Upaya Meretas Perdamain Dunia Dengan Dogma Dan Cinta

Kedamaian merupakan problem kemanusiaan paling hakiki yang bermuara dari perilaku saling menghormati, menghargai, dan saling mencintai. Tujuan hidup insan itu sendiri, tidak lain yaitu untuk memperoleh kedamaian -baik jiwa maupun raga- yang dibingkai dalam tatanan kebahagiaan yang sanggup dirasakan semua insan untuk menghindari terjadinya pertikaian, permusuhan, dan perceraian yang mengarah kepada musnculnya kesengsaraan sehingga berakibat hilangnya kedamaian antar manusia. Di dalam Al Qur’an, banyak ayat-ayat yang menampilkan citra dan penegasan yang berpengaruh perihal kedamaian dan upaya meretasnya sehingga menganak-akar kedalam relung-relung hati insan demi terciptanya rasa persatuan dan saling menghormati antar manusia.
Disisi lain, meskipun secara tegas Allah menyampaikan bahwa insan merupakan puncak ciptaannya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikannya yang prima dibanding dengan makhluk lainnya (ahsan taqwim)[1], namun Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaanya belum sanggup dikatakan final, sehingga menuntut dirinya untuk berusaha menyempurnakan dirinya[2]. Hal tersebut merupakan sebuah keniscayaan alasannya yaitu pada hakikatnya insan merupakan makhluk yang dilengkapi dengan logika yang kemudian dikenal sebagai makhluk bakir (zoon politicon). Lebih dari itu, bagi seorang mukmin, petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya rasul Allah sebagai pembawa risalah yang berfungsi sebagai petunjuk dalam menjalani hidup[3] .
Sementara itu cinta kedamaian yang diusung oleh banyak pihak dan menjadi mimpi terindah, alasannya yaitu dirasakan oleh semua elemen bahwa untuk mencapainya diperlukan kesungguhan serta perjuangan yang keras yang penuh tantangan dan rintangan. Oleh alasannya yaitu itu sesuai konsepnya, insan yaitu bukan makhluk individu akan tetapi mkhluk sosial dan membutuhkan orang lain demi keberlangsungan perjalanan hidup di dunia maka upaya tersebut mesti adanya persatuan perilaku dan paradigma kearah perdamian hakiki. Namun, lebih tegasnya, insan sebagaimana dikatakan oleh ibnu Khaldun yang dikutip oleh KH. Ali Yafie dalam bukunya “Upaya Memahami Hakikat Kehidupan Manusia” bahwa, rumusan dari ibnu Khaldun, pakar sosiologi islam yang sangat populer menyatakan Al-Insan Madaniyyun Bitthob’i (manusia itu secara ilmiah yaitu makhluk social yang beradab), melengkapi arti madani yang kini ini banyak dibicarakan mayarakat. Dengan rumusan ibnu Khaldun ini, insan secara natural dan scara fitriyah yaitu makhluk social yang beradab, bukan saja sebagai makhluk social alasannya yaitu binatang itu ternyata makhluk sisal (ada kelompoknya).yang membedakan masing-masing antara insan dan binatang yaitu “beradab” yang artinya harus mengenal akhlak. Makara insan itu makhluk yang hidup  cerdas dan  secara natural beradab. Inilah yang perlu dipertegas[4]. 

Persoalan serius yang dihadapi dikala ini yaitu bahwa insan kini semakin mendapat kesulitan untuk mengenal jati diri dan hakikat kemanusiaanya, apalagi dengan majunya spesialisasi dalam ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan. Maka potret perihal realitas insan semakin terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok insan semakin sulit dihadirkan secara utuh.

Setidaknya terdapat dua paradigma perihal pemahaman terhadap insan yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang pertama, berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas yaitu materi, sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia bahan ini hakikatnya berasal dari realitas yang immaterial. Bagi mereka yang berpandangan pada metode berfikir empirisme materialistic akan sulit diajak untuk menghayati makana penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini oleh aturan publik ibarat halnya kedamaian dan rasa persaudaraan sesama. Sebab dunia bahan selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan dan realitas yang berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan makin bertambah potongan citra realitas dunia, dan makin jauh pula insan untuk mengenal dirinya secara utuh[5]. Pandangan insan secara tegas lebih lanjut dikemukakan dalam QS. al Baqarah yang menyampaikan bahwa insan yaitu mandataris dewa dimuka bumi untuk melakukan keta’atan sebagai aplikasi dari segala yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya.

Uraian perihal cinta akan kedamaian dalam dunia dan upaya yang mengarah kepadanya memperlihatkan kesan ekslusif sehingga seolah-olah perilaku yang menjadi promoter untuk terwujudnya aspek tersebut tidak akan mungkin tercapai kecuali dengan melalui tahapan-tahapan saling mencicipi satu sama lain sebagai suatu kebutuhan, yaitu hubungan-manusia dengan insan lain sebagai individu yang menginginkan keselarasan jiwa maupun fisik (dunia).

Hal-hal yang menjadi pembicaraan diatas tentunya dekat kaitannya dengan hal keimanan, alasannya yaitu duduk perkara keimanan ini sangat mendasar dalam kehidupan manusia, dan sekaligus merupakan faktor pendorong (motivasi) bagi tumbuhnya kreativitas dan dinamika manusia. Karena keimanan dalam hal ini yaitu barometer tajam pelopor hati insan akan nilai-nilai luhur terutama dalam hal ini yaitu perilaku cinta akan kedamaian dan saling menjaga satu sama lain serta kedamaian mempunyai banyak nasihat dan manfaat yang tidak terbatas alasannya yaitu dirasakan oleh banyak pihak sehingga satu sama lain terasa adem, ayem, aman, tentram gemah ripah loh jinawi.

[1] QS. 95:4 dan 91:7-8
[2] QS. 4:174 ( terjemahan DEPAG  pusat )
[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang) hal. 61
[4] KH. Ali Yafie, Upaya Memahami Hakikat Kehidupan Manusia (Jakarta: Pustaka Pelita, 2006) cet. I hal.4
[5] Kaitanya dengan hal ini Murtadho Muthahhir mengungkapkan bahwa , semua insan musti mempunyai sebuah ideology  dan keyakinan. Keyakinan beragama merupakan salah satu keyakinan yang benar-benar mempengaruhi dan memuaskan kecendurungan alami ke arah kebenaran dan wujud-wujud  suci . maka tidak ada jalan lain untuknya kecuali memeluk keyakinan keagamaan. Lihat murtadho muthaharri . al insan wa alfitriyah aldinditerjemahkan dalam bahasa.indonesia oleh albaqir dengan perspektif al Qur’an untuk manusia 

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: