Puasa Ramadhan Dalam Alqur'an

Puasa Ramadhan Dalam Alqur'an,- Uraian Al-Quran perihal puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan gres diwajibkan sesudah Nabi Saw. tiba di Madinah, alasannya ialah ulama Al-Quran setuju bahwa surat A1-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.

Apakah kewajiban itu pribadi ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat perilaku Al-Quran yang seringkali melaksanakan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun sanggup dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185: 

Barangsiapa di antara kau yang hadir (di negeri daerah tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pemahaman semacam ini menimbulkan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak tidak mungkin bahwa Nabi dan sahabatnya telah melaksanakan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara perihal puasa sunnah tertentu.

Uraian Al-Quran perihal kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.

Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kau berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian, maka masuk akal pula jikalau umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut ialah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kau bertakwa (terhindar dari siksa)."
 Ini berarti bahwa puasa Ramadhan gres  diwajibkan  sesudah  Nabi  Saw Puasa Ramadhan Dalam Alqur'an


Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman daerah tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka beliau (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) beliau harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa ialah baik."


Setelah itu disusul dengan klarifikasi perihal keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini tiba perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan menawarkan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat perihal kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk kau bukan kesulitan," kemudian diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. 

Ayat 186 tidak berbicara perihal puasa, tetapi perihal doa. Penempatan uraian perihal doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran perihal puasa tentu memiliki diam-diam tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan alasannya ialah itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah bersahabat kepada hamba-hamba-Nya dan mendapatkan doa siapa yang berdoa." 

Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melaksanakan hubungan intim di malam Ramadhan, di samping klarifikasi perihal lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.


Banyak informasi dan tuntunan yang sanggup ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan aturan maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan aturan maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

Makna Kata Puasa dalam Al-Qur'an

Al-Quran memakai kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa berdasarkan pengertian aturan syariat. Sekali Al-Quran juga memakai kata shaum, tetapi maknanya ialah menahan diri untuk tidak bebicara:

Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini saya tidak akan berbicara dengan seorang insan pun (QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan perihal kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa ialah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa laki-laki dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.

Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu acara –apa pun acara itu-- dinamai shaim (berpuasa). 

 Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh aturan syariat, sehingga shiyam hanya dipakai untuk "menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".

Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melaksanakan puasa. Ini meliputi pembatasan atas seluruh anggota badan bahkan hati dan pikiran dari melaksanakan segala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum bagi insan pada hakikatnya ialah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan perilaku sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.


Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10. Artinya: "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas"

Orang sabar yang dimaksud di sini ialah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan. 
2. Puasa kaffarat, akhir pelanggaran, atau semacamnya. 
3. Puasa sunnah.

Demikianlah uraian dari Puasa Ramadhan Dalam Al-qur'an, mudahan sanggup menjadi wawasan bagi pembaca dan tentunya sanggup di amalkan.

Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: