Aspek Hukum Puasa Ramadhan Serta Kafaratnya bagi yang Meninggalkan
Faman Kana Minkum Maridha
Artinya: "Siapa di antara kau yang menderita sakit". Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar sanggup dibagi dua:
1. Penderita tidak sanggup berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan
2. Penderita sanggup berpuasa, tetapi dengan menerima kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat meliputi pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita sanggup berkata bahwa Allah Swt. sengaja menentukan redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani insan masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
Aw 'ala Safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat wacana bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum sanggup dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh akomodasi (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakah lantaran adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan tanggapan perjalanan. Di sini, dipermasalahkan contohnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini sanggup dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan lantaran izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, contohnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) menyerupai wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali bila perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat akomodasi dari Allah Swt.?
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini ialah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan menyerupai penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki akomodasi untuk kau dan tidak menghendaki kesulitan." Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas.
Fa 'iddatun Min Ayyamin Ukhar
Artinya: "sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain". Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi ini, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."
Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" ialah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, lantaran terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain menyerupai suara harfiah ayat di atas.
Hukum Puasa Ramadhan bagi Yang Meninggalkan
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut?
Ada sebuah hadis tetapi dinilai lemah yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka hingga selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga jadinya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah sanggup ditangguhkan hingga sebelum datangnya Ramadhan berikut?
Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat tanggapan keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, beropini bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
Wa 'alal ladzina Yuthiqunahu Fidyatun Tha'amu Miskin
ArtinyaDan wajib bagi orang yang beratmenjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang beropini bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah.
Ada juga yang beropini bahwa ayat ini berbicara wacana para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya bisa berpuasa, tetapi enggan lantaran kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak terkenal di kalangan dominan ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara wacana orang-orang bau tanah atau orang yang memiliki pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak memiliki sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah.
Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak sanggup berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas ialah wanita-wanita hamil menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan ialah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah dimaksud ialah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang beropini sebanyak setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
Uhilla lakum Lailatash-Shiyamirrafatsu Ila Nisa'ikum
Artinya: "Dihalalkan kepada kau pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:187)
Ayat ini membolehkan hubungan intimm (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan suami istri tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan intim adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun (baca: Hukum Cumbuan Suami Istri ketika Puasa). Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak sanggup menahan diri, lantaran sanggup menjadikan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya ketika berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berafiliasi badan, kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi dominan ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali bila ia melaksanakan hubungan tubuh (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini menurut hadis Nabi ialah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak bisa juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang melaksanakan hubungan intim di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat dominan ulama.
Wakulu Wasyrabu Hatta Yatabayyana Lakumul Khaith al-Abyadhu minal Khaithil Aswadi minal Fajr
Artinya:"Makan dan minumlah hingga terperinci bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar". Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melaksanakan hubungan intim) hingga terbitnya fajar.
Pada zaman Nabi, beberapa ketika sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun dia mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang menjadikan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melaksanakan acara yang terlarang (baca: batas imsak). Namun bila dilakukan, maka dari segi aturan masih sanggup dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, lantaran boleh jadi muazin mengumandangkan azannya sehabis berlalu beberapa ketika dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan acara tersebut ketika imsak.
Tsumma Atimmush Shiyama ilal lail
Artinya: "Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga malam". Penggalan ayat ini tiba sehabis ada izin untuk makan dan minum hingga dengan datangnya fajar.
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama ialah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan.
Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam". Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan tawaran Nabi Saw. Untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan perilaku kehatian-hatian lantaran khawatir magrib bekerjsama belum masuk.
Demikian sedikit dari banyak Aspek aturan Puasa Ramadhan yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara wacana puasa Ramadhan. Mudahan Bermanfaat
Buat lebih berguna, kongsi: