Makalah Ulumul Qur'an: Tafsir Bercorak Maqoshidi
Oleh: Qoem Aulassyahid
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wa makan (al-Qur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat) ialah berkembangnya metodologi tafsir secara signifikan seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.
Salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wa makan (al-Qur’an itu selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat) ialah berkembangnya metodologi tafsir secara signifikan seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.
Fenomena perkembangan ini, memunculkan konsekuensi logis untuk selalu mendialogkan teks al-Qur’an dengan masalah-masalah yang terus bermunculan. Maka tidak salah kalau Muhammad Syahrur menyampaikan bahwa al-Qur’an harus selalu ditafisrkan sesuai dengan tuntutan periode kontemporer yang dihadapi oleh umat manusia. Hal itu sekali lagi menuntut adanya metodologi tafsir al-Qur’an yang terus berkembang mengikuti situasi sosial, budaya. ilmu pengetahuan dan peradaban manusia[1].
Secara umum, perkembangan metode tafsir terbagi menjadi dua, yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Dua metode ini, kemudian memunculkan banyak sekali corak tafsir yang itu menandai perkembangan pemikiran para mufassir atas kondisi dan permasahalan yang dihadapi oleh masing-masing penafsir tersebut.
Secara umum, perkembangan metode tafsir terbagi menjadi dua, yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Dua metode ini, kemudian memunculkan banyak sekali corak tafsir yang itu menandai perkembangan pemikiran para mufassir atas kondisi dan permasahalan yang dihadapi oleh masing-masing penafsir tersebut.
Quraish Shihab memperlihatkan ulasan ringkas mengenai corak tafsir yang tengah berkembang hingga remaja ini : (a) corak sastra bahasa, timbul akhir banyaknya orang non Arab yang memeluk agama Islam, serta akhir kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra. (b) corak filsafat dan teologi, akhir penerjemahan kitab filsafat yang mensugesti sementara pihak, serta akhir masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan mereka. (c) corak penafsiran ilmiah, akhir kemajuan ilmu pengetahuan dan perjuangan penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu, (d) corak fiqih atau hukum, akhir berkembangnya ilmu fiqh, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqh yang setiap golongan berusaha pertanda kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum, (e) corak tasawwuf, akhir timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecendrungan banyak sekali pihak terhadap materi. (f) corak sastra budaya dan masyarakat, corak yang dipopulerkan para pembaharu Islam, menyerupai Muhammad Abduh yang mencoba menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan pribadi dengan kehidupan masyarakat[2].
Dewasa ini, berkembang pula satu corak tafsir, yaitu corak Tafsir Maqashidi yang diprakarsai oleh ulama maghiribi lewat simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al-Qur’an” diadakan di Oujda Maroko pada Pertengahan april 2007. Kehadiran corak ini diharapkan bisa lebih membantu kalangan ulama dalam memahami teks al-Qur’an dan as-Sunnah, utamanya pada teks yang dzonniyat ad-dilalah yang makna terkesan tidak sejalan dengan maksud syariah[3].
B. Rumusan Masalah
Dewasa ini, berkembang pula satu corak tafsir, yaitu corak Tafsir Maqashidi yang diprakarsai oleh ulama maghiribi lewat simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al-Qur’an” diadakan di Oujda Maroko pada Pertengahan april 2007. Kehadiran corak ini diharapkan bisa lebih membantu kalangan ulama dalam memahami teks al-Qur’an dan as-Sunnah, utamanya pada teks yang dzonniyat ad-dilalah yang makna terkesan tidak sejalan dengan maksud syariah[3].
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka ditentukan beberapa rumusan dilema semoga kajian dalam makalah ini lebih fokus. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut
Apa yang disebut Tafsir Maqashidi?
Bagaimana perkembangan Tafsir Maqashidi?
Bagaimana Konsep dan Contoh aplikasi Tafsir Maqashidi?
Apa yang disebut Tafsir Maqashidi?
Bagaimana perkembangan Tafsir Maqashidi?
Bagaimana Konsep dan Contoh aplikasi Tafsir Maqashidi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Maqashidi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tafsir (taf-sir) berarti : keterangan atau klarifikasi ihwal ayat-ayat al-Qur’an semoga gampang dipahami[4] Namun kata Tafsir, kalau dirunut kembali tidak berakar dari bahasa Indonesia murni, tetapi dari bahasa Arab. Tafsir yang sering didengar dan disebut yakni bentuk masdar “tafsirotun” dari fi’il fassara-yufassiru yang mempunyai banyak arti, diantaranya : menerangkan, menjelaskan, memberi komentar, menerjemahkan atau mentakwilkan[5].
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tafsir (taf-sir) berarti : keterangan atau klarifikasi ihwal ayat-ayat al-Qur’an semoga gampang dipahami[4] Namun kata Tafsir, kalau dirunut kembali tidak berakar dari bahasa Indonesia murni, tetapi dari bahasa Arab. Tafsir yang sering didengar dan disebut yakni bentuk masdar “tafsirotun” dari fi’il fassara-yufassiru yang mempunyai banyak arti, diantaranya : menerangkan, menjelaskan, memberi komentar, menerjemahkan atau mentakwilkan[5].
Ibnu Manzhur, dalam kitab Lisan al-‘Arab, menyebutkan bahwa kata الفسر berarti البيان (keterangan). Kata ini juga berarti كشف المغطى (membuka yang tertutup). Kata التفسير berarti كشف المراد عن اللفظ المشكل (membuka/ menyingkap maksud kata-kata yang sulit). Kata الفسر juga berarti نظر الطبيب إلى الماء (penglihatan/ penelitian seorang dokter terhadap air). Makna yang sama juga dipakai untuk kata التفسرة. Ada pendapat yang menyampaikan bahwa التفسرة berarti:
Buang air orang sakit yang dipakai oleh para dokter untuk mendiagnosa penyakit seseorang[6].
Pengertian secara bahasa di atas, memperlihatkan bahwa di Indonesia, kata tafsir mengalami penyempitan makna, hal itu karena, kata tafsir sering dipakai untuk klarifikasi ayat-ayat al-Qur’an semata, tidak familiar kalau dipakai untuk klarifikasi lain, berbeda dengan arti bahu-membahu yang lebih luas.
Secara istilah, az-Zarkasyi mengartikan tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga untuk menjelaskan makna-maknanya, mengungkap hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung dalamnya didasari dengan ilmu bahasa, Nahwu, Tasrif, bayan, ushul fiqh, ilmu Qira’ath dan juga pengetahuan terhadap asbab an-Nuzul dan Nasikh wa al-Mansukh[7].
Sementara kata maqashidi juga tersusun dari dua, maqhasid dan ya’ al-jinsiyah. Ya’ al-jinsiyah dalam bahasa Arab, yakni ya’ yang memperlihatkan sifat atau jenis. Maqashid yakni bentuk prular dari maqsad, qasd, maqsid atau qusud yang merupakan derivasi dari kata kerja qasada, yang memliki bermacam-macam makna di antaranya kesengajaan dan tujuan[8]. pada kenyataannya, kata maqhasid pertama kali dipakai dan dipopulerkan oleh ulama ushul fikih ketika mewacanakan kajian maqashid as-Syari’ah.
البول الذى يستدل به على المرض و ينظر فيه الأطباء يستدلون بلونه على علة العليل
Buang air orang sakit yang dipakai oleh para dokter untuk mendiagnosa penyakit seseorang[6].
Pengertian secara bahasa di atas, memperlihatkan bahwa di Indonesia, kata tafsir mengalami penyempitan makna, hal itu karena, kata tafsir sering dipakai untuk klarifikasi ayat-ayat al-Qur’an semata, tidak familiar kalau dipakai untuk klarifikasi lain, berbeda dengan arti bahu-membahu yang lebih luas.
Secara istilah, az-Zarkasyi mengartikan tafsir sebagai ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga untuk menjelaskan makna-maknanya, mengungkap hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung dalamnya didasari dengan ilmu bahasa, Nahwu, Tasrif, bayan, ushul fiqh, ilmu Qira’ath dan juga pengetahuan terhadap asbab an-Nuzul dan Nasikh wa al-Mansukh[7].
Sementara kata maqashidi juga tersusun dari dua, maqhasid dan ya’ al-jinsiyah. Ya’ al-jinsiyah dalam bahasa Arab, yakni ya’ yang memperlihatkan sifat atau jenis. Maqashid yakni bentuk prular dari maqsad, qasd, maqsid atau qusud yang merupakan derivasi dari kata kerja qasada, yang memliki bermacam-macam makna di antaranya kesengajaan dan tujuan[8]. pada kenyataannya, kata maqhasid pertama kali dipakai dan dipopulerkan oleh ulama ushul fikih ketika mewacanakan kajian maqashid as-Syari’ah.
Al-Ghazali dalam kitabnya al-mustasyfa, menyatakan bahwa maqhasid as-Syari'ah merupakan maslahat yang sanggup diketahui dalam al-Qur’an, sunah dan 'ijma' tidak hanya berdasar satu dalil semata, melainkan atas dalil yang banyak, yang tak terbatas dari al-Qur’an dan sunah, yaitu banyak sekali keterangan dan banyak sekali situasi serta banyak sekali tanda yang berbeda-beda[9].
Begitu pula dengan Ibnu 'Asyur, dia membagi maqhasid as-Syariah menjadi umum dan khusus kemudian memperlihatkan defenisi secara istilah pada kedua pecahan tersebut dengan pengutamaan masing-masing. Beliau mendefinisikan maqhasid as-Syari'ah yang umum yakni banyak sekali makna dan pesan tersirat yang dipelihara dan diperhatikan oleh pembuat syariat pada semua keadaan hukum, di mana pesan tersirat dan makna tersebut tidak dikhususkan pada hukum-hukum tertentu.
Begitu pula dengan Ibnu 'Asyur, dia membagi maqhasid as-Syariah menjadi umum dan khusus kemudian memperlihatkan defenisi secara istilah pada kedua pecahan tersebut dengan pengutamaan masing-masing. Beliau mendefinisikan maqhasid as-Syari'ah yang umum yakni banyak sekali makna dan pesan tersirat yang dipelihara dan diperhatikan oleh pembuat syariat pada semua keadaan hukum, di mana pesan tersirat dan makna tersebut tidak dikhususkan pada hukum-hukum tertentu.
Sedangkan maqhasid as-Syari'ah secara khusus, dia menekankan pada tata cara atau kriteria yang dimaksudkan oleh pembuat syariat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang memberi manfaat bagi insan atau untuk menjaga kemashlahatan umum dari perbuatan-perbuatan insan yang khusus[10].
Penggunakan kata maqhasid terhadap istilah tafsir al-Maqashidi memperlihatkan bahwa corak tafsir jenis ini sangat dipengaruhi oleh konsep maqhasid yang telah dipopulerkan oleh ulama ushul fiqh[11]. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa corak tafsir maqashidi ini, secara sederhana yakni corak klarifikasi dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan memperhatikan makna terdalam dari ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk hikmah, lantaran hukum, tujuan dan segala nilai yang bisa menjadi mashlahat insan dalam menjalani kehidupannya dan menuntaskan problem-problem di setiap masa.
Penggunakan kata maqhasid terhadap istilah tafsir al-Maqashidi memperlihatkan bahwa corak tafsir jenis ini sangat dipengaruhi oleh konsep maqhasid yang telah dipopulerkan oleh ulama ushul fiqh[11]. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa corak tafsir maqashidi ini, secara sederhana yakni corak klarifikasi dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan memperhatikan makna terdalam dari ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk hikmah, lantaran hukum, tujuan dan segala nilai yang bisa menjadi mashlahat insan dalam menjalani kehidupannya dan menuntaskan problem-problem di setiap masa.
Hal ini pun diyakini oleh para pakar di bidang tafsir, bahwa al-Qur’an mempunyai tujuan-tujuan yang itu semua bermuara pada kemashlahatan hakiki manusia, kemashlatan yang tepat tidak hanya dengan beling mata insan yang terbatas pengetahuannya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Chirzin, bahwa al-Qur’an mempunyai tujuan, diantaranya :
Pertama, membersihkan budi dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memutuskan keyakinan ihwal keesaan yang tepat bagi tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan manusia.
Kedua, untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat insan merupakan satu umat yang seharusnya sanggup bekerja sama dalam dedikasi kepada Allah dan pelaksanaan kiprah kekhalifaan.
Ketiga, menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, dogma dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kebenaran dan determinasi, kesatuan sosial politik dan ekonomi yang kesemuannya berada di bawah satu ke-esaan, yaitu ke-esaan Allah swt.
Keempat, untuk mengajak insan berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh pesan tersirat kebijaksanaan.
Kelima, untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup serta pemerasan insan atas insan dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan agama.
Keenam, untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan mengakibatkan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupa masyarakat manusia.
Ketujuh, untuk memperlihatkan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, membuat ummatan washatan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Kedelapan, untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi guna membuat satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia[12].
B. Perkembanagn Tafsir Maqashidi
Perkembangan tafsir sendiri tidak pernah terlepas dari dua periode sentral, yaitu periode klasik dan periode kontemporer. Periode klasik pada umumnya ditandai dengan Metode bi al-Ma’tsur, yaitu mengandalkan riwayat-riwayat dan data kesejarahan. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang memberikan riwayat-riwayat tanpa melaksanakan penyeleksian yang ketat.
Perkembangan tafsir sendiri tidak pernah terlepas dari dua periode sentral, yaitu periode klasik dan periode kontemporer. Periode klasik pada umumnya ditandai dengan Metode bi al-Ma’tsur, yaitu mengandalkan riwayat-riwayat dan data kesejarahan. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang memberikan riwayat-riwayat tanpa melaksanakan penyeleksian yang ketat.
Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, menyerupai halnya riwayat-riwayat ihwal peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh. Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa “kami hanya memberikan dan silahkan meneliti kebenarannya”.[13]
Berbeda dengan masa selanjutnya, perkembangan teknologi dan kehidupan sosial menuntut adanya validitas yang ketat terhadap data-data ilmu pengetahuan utamanya dalam beling mata ilmiah dan rasio. Untuk itu keterbatasan informasi riwayat yang hanya dipakai sebagai pengetahuan saja, tanpa ditarik maknanya lebih dalam dan juga kritis terhadap keasliannya tidak bisa lagi menjadi sandaran, hingga perlu adanya perkembangan metodologi tafsir untuk merespon itu semua, atau kini disebut dengan tafsir kontemporer.
Berbeda dengan masa selanjutnya, perkembangan teknologi dan kehidupan sosial menuntut adanya validitas yang ketat terhadap data-data ilmu pengetahuan utamanya dalam beling mata ilmiah dan rasio. Untuk itu keterbatasan informasi riwayat yang hanya dipakai sebagai pengetahuan saja, tanpa ditarik maknanya lebih dalam dan juga kritis terhadap keasliannya tidak bisa lagi menjadi sandaran, hingga perlu adanya perkembangan metodologi tafsir untuk merespon itu semua, atau kini disebut dengan tafsir kontemporer.
Tafsir maqashidi merupakan salah satu dari respon fenomena keterbatasan tafsir bi al-Ma’tsur dalam membumikan makna al-Qur’an semoga lekat dengan kehidupan umat insan remaja ini. Perkembangan ini, sejalan dengan perkembangan yang terjadi pada ilmu ushul fikih utamanya pada kajian maqashid as-Syariah, sehingga tidak diragukan lagi, bahwa corak tafsir maqashidi sangat dipengaruhi oleh perkembangan kajian maqashid as-Syariah itu sendiri.
Seperti halnya perkembangan metodologi tafsir, kajian maqhasid as-Syariah juga muncul lantaran kajian ushul fiqh pada ketika itu sudah tidak memadai untuk menuntaskan permasalahan yang terus berkembang. Ushul fiqh klasik selalu berpusat pada dialektika aliran mutakallimin dan aliran fuqaha. aliran Mutakallimin memperlihatkan perhatian pada analisa-analisa kebahasaan dan analisa-analisa 'illah hukum.
Seperti halnya perkembangan metodologi tafsir, kajian maqhasid as-Syariah juga muncul lantaran kajian ushul fiqh pada ketika itu sudah tidak memadai untuk menuntaskan permasalahan yang terus berkembang. Ushul fiqh klasik selalu berpusat pada dialektika aliran mutakallimin dan aliran fuqaha. aliran Mutakallimin memperlihatkan perhatian pada analisa-analisa kebahasaan dan analisa-analisa 'illah hukum.
Analisa tersebut dilakukan untuk bisa membentuk kaidah yang baku dan terlepas dari ikatan dan efek mazhab tertentu, terlepas bisa tidaknya kaidah itu dipakai oleh tiap mazhab yang ada. Disamping itu juga, aliran ini menggunakan kajian yang bersifat esensial dan filosofis, sama dengan kajian yang dilakukan dalam ilmu kalam, oleh lantaran itu, aliran ini disebut aliran mutakallimīn[14] . sementara aliran fuqaha dalam membangun teori permintaan fikihnya banyak dipengaruhi oleh masalah-masalah furu' dalam mazhab mereka. artinya mereka tidak membangun suatu teori kecuali sehabis melaksanakan analisa terhadap masalah-masalah furu' yang ada dalam mazhab mereka, kemudian kemudian berusaha untuk menyesuaikan kaidah yang ada dengan dilema furu' semoga bisa diamalkan.
Jika kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan dilema furu' maka kaidah tersebut diubah semoga bisa sesuai dengan dilema furu'[15]. Meski selanjutnya muncul aliran gabungan, aliran yang mencoba menggambungkan dua teori dan metode aliran mutakallimin dan fuqaha, tetap kajian mereka masih sebatas kajian dalalah lafz ‘am, lafz mutlaq, dan muqayyad, mafhum mukhalafah, hadis mursal dan khabar ahad[16].
Dialektika klasik tersebut, kemudian digeser oleh as-Syatibi yang dianggap sebagai bapak maqashid as-Syariah. Dengan karyanya al-Muafaqat, dia tidak hanya menjabarkan defenisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi hingga pada kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam berpikir dengan dasar maqashid as-Syariah, Jasser Auda mengakui, bahwa dengan kemunculan as-Syatibi, maqashid yang dahulunya hanya sebatas konsep belaka, kini menjadi sebuah nilai kasatmata yang lebih aplikatif dan dinamis[17].
Dialektika klasik tersebut, kemudian digeser oleh as-Syatibi yang dianggap sebagai bapak maqashid as-Syariah. Dengan karyanya al-Muafaqat, dia tidak hanya menjabarkan defenisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi hingga pada kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam berpikir dengan dasar maqashid as-Syariah, Jasser Auda mengakui, bahwa dengan kemunculan as-Syatibi, maqashid yang dahulunya hanya sebatas konsep belaka, kini menjadi sebuah nilai kasatmata yang lebih aplikatif dan dinamis[17].
Selengkapnya ihwal Maqhosid As-syariah As-syatibi Bisa dibaca pada artikel Kitab Muwafakat Imam As-Syatibi
Pergeseran maqashid as-Syariah dari disiplin ilmu menjadi sebuah metodologi dalam memahami teks utamanya teks Al-Qur’an dan as-Sunnah banyak dilakukan oleh ulama-ulama pakar maqashid as-Syariah selanjutnya, atau yang lebih dikenal sebagai maqashidiyyun. Ulama-ulama maqhasid kontemporer ini pada umumnya yakni ulama maghribi, menyerupai Thaha bin Asyur dan imam ar-Raisuni dan alla al-Fasi.
Pergeseran maqashid as-Syariah dari disiplin ilmu menjadi sebuah metodologi dalam memahami teks utamanya teks Al-Qur’an dan as-Sunnah banyak dilakukan oleh ulama-ulama pakar maqashid as-Syariah selanjutnya, atau yang lebih dikenal sebagai maqashidiyyun. Ulama-ulama maqhasid kontemporer ini pada umumnya yakni ulama maghribi, menyerupai Thaha bin Asyur dan imam ar-Raisuni dan alla al-Fasi.
Dari ketiga tokoh tersebut, yang dianggap pilar sehabis as-Syatibi yakni Thaha bin Asyur lantaran beliau-lah yang menghidupkan kajian yang telah usang terhenti semenjak masa as-Syatibi. Sejak masa dia pula, mulai banyak bertebaran kajian-kajian maqashid as-Syari’ah yang lebih menekankan pada metodologi atau pendekatan konsep nilai.[18] Salah satu tafsir yang menggunakan corak maqashidi juga yakni tafsir yang dia karang dengan judul at-Thahir wa at-Tanwir, dan juga tafsir Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Arabi
Perkembangan maqashid sebagai pendekatan metodologis kemudian diminati oleh banyak pakar keislaman. menyerupai Qardhawi, Rasyid Ridha, Mahmud Syalthut dan lain sebagainya. Berbagai seminar dan kajian juga diselenggarakan di banyak sekali daerah, menyerupai seminar yang membahas ihwal bagaimana al-Qur’an dan al-Hadis bisa ditafsir ulang dengan menggunakan realitas kontemporer sebagai pertimbangan dan upaya mempromosikan tujuan syariat yang berpihak pada kedamaian, keadilan dan kemajuan umat Islam[19]. juga simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al-Qur’an” diadakan di Oujda Maroko pada pertengahan april 2007.
Perkembangan maqashid sebagai pendekatan metodologis kemudian diminati oleh banyak pakar keislaman. menyerupai Qardhawi, Rasyid Ridha, Mahmud Syalthut dan lain sebagainya. Berbagai seminar dan kajian juga diselenggarakan di banyak sekali daerah, menyerupai seminar yang membahas ihwal bagaimana al-Qur’an dan al-Hadis bisa ditafsir ulang dengan menggunakan realitas kontemporer sebagai pertimbangan dan upaya mempromosikan tujuan syariat yang berpihak pada kedamaian, keadilan dan kemajuan umat Islam[19]. juga simposium ilmiah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al-Qur’an” diadakan di Oujda Maroko pada pertengahan april 2007.
Kegiatan selama tiga hari ini dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqashidi. Dalam simposium ini disepakati bahwa metode tafsir ini mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, dan antropologi serta histori dalam kadar tertentu, para ulama maghrib Arabi yang membidani tafsir maqashidi ini juga setuju mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai wahyu ilahi yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya. Dengan demikian tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan perkembangan insan moderen.
Kajian terhadap tafsir maqashidi remaja ini juga sudah bergulir dalam disertasi doktoral Nuruddin Qirath. Juga Jelal al Merini dalam bukunya Dhawabith at-Tafsir al-Maqashidi li al Qur’an al karim. Dan Hasan Yasyfu dalam bukunya al-Murkazat al-Maqashidiyah fi at-Tafsir an Nash ad-Din[20]
C. Konsep dan Contoh Pengaplikasian Tafsir Maqashidi
1. Konsep Tafsir Maqashidi
Berdasarkan literatur-literatur yang penulis dapatkan, belum ada buku yang menyebutkan secara eksplisit bagaimana konsep dan kiat-kiat pendekatan tafsir maqashidi dalam menafsirkan suatu ayat. Namun dari bacaan tersebut, penulis menyimpulkan poin-poin pokok dari konsep tafsir maqashidi, sebagai berikut.
Pertama, bahwa dalam corak tafsir maqashidi, setiap penafsir yakin segala yang terkandung dalam al-Qur’an yakni mashlahat untuk insan di dunia dan akhirat. Tidaklah dikatakan kitabullah kalau al-Qur’an tidak mempunyai makna berupa nilai-nilai kehidupan yang sempurna.
C. Konsep dan Contoh Pengaplikasian Tafsir Maqashidi
1. Konsep Tafsir Maqashidi
Berdasarkan literatur-literatur yang penulis dapatkan, belum ada buku yang menyebutkan secara eksplisit bagaimana konsep dan kiat-kiat pendekatan tafsir maqashidi dalam menafsirkan suatu ayat. Namun dari bacaan tersebut, penulis menyimpulkan poin-poin pokok dari konsep tafsir maqashidi, sebagai berikut.
Pertama, bahwa dalam corak tafsir maqashidi, setiap penafsir yakin segala yang terkandung dalam al-Qur’an yakni mashlahat untuk insan di dunia dan akhirat. Tidaklah dikatakan kitabullah kalau al-Qur’an tidak mempunyai makna berupa nilai-nilai kehidupan yang sempurna.
Kesadaran terhadap itu mengharuskan tiap mufassir untuk mengungkapkan kembali makna-makna tersebut, semoga lebih aplikatif dan dinamis, semoga al-Qur’an tidak hanya melangit, tapi membumi bersama umat manusia. Dengan begitu barulah al-Qur’an bisa disebut petunjuk.
Qardhawi mengungkapkan bahwa Allah tidak butuh terhadap hamba-hambaNya. Ketika memerintah, melarang, menghalalkan, mengharamkan, dan membuat aturan bagi mereka, tidak akan merasakannya sedikit pun, baik manfaat maupun mudharat. Dia tidak butuh terhadap alam semesta.
Qardhawi mengungkapkan bahwa Allah tidak butuh terhadap hamba-hambaNya. Ketika memerintah, melarang, menghalalkan, mengharamkan, dan membuat aturan bagi mereka, tidak akan merasakannya sedikit pun, baik manfaat maupun mudharat. Dia tidak butuh terhadap alam semesta.
Ketika membuat aturan bagi manusia, ini berarti bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan dan kemashlahatan di dunia dan di akhirat. Dalam aturan tuhan selalu ada kemashlahatan di dunia dan di akhirat. Hal itu bisa diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.[21]
Senada dengan itu, Muhammad Chirzin juga mengungkapkan, sebagai kitab suci terakhir untuk seluruh insan hingga final zaman, al-Qur’an menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan maju. Ia mengandung ayat-ayat ke-alaman dan kemasyarakatan yang sanggup dijadikan pedoman, motivasi dan etika dalam rekayasa masyarakat dan rekayasa tekhnik.
Senada dengan itu, Muhammad Chirzin juga mengungkapkan, sebagai kitab suci terakhir untuk seluruh insan hingga final zaman, al-Qur’an menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan maju. Ia mengandung ayat-ayat ke-alaman dan kemasyarakatan yang sanggup dijadikan pedoman, motivasi dan etika dalam rekayasa masyarakat dan rekayasa tekhnik.
Rekayasa masyarakat yakni penciptaan tatanan masyarakat yang sesuai dengan kondisi objektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap berdiri sendiri pada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan al-Qur’an.
Substansi fatwa al-Qur’an tidak bermaksud membuat masyarakat yang seragam di seluruh belahan bumi sepanjang masa, tetapi memberian prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup dalam masyarakat, dan mewujudkan suasana tentram hidup di bawah Ridha Tuhan; baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur[22]
Dalam hal membumikan nilai-nilai al-Qur’an sebagai prinsip dan landasan aplikatif dalam berbuat, Quraish Shihab menekankan bahwa menjadi kewajiban umat Islam untuk membumikan al-Qur’an, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan.
Kita semua berkewajiban memelihara al-Qur’an dan salah satu bentuk pemeliharaannya yakni mengfungsikan dalam kehidupan kontemporer, yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat[23].
Kedua, corak tafsir maqashidi mencoba mengeluarkan makna teks dari sekat-sekat kata-katanya secara harfiah, dalam arti, melaksanakan penakwilan yang mendalam dan mencari maksud-maksud yang prinsip dari ayat-ayat tersebut.
Abdullah Darraz dalam an-Naba’ al-‘Azhim menyampaikan : “al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak tidak mungkin kalau anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.
Kedua, corak tafsir maqashidi mencoba mengeluarkan makna teks dari sekat-sekat kata-katanya secara harfiah, dalam arti, melaksanakan penakwilan yang mendalam dan mencari maksud-maksud yang prinsip dari ayat-ayat tersebut.
Abdullah Darraz dalam an-Naba’ al-‘Azhim menyampaikan : “al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak tidak mungkin kalau anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.
Begitu pula dengan apa yang dinyatakan oleh Muhammad Arkoun, bahwa al-Qur’an memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan klarifikasi pada tingkat wujud yakni mutlak. Dengan demikian, ayat selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah niscaya dan tertutup oleh interpretasi tunggal.[24]
Dengan begitu, tafsir maqashidi tidak pernah menghendaki para mufassir atau orang yang mencoba memahami al-Qur’an untuk terpaku pada satu nilai yang terkandung dalamnya. Lebih dari itu, metode ini mencoba untuk mencari titik pusat, nilai prinsipil yang menjadi landasan dasar dari ayat yang sedang dikaji tersebut.
Dengan begitu, tafsir maqashidi tidak pernah menghendaki para mufassir atau orang yang mencoba memahami al-Qur’an untuk terpaku pada satu nilai yang terkandung dalamnya. Lebih dari itu, metode ini mencoba untuk mencari titik pusat, nilai prinsipil yang menjadi landasan dasar dari ayat yang sedang dikaji tersebut.
Nilai-nilai prinsipil inilah yang disebutkan oleh qardhawi sebagai maksud-maksud pokok dari syariat. Qardhawi memperlihatkan defenisi bahwa “maksud-maksud dari syariat yang di dasari oleh dalil al-Qur’an dan Hadis” yakni tujuan yang menjadi teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah larangan, dan mubah.
Untuk individu, keluarga, jama’ah dan umat. Beliau menambahkan, “maksud-maksud” juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Baik yang diharuskan ataupun tidak[25].
Kemudian dia memberi perincian bahwa maksud-maksud disitu tidak serta merta merupakan illat yang disebutkan oleh para andal ushul fiqh dalam pecahan qiyas dan didefenisikan dengan “sifat sangat jelas, tetap dan sesuai dengan hukum”. Menurut beliau, meski illat bisa membantu untuk mengetahui maksud dari teks, tapi illat tidak serta menjadi tujuan teks tersebut.
Kemudian dia memberi perincian bahwa maksud-maksud disitu tidak serta merta merupakan illat yang disebutkan oleh para andal ushul fiqh dalam pecahan qiyas dan didefenisikan dengan “sifat sangat jelas, tetap dan sesuai dengan hukum”. Menurut beliau, meski illat bisa membantu untuk mengetahui maksud dari teks, tapi illat tidak serta menjadi tujuan teks tersebut.
Contohnya saja janji para ulama ushul fikih yang menyatakan bahwa, illat dari rukhshah bolehnya menjama shalat ataupun membatalkan puasa yakni safar, bukan kesusahan, lantaran kesusahan hanya menjadi pesan tersirat dibalik illat safar.
Jikalau kesusahan yang dijadikan sandaran hukum, maka akan didapati dua orang yang mempunyai pandangan berbeda; satu orang yang merasa kesusahan tinggi tapi lantaran perilaku wara’nya dia tidak mengambil rukhsah tersebut, satu lagi yang meski tidak merasa tidak terlalu kesusahan, dia tetap mengambil rukhsash lantaran safarnya.
Menurut Qardhawi, merupakan hal yang aneh atas pendalilan yang dilakukan oleh ulama ushul fikih dalam hal ini, lantaran ada ketidak konsistenan dalam perilaku para ulama tersebut; didapati para andal fikih tidak memasukkan pesan tersirat dalam berbuka shaum ketika safar, dan memasukkan illat, yaitu safar itu sendiri.
Menurut Qardhawi, merupakan hal yang aneh atas pendalilan yang dilakukan oleh ulama ushul fikih dalam hal ini, lantaran ada ketidak konsistenan dalam perilaku para ulama tersebut; didapati para andal fikih tidak memasukkan pesan tersirat dalam berbuka shaum ketika safar, dan memasukkan illat, yaitu safar itu sendiri.
Dalam hal lain justru tidak didapati pendapat mereka bahwa orang sakit bisa tidak puasa dengan sakit apapun, sebagaimana musafir yang berbuka dengan safar apa pun. Bahkan, dalam hal sakit, mereka justru memasukkan sakit parah yang akan bertambah parah atau sulit untuk sembuh apabila bershaum[26].
Maka sungguh sangat masuk akal bila Qardhawi lebih menentukan pesan tersirat yang terang dari suatu ayat untuk dijadikan sandaran hukum, lantaran di sisi lain, ternyata dia menyebut maksud-maksud syariat dengan pesan tersirat syariat atau tujuan luhur dibalik suatu teks atau hukum[27].
Maka sungguh sangat masuk akal bila Qardhawi lebih menentukan pesan tersirat yang terang dari suatu ayat untuk dijadikan sandaran hukum, lantaran di sisi lain, ternyata dia menyebut maksud-maksud syariat dengan pesan tersirat syariat atau tujuan luhur dibalik suatu teks atau hukum[27].
Masalah yang muncul yakni bagaimana kalau pesan tersirat dari ayat tertentu itu terselubung dan susah mendapatkannya, lantaran pada kenyataannya pesan tersirat yang bisa diambil dari satu kata dalam al-Qur’an saja sudah beraneka ragam. Hal ini juga ternyata sudah disadari oleh Qardhawi sehingga dia membuat langkah atau jalan dalam melihat maksud dari satu aturan yang tersebut dalam teks al-Qur’an dengan menyimpulkan konsep maqashid as-Syatibi:
1. meneliti setiap ‘illat teks al-Qur’an dan as-Sunnah, menyerupai pada surat al-Hasyr : 7”, maksud dari pembagian fai terhadap golongan-golongan lemah dan membutuhkan –sebagaimana dalam ayat tersebut- yakni semoga harta bisa dimanfaatkan lebih luas. Sehingga, orang-orang kaya tidak memonopoli harta tersebut dan menggunakannya di antara mereka saja.
1. meneliti setiap ‘illat teks al-Qur’an dan as-Sunnah, menyerupai pada surat al-Hasyr : 7”, maksud dari pembagian fai terhadap golongan-golongan lemah dan membutuhkan –sebagaimana dalam ayat tersebut- yakni semoga harta bisa dimanfaatkan lebih luas. Sehingga, orang-orang kaya tidak memonopoli harta tersebut dan menggunakannya di antara mereka saja.
Persis kezhaliman kapitalisme yang mempunyai keyakinan bahwa harta hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Maksud tadi sanggup ditarik dari aksara ta’lil “agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kau saja.
2. meneliti, mengikuti dan memikirkan hukum-hukum partikular. Untuk kemudian menyatukan antara satu aturan dengan aturan yag lain. Hal ini juga berlaku pada teks yang membahas tema yang berkaitan, semoga penelitian tadi bisa mendapatkan maksud-maksud umum yang menjadi maksud Allah dalam mebuat aturan atau mengakibatkan teks-teks tersebut[28].
Selain apa yang dirumuskan oleh Qardhawi, meski tidak mengungkapkan secara eksplisit, tapi berdasarkan penulis Qurasih Shihab juga memperlihatkan kiat metodologi yang cocok buat periode globalisasi dengan memperlihatkan pemahaman konsep yang lebih luas terhadap dua hal pokok dalam tafsir :
1. asbab An-Nuzul, berdasarkan dia bahwa asbab an-Nuzul niscaya meliputi perstiwa, pelaku dan waktu. Tidak mungkin akan bisa menggambarkan adanya suatu perstiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.
2. meneliti, mengikuti dan memikirkan hukum-hukum partikular. Untuk kemudian menyatukan antara satu aturan dengan aturan yag lain. Hal ini juga berlaku pada teks yang membahas tema yang berkaitan, semoga penelitian tadi bisa mendapatkan maksud-maksud umum yang menjadi maksud Allah dalam mebuat aturan atau mengakibatkan teks-teks tersebut[28].
Selain apa yang dirumuskan oleh Qardhawi, meski tidak mengungkapkan secara eksplisit, tapi berdasarkan penulis Qurasih Shihab juga memperlihatkan kiat metodologi yang cocok buat periode globalisasi dengan memperlihatkan pemahaman konsep yang lebih luas terhadap dua hal pokok dalam tafsir :
1. asbab An-Nuzul, berdasarkan dia bahwa asbab an-Nuzul niscaya meliputi perstiwa, pelaku dan waktu. Tidak mungkin akan bisa menggambarkan adanya suatu perstiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.
Beliau menyayangkan bahwa dalam hal ini seringkali aspek waktu diabaikan, padahal asbab an-Nuzul merupakan data yang membantu memahami dan mengetahu maksud suatu teks dengan cara mengqiyaskan peristiwanya dengan keadaan sekarang, sementara tanpa memperhatikan waktunya maka ia tidak relevan untuk dianalogikan (qiyas). Sebab sebagaimana yang telah disepakati bahwa ayat al-Qur’an tidak turun dalam masyarakat yang hampa budaya dan bahwa kenyatan adanya insiden yang “mendahului atau setidaknya bersamaan” dengan turunnya ayat.
Untuk itu, analogi yang dipakai hendaknya tidak terbataws oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-Mantiq, al-Shuriy) yang selama ini banyak dipengaruhi oleh para fuqaha. Tetapi analogi yang lebih lusa dari itu, yang meletakkan dipelupuk mata al-Masalih al-Mursalah dan yang mengantar kepada akomodasi pemahaman agama. Sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat.
Untuk itu, analogi yang dipakai hendaknya tidak terbataws oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-Mantiq, al-Shuriy) yang selama ini banyak dipengaruhi oleh para fuqaha. Tetapi analogi yang lebih lusa dari itu, yang meletakkan dipelupuk mata al-Masalih al-Mursalah dan yang mengantar kepada akomodasi pemahaman agama. Sebagaimana halnya pada masa Rasul dan para sahabat.
Pengertian asbab an-Nuzul dengan demikian sanggup diperluas sehingga meliputi kondisi sosial pada masa turunnya al-Qur’an dan pemahamannya pun sanggup dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan membuatkan pengertian qiyas[29]
2. ta’wil, pencarian makna yang mendalam dari suatu teks al-Qur’an yang tidak jarang sangat tersirat, apalagi mencari maksud dari ayat yang diliputi bermacam-macam pesan tersirat merupakan suatu hal yang tidak mungkin tanpa adanya ta’wil. Tidak diragukan lagi, bahwa al-Qur’an diturunkan untuk petani sederhana maupun andal metafisika.
2. ta’wil, pencarian makna yang mendalam dari suatu teks al-Qur’an yang tidak jarang sangat tersirat, apalagi mencari maksud dari ayat yang diliputi bermacam-macam pesan tersirat merupakan suatu hal yang tidak mungkin tanpa adanya ta’wil. Tidak diragukan lagi, bahwa al-Qur’an diturunkan untuk petani sederhana maupun andal metafisika.
Al-Quran mengandung banyak sekali tingkatan pengertian bagi semua jenis pembacanya. Adalah sia-sia untuk mengajukan kritik terhadap al-Qur’an lantaran kita tidak bisa mendapatkan deskripsi harfiah dalam al-Qur’an, ataupun lantaran kita tidak bisa memahami simbolisme yang terdapat dalamnya[30].
Dahulu, ketika tidak bisa memperlihatkan defenisi yang memuaskan atau yang sejalan dengan pemahaman perkembangan masyarakat, ulama cukup menyampaikan “Allahu a’lam bi muradihi”. Tetapi ini, tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi remaja ini. Karena itu, bertahap perilaku menyerupai itu berubah dan para mufassir karenanya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta’wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya[31]
Namun tentunya, takwil tidak sanggup dipakai tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. As-Syatibi mengemukakan ada dua syarat pokok bagi pen-ta’wil-an ayat-ayat al-Qur’an : pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang mempunyai otoritas. Kedua, arti kata yang dipilih dikenal oleh bahasa arab klasik.
Namun tentunya, takwil tidak sanggup dipakai tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. As-Syatibi mengemukakan ada dua syarat pokok bagi pen-ta’wil-an ayat-ayat al-Qur’an : pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang mempunyai otoritas. Kedua, arti kata yang dipilih dikenal oleh bahasa arab klasik.
Dalam syarat tersebut, terlihat bahwa popularitas kata tidak disinggung lagi, dan juga memperlihatkan kata-kata musyatarak yang mempunyai bermacam-macam makna, maka semua maknanya sanggup dipakai asal tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Tafsir Muhammad Abduh kemudian menambah syarat ta’wil dengan lebih mengedepankan akal. Hal ini terang terlihat salah satunya pada klarifikasi muridnya mengenai jin yang tidak lagi diartikan makhluk gaib, tapi juga kuman, melihat pengertian jin yang juga meliputi “sesuatu yang tertutup”.
Hal yang perlu digaris bawahi yakni tidaklah tepat men-ta’wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan budi dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip kaidah-kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri[32].
Ketiga, berdasarkan dua poin pokok tafsir maqashidi yang telah dipaparkan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa corak tafsir ini merupakan perkembangan dari corak tafsir sastra budaya kemasyarakatan, hal ini sanggup diketahui –sebagaimana yang diungkapkan oleh Qurasih Shihab- bahwa corak ini mencoba untuk menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang berkaitan pribadi dengan kehidupan masyarakat, serta menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkannya dengan bahasa yang gampang dipahami[33].
Hal yang perlu digaris bawahi yakni tidaklah tepat men-ta’wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan budi dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip kaidah-kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri[32].
Ketiga, berdasarkan dua poin pokok tafsir maqashidi yang telah dipaparkan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa corak tafsir ini merupakan perkembangan dari corak tafsir sastra budaya kemasyarakatan, hal ini sanggup diketahui –sebagaimana yang diungkapkan oleh Qurasih Shihab- bahwa corak ini mencoba untuk menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang berkaitan pribadi dengan kehidupan masyarakat, serta menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkannya dengan bahasa yang gampang dipahami[33].
Begitu juga dengan tafsir maqashidi ini, sesuai janji para ulama maqashid dalam symposium “metode alternative dalam penafisran al-qur’an” bahwa diharapkan corak tafsir maqashidi ini menjadi metode yang bisa mengakomodir permasalahan-permasalahan moderen, dengan menitik beratkan pada kemashalahatan manusia, menanggapi penyakit sosial dan memberi rumusan kebahagian secara menyeluruh.
Hal yang membedakannya ialah, tafsir corak maqashidi ini berangkat dari nilai-nilai prinsipil dan universal dalam al-Qur’an, tidak bergantung hanya pada dilema yang dihadapinya, Qardhawi sendiri membuat poin-poin mashlahat yang hendak dicapai oleh al-Qur’an, diantaranya : (a) memperbaiki kepercayaan ihwal konsep tuhan, agama dan balasan, (b) menegaskan kemuliaan dan hak-hak manusia, terutama orang-orang yang lemah, (c) mengajak semoga beribadah dan takwa kepada Allah, (d) menyucikan hati insan dan meluruskan akhlak, (e) membangun keluarga shaleh dan memperlihatkan keadilan kepada wanita, (f) membangun umat yang bersaksi bagi kemanusiaan, (g) mengajak kepada kemanusiaan yang penuh kerja sama[34].
Ketelitian makna yang hendak dicapai oleh corak ini juga menghendaki penggunaan ilmu dalam menunjang penyimpulan suatu makna yang menjadi nilai atau maksud satu ayat al-Qur’an. Seperti halnya konsep asbab an-Nuzul yang diperluas oleh Quraish Shihab, yang itu tentunya memerlukan ilmu sosiologi, dan antropologi. Sehingga masuk akal dalam symposium tersebut para ulama maghiribi menyutujui bahwa metode tafsir ini mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, dan antropologi serta histori dalam kadar tertentu.[35]
Berdasarkan tiga poin pokok yang dipaparkan, maka secara sederhana konsep tafsir maqasihidi dimulai dengan meyakini adanya nilai prinsip dalam al-Qur’an yang itu menghendaki kemashlatan umat, melebur nilai-nilai tersebut semoga bisa diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Ketelitian makna yang hendak dicapai oleh corak ini juga menghendaki penggunaan ilmu dalam menunjang penyimpulan suatu makna yang menjadi nilai atau maksud satu ayat al-Qur’an. Seperti halnya konsep asbab an-Nuzul yang diperluas oleh Quraish Shihab, yang itu tentunya memerlukan ilmu sosiologi, dan antropologi. Sehingga masuk akal dalam symposium tersebut para ulama maghiribi menyutujui bahwa metode tafsir ini mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, dan antropologi serta histori dalam kadar tertentu.[35]
Berdasarkan tiga poin pokok yang dipaparkan, maka secara sederhana konsep tafsir maqasihidi dimulai dengan meyakini adanya nilai prinsip dalam al-Qur’an yang itu menghendaki kemashlatan umat, melebur nilai-nilai tersebut semoga bisa diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itu perlu adanya penggalian makna untuk menghasilkan maksud dari teks secara tepat. Hal itu bisa dengan menggali illat-illat dalam teks tersebut yang akan mengantarkan pada maksudnya, atau mengumpulkan ayat-ayat secara partikural sehingga mendapatkan satu titik pusat dari dilema yang dikaji.
Selain itu juga memperhatikan asbab an-Nuzul tidak hanya insiden khusu tetapi juga melihat kondisi sosial secara luas dan memperluas pen-takwil-an tanpa berlebihan. Untuk mendukung hal itu, kajian-kajian ilmu yang mendukung sangat diharapkan sebagai alat yang tentunya dengan kadar tertentu.
2. Contoh Aplikasi Tafsir Maqasihidi
Pada pemaparan di atas, telah disinggung beberapa referensi secara sepintas. Pada pecahan ini hanya dipaparkan satu referensi dalam aplikasi corak tafsir maqashidi, yaitu pada tafsir ahkam al-Qur’an karangan ibn Al-Arabi. Pada Q.S. An-Nur : 4 Allah berfirman :
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kau terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Pada ayat ini, ibn Al-Arabi mengungkapkan bahwa terdapat enam belas kasus yang harus ditafsirkan salah satunya yakni mengenai tuduhan berzina. Para ulama setuju bahwa kalau tuduhan berzina itu diungkapkan secara eksplisit, maka eksekusi jatuh, namun kalau diungkapkan secara implicit atau dengan sindirian atau dengan ungkapan yang tidak jelas, dalam hal ini terjadi perbedaan ulama; ulama syafi’iyah dan hanafiyah tidak mengkatagorikannya sebagai qadzf sehingga tidak wajib dijatuhi hukuman, sedangkan ulama maliki tetap menyatakan qadzf.
2. Contoh Aplikasi Tafsir Maqasihidi
Pada pemaparan di atas, telah disinggung beberapa referensi secara sepintas. Pada pecahan ini hanya dipaparkan satu referensi dalam aplikasi corak tafsir maqashidi, yaitu pada tafsir ahkam al-Qur’an karangan ibn Al-Arabi. Pada Q.S. An-Nur : 4 Allah berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kau terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Pada ayat ini, ibn Al-Arabi mengungkapkan bahwa terdapat enam belas kasus yang harus ditafsirkan salah satunya yakni mengenai tuduhan berzina. Para ulama setuju bahwa kalau tuduhan berzina itu diungkapkan secara eksplisit, maka eksekusi jatuh, namun kalau diungkapkan secara implicit atau dengan sindirian atau dengan ungkapan yang tidak jelas, dalam hal ini terjadi perbedaan ulama; ulama syafi’iyah dan hanafiyah tidak mengkatagorikannya sebagai qadzf sehingga tidak wajib dijatuhi hukuman, sedangkan ulama maliki tetap menyatakan qadzf.
Ibn al-Arabi lebih menentukan pendapat maliki, lantaran menurutnya pendapat tersebut lebih akrab dengan maksud ayat yaitu tindak pidana dari pencemaran nama baik. Artinya baik secara sharih maupun tidak asal dampaknya yakni mencemarkan nama baik yang itu sama dampaknya dengan tuduhan berzina, maka aturan bisa ditegakkan atasnya[36].
Hal ini sejalan dengan salah satu nilai mashlahat yang terkandung dalam al-Qur’an, yaitu menjaga kehormatan menyerupai larangan menghina, gibah, fitnah dan dilema lainnya yang tercantum dalam al-Qur’an
Hal ini sejalan dengan salah satu nilai mashlahat yang terkandung dalam al-Qur’an, yaitu menjaga kehormatan menyerupai larangan menghina, gibah, fitnah dan dilema lainnya yang tercantum dalam al-Qur’an
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir maqashidi yakni corak klarifikasi dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan memperhatikan makna terdalam dari ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk hikmah, lantaran hukum, tujuan dan segala nilai yang bisa menjadi mashlahat insan dalam menjalani kehidupannya dan menuntaskan problem-problem di setiap masa.
Tafsir ini merupakan perkembangan tafsir bi al-Ra’yi utamanya pada corak sastra bahasa dan budaya masyarakat yang diusung oleh para ulama kontemporer menyerupai Muhammad Abduh. Tafsir ini sangat dipengaruhi oleh metodologi dan pendekatan Maqashid As-Syariah yang diusung oleh maqasidiyun masa kini menyerupai Thaha bin Asyur.
Secara sederhana konsep tafsir maqasihidi dimulai dengan meyakini adanya nilai prinsip dalam al-Qur’an yang itu menghendaki kemashlatan umat, melebur nilai-nilai tersebut semoga bisa diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu perlu adanya penggalian makna untuk menghasilkan maksud dari teks secara tepat. Hal itu bisa dengan menggali illat-illat dalam teks tersebut yang akan mengantarkan pada maksudnya, atau mengumpulkan ayat-ayat secara partikural sehingga mendapatkan satu titik pusat dari dilema yang dikaji.
Secara sederhana konsep tafsir maqasihidi dimulai dengan meyakini adanya nilai prinsip dalam al-Qur’an yang itu menghendaki kemashlatan umat, melebur nilai-nilai tersebut semoga bisa diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu perlu adanya penggalian makna untuk menghasilkan maksud dari teks secara tepat. Hal itu bisa dengan menggali illat-illat dalam teks tersebut yang akan mengantarkan pada maksudnya, atau mengumpulkan ayat-ayat secara partikural sehingga mendapatkan satu titik pusat dari dilema yang dikaji.
Selain itu juga memperhatikan asbab an-Nuzul tidak hanya insiden khusu tetapi juga melihat kondisi sosial secara luas dan memperluas pen-takwil-an tanpa berlebihan. Untuk mendukung hal itu, kajian-kajian ilmu yang mendukung sangat diharapkan sebagai alat yang tentunya dengan kadar tertentu. Contoh aplikasinya bisa ditemukan pada tafsir ahkam al-Qur’an Q.S. an-Nur : 4.
Daftar Pustaka
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 2013),
Daftar Pustaka
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 2013),
Kangwawan.blogspot.com diakses pada: jam 17:23, tanggal 28, maret, 2013
Kbbi.web.id, susukan pada jam 5:36, tanggal 07, april, 2013
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Indonesia : Pustaka Progressif, 1997
Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1990
Badr al-Din Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Burhan fî 'Ulum al-Qur`an, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1957
Abu H̱amid al-Ġazali, al-Mustasfā min 'Ilm al-Uṣūl Kairo: Syirkah at-Tibâ'ah al-Fatimiyyah al-Mutta̠hidah, 1971
Muḥammad at-Ṫāhir bin 'Āsyūr, Maqāṣid as-Syarī'ah al-Islāmiyyah, India; Dār an-Nafā'is, 2001
Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an, Yogyakarta : Pilar Media, 2007
Muh̠ammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, andal bahasa :Saefullah Ma'shum, Slamet Bashir, Mujid Rahmat, dkk, cet. Ke-15 Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut As-Syatibi, cet. Ke-1 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006
Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyāt dan Evolusi Maqāṣid as-Syarī'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 Yogyakarta, LKIS, 2010
Abu Bakar bin al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003
Catatan Kaki
[1] Abdul Mustaqim dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. ix
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 2013), hlm. 108
[3] Kangwawan.blogspot.com diakses pada: jam 17:23, tanggal 28, maret, 2013
[4] kbbi.web.id, susukan pada jam 5:36, tanggal 07, april, 2013
[5] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, ( Indonesia : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1054
[6] Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1990), juz ke-5, hlm. 5
[7] Badr al-Din Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Burhan fî 'Ulum al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1957), juz ke-1 hlm. 15.
[8] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, cet. Ke-4 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1123
[9] Abu H̱amid al-Ġazali, al-Mustasfā min 'Ilm al-Uṣūl (Kairo: Syirkah at-Tibâ'ah al-Fatimiyyah al-Mutta̠hidah, 1971), hlm. 310-311
[10] Muḥammad at-Ṫāhir bin 'Āsyūr, Maqāṣid as-Syarī'ah al-Islāmiyyah, (India; Dār an-Nafā'is, 2001), hlm.
[11] Hal ini akan dibuktikan lebih terang pada pecahan perkembangan tafsir maqashidi
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Indonesia : Pustaka Progressif, 1997
Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1990
Badr al-Din Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Burhan fî 'Ulum al-Qur`an, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1957
Abu H̱amid al-Ġazali, al-Mustasfā min 'Ilm al-Uṣūl Kairo: Syirkah at-Tibâ'ah al-Fatimiyyah al-Mutta̠hidah, 1971
Muḥammad at-Ṫāhir bin 'Āsyūr, Maqāṣid as-Syarī'ah al-Islāmiyyah, India; Dār an-Nafā'is, 2001
Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an, Yogyakarta : Pilar Media, 2007
Muh̠ammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, andal bahasa :Saefullah Ma'shum, Slamet Bashir, Mujid Rahmat, dkk, cet. Ke-15 Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut As-Syatibi, cet. Ke-1 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006
Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyāt dan Evolusi Maqāṣid as-Syarī'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 Yogyakarta, LKIS, 2010
Abu Bakar bin al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003
Catatan Kaki
[1] Abdul Mustaqim dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. ix
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 2013), hlm. 108
[3] Kangwawan.blogspot.com diakses pada: jam 17:23, tanggal 28, maret, 2013
[4] kbbi.web.id, susukan pada jam 5:36, tanggal 07, april, 2013
[5] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, ( Indonesia : Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1054
[6] Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1990), juz ke-5, hlm. 5
[7] Badr al-Din Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Bahadir al-Zarkasyi, al-Burhan fî 'Ulum al-Qur`an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1957), juz ke-1 hlm. 15.
[8] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, cet. Ke-4 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1123
[9] Abu H̱amid al-Ġazali, al-Mustasfā min 'Ilm al-Uṣūl (Kairo: Syirkah at-Tibâ'ah al-Fatimiyyah al-Mutta̠hidah, 1971), hlm. 310-311
[10] Muḥammad at-Ṫāhir bin 'Āsyūr, Maqāṣid as-Syarī'ah al-Islāmiyyah, (India; Dār an-Nafā'is, 2001), hlm.
[11] Hal ini akan dibuktikan lebih terang pada pecahan perkembangan tafsir maqashidi
[12] Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an, (Yogyakarta : Pilar Media, 2007). Hlm. 10-13
[13] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 128
[14] Muh̠ammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, andal bahasa :Saefullah Ma'shum, Slamet Bashir, Mujid Rahmat, dkk, cet. Ke-15 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hal. 18
[15] Ibid. hal 50
[16] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut As-Syatibi, cet. Ke-1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 52
[17] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyāt dan Evolusi Maqāṣid as-Syarī'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 (Yogyakarta, LKIS, 2010), hlm. 192
[18] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minorita…, hlm. 197
[19] Narasumber dari seminar ini yakni Imam Hassan Qaznawi, Muneer Fareed dan Ingrid Mattson. Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas…, hlm. 202
[20] Kangwawan.blogspot.com diakses pada: jam 17:23, tanggal 28, maret, 2013
[21] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.6
[13] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 128
[14] Muh̠ammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, andal bahasa :Saefullah Ma'shum, Slamet Bashir, Mujid Rahmat, dkk, cet. Ke-15 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hal. 18
[15] Ibid. hal 50
[16] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut As-Syatibi, cet. Ke-1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 52
[17] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas; Fiqh al-Aqaliyyāt dan Evolusi Maqāṣid as-Syarī'ah dari konsep ke pendekatan, cet. Ke-1 (Yogyakarta, LKIS, 2010), hlm. 192
[18] Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minorita…, hlm. 197
[19] Narasumber dari seminar ini yakni Imam Hassan Qaznawi, Muneer Fareed dan Ingrid Mattson. Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas…, hlm. 202
[20] Kangwawan.blogspot.com diakses pada: jam 17:23, tanggal 28, maret, 2013
[21] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.6
[22] Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an…, hlm. 34
[23] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 134
[24] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 107
[25] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.18
[23] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 134
[24] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 107
[25] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.18
[26] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.19
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm. 24
[29] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 136
[30] Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an…, hlm. 27
[31] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 137
[32] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 138
[33] Hal ini sanggup dilihat pada halaman 1, dalam latar belakang
[34] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.25
[28] Ibid, hlm. 24
[29] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 136
[30] Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an…, hlm. 27
[31] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 137
[32] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…, hlm. 138
[33] Hal ini sanggup dilihat pada halaman 1, dalam latar belakang
[34] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.25
[35] kangwawan.blogspot.com diakses pada: jam 17:23, tanggal 28, maret, 2013
[36] Abu Bakar bin al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz ke-3, hlm. 342
[36] Abu Bakar bin al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz ke-3, hlm. 342
Buat lebih berguna, kongsi: