Perkembangan Pemikiran Hukum Islam dalam Bidang al-Ahwal al-Syakhsiyah
Al-Ahwal al-Syakhsiyah yaitu istilah yang muncul di era final pemerintahan Dinasti Usmaniyah (Turki Ottoman). Ia berarti hukum-hukum yang mengatur hubungan suami istri dan keluarganya, mulai dari perkawinan serta segala yang berkaitan dengannya hingga warisan (pembagian harta benda suami dan atau isteri yang meninggal) termasuk wasiat dan wakaf. Secara singkat, istilah ini berarti aturan keluarga. Sebelumnya istilah ini tidak dikenal dalam literatur fiqih klasik. Tersebar di banyak sekali kitab-kitab fiqih klasik hanyalah istilah al-Munakahat (nikah), atau Zawaj yang berarti pernikahan. Hal ini alasannya yaitu pembahasan aturan ini lebih luas dari sekedar pernikahan serta segala yang berkaitan dengannnya – meliputi pula warisan, wasiat, dan wakaf untuk keluarga (keturunan) – sehingga dibutuhkan istilah lain yang dinilai sanggup meliputi obyek pembahasan.
Sebagian aturan Islam tumbuh dari sesuatu yang telah ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Arab ketika itu, sekalipun mereka tidak mempunyai aturan tertulis namun mereka telah mempunyai aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat. Mereka telah mengenal aturan sosial kemasyarakatan, jual beli, perkongsian, bagi hasil serta bentuk mu’amalah lainnya, termasuk aturan-aturan keluarga (al-ahwal al-Syakhsiyah). Pada masa jahiliyah, nikah ada empat macam. Di antaranya, nikah dengan menggunakan mas kawin kemudian dinikahkan oleh walinya. Orang-orang Arab pada masa itu sanggup merujuk istrinya walaupun sudah ditalaknya seratus kali. Mereka juga sudah menjalankan tradisi ijab kabul dengan didahului oleh khitbah.
Islam tiba maka sebagian praktek al-Ahwal al-Syakhsiyah orang-orang jahiliyah dibiarkan hidup berkembang, menyerupai tradisi khutbah dalam prosesi janji nikah. Namun, sebagian lagi dibatalkan; talak yang hanya hingga dua kali saja dan yang ketiga kalinya tidak diperbolehkan lagi rujuk kecuali sehabis sang isteri telah dinikahi orang laki-laki lain.
Gambaran perkembangan aturan-aturan al-Ahwal al-Syakhsiyah di masa Nabi Muhammad saw. yang merupakan masa pembinaan, penataan, dan penetapan aturan-aturan keluarga yang gres (lahirnya aturan-aturan yang baru). Lebih jauh, Khudhari Bik merincinya sebagai berikut:
Islam mensyariatkan pernikahan dan memperlihatkan batasan poligami hingga empat istri bagi yang tidak khawatir untuk berbuat aniaya dalam mempergauli istri-istrinya. Sebelumnya, kaum Jahiliyah tidak membatasi jumlah istri. Di antara mereka ada yang beristri sepuluh orang bahkan lebih.
Islam menetapkan adanya perceraian serta menata aturan-aturan yang ada di dalamnya, termasuk praktek-praktek yang dianggap cerapi pada masa Jahiliyah menyerupai Ila dan Zihar.
Islam menetapkan bahwa seorang ibu yang diceraikan harus tetap menyusui anaknya dan sang ayah harus terus menafkahi anaknya tersebut begitu pula ibunya.
Islam mensyariatkan bagi para isteri dan anak perempuan biar mengenakan jilbab yang menutup seluruh badan mereka dan biar mereka jangan bertabarruj (berhias dan memamerkan diri) menyerupai orang-orang jahiliyah.
Islam mensyariatkan bagi anak laki-laki maupun perempuan dan menetapkan siapa saja hebat waris yang berhak mewarisi serta merinci kepingan mereka masing-masing dari harta warisan yang ditinggalkan.
Era pemerintahan Dinasti Umayyah, mulai diadakan penataan dan perubahan terhadap materi-materi aturan budbahasa masyarakat setempat. Tidak terkecuali aturan-aturan keluarga, melalui pengembangan aturan-aturan yang ada dalam Quran dan sunah. Begitu pula pengembangan kajian dan pembahasan mengenai aturan keluarga Islam ini sudah terlihat, sekalipun belum terealisasi secara integral dan komperehensif. Karenanya, peleburan sebagian unsur-unsur luar ke dalam aturan-aturan keluarga Islam (secara kebetulan; tidak sengaja) tidak sanggup dihindari.
Memasuki era imam Mujtahid/mazhab dan kodifikasi ilmu Fiqih –berlangsung semenjak final awal kala ke-2 hingga pertengahan kala ke-4 H. Pembidangan dan pembagian lapangan aturan Islam mulai tampak dilakukan, tak terkecuali aturan-aturan dan aturan keluarga ini (al-Ahwal al-Syakhsiyah). Dalam penyusunan kitab-kitab fiqih, pembahasan wacana pernikahan (munakahat atau nikah) serta hal-hal yang bekerjasama dengannya ditempatkan dalam pembahasan atau kepingan tertentu, begitu pula halnya dengan pembahasan wacana warisan, wasiat dan wakaf.
Pada era keemasan fiqih ini pula, sebagaimana halnya masalah-masalah atau bab-bab fiqih yang lain, perkaran-perkara al-Ahwal al-Syakhsiyah mengalami ekspansi pembahasan serta pendalaman sub-sub bahasannya (furu’iyah). Khudari Bik memperlihatkan contoh, antara lain: seorang suami yang menceraikan tiga istrinya dengan lafaz atau sigat cerai yang bersyarat (bergantung), cerai dengan hitungan, pembagian warisan, mahar dan perjodohan seorang perempuan oleh Ayahnya.
Pembahasan khusus mengenai al-Ahwal al-Syakhsiyah gres dimulai pada era kekhalifaan Turki Usmani, tepatnya sekitar separuh kedua kala ke-19 M. orang pertama membahasnya dalam satu kajian tersendiri yaitu Muhammad al-Qudri Pasya, hebat aturan Islam di Mesir. Dia yang pertama kali mengkodifikasikannya dalam satu buku yang diberi judul Al-Ahkam al-Syar’iyah fi al-Ahwal al-Syakhsiyah (hukum-hukum syariat/agama dalam hal keluarga). Kodifikasi aturan keluarga ini meliputi pembahasan wacana pernikahan, perceraian, wasiat, ahliyah (cakap tidaknya seseorang melaksanakan tindakan hukum), warisan dan hibah.
Kodifikasi aturan keluarga tersebut di atas telah dijadikan materi oleh para pihak dalam menetapkan banyak sekali kasus pribadi dan keluarga di pengadilan, sebelum resmi berlaku oleh pemerintah,. Pada perkembangan selanjutnya, kodifikasi ini dijadikan fatwa dan diterapkan di Mahkamah Syar’iyah Mesir.
Pemerintah Turki Usmani gres mengundang-undangkan al-Ahwal al-Syakhsiyah ini pada tahun 1333 H/1917 M dalam sebuah kodifikasi yang diberi judul Qanun al-Huquq al-A’ilah al-Usmaniyah (undang-undang hak keluarga di Turki Usmani). Undang-undang ini berlaku untuk seluruh wilayah kekhalifaan Turki Usmani kecuali Mesir, yang telah memisahkan diri pada tahun 1953. Kemudian disempurnakan dan diperluas cakupannya meliputi wasiat, ahliyah, warisan dan wakaf kemudian dinyatakan berlaku semenjak tanggal 1 November 1953.
Pada masa modern, hampir semua Negara di dunia Islam sudah mempunyai undang-undang al-Ahwal al-syakhsiyah. Di Mesir, undang-undang perkawinan dikeluarkan pada tahun 1936, undang-undang waris pada tahun 1943 dan undang-undang wasiat dan wakaf pada tahun 1946. Di Maroko, undang-undang perkawinan Kodifikasi pertama dan perceraian (kodifikasi kedua) dinyatakan berlaku menurut arahan pemerintah pada 27 Rabi’ al-Sani 1377 H. dan putusan pengadilan pada awal tahun 1958 M. Di Yordania, undang-undang aturan keluarga mulai dikeluarkan pada tahun 1927 kemudian diamandemen pada tahun 1951 menjadi 131 pasal, di Irak pada tahun 1959 dengan 88 pasal dan di Tunisia pada tahun 1956. Kecuali Arab Saudi yang tidak mengenal undang-undang al-Ahwal al-syakhsiyah; mereka menggunakan kitab-kitab fiqih mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi Negara dalam menuntaskan masalah-masalah aturan keluarga. Begitu pula di Yaman yang menggunakan kitab Fiqih mazhab Zaidiyah sebagai pedoman, alasannya yaitu kebanyakan umat Islam di sana bermazhab Zaidiyah.
Bagaimana dengan Indonesia? Terbitnya UU No. 1 Tahun 1974 wacana perkawinan dan PP No. 28 tahun 1977 wacana pewakafan tanah miliki mendorong kodifikasi hukum-hukum keluarga ini. Karenanya, kasus al-Ahwal al-Syakhsiyah inipun dimuat dalam sebuah kodifikasi yang berjudul “kompilasi Hukum Islam” kemudian dibakukan dengan inpres No. 1/1991. Apalagi sebelumnya telah dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1989 wacana peradilan Agama berwenang menuntaskan kasus umat Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan menurut aturan Islam, wakaf dan sedekah. UU No. 3 Tahun 2006 wacana kewenangan peradilan Agama, dan UU. No. 20 Tahun 2009 menambah poin sebelumnya dengan ekonomi Islam.
Sumber Tulisan
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasit\ jilid I (cet. III; Kairo: Dar Handasiyah, 1998), h. 494.
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Ibntang, t.th.), h. 40. Lihat juga: Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh (cet. IV; Damaskus: Dar al-Fikr, 2002), h. Lihat: Abdul Aziz Dahlan, loc. cit.
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law terj. Joko Supomo dengan Pengantar Hukum Islam (cet. I; Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 14.
Khudari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiyah terj. Muhammad Zuhri (t.tp: Darul Ikhya Indonesia. t.th.), h. 167 dan 219.
Ulama Syafi’iyah ketika itu, menyusun kitab-kitab fiqh mereka dengan sistematika yang dimulai dari rub’ al-‘ibadat (bagian ibadah), rub’ al-mu’amalat (bagian mu’amalah, dalam artian sempit), rub’ al-Munakahat (bagian perkawinan), rub’ al-jinayat (bagian pidana). Oleh alasannya yaitu itu, belakangan muncullah istilah fiqh al-Munakahat. Abdul Aziz Dahlan, op. cit., h. 358-359.
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (cet. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 79-80.
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian dan Penerapan Hukum Islam (cet. V; Jakarta: Kencana, 2005), h. 164.
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia (cet. I; Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h. 83.
Kompilasi aturan Islam yaitu upaya penyerderhanaan sumber-sumber aturan Islam dengan menyusun kembali aturan Islam ke dalaam sebuah buku sesuai dengan bahasa perundang-undangan (dengan menggunakan bab, pasal, dan lain-lain) sehingga gampang dirujuk dan dipakai dipengadilan dan oleh praktisi hukum. Lihat: Rifyal Ka’bah, ibid., h. 81-82.
Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Pengadilan Agama (cet. IX; Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 28-29.
Buat lebih berguna, kongsi: