Perkembangan Tarikh Tasyri (Hukum Islam) Pada Kala Khulafaur Rasyidin

Perkembangan Tarikh Tasyri pada Masa Khulafaur Rasyidin

Tongkronganislami.net - Pada masa rasulullah masih hidup, yang bertindak sebagai pemutus masalah dan pelerai pertikaian dalam masyarakat yaitu dia sendiri. Beliau sebagai acuan tertinggi untuk meminta fatwa dan keputusan.[1] Keputusan dia itu didasarkan atas wahyu atau sunnah, termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap dilema sanggup dengan gampang dikembalikan kepada rasulullah.

Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang dia terima dari malaikat jibril baik sewaktu dia masih berada di makkah maupun setelah hijrah ke madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya rasulullah itu.[2] Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan yang kuasa mustahil diganti, tapi kiprah dia sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Maka dengan demikian timbullah permasalahan perihal bagaimana cara pemutus dan pelerai masalah dilaksanakan, dan siapakan yang mempunyai wewenang untuk memutuskan masalah tersebut.

Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin ummat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sobat nabi sendiri.[3] Khalifah yaitu suatu kata yang “dipinjam” dari alquran Surat Al-Baqarah ayat 30.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan menciptakan kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30)[4]

Oleh lantaran itu, maka sebagai seorang pengganti nabi, ummat islam secara otomatis menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan masalah yang terjadi di masyarakat. Selain itu, para shahabat yang populer dengan kedalaman ilmunya juga menjadi pemutus perkara-perkara yang terjadi ketika itu, semisal Abdullah ibnu abbas, zaid bin tsabit, Abdullah ibnu umar di madinah. Abdullah ibnumas’ud di kuffah., Abdullah ibn amr ibn ash di mesir. Aisyah dan zadhi yang mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal.[5] Mereka terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan pengembangannya.

Metode Pengambilan Keputusan pada Masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa ini sumber tasyri’ islam yaitu alquran dan sunnah rasul. Keduanya disebut nash atau naql. Apabila ada masalah yang tidak terang di dalam nash, para sobat zamn khulafaurrasyidin menggunakan ijtihad untuk memperolah aturan yang dicari. Jalan dalam ijtihadnya yaitu berpegang pada ma’quul-annash dan mengeluarkan illah atau pesan yang tersirat yang dimaksud dari pada nash itu, kemudian menerapkannya pada semua masalah yang sesuai illahnya dengan illah yang dinashkan. Hal demikian kemudian dinamakan qiyash.[6] 

Dalam hal lain, para sobat bermusyawarah dalam mencari aturan yang tidak ada nashnya, kemudian mereka setuju dalam aturan yang mereka temukan dalam suatu masalah itu, yang kemudian dinamai dengan al-ijmaa’.Para ulama telah menyebutkan bahwa dari praktek khlafaurrasyidin itu terdapat ekspansi dasar tasyri’ islam disamping khulafaur-rasyidin itu terdapat juga alqiyaash dan al ijmaa’  Sumber aturan islam yang digunakan pada masa khulafaurrasyidin [7] yaitu :

a. Alquran dan Sunnah

Sepeninggal nabi, terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan. Padahal, para sobat tidak sanggup lagi menanyakan penyelesaian masalah pada nabi lantaran nabi telah wafat. Sehingga, mereka sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Keharusan untuk menyelesaiakan permasalahan yang terjadi ini mendorong umat islam untuk menyelidiki Alquran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sobat selalu berpegang pada:

Alquran, lantaran dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan terang dan terang lantaran Alquran diturunkan dengan pengecap (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorangpun selain Arab telah masuk di kalangan mereka.

Para sobat telah setuju untuk mengikuti sunnah nabi kapan saja mereka mendapatkannya dan percara pada perawi yang benar periwayatannya.[8] Hal ini didasarkan pada hadist

تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه

Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, pasti tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.“[9]

b. Ijtihad Shahabat

Namun ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran dan Sunnah. Hal ini disebabkan lantaran pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan islam mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak.[10] 

Luasnya wilayah tersebut mengakibatkan kaum Muslimin menghadapi banyak bencana dan dilema yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan aturan syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sobat dalam arti luas yaitu bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain sebagainya.[11]

Ijtihad ada dua:
  1. Mengambil aturan dari dzahir-dzahir nash apabila aturan itu diperoleh dari nash-nash itu. 
  2. Mengambil aturan dari ma’qul nash lantaran nash itu mengandung illat yang menerangkannya, atau illat itu sanggup diketahui dan tempat kejadiannya yang di dalamnya mengandung illat, sedang nash tidak memuat aturan itu. 
Sebab-sebab adanya ijtihad :

Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu perihal pemahaman dalil-dalil. Dalil-dalil itu terbagi menjadi dua macam yaitu Dalil yang bersifat Qath’i ( pasti dan jelas) dan
Dalil yang bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)

Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti terang maksud dan hukumnya. Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih sanggup menjadikan banyak sekali macam penafsiran-penafsiran, disebabkan lantaran pada dalil-dalil yang bersifat dhanni ini terdapat ketidakjelasan perihal maksud dan hukumnya. Dalil yang bersifat dzonni inilah para ulama menciptakan istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan aturan yang terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.

c. Ijma’

Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melaksanakan ijtihad kolektif, para sobat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil musyawaroh sobat ini disebut ijma’[12]Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta memutuskan pahala ijtihadnya baik salah maupun benar. 

Tentang ijtihad itu boleh digunakan berdasarkan dalil bahwa seorang hakim ketika ia berijtihad dalam memutuskan sebuah aturan kemudian benar hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.

Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram, yaitu suatu citra cara-cara mereka melaksanakan istinbath hukum, ia berkata : apabila suatu perselihan di usikan kepada bubuk bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana aturan yang sanggup memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan aturan tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. 

Bila tidak di temukan jaga ia keluar dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di usikan padaku…lalu apakah kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu aturan dalam masalah ini? Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila tidak di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh janji hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil janji itu.[13]

Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan yaitu sebagai berikut [14]:

a. Mencari ketentuan aturan dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Alquran.

b. Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan aturan dalam Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.

Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sobat lain apakah rasulullah telah memutuskan dilema yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia memutuskan dilema tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.

Jika tidak ada sobat yang memperlihatkan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sobat dan bermusyawarah untuk menuntaskan dilema yang dihadapi. Jika ada janji diantara mereka, ia menjadikan janji itu sebagai keputusan. [15]

d. Ro’yu

Untuk menjawab dilema aturan yang gres muncul itu para sobat terlebih dahulu menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sobat tidak menemukan ketetapan aturan dari dua sumber aturan yang dimaksud, maka disitulah para sobat menggunakan nalar pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh pedoman islam. Sebagai pola sanggup diungkapkan siapa yang menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad meninggal dunia. 

Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak sanggup menjadi imam lantaran sakit.[16] Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk mengetahui sisi kebenaran dari gejala yang terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, berdasarkan mereka ra’yu tidak sebatas qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi mencakup analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.[17]
Perkembangan Tarikh Tasyri pada Masa Khulafaur Rasyidin Perkembangan Tarikh Tasyri (Hukum Islam) pada Masa Khulafaur Rasyidin

Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa Khulafaur Rasyidin

1. Luasnya Wilayah islam 

Periode kekuasaan pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya mencakup semenanjung Arabia tetapi periode khulafaur Rasyidin mencakup wilayah arab dan non arab sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan aturan yang rinci di dalam alquran dan alhadis terbatas jumlahnya. Oleh lantaran itu khulafaurrasyidin mengahadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, cara memutuskan aturan di pengadilan dan budaya aturan di damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkand, Andalusia.[18]

2. Sahabat khawatir akan kehilangan Alquran lantaran banyaknya sobat yang hafal alquran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad. [19] Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sobat terhadap alquran akan menyerupai ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.[20] 

3. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah SAW.[21] 

4. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari aturan Islam. 

5. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat kerena islam petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Alquran dan sunnah.

Pendapat Sahabat dalam Pengistimbatan Tasyri’

Pengistimbatan pada masa ini sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi kemudian meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin.[22] Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka beropini bahwa

1. Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi yaitu sia-sia, membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu yang berharga.

2. Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa lantaran takut meleset dan salah. Oleh lantaran itu mereka menjauhi ekspansi fatwa terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit sesungguhnya apabila ia apabila dimintai fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka Zaid memperlihatkan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah hingga kasusnya terjadi.“[23]

3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sobat yang mengeluarkan fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini yaitu khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin; baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang menciptakan mereka sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.[24]

Para ulama shahabat mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat diantaranya;
Para sahabat, termasuk sobat Abu Bakar tidak mendapatkan hadist yang tidak disaksikan lebih dari satu orang. 

Para sobat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan perawi-perawinya. 

Para sobat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi generasi seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.[25]

Pengaruh Pengambilan aturan Masa Khulafaur rasyidin terhadap Perkembangan Tasyri’ Islam 

Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sobat pada zaman khulafaur rasyidin mempunyai imbas terhadap perkembangan aturan islam.[26] Banyak para ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sobat besar. 

Sahabat melaksanakan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menuntaskan suatu kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melaksanakan ijtihad. Ijtihad dalam menuntaskan masalah disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul lantaran adanya bencana yang terjadi.[27] Dengan dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer umat islam sanggup terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian mendorong para ulama setelah masa sobat besar untuk membuatkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan aturan islam, bahkan masalah yang belum dihadapi. 

Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menuntaskan masalah yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menuntaskan masalah yang dihadapi.[28] Sehingga generasi sobat kecil dan tabiin mengikuti jejak shahabat besar dalam menuntaskan suatu perkara.

Sebab-sebab Perbedaaan Pendapat pada Zaman Sahabat [29]

1. Perbedaan yang disebabkan oleh sifat Alquran.
Dalam alquran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytira’). Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228, Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. dihentikan mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jikalau mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jikalau mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya berdasarkan cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah: 228)[30]

Kalimat “yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’,“ menciptakan para sobat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata quru’ mengandung dua arti yakni Al-haidl dan at-thuhr.[31] Adanya dua makna ini menciptakan terjadinya perbedaan pendapat. Umar ibn Khattab menentukan makna al-haidl sebagai makna quru’. Sedangkan sobat Zaid bin Tsabit menggunakan makna At-tuhr. 

Hukum yang ditentukan Alquran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua alasannya yaitu pada satu kasus.[32] Misalnya pada alquran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi perempuan yang dicerai lantaran suaminya meninggal dunia yaitu 4 bulan 10 hari.

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka berdasarkan yang patut. Allah mengetahui apa yang kau perbuat. (Q.S. Al-Baqarah: 234)[33]

Dan iddah perempuan yang hamil yaitu hingga melahirkan disebutkan dalam alquran yaitu tiga bulan.[34] Sebagaimana firman Allah:

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jikalau kau ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka yaitu tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah menjadikan baginya fasilitas dalam urusannya.(Q.S. At-Thalaq: 4)[35]

Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang perempuan yang hamil ditinggal mati oleh suaminya. Apakah yang berlaku baginya iddah hamil atau iddah wafat? Hal inilah yang menciptakan terjadinya perbedaan pendapat diantara sahabat. Ada yang beranggapan bahwa aturan perempuan haidh yang ditinggal mati suaminya yaitu 4 bulan 10 hari menyerupai shahabat Umar. Ada yang beranggapan menggunakan iddah hamil lantaran ayat iddah hamil turun setelah iddah mati menyerupai kata ibnu mas’ud. Tapi sobat Ali dan Banu Abbas menggunakan iddah terpanjang diantara dua iddah tersebut.

2. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah[36] 

tidak semua sobat mempunyai penguasaan yang sama terhadap sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi lantaran perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang intensif dan ada yang tidak, ada yang paling awal masuk islam dan ada pula yang paling akhir. 

Kadang-kadang riwayat telah hingga pada seorang sobat tetapi tidak atau belum hingga pada sobat lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’y lantaran ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah beropini bahwa orang yang masih junub pada waktu shubuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, (man ashabaha junub (an) fa la shaum lah). kemudian pendapat ini didengar oleh aisyah yang beropini sebaliknya. Aisyah menjadikan bencana dengan nabi sebagai ganjal an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya. 

Sahabat berbeda pendapat dalam penakwilan Sunnah. Umpamanya, thawaf. Sebagian besar sobat beropini bahwa bersegera dalam thawaf yaitu sunnah, sedangkan Ibnu Abbas beropini bersegera dalam thawaf tidak sunnah.  Perbedaan struktur masyarakat dan perubahan zaman menjadikan perbedaan dalam memutuskan sesuatu pendapat.[37] 

3. Perbedaan pendapat dalam menggunakan Ra'yu

Adapun perbedaan pendapat di kalangan sobat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali perihal permepuan yang menikah dalam waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang perempuan menikah dalam masa iddahnya, tetapi ia belum dukhul, maka pasangan itu wajib dipisah. Dan perempuan itu wajib menuntaskan waktu tunggunya. 

Apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menuntaskan dua waktu tunggu. Waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan berdasarkan ali, perempuan itu hanya diwajibkan menuntaskan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegang pada tujuan hukum, yakni semoga orang tidak lagi melaksanakan pelanggaran.[38]


Perkara - Perkara yang menjadi Perbedaan Pendapat di antara Para Sahabat

Pada masa Umar ada seorang istri yang dicerai, dan berada dalam masa iddah, dinikahkan (hal ini dinash dalam Alquran). Maka umar memukul si suami dengan alat pemukul beberapa kali dan ia menceraikan kedua suami istri itu seraya berkata, “ perempuan manapun yang dinikahkan pada masa iddahnya, jikalau suami yang memperistrikannya belum bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikannya dan permepuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama. Kemudian, laki-laki itu melamar menyerupai pelamar-pelamar lain. Jika suami itu telah bersetubuh dengannya maka keduanya diceraikan kemudian perempuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami kedua, kemudian suami itu dihentikan mengawininya untuk selama-lamanya”. Ali berkata : “jika istri telah habis iddahnya dari suami yang pertama, maka orang lain jikalau mau boleh memperistrikannya.[39] 

Keduanya berbeda pendapat dalam mengekalkan haramnya nikah atas suami yang kedua setelah ia bersetubuh dengan perempuan yang sedang beriddah. Tidak ada nash-nash Alquran yang menguatkan salah satu dari keduanya. Dalam hal ini Umar mengambil kaidah penengahan dan pengajaran sedang ali mengambil pokok-pokok umum. 

Ustman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berfatwa bahwa perempuan wanita merdeka yang menjadi isteri hamba, maka perempuan itu haram hukumnya dengan dua thalaq. Ali menyelisihinya dengan berkata, ”wanita itu hanya haram dengan tiga thalaq. Adapun amat (budak perempuan yang menjadi istri laki-laki merdeka, maka amat itu haram dengan dua thalaq. Para mufti itu setuju atas separoh hak-hak hamba, namun mereka berbeda pendapat apakah perceraian itu dipandandang dari suami ataukah dari istri. Usman dan Zaid beropini bahwa perceraian itu dipandangdari suami, lantaran suamilah yang menjatuhkan thalaq. Sedang Ali beropini bahwa perceraian itu dipandang dari istri. Karena istrilah yang kena thalaq.[40] 

Abdurrahman mencerai istrinya dimana ia sedang sakit. Maka Utsman memberi warisan kepada perempuan itu dari Abdurrahman bin Auf setelah habis iddahnya. Diriwayatkan bahwa syuraih menulis kepada umar bin Khattab perihal seorang laki-laki yang menceraikan istrinya tiga kali sedanga laki-laki itu dalam keadaan sakit, maka Umar menjawab bahwa perempuan itu mewarisinya selagi dalm masa iddahnya. Jika perempuan itu habis masa iddahnya maka ia tidak menerima warisan. Keduanya setuju bahwa perceraian dari orang sakit tidak menghilangkan perkawinan dengan sifatnya sebagai alasannya yaitu yang mewajibkan warisan. Terhadap hal ini, Umar memberi batasan yaitu iddah dan Utsman tidak menciptakan batas. Dalam masalah ini tidak ada nash untuk menjadi tempat merujuk semoga terdapat penyelesaian masalah.[41] 

Umar bin Khattab berkata bahwa orang hamil yang ditingal mati, maka iddahnya yaitu melahirkan kandungannya. Ali berkata bahwa iddahnya itu dengan sejauh-jauh dua masa itu, yaitu sejauh-jauh kandungan, dan melewati empat bulan sepuluh hari. Sebab perbedaan pendapat itu lantaran Allah menjadikan iddah perempuan hamil yang diceraikan yaitu melahirkan kandungan. Dan Allah menjadikan iddah perempuan yang ditinggal mati yaitu empat bulan sepuluh hari tanpa perincian. 

Ali dalam fatwanya perihal perempuan yang ditinggal mati berlandaskan dua ayat itu seluruhnya. Sedang Umar menjadikan ayat thalaq itu sebagai aturan ayat fatwa yakni secara khusus. Dalam hal ini mereka melihat suatu haidst sesungguhnya Sabi’an binti Harits Al Aslamiyah suaminya meninggal, kemudian ia melahirkan kandungannya setelah dua bulan 10 hari dari maut suaminya. Maka nabi memperlihatkan fatwa dengan habisnya iddah. [42] 

Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: “keadaan thalaq pada masa rasulullah, Abu bakar dan dua tahun pada masa kekuasaan Umar, thalaq tiga itu yaitu satu. Umar berkata: “ Sesungguhnya insan telah tergesa-gesa dalam masalah yang di dalamnya terdapat keperlahanan. 

Seandainya hal itu kami biarkan berjalan atas mereka pasti hal itu akan berjalan terus. Dan shahabat tidak setuju atas hal itu bahkan diriwayatkan perselisihannya dari Ali dan Abu Musa. Umar melakukannya seolah-olah siksaan dan orang-orang yang menyelisihinya berpegang pada dzahir-dzahir nash.[43] 

Ibnu Mas’ud dan yang lain memperlihatkan fatwa bahwa suami apabila ila’ terhadap istrinya telah lewat empat bulan dan tidak kembali maka istri itu telah lewat empat bulan dan tidak kembali. Maka istri itu telah terthalaq ba’in dan suaminya merupakan salah satu peminang. Dan orang lain berfatwa bahwa apabila masa empat bulan itu telah lewat maka suami itu diberi tangguh. Adakalanya akan kembali dan adakalanya akan menceraikan. Berlakunya empat bulan itu tidak menjadikan thalaq. [44]
Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin Khattab menyetujuinya bahwa perempuan yang dicerai keluar dari iddahnya kecuali apabila ia telah mandi dari haidlnya yang ketiga. Zaid bin Tsabit berfatwa, bahwa perempuan itu keluar dari iddahnya kapan saja ia masuk dalam haidh yang ketiga. Tempat timbulnya perbedaan yaitu perbedaan mereka dalam quru’, apakah quru’ itu berarti suci sebagaimana dipahamkan oleh Zaid bin Tsabit dan orang lain, apakah quru’ itu haidh sebagaimana dipahamkan oleh Ibnu Mas’ud. 

Umar bin Khattab berfatwa, bahwa apabila perempuan itu masih berhaidh (namun tidak sedang haidh), dicerai, dan haidhnya hilang, maka perempuan itu menanti sembilan bulan. Jika ternyata ia mengandung maka itulah iddahnya. Jika tidak, maka ia beriddah tiga bulan setelah sembilan bulan itu. Orang lain berfatwa bahwa perempuan itu menanti hingga tidak berhaidh lagi, maka perempuan itu beriddah dengan beberapa bulan. Fatwa Umar itu meminjam kepada ma’na iddah yaitu benar-benar higienis dari hamil, dan setelah lewatnya masa yang umum hingga tidak ada keraguan lagi. Maka perempuan itu beriddah dengan beberapa bulan. 

Umar bin Khattab berfatwa bahwa perempuan yang cerai putus (thalaq bain) itu menerima nafkah dan tempat tinggal. Ketika hingga kepada Umar sebuah hadist dari Fathimah binti Qays sesungguhnya rasulullah tidak memberi nafkah dan juga tempat tinggal setelah thalaq ba’in, maka Umar berkata, ”Sesungguhnya kita tidak meninggalkan kitab Allah dan sunnah Nabi kita lantaran perkataan seorang perempuan yang baeangkali ia hafal atau lupa.” Dan orang lain berfatwa bahwa perempuan yang berthalaq tiga tetapi tidak hamil, maka ia tidak menerima nafkah lantaran berdasarkan hadist Fathimah binti Qays.[45] 

Abu Bakar tidak memperlihatkan warisan kepada saudara-saudara bersama kakek. Adapun Umar memperlihatkan serpihan saudara-saudara bersama kakek. Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah dan saudara tidak mewaris bersama ayah, berdasarkan nash dan Umar tidak menjadikannya demikian, dan Zaid bin tsabit sependapat dengan ini. [46] 

Malik meriwayatkan dalam Muwatha’ berkata seorang nenek tiba kepada Abu Bakar minta serpihan warisnya. Abu Bakar berkata: “Kami berdasarkan kitabullah tidak menerima serpihan sedikitpun, dan begitu juga dalam sunnah Rasulullah SAW. Maka pulanglah kau sehingga saya tanya kepada manusia.” Kemudian Abu bakar berkata kepada audiens, Al Mughiroh bin Syu’bah berkata : “Seorang perempuan tiba kepada Rasulullah dan dia memberinya seperenam.” Abu Bakar berkata, ”Apakah ada orang lain bersamamu?” Maka Muhammad bin Maslamah bangkit dan berkata, “seperti itulah.” Maka Abu bakar melaksanakannya (meneruskannya) kepada nenek tersebut. Seorang nenek lain tiba kepada Umar bin Khattab untuk meminta perihal warisannya. Maka Umar berkata, “Menurut kitabullah kau tidak medapat sedikitpun.” [47] 

Malik meriwayatkan dalam Muwatha’ bahwa Dhaha’ bin Khalifah menciptakan susukan air hingga hingga sungai kecil, ia berkehendak untuk melewati tanah Muhammad bin Maslamah, namun Muhammad bin Maslamah enggan. Kenapakah kau mencegahku sedangkan hal itu bermanfaat bagimu, kau meminum darinya, baik pada permulaan dan kesannya serta tiadk membahayakanmu? Ia tetap enggan, maka Ad-dhahak membicarakan kepada Umar bin Khattab, kemudian umar bin Khattab memanggil Muhammad bin Maslamah, lantas menyuruhnya untuk melepaskan maksudnya, tetapi ia tetap enggan. Umar berkata, ”Kenapa kau menolak saudaramu terhadap sesuatu yang bermanfaat baginya dan berkhasiat bagimu, kau minum dengannya pada awal dan akhir, lagipula tidak membahayaka kamu?” Muhammad bin Maslamah berkata, “Tidak demi Allah.” Umar berkata, ”Demi Allah semoga ia lewat walaupun lewat diatas perutmu.” Maka Umar menyuruh Dhahak untuk menjalankan perahunya. 

Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa onta-onta yang tersesat pada zaman Umar r.a. dilepaskan dengan berkembang biak dan tidak disentuh oleh seorangpun hingga ketika masa Utsman bin Affan ia memerintahkan untuk mengetahuinya, memberitakannya kemudian onta itu dijual. Apabila pemiliknya tiba maka ia diberi harganya. [48]

Keputusan-keputusan Hukum pada Masa Khulafaur Rasyidin

1. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Khalifah Abu Bakar yaitu spesialis aturan yang tinggi mutunya dan dikenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 hingga 634 M. sebelum masuk islam, dia populer sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif membuatkan dan menyiarkan islam. Atas perjuangan dan seruannya banyak orang-orang terkemuka yang memeluk agama islam dan kemudian populer sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan kerena hubungannya yang ssangat akrab dengan Nabi Muhammad, dia mempunyai pengertian yang dalam perihal isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifa pertama sempurna sekali.

Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:

a. Pidatonya pada waktu peresmian yang berbunyi:  “Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi saya bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Kerena itu, jikalau saya melaksanakan sesuatu yang benar, ikutilah, dan bantulah aku. Tetapi jikalau saya melaksanakan kesalahan, perbaikilah. Sebab berdasarkan pendapatku, menyatakan yang benar yaitu amanat, membohongi rakyat yaitu pengkhianat.” Selanjutnya dia berkata, “Ikutilah perintahku selama saya mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”[49]

Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut aturan ketatanegaraan dan pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu sanggup dijadikan dasar dalam menentukan kekerabatan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dan warga negara.

b. Cara yang dilakukan dalam memecahkan dilema yang timbul di masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan. Kalu dalam wakyu yang kuasa tidak ada, dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah, Abu bakar bertanya kepada para sobat nabi yang dikumpulkan dalam majelis. Mejelis ini melaksanakan ijtihad kemudian timbullah konsesus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah tertentu.[50] Dalam masa bubuk bakar inilah apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’ sahabat.

c. Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Alquran yang telah ditulis pada zaman nabi pada bahan-bahan darurat menyerupai pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris nabi Muhammad.[51] Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Alquran itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para penghafal Alquran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab. Dan setelah Khalifah Umar meninggal pula, naskah Alquran itu disimpan dan dipelihara oleh Hafshah, janda nabi Muhammad.

2. Masa Khalifah Umar bin Khattab


Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi khalifah tahun 13 H/634 M. Dalam masanya tempat islam berkembang dan meluas antara lain : Mesir, Iraq, Adjebijan, Parsi, Siria.[52] Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab. Dan Umarlah yang pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, memutuskan peradilan dan perkantoran, serta kalender penanggalan.

Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ida berijtihad antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan lantaran tidak ada illat untuk memotongnya. Pencuri itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya yang tidak memperlihatkan honor secara wajar. Maka umar menjalankan istislah, yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat tidak memperlihatkan zakat kepada almullafatu qulubuhum lantaran tidak ada illat untuk memberikannya, maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat. Yang kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dll. [53]

Selain itu yang perlu dicatat dari Umar yaitu perilaku tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Hal itu terbukti ketika dia hendak mendirikan masjid (yang kini populer dengan masjid Umar) di Jerussalem. Karena di tempat itu telah bangkit suatu tempat ibadah umat Katolik dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut, Umar turun terlebih dahulu, memberitahukan maksudnya dan memohon kepada pemimpin agama golongan Katolik dan Yahudi di tempat itu. Padahal sebagai seorang khalifah atas seluruh tempat tersebut, Umar tidak wajib melaksanakan hal itu. Namun, ia melaksanakan hal tersebut lantaran sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain.

Karena usianya yang masih relatif muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar usang memegang pemerintahan. Sikapnya keras dan sebagaimana biasanya orang yang mempunyai perilaku keras, selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberaniannya dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan keadaan aktual pada suatu ketika tertentu. Ia mengikuti Abu Bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, Khalifah Umar populer keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan aturan yang terdapat dalam Alquran untuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum.

Tindakan-tindakan Khalifah Umar ;

a. Turut aktif menyiarkan agama Islam hingga ke Palestina, Syiria, Irak, danPersiaserta ke Mesir.

b. Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang populer berdasarkan peredaran bulan (qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari (syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan santunan para jago hisab (hitung) pada waktu itu.

c. Menetapkan kebiasaan shalat tarawih., yaitu salat sunnah malam yang dilakukan setelah shalat isya’, selama bulan Ramadlan.[54]

Tindakan Umar dalam bidang hukum, ada beberapa pola ijtihad Umar antara lain sebagai berikut :

a. Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai talak yang mustahil rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis aturan ini ditentukan oleh Umar berdqsarkan kepentingan wanita, lantaran di zamannya banyak laki-laki yang dengan gampang mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk sanggup bercerai dan kawin lagi dengan perempuan lain. Tujuannya dalah untuk melindungi kaum perempuan dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar semoga laki-laki berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak gampang mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu.[55] Umar memutuskan garis aturan yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.

b. Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang gres masuk islam) menyerupai yang ditetapkan dalam Alquran.[56] Dikarenakan ia perlu dilindungi lantaran masih lemah imannya dan (mungkin) terputus kekerabatan dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih besar lengan berkuasa sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.

c. Menurut al-Qur'an surat Al-Maidah (5) ayat 38, disebutkan perihal eksekusi potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh ancaman kelaparan itu, ancaman eksekusi pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan lantaran pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.

d. Di dalam alquran surat Al Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam dengan perempuan yahudi atau nasrani demi melindungi kedudukan perempuan islam dan keamanan Negara.[57]

Sepintas kemudian keputusan-keputusan (dalam kepustakaan populer dengan ijtihad) Umar itu seperti bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan aturan Islam keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat aturan tersebut.Pokok-pokok pikiran mengenai peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asyari.[58] Isinya antara lain ;
Kewajiban seorang hakim yaitu memutuskan suatu perkara;
  • Hakim mempelajari dahulu berkas masalah itu sebaik-baiknya. Setelah terang duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
  • Keadilan harus diwujudkan dalam praktik, alasannya yaitu kalau ia tidak diwujudkan, keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak yang bersengketa haruslah disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang yang besar lengan berkuasa tidak akan sanggup mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan hingga frustasi lantaran mendambakan keadilan hakim;
  • Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
  • Hakim dihentikan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
  • Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan tersebut jikalau ternyata keputusan tersebut salah;
  • Bila hakim tidak menerima ketentuan aturan suatu masalah dari Alquran dan sunnah, hekim menggunakan aturan qiyash.
  • Memilih penyelesaian masalah yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta mendekati kebenaran.
3. Masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan

Panitia pemilihan khalifah menentukan Utsman menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun 644 hingga 655 M. Ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang yang mempunyai kepribadian yang lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengejar laba pribadi, kekayaan dan kemewahan. 

Hal ini dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri dan golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan menyerupai ini dalam bahas orang-orang kini disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara/ keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.[59]

Tindakan-tindakan Khalifah Utsman:

1. Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits menjalin kembali naskah-naskah Alquran kedalam lima mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut mushaf), kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah itu disimpan di masjid besarnya masing-masing menyerupai umat Indonesia menyimpan Alquran pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satu naskah disimpan di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30 H/ 650 M. Naskah mushaf Usmany yaitu naskah yang dikirim pada masanya. Sebagai kenang-kenangan atas jasa-jasanya, Utsman disebut juga Al-imam.[60] Mushaf Usmany di salin dan diberi gejala bacaan di Mesir menyerupai yang kita liat kini ini.

Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama di dunia kini memperlihatkan bahwa diantara kitab-kitab suci yang ada, hanya Alquran yang tidak sanggup dibuktikan telah pernah dipasulkan oleh tangan manusia. Ia tetap orisinil menyerupai waktu diturunkan dahulu, tanpa perubahan sedikitpun baik dalam surah maupun dalam ayat dan kalimat-kalimatnya.

b. Menyalin dan menciptakan alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran.[61] Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas dan didiami oleh banyak sekali suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan ucapan perihal ayat-ayat alquran yang disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu menjadikan perbedaan arti.

c. Meluaskan tempat pemerintahan hingga ke baros, Maroko, India dan Konstantinopel.[62]

4. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib


Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka menentukan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 hingga tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan didik oleh nabi Muhammad, oleh lantaran itu, hubungannya rapat sekali dengan nabi. Ali yaitu keponakan dan menantu Nabi SAW, setelah ia menikah dengan putri nabi, Fathimah Az-zahra. Ketika nabi Muhammas masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh nabi menggantikan dia menuntaskan masalah-masalah penting. 

Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan bahwa kekerabatan nabi dengan Ali sanggup dimisalkan menyerupai Nabi Musa dan Harun. Dan lantaran itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu banyak orang yang beropini bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya. Yang beropini demikian populer dengan golongan syi’ah. Ali populer dengan kemahirannya sebagai qadli, semenjak zaman Nabi.

Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk membuatkan aturan islam.[63] Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam badan umat islam yang bermuara pada perang saudara dan timbulnya kelompok-kelompok besar umat islam kini ini, antara lain :
  • Kelompok Ahlussunnah waljamaah (suni), yaitu kelompok atau jamaah yang berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad; 
  • Kelompok syiah yaitu pengikut ali bin Abi Thalib. 

Dasar perpecahan yaitu perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa saja yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system aturan dan kekeluargaan. Golongan syiah banyak terdapat di Lebanon, Irak, Pakistan, dan India. Bekas pengaruhnya terdapat di Indonesia, tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.[64]

Penutup


Setelah nabi wafat, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh sahabat, utamanya khulafaur rsyidin juga dengan sahabat-sahabat besar yang lain menyerupai Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud dll. Pada masa khulafaur Rasyidin, terjadi banyak sekali permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah. Sehingga, timbullah penafsiran nash-nash ayat dan terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nash yang jelas. Ketika mengambilan keputusan, khulafaur rasyidin dan para shahabat tetap berpegang pada Alquran dan Sunnah namun jikalau penyelesainya tidak ditemukan dalam alquran dan sunna maka shahabat melaksanakan ijtihad berupa ijma’ dan qiyash. Hal ini dilakukan bila tidak ada penyelesaian tertulis dalam Alquran dan Sunnah.

Pengambilan keputusan pada masa khulafaur Rasyidin ini menjadi rujukan bagi ulama’-ulama’ mutaakhirin dan menjadi dasar pijakan bagi generasi setelahnya dalam mengambil keputusan untuk menuntaskan masalah syari’at. Akan tetapi fatwa-fatwa yang muncul pada zaman khulafaurrasyidin tersebut amat terbatas. Dikarenakan sobat lebih menentukan untuk tidak membicarakan pengambilan keputusan jikalau tidak ada terjadi masalah. Para sobat juga tidak membukukan fatwa mereka sehingga menyulitkan generasi setelahnya untuk mendapatkan pendapat para sahabat.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. 2007. Al-Quran dan Terjemahnya. Cet VII,Bandung: Diponegoro.

Ash Shiddeay,Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cet IX,Yogyakarta: Bulan Bintang.

Bik, Hudhori. Tanpa Tahun. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.Surabaya: Al-Hidayah.

Bik,Hudhori. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri. Cet IV,Semarang:Darul Hidayah.

Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Cet II, Bandung: Malja.

Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet.II, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika.

Wahab, Abdul hallaf. 2005. Sejarah Hukum Islam. Cet I, Bandung: Maljah.

Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika.

Zuhri, Muhammad. 1980. Tarikh Tasyri’ Al-Islam. Cet II, Semarang: Darul Ikhya.

Catatan Kaki

[1] Muhammad Ali As-says, Sejarah Fiqih Islam, cet I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) hal 59.

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Cet II (Bandung: Malja, 1970), hal 76.
[3] Muhammad Ali As-says, Sejarah ……., hal 169.

[4] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Cet X (Bandung: Diponegoro, 2007) hal 6.

[5] Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet II (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hal 43.

[6] Abdul hallaf Wahab, Sejarah Hukum Islam, Cet I, (Bandung: Maljah. 2005) hal 45.

[7] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal 41.

[8] . Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,……., hal 37
[9] Muhammad Ali As-says, Sejarah……., hal 58.

[10] Muhammad Ali As-says, Sejarah ……. hal 59.

[11] Muhammad Ali As-says, Sejarah…….hal 60.
[12] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 41.

[13] Muhammad Ali As-says, Sejarah ……., hal 61.
[14] Abdul Hallaf Wahab, Sejarah hukum……., hal 51.

[15] . Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……. h.37.
[16] Zainudin Ali, Hukum……., h 69.

[17] Muhammad Ali As-Says. Sejarah Fiqih……. h 60.

[18] Zainudin, Ali, Hukum……..h 68.
[19] Abdul Hallaf Wahab, Sejarah Hukum……., hal 56.

[20] Ali Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar……., hal 34.
[21] Abdul Hallaf Wahab, Sejarah Hukum……., hal 57.

[22] Ali Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar ……., hal 35.
[23] Muhammad Ali As-Says, Sejarah Fikih……., hal 60.

[24] Muhammad Ali As-Says, Sejarah Fikih……., hal 61.
[25] Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu……., h. 43.

[26] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah……., hal 67.

[27] Muhammad Ali Daud, Hukum Islam, Cet I,(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal 121.
[28] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……., h 37.

[29] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……., h. 41.

[30] Departemen Agama RI, Alquran dan ……., hal 36.
[31] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 42.

[32] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan……., hal 43.
[33] Departemen Agama RI, Alquran dan ……., hal 37.
[34] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 44.

[35] Departemen Agama RI, Alquran dan ……., hal 558.
[36] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., hal 43.

[37] Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu ……., hal. 49.

[38] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ……., h.44.
[39] Hudhori Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri, Cet IV,Semarang:Darul Hidayah, 1980), hal 267.
[40] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 268

[41] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 269
[42] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 270
[43] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 271

[44] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 271
[45] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 272
[46] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 273

[47] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 268
[48] Hudhori Bik, Tarikh……., hal 268

[49] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 123.
[50] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 124
[51] Idris Romulya, Asas-asas……., hal 123.

[52] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 125.
[53] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 125.

[54] . Idris Ramulyo,Asas-asas……., hal 125.
[55] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 126.

[56] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 126.

[57] Idris Ramulyo,Asas-asas……., hal 124
[58] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 127

[59] Idris Romulya, Asas-asas……., hal 127

[60] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 128
[61] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 128.

[62] . Idris Ramulyo,Asas-asas……., hal 129.
[63] Idris Romulya, Asas-asas ……., hal 130.

[64] Idris Romulyu, Asas-asas……., hal 130

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: