Pengertian Tauhid - Kata tauhid berasal dari kata kerja wahhada, yang berarti “mengesakan, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa”.11 Maksudnya ialah keyakinan atau ratifikasi terhadap keesaan Allah, Zat Yang Maha Mutlak. Dalam kamus agama dijelaskan perihal pengertian tauhid yaitu Tauhid yakni meng-Esakan Tuhan, suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Tuhan yang membuat alam semesta beserta segala isinya yang mengatur dan memelihara serta yang membinasakan.
Tauhid berdasarkan pendapat Muhammad Abduh yakni “asal makna tauhid ialah meyakinkan bahwa Allah yakni satu, tidak ada syarikat bagi- Nya”.Keyakinan perihal satu atau Esanya Zat Allah, tidak hanya percaya bahwa Allah ada, yang membuat seluruh alam semesta beserta pengaturannya, tetapi haruslah percaya kepada Allah dengan segala ketentuan perihal Allah mencakup Sifat, Asma dan af’al-Nya”.
Dengan demikian, tauhid yakni suatu bentuk ratifikasi dan penegasan bahwa Allah yakni Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang mencakup sifat, asma dan af’al-Nya (baca: pengertian tahuhid).
Pengertian Pendidikan Tauhid
Secara sederhana pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk menyebarkan dan memantapkan kemampuan insan dalam mengenal keesaan Allah. Menurut Hamdani pendidikan tauhid yang dimaksud di sini ialah suatu upaya yang keras dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing nalar pikiran, jiwa, qalbu dan ruh kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Dan melenyapkan segala sifat, af’al, asma dan dzat yang negatif dengan yang positif (fana’fillah) serta mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang (baqa’billah).
Pendidikan yang dimaksud ialah supaya insan sanggup memfungsikan instrumen-instrumen yang dipinjamkan Allah kepadanya, nalar pikiran menjadi brilian di dalam memecahkan belakang layar ciptaan-Nya, hati bisa menampilkan hakikat dari belakang layar itu dan fisik pun menjadi indah penampilannya dengan menampakkan hak-hak-Nya.
Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau menyebarkan potensi (fitrah) insan dalam mengenal Allah ini, berdasarkan pendapat Chabib Thoha, “supaya siswa sanggup mempunyai dan meningkatkan terus- menerus nilai keyakinan dan taqwa kepada Allah Yang Maha Esa sehingga pemilikan dan peningkatan nilai tersebut sanggup menjiwai tumbuhnya nilai kemanusiaan yang luhur”.
Tauhid berdasarkan pendapat Muhammad Abduh yakni “asal makna tauhid ialah meyakinkan bahwa Allah yakni satu, tidak ada syarikat bagi- Nya”.Keyakinan perihal satu atau Esanya Zat Allah, tidak hanya percaya bahwa Allah ada, yang membuat seluruh alam semesta beserta pengaturannya, tetapi haruslah percaya kepada Allah dengan segala ketentuan perihal Allah mencakup Sifat, Asma dan af’al-Nya”.
Dengan demikian, tauhid yakni suatu bentuk ratifikasi dan penegasan bahwa Allah yakni Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang mencakup sifat, asma dan af’al-Nya (baca: pengertian tahuhid).
Pengertian Pendidikan Tauhid
Secara sederhana pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk menyebarkan dan memantapkan kemampuan insan dalam mengenal keesaan Allah. Menurut Hamdani pendidikan tauhid yang dimaksud di sini ialah suatu upaya yang keras dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing nalar pikiran, jiwa, qalbu dan ruh kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Dan melenyapkan segala sifat, af’al, asma dan dzat yang negatif dengan yang positif (fana’fillah) serta mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang (baqa’billah).
Pendidikan yang dimaksud ialah supaya insan sanggup memfungsikan instrumen-instrumen yang dipinjamkan Allah kepadanya, nalar pikiran menjadi brilian di dalam memecahkan belakang layar ciptaan-Nya, hati bisa menampilkan hakikat dari belakang layar itu dan fisik pun menjadi indah penampilannya dengan menampakkan hak-hak-Nya.
Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau menyebarkan potensi (fitrah) insan dalam mengenal Allah ini, berdasarkan pendapat Chabib Thoha, “supaya siswa sanggup mempunyai dan meningkatkan terus- menerus nilai keyakinan dan taqwa kepada Allah Yang Maha Esa sehingga pemilikan dan peningkatan nilai tersebut sanggup menjiwai tumbuhnya nilai kemanusiaan yang luhur”.
Dengan pendidikan tauhid ini, insan akan menjadi insan hamba bukan insan yang dehumanis kemudian timbul rasa saling mengasihi, tolong menolong, memperlihatkan hartanya yang lebih kepda mereka yang membutuhkan selalu waspada terhadap budi bacin dunia dan insan zalim, sanggup belaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara serta sebagainya.
Dengan demikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang sanggup kita pahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan potensi laten yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa Islamnya potensi laten ini disebut dengan fitrah. Salah satu fitrah insan yakni fitrah beragama maka dari itu pendidikan tauhid lebih diarahkan pada pengembangan fitrah keberagamaan seseorang sebagai insan tauhid.
Dengan kata lain pendidikan tauhid yakni usaha mengubah tingkah laris insan berdasarkan aliran tauhid dalam kehidupan melalui bimbingan, pengajaran dan pembinaan dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata.
Hal ini sesuai dengan karakteristik aliran Islam sendiri yaitu, mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allahlah yang mengatur hidup dan kehidupan umat insan dan seluruh alam. Dialah yang berhak ditaati dan dimintai pertolongan-Nya.
Dengan demikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang sanggup kita pahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan potensi laten yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa Islamnya potensi laten ini disebut dengan fitrah. Salah satu fitrah insan yakni fitrah beragama maka dari itu pendidikan tauhid lebih diarahkan pada pengembangan fitrah keberagamaan seseorang sebagai insan tauhid.
Dengan kata lain pendidikan tauhid yakni usaha mengubah tingkah laris insan berdasarkan aliran tauhid dalam kehidupan melalui bimbingan, pengajaran dan pembinaan dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata.
Hal ini sesuai dengan karakteristik aliran Islam sendiri yaitu, mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allahlah yang mengatur hidup dan kehidupan umat insan dan seluruh alam. Dialah yang berhak ditaati dan dimintai pertolongan-Nya.
Menanamkan Materi Pendidikan Tauhid kepada Anak
Islam yakni agama wahdaniyah, yang mencakup beberapa agama samawi. Islam mendokumentasikan ajarannya dalam Al Qur’an, dan tauhid merupakan dasar dari beberapa agama samawi, ibarat agama yang dibawa Nabi Ibrahim dan Nabi lainnya yang menegakkan aliran tauhid.
Ajaran tauhid bukanlah monopoli aliran Nabi Muhammad akan tetapi aliran tauhid ini merupakan prinsip dasar dari semua aliran agama samawi. Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk menyeru kepada pengesaan Allah dan meninggalkan dalam penyembahan selain Allah.
Walaupun semua nabi dan rasul membawa aliran tauhid, namun ada perbedaan dalam hal pemaparan perihal prinsip-prinsip tauhid. Hal ini dikarenakan tingkat kedewasaan berfikir masing-masing umat berbeda sehingga Allah menyesuaikan tuntunan yang dianugrahkan kepada para nabi- Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berfikir umat tersebut.
Pemaparan tauhid mencapai puncaknya saat Nabi Muhammad. diutus untuk melanjutkan usaha nabi sebelumnya. Pada masa itu uraian perihal Tuhan dimulai dengan pengenalan perbuatan dan sifat Tuhan yang terlihat dari wahyu pertama turun, yaitu yang diawali dengan kata iqra’(bacalah). Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai tauhid dalam pendidikan model Islam merupakan duduk perkara pertama dan utama yang dikedepankan sehingga semua orientasi proses pendidikan kesudahannya akan bermuara pada ratifikasi akan kebesaran Allah SWT. Adapun Materi pendidikan tauhid yaitu
1. Adanya Wujud Allah
Untuk menerangkan mengenai wujud Allah, yaitu dengan upaya mengingatkan nalar pikiran manusia, mengarahkan pandangannya kepada fenomena alam semesta, melaksanakan perbandingan dengan dimensi yang hak, memperhatikan tatanan dan peraturan alam serta berlangsungnya aturan lantaran akhir sehingga insan sanggup hingga kepada suatu konklusi yang meyakinkan bahwa alam semesta ini mempunyi pencipta dan pencipta ini niscaya wajibul wujud lagi Maha mengetahui, Maha Bijaksana dan Maha Kuasa.
Bila kita perhatikan alam ini maka timbul kesan adanya persesuaian dengan kehidupan insan dan makhluk lain. Persesuaian ini bukanlah suatu yang kebetulan melainkan memperlihatkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan; sebagaimana siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, binatang dan flora serta hujan. Semua ini sesuai dengan kehidupan manusia. Hal ini menampakkan kebijaksanaan Tuhan.
Dengan memperhatikan penciptaan manusia, binatang dan lainnya, memperlihatkan bahwa makhluk-makhluk tersebut mustahil lahir dalam wujud dengan sendirinya. Gejala hidup pada beberapa makhluk juga berbeda-beda. Misalnya tumbuh-tumbuhn hidup, berkembang dan berubah. Hewan juga hidup dengan mempunyai insting, sanggup bergerak, bekembang, makan dan mengeluarkan keturunan. Manusia pun demikian, akan tetapi insan mempunyai kelebihan yaitu sanggup befikir. Hal ini memperlihatkan adanya penciptaan yang mengehendaki supaya sebagian makhluk-Nya lebih tinggi daripada sebagian yang lain.Selain itu, seseorang bisa mengetahui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya secara materi. Dalam kehidupan sehari-hari ini seseorang bisa mengakui bahwa untuk mengetahui adanya angin sanggup dengan cara merasakannya dan melihat bekas-bekasnya. Seseorang mengakui adanya nyawa tanpa melihatnya sehingga hal ini cukup menguatkan perkiraan bahwa untuk menerangkan adanya Tuhan tidak harus dengan pembuktian material.
Dalam jiwa insan bergotong-royong telah tertanam suatu perasaan adanya Allah, suatu perasaan naluriah (fitrah) yang diciptakan oleh Allah pada diri insan sendiri; sebagaimana Firman Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 30, yang artinya Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (QS. Ar Ruum : 30).
Dari beberapa uraian di atas sanggup dipahami, bahwa untuk meyakinkan adanya Tuhan (wujud Allah.), nalar pikiran hendaknya diarahkan pada fenomena alam, namun mata hati insan jauh lebih tajam dan sanggup lebih meyakinkan daripada pandangan kasat mata, lantaran dalam jiwa insan sudah tertanam fitrah untuk mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu itu ada niscaya ada yang menciptakan, yaitu Allah Zat Yang Maha Pencipta.
2. Keesaan Allah
Pendidikan tauhid berikutnya yaitu perihal keesaan Allah. Ajaran mengenai keesaan Allah ini, sudah diterangkan oleh para rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Hal ini telihat dari beberapa keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, contohnya permintaan Nabi Shaleh, (QS. 11 : 61), aliran Nabi Syu’aib (QS. 11 : 84), aliran Nabi Musa (QS. 20 : 13-14), aliran Nabi Isa (QS. 5 : 72) dan Nabi lainnya semua mengajak kepada keesan Allah.
Keesaan Allah berdasarkan R. Ng. Ranggawarsita yakni Allah itu Zat yang pertama kali ada, Maha Awal, Maha Esa dan Maha Suci yang mencakup sifat, asma dan af’al-Nya.25 Sementara berdasarkan Quraish Shihab yang menganalisa kata minggu (Esa), ia menggolongkan keesaan Allah menjadi empat yaitu : keesaan Zat, keesan sifat, keesaan perbuatan dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
Yang dimaksud dengan esa pada Zat ialah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa cuilan dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk- Nya. Esa pada af’al berarti tidak seorang pun yang mempunyai perbuatan sebagaimana pebuatan Allah. Ia Maha Esa dan tidak ada sesembahan yang patut disembah kecuali Allah.
Dengan demikian sanggup dipahami bahwa mulai rasul pertama hingga generasi terakhir Nabi Muhammad hingga pewaris nabi (ulama), telah mengajarkan tauhid yang seragam. Yang dinamakan Esa dalam aliran Islam yakni tidak atau bukan terdiri dari oknum ganda baik pada nama, sifat maupun zat-Nya. Allah yakni Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang mencakup nama, sifat dan af’al-Nya, tidak ada Tuhan selain Allah.
3. Hikmah Mengenal Allah
Seseorang yang mengenal sesuatu yang telah memperlihatkan manfaat pada dirinya maka akan mempunyai kesan atau hikmah terhadap sesuatu itu. demikian juga apabila seseorang mengenal Tuhan melalui nalar dan hatinya maka ia akan mencicipi buah kenikmatan dan keindahan yang tercermin dalam dirinya.
Mengenal (ma’rifat) kepada Allah yakni ma’rifat yang paling agung. Ma’rifat ini berdasarkan Sayid Sabiq yakni asas yang dijadikan standar dalam kehidupan rohani dan untuk mengenal Allah dengan melalui cara : berfikir dan menganalisis makhluk Allah, dan mengenal terhadap nama- nama dan sifat-sifat Allah.
Sifat berkenalan dengan Tuhan berdasarkan klarifikasi Sutan Mansur yaitu seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan. Keadaan itu terasa benar-benar dalam diri bukan lagi berupa kira-kira atau meraba-raba. seseorang mencicipi dalam dirinya dan alam semesta dibawah pengawasan Tuhan dan Tuhan itu memanggilnya supaya berdoa, mengabdikan diri serta mendekatkan diri kepada-Nya. Seseorang tiba kepada-Nya dengan mengenal siapa Dia, Zat Yang Maha Kuasa.
Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri insan disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran kedudukan Allah, ia menyadari akan keagungan dan kebesaran-Nya sehingga dari sini segala apa yang dilkukan akan mengarahkan tujuan pandangannya ke arah yang baik dan benar.
Buah mengenal (ma’rifat) akan adanya Allah ini, di antaranya akan tersimpul dalam bentuk perilaku sebagai berikut:
a. Adanya perasaan merdeka dalam jiwa dari kekuasaan orang lain
Daftar Pustaka
M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta : Bonafida Cipta Pratama, 1991), hlm. 353.
Syekh Muhammad Abduh, Risalah At Tauhid, terj. H. Firdaus A. N., (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 3
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 1
M. Hamdani B. DZ, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 10
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 62
Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, UI Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 80
Syekh Muhammad Abu Zahra, Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, (ttp : ‘Udhwal Majmu’, 1969), hlm. 18
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 19
Mahmud Junus, Tarjamah Al Qur’an Al Karim, (Bandung : Al Ma’arif, 1990), hlm. 371
Sayid Sabiq, Anshirul Quwwah fil Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1981), hlm. 7
R. Ng. Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, (Semarang : Dahara Prize, t.t), hlm. 17
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hln. 17
Sayid Sabiq, Aqidah Islam : Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu, (Surabaya : Al Ikhlas, 1996), hlm. 41
Walaupun semua nabi dan rasul membawa aliran tauhid, namun ada perbedaan dalam hal pemaparan perihal prinsip-prinsip tauhid. Hal ini dikarenakan tingkat kedewasaan berfikir masing-masing umat berbeda sehingga Allah menyesuaikan tuntunan yang dianugrahkan kepada para nabi- Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berfikir umat tersebut.
Pemaparan tauhid mencapai puncaknya saat Nabi Muhammad. diutus untuk melanjutkan usaha nabi sebelumnya. Pada masa itu uraian perihal Tuhan dimulai dengan pengenalan perbuatan dan sifat Tuhan yang terlihat dari wahyu pertama turun, yaitu yang diawali dengan kata iqra’(bacalah). Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai tauhid dalam pendidikan model Islam merupakan duduk perkara pertama dan utama yang dikedepankan sehingga semua orientasi proses pendidikan kesudahannya akan bermuara pada ratifikasi akan kebesaran Allah SWT. Adapun Materi pendidikan tauhid yaitu
1. Adanya Wujud Allah
Untuk menerangkan mengenai wujud Allah, yaitu dengan upaya mengingatkan nalar pikiran manusia, mengarahkan pandangannya kepada fenomena alam semesta, melaksanakan perbandingan dengan dimensi yang hak, memperhatikan tatanan dan peraturan alam serta berlangsungnya aturan lantaran akhir sehingga insan sanggup hingga kepada suatu konklusi yang meyakinkan bahwa alam semesta ini mempunyi pencipta dan pencipta ini niscaya wajibul wujud lagi Maha mengetahui, Maha Bijaksana dan Maha Kuasa.
Bila kita perhatikan alam ini maka timbul kesan adanya persesuaian dengan kehidupan insan dan makhluk lain. Persesuaian ini bukanlah suatu yang kebetulan melainkan memperlihatkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan; sebagaimana siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, binatang dan flora serta hujan. Semua ini sesuai dengan kehidupan manusia. Hal ini menampakkan kebijaksanaan Tuhan.
Dengan memperhatikan penciptaan manusia, binatang dan lainnya, memperlihatkan bahwa makhluk-makhluk tersebut mustahil lahir dalam wujud dengan sendirinya. Gejala hidup pada beberapa makhluk juga berbeda-beda. Misalnya tumbuh-tumbuhn hidup, berkembang dan berubah. Hewan juga hidup dengan mempunyai insting, sanggup bergerak, bekembang, makan dan mengeluarkan keturunan. Manusia pun demikian, akan tetapi insan mempunyai kelebihan yaitu sanggup befikir. Hal ini memperlihatkan adanya penciptaan yang mengehendaki supaya sebagian makhluk-Nya lebih tinggi daripada sebagian yang lain.Selain itu, seseorang bisa mengetahui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya secara materi. Dalam kehidupan sehari-hari ini seseorang bisa mengakui bahwa untuk mengetahui adanya angin sanggup dengan cara merasakannya dan melihat bekas-bekasnya. Seseorang mengakui adanya nyawa tanpa melihatnya sehingga hal ini cukup menguatkan perkiraan bahwa untuk menerangkan adanya Tuhan tidak harus dengan pembuktian material.
Dalam jiwa insan bergotong-royong telah tertanam suatu perasaan adanya Allah, suatu perasaan naluriah (fitrah) yang diciptakan oleh Allah pada diri insan sendiri; sebagaimana Firman Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 30, yang artinya Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (QS. Ar Ruum : 30).
Dari beberapa uraian di atas sanggup dipahami, bahwa untuk meyakinkan adanya Tuhan (wujud Allah.), nalar pikiran hendaknya diarahkan pada fenomena alam, namun mata hati insan jauh lebih tajam dan sanggup lebih meyakinkan daripada pandangan kasat mata, lantaran dalam jiwa insan sudah tertanam fitrah untuk mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu itu ada niscaya ada yang menciptakan, yaitu Allah Zat Yang Maha Pencipta.
2. Keesaan Allah
Pendidikan tauhid berikutnya yaitu perihal keesaan Allah. Ajaran mengenai keesaan Allah ini, sudah diterangkan oleh para rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Hal ini telihat dari beberapa keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, contohnya permintaan Nabi Shaleh, (QS. 11 : 61), aliran Nabi Syu’aib (QS. 11 : 84), aliran Nabi Musa (QS. 20 : 13-14), aliran Nabi Isa (QS. 5 : 72) dan Nabi lainnya semua mengajak kepada keesan Allah.
Keesaan Allah berdasarkan R. Ng. Ranggawarsita yakni Allah itu Zat yang pertama kali ada, Maha Awal, Maha Esa dan Maha Suci yang mencakup sifat, asma dan af’al-Nya.25 Sementara berdasarkan Quraish Shihab yang menganalisa kata minggu (Esa), ia menggolongkan keesaan Allah menjadi empat yaitu : keesaan Zat, keesan sifat, keesaan perbuatan dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
Yang dimaksud dengan esa pada Zat ialah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa cuilan dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk- Nya. Esa pada af’al berarti tidak seorang pun yang mempunyai perbuatan sebagaimana pebuatan Allah. Ia Maha Esa dan tidak ada sesembahan yang patut disembah kecuali Allah.
Dengan demikian sanggup dipahami bahwa mulai rasul pertama hingga generasi terakhir Nabi Muhammad hingga pewaris nabi (ulama), telah mengajarkan tauhid yang seragam. Yang dinamakan Esa dalam aliran Islam yakni tidak atau bukan terdiri dari oknum ganda baik pada nama, sifat maupun zat-Nya. Allah yakni Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang mencakup nama, sifat dan af’al-Nya, tidak ada Tuhan selain Allah.
3. Hikmah Mengenal Allah
Seseorang yang mengenal sesuatu yang telah memperlihatkan manfaat pada dirinya maka akan mempunyai kesan atau hikmah terhadap sesuatu itu. demikian juga apabila seseorang mengenal Tuhan melalui nalar dan hatinya maka ia akan mencicipi buah kenikmatan dan keindahan yang tercermin dalam dirinya.
Mengenal (ma’rifat) kepada Allah yakni ma’rifat yang paling agung. Ma’rifat ini berdasarkan Sayid Sabiq yakni asas yang dijadikan standar dalam kehidupan rohani dan untuk mengenal Allah dengan melalui cara : berfikir dan menganalisis makhluk Allah, dan mengenal terhadap nama- nama dan sifat-sifat Allah.
Sifat berkenalan dengan Tuhan berdasarkan klarifikasi Sutan Mansur yaitu seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan. Keadaan itu terasa benar-benar dalam diri bukan lagi berupa kira-kira atau meraba-raba. seseorang mencicipi dalam dirinya dan alam semesta dibawah pengawasan Tuhan dan Tuhan itu memanggilnya supaya berdoa, mengabdikan diri serta mendekatkan diri kepada-Nya. Seseorang tiba kepada-Nya dengan mengenal siapa Dia, Zat Yang Maha Kuasa.
Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri insan disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran kedudukan Allah, ia menyadari akan keagungan dan kebesaran-Nya sehingga dari sini segala apa yang dilkukan akan mengarahkan tujuan pandangannya ke arah yang baik dan benar.
Buah mengenal (ma’rifat) akan adanya Allah ini, di antaranya akan tersimpul dalam bentuk perilaku sebagai berikut:
a. Adanya perasaan merdeka dalam jiwa dari kekuasaan orang lain
b. Adanya jiwa yang berani dan ingin terus maju membela kebenaran
c. Adanya perilaku yakin, bahwa hanya Allahlah yang Maha Kuasa memberi rizki
d. Dapat mengakibatkan kekuatan budbahasa pada insan (kekuatan Maknawiah) yang sanggup menghubungkan insan dengan sumber kebaikan dan kesempurnaan (Allah)
e. Adanya ketetapan hati dan ketenangan jiwa.
f. Allah memperlihatkan kehidupan sejahtera kepada orang mukmin di dunia.
Dengan demikian seorang yang yakin akan keesaan Allah, mempunyai perilaku hidup optimis yang jauh lebih besar lengan berkuasa dibandingkan dengan orang kafir yang menyekutukan Allah, sebagai satu-satunya Rabb, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Keimanan akan hal ini apabila sudah menjadi kenyatan yang mahir maka akan sanggup merubah dan beralih, yang merupakan suatu tenaga dan kekuatan tanpa dicari akan tiba dengan sendirinya dalam kehidupan sehigga keimanan sanggup mengubah insan yang asalnya lemah menjadi kuat, baik dalam sikap, kemauan, maupun keputusan menjadai penuh harap dan impian ini akan dibuktikan dengan perbuatan nyata.
Dengan demikian seorang yang yakin akan keesaan Allah, mempunyai perilaku hidup optimis yang jauh lebih besar lengan berkuasa dibandingkan dengan orang kafir yang menyekutukan Allah, sebagai satu-satunya Rabb, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Keimanan akan hal ini apabila sudah menjadi kenyatan yang mahir maka akan sanggup merubah dan beralih, yang merupakan suatu tenaga dan kekuatan tanpa dicari akan tiba dengan sendirinya dalam kehidupan sehigga keimanan sanggup mengubah insan yang asalnya lemah menjadi kuat, baik dalam sikap, kemauan, maupun keputusan menjadai penuh harap dan impian ini akan dibuktikan dengan perbuatan nyata.
Daftar Pustaka
M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta : Bonafida Cipta Pratama, 1991), hlm. 353.
Syekh Muhammad Abduh, Risalah At Tauhid, terj. H. Firdaus A. N., (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 3
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 1
M. Hamdani B. DZ, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 10
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 62
Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, UI Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 80
Syekh Muhammad Abu Zahra, Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, (ttp : ‘Udhwal Majmu’, 1969), hlm. 18
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 19
Mahmud Junus, Tarjamah Al Qur’an Al Karim, (Bandung : Al Ma’arif, 1990), hlm. 371
Sayid Sabiq, Anshirul Quwwah fil Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1981), hlm. 7
R. Ng. Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, (Semarang : Dahara Prize, t.t), hlm. 17
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hln. 17
Sayid Sabiq, Aqidah Islam : Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu, (Surabaya : Al Ikhlas, 1996), hlm. 41
A.R. Sutan Mansur, Tauhid Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1981), hlm 14
Demikianlah artikel islami mengenai Menanamkan Materi Pendidikan Tauhid Sejak Dini. Salam hangat penulis.
Demikianlah artikel islami mengenai Menanamkan Materi Pendidikan Tauhid Sejak Dini. Salam hangat penulis.
Buat lebih berguna, kongsi: