupai ini sudah mempunyai kekuatan aturan mengikat. Dan semenjak ketika itu Kafiil mengikatkan diri, baik dalam menyelesaikannya, menunda pembayarannnya maupun membayar cicilannya. 

Berdasarkan kepada dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas r.a, Artinya: “Bahwa Nabi SAW pernah menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan untuk menagih hingga sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar oleh penagih”. (HR. Ibnu Majah).58

b. Dengan Cara Ta’liq

Yaitu jaminan yang dilakukan oleh seseorang dan digantungkan kepada suatu hal tertentu. Misalnya: “Jika engkau mempercayai aku, maka saya akan menjamin untukmu”. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat Yusuf [12] ayat: 72, “… Dan siapa yang sanggup mengembalikan (piala raja), maka akan memperoleh beban makanan (seberat) beban unta”.59

c. Dengan Cara Tauqit

Yaitu jaminan yang digantungkan pada datangnya suatu waktu tertentu. Misalnya: “Jika tiba Hari Raya Idul Fitri, maka saya yang akan menjamin dirimu”.

Macam-macam Kafalah

Secara garis besar, bahwa kafalah dibagi menjadi dua macam, yaitu kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta60. Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi atau Kafalah bi al-Nafs, yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin (al-Kafil) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada orang yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).

Kafalah yang menyangkut masalah insan ialah boleh hukumnya. Meskipun orang yang ditanggung tidak mengetahui permasalahannya, lantaran kafalah tersebut menyangkut badan, bukan harta. 

Sedangkan kafalah yang menyangkut hak Allah SWT, menyerupai had al-khamar dan had menuduh zina ialah tidak sah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin Syu’aib dari bapaknya: “Tidak ada kafalah dalam masalah had” (HR. al-Baihaqy dengan isnad dho’if dan ia menyampaikan hadits ini munkar).61

Alasan berikutnya adalah, bahwa menggugurkan dan menolak had ialah kasus syubhat. Oleh lantaran itu tidak ada kekuatan jaminan yang sanggup dipegang dan tidaklah mungkin had sanggup dilakukan kecuali oleh orang yang bersangkutan.

Madzhab Syafi’i beropini bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia, menyerupai qishas dan qadzaf (menuduh berzina).62 Karena kedua hal tersebut berdasarkan Syafi’iyyah ialah hal yang lazim. 

Adapun bila menyangkut had Allah, maka hal tersebut tidak sah dengan kafalah. Tetapi Ibnu Hazm tidak menyetujui pendapat ini, menjamin dengan menghadirkan tubuh pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut masalah harta maupun menyangkut masalah had. Karena syarat apapun yang tidak terdapat dalam Kitabullah ialah bathil.63

Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya Kafalah bi al-Wajhi. Dengan alasan, bahwa Rasulullah SAW pernah menjamin urusan tuduhan. Namun berdasarkan Ibnu Hazm bahwa hadits yang menceritakan penjaminan Rasulullah SAW pada masalah tuduhan ialah bathil, lantaran hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khitsam bin ‘Arrak, dia ialah dha’if dan dilarang diambil periwayatannya.64

Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Apabila ia tidak sanggup menghadirkannya, sedangkan orang tersebut masih hidup atau penjamin itu berhalangan hadir, ia wajib membayar untuk orang tersebut, berdasarkan dalil dari Rasulullah SAW yang berbunyi: “Penjamin ialah orang yang berkewajiban untuk membayar”.65

Kecuali jikalau ia mensyaratkan, bahwa ia akan menghadirkannya tanpa menjamin akan membayar dengan harta. Diperlukan adanya kejelasan syarat, alasannya ia menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk hal itu, demikian berdasarkan pendapat ulama Madzhab Maliki dan penduduk Madinah.66

Sedangkan berdasarkan Madzhab Hanafi bahwa penjamin (kafil atau Dhamin) harus ditahan hingga ia sanggup menghadirkan orang tersebut atau hingga penjamin mengetahui bahwa ashil telah meninggal dunia, dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali bila ketika menjamin mensyaratkan demikian (akan membayarnya).

Menurut Madzhab Syafi’i, bila ashil telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib membayar kewajibannya, lantaran ia tidak menjamin harta tapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas dari tanggung jawab.67

Kafalah yang kedua ialah kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu:68

1. Kafalah bi al-Dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain. Dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ bahwa Rasulullah SAW tidak mau menshalatkan mayit yang mempunyai kewajiban membayar hutang, kemudian Qatadah ra, berkata: “Shalatkanlah dia ya Rasulullah dan saya yang akan membayar hutangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya”.69

Di dalam kafalah hutang disyaratkan sebagai berikut:70

a. Hendaknya nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan, menyerupai hutang Qiradh, upah dan mahar. Seperti ketika seseorang berkata: “Juallah benda itu kepada Si A dan saya menjamin pembayarannya dengan harga sekian”, maka harga penjualan benda terebut ialah jelas. Hal tersebut disyaratkan oleh Madzhab Syafi’i. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf beropini boleh menjaminkan sesuatu yang nilainya belum ditentukan.

b. Hendaknya barang yang dijamin diketahui. Menurut Madzhab Syafi’i dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, alasannya perbuatan tersebut ialah gharar. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Ahmad beropini bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.

2. Kafalah bi al-‘Ain atau kafalah dengan materi/kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang berada di tangan orang lain, menyerupai mengembalikan barang yang dighasab. Disyaratkan materi tersebut yang dijamin untuk ashil, menyerupai dalam kasus ghasab. Jika tidak berbentuk jaminan, maka kafalah batal.

3. Kafalah bi al-Darak,71 maksudnya ialah barang yang didapati berupa harta terjual dan menerima ancaman (cacat), lantaran waktu yang terlalu usang atau hal-hal lainnya, maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli kepada penjual, menyerupai jikalau terbukti barang yang dijual ialah milik orang lain atau barang gadaian.

Daftar Referensi

1 AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 10. Lihat juga Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Cet. 10, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997, hal. 132.
2 Al-‘aqilah oleh Muhammad Syakir Sula diartikan dengan saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarga. Lihat Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hal. 82.

3 Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam (terj. Burhan Wirasubarata), Jakarta: Lentera, 1999, hal. 14.

4. Dalam tradisi Arab uang denda sering disebut sebagai uang darah (al-diyat), yaitu: pembayaran sejumlah harta lantaran suatu tindak pidana terhadap suatu jiwa atau anggota badan. Sistem al-diyat dibayarkan ketika ada faktor ketidaksengajaan. Apabila tindak pidana ini disengaja, maka tidak ada asuransi yang memikul tanggung jawab ini. Lihat Muhammad Syakir Sula, Op Cit, hal. 32.

5 Muhammad Muslehudin, Ibid. Lihat juga, Muhammada Syakir Sula, Op Cit, hal. 31.

6 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hal. 135

7 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (terj. Soeroyo dan Nastangin), Jilid 4, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hal. 83. Bandingkan dengan Muhammad Muslehudin, Op Cit, hal. 31

8 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Cet. 2, Bandung: Mizan, 1994, hal. 205-206.

9 Ibid, hal. 206.

10 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 122.

11 Ali Yafie, Loc Cit.

12 Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (Dasar-dasar Ekonomi Islam), terj. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993, hal. 209-210.

13 Gemala Dewi, Ibid. Lihat juga Tim Takaful, Takaful Asuransi Islam, Jakarta: Koperasi Karyawan Takaful, 1997, hal. 18.

14 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: PP. Al- Munawwir, tth., hal. 1311.

15 Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit , hal. 479.

16 Ibid, hal. 133.

17 Muhammad Syakir Sula, Op Cit, hal. 22-23. Lihat Gemala Dewi, Loc Cit. Lihat juga Tim Takaful, Loc Cit.

18 Tabarru’ dalam kamus al-Munawwir berarti bersedekah, menderma. Lihat Ahmad Warson al-Munawwir, Op Cit, hal. 82

19 Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit, hal. 157

20 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-‘Arba’ah, Kairo: Maktabah al- Tijariyah al-Kubro, tth. Hal. 221. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, Al- Fiqh al-Islam Waadillatuhu, Juz 6, Beirut: Daar al-Fikr, 1984, hal. 4143.

21 Ibid, hal. 223.
22 Ibid, hal. 224.
23 Ibid, hal. 225

24 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 3, Kairo: Daar al-Fath Li al-I’lam al-‘Arabi, 1990, hal. 334.

25 Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughu al- Maram, Kairo: Maktabah wa Matbaah Musthofa al-Babilhalbi wa Auladuh, 1378 H, hal. 186.

26 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hal. 300.

27 Dikutip dari AM. Hasan Ali, Op Cit, hal. 220.

28 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 189.

29 Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit, hal. 359.

30 Ibid, hal. 360.

31 Abi Isa Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Jami’us Shahih Sunan at-Tirmidzi, Juz 6, Beirut: Daar al-Fikr, tth., hal. 565

32 Al-Imam Abi Abdillah ibn Ismail ibn Ibrahim al-Bukhory, Shahih al-Bukhori, Juz 3, Beirut: Daar al-Fikr, 1981, hal. 57.

33 Sayyid Sabiq, Op Cit, hal. 335. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Op Cit, hal. 4142.

34 Abdurrahman al-Jaziri, Op Cit, hal. 226. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Ibid, hal. 4145. Lihat juga Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Loc Cit.

35 Wahbah al-Zuhaili, Ibid.

36 Wahbah al- Zuhaili Ibid, hal. 4146.

37 Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 191. Lihat juga M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 262-263

38 Wahbah al- Zuhaili, Op Cit, hal. 4153-4154.

39 Badan aturan ialah “segala sesuatu yang didasarkan pada tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh aturan diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban”. Lihat Chairuman Pasaribuan dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 14.

40 TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 194.

41 Ibid.hal. 224.
42 Wahbah al- Zuhaili, Loc Cit.
43 Ibid, hal. 4154.

44 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Beirut: Daar al-Kutub al-Islamiyyah, 595 H,

45 Ibid, hal. 222.
46 Ibid.
47 Ibid, hal. 223.
50 Wahbah al-Zuhaili, Loc Cit.
51 Ibid, hal. 4156.

54 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Loc Cit. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Ibid, hal.

55 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ibid.
56 Wahbah al-Zuhaili, Op Cit, hal. 4152-4153.
57 Sayyid Sabiq, Op Cit, hal. 335-336.
58 Ibid.

59 Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit, hal. 360.

60 Sayyid Sabiq, Op Cit, hal. 336. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Op Cit, hal. 4147.
61 Dikutip dari Sayyid Sabiq, Ibid.
62 Sayyid Sabiq, Ibid. Lihat juga Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 192.

63 Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 337.
64 Sayyid Sabiq, Ibid. Hendi Suhendi, OpCit, hal. 193.
65 Abi Isa Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Loc Cit.
66 Sayyid Sabiq, Ibid.
67 Sayyid Sabiq, Ibid.

68 Sayyid Sabiq, Ibid, hal. 338.

69 Al-Imam Abi Abdillah ibn Ismail ibn Ibrahim al-Bukhory, Loc Cit.
70 Hendi Suhendi, Op Cit, hal. 194.

71 Hendi Suhendi menyebutnya dengan kafalah bi al-‘Aib, Lihat Hendi Suhendi, Ibid.

Demikianlah artikel singkat mengenai Konsep Takaful (Asuransi Islam) dalam Kajian Ulama Fikih Klasik Hingga Ulama Fikih Modern. Mudahan bermanfaat.

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: