Dalil Al-Qur'an Fatwa Al-Usaimin Perihal Jilbab Perempuan Muslimah



1) Dalil pertama, al-Qur'ān Surat al-Nūr (24): 31

وقل للمؤمنت يغضضن من ﺃ بصرهنﱠ و َيحفَظْنَ فروجَهُنﱠ ولا يبدين زينتهنﱠ ﺇلا ماظهرمنها وليضربن بخمرهنﱠ على جيوبهنﱠ ولا يبدين زينتهنﱠ ﺇلا لبعولتهنﱠ ﺃو ءابائهنﱠ ﺃو ءاباء بعولتهنﱠ ﺃو ﺃبنائهنﱠ ﺃو ﺃبناء بعولتهنﱠ ﺃو ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺇخونهنﱠ ﺃو بنى ﺃخوتهنﱠ ﺃو نسآئهنﱠ ﺃو ما ملكت ﺃيمنهنﱠ ﺃو التبعين غير ﺃولى اﻹربة من الرجال ﺃوالطفل الذين لم يظهروا على عورت النسآء ولا يضربن ﺒﺄرجلهنﱠ ليعلم ما يُخفين من زينتهنﱠ وتوبوا ﺇلى الله جميعا ﺃيها المؤمنون لعلكم تفلحون (النور: 31) 

Menurut al-'Usaimīn, ayat di atas merupakan perintah bagi perempuan mukminah uantuk menahan pandangan dan menjaga kemaluannya serta tidak menampakkan perhiasannya kecuali kepada orang-orang yang telah dikecualikan Allah Ta'āla dalam ayat di atas. Dan bagi al-'Usaimīn, ada sebuah kaidah yang selalu dipegang olehnya yakni "hukum wasīlah (cara) sama dengan aturan tujuan (maqāşid)". Sehingga dari ayat diatas al-'Usaimīn mengambil sebuah analogi bahwa bila Allah Ta'āla  memerintahkan para perempuan mukminah untuk menjaga kemaluannya maka tentunya perintah tersebut juga mengandung makna bahwa para perempuan mukminah juga diperintahkan untuk menjaga hal-hal yang mengarah padanya.

Dalam pandangan al-'Usaimīn, menutup wajah termasuk perintah yang merujuk pada menjaga kemaluan, sedangkan membuka wajah berarti membiarkannya untuk dilihat dan dinikmati orang yang selanjutnya mengarah pada perzinaan. sebagaimana sabda Nabi saw: العينان تزنيان وزناهما النظر    (kedua mata berzina dan zinanya yaitu melihat).[4] Dengan demikian bila menutup wajah merupakan wasilah menjaga kemaluan maka hukumnya sama dengan menjaga kemaluan itu sendiri yakni wajib -karena asal dari sebuah perintah yaitu menawarkan wajib (اﻷصل فى اﻷمر للوجوب) 

Tentang kalimat: واليضربن بخمرهن على جيوبهن   dalam ayat di atas mengindikasikan bersama-sama perempuan diperintahkan untuk menutupkan kerudung (khimār) hingga ke dadanya. Adapun al-Khimār (الخمار) menurut al-'Usaimīn yaitu sesuatu yang digunakan perempuan untuk menutupi kepalanya.[5] Karena perempuan diperintah untuk menutupkan kerudung (khimār) sampai ke dada, tentunya perempuan juga diperintahkan untuk menutup wajahnya. Menurut al-'Usaimīn, bila menutup pecahan atas dada dan dada itu sendiri wajib, tentunya wajah yaitu pecahan yang lebih membutuhkan untuk ditutupi lantaran ia merupakan sumber kecantikan dan fitnah. 

Bagi al-'Usaimīn, meskipun ukuran kecantikan yaitu sesuatu yang bersifat relatif -artinya bahwa ukuran kecantikan tersebut berbeda bagi masing-masing individu- namun sudah menjadi sesuatu yang umum bahwa orang tidak akan menilai seorang perempuan itu manis kecuali melalui wajah. Sehingga bila dikatakan "fulānah cantik" maka tidak ada yang sanggup dipahami dari perkataan tersebut kecuali manis wajahnya (baca: cantik dalam pandangan al-Qur'an dan Hadis). 

Jika fakta menawarkan demikian, maka bagaimana mungkin syari'at Islam memerintahkan untuk menutup dada dan pecahan atasnya kemudian membolehkan untuk membuka wajah. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak mungkin dalam syari'at Islam berdasarkan al-'Usaimīn. 

Al-Qur'ān Surat al-Nūr (24): 31 di atas juga menawarkan bahwa Allah melarang menampakkan pelengkap secara mutlak kecuali yang biasa tampak yakni pelengkap yang tidak sanggup disembunyikan, menyerupai baju pecahan luar.[6] Sehingga dalam firman-Nya Allah mengatakan "ﺇلا ما ظهر منها" (kecuali yuang biasa tampak) dan tidak mengatakan "ﺇلا ما ﺃظهرن منها" (kecuali yang mereka tampakkan). Kemudian Allah Ta'āla juga melarang menampakkan pelengkap tersebut kecuali pada orang-orang tertentu saja. Hal ini membuktikan bahwa pelengkap (yang biasa tampak) tersebut yaitu pelengkap luar yang tampak pada setiap orang dan tidak mungkin untuk menyembunyikannya; lantaran pelengkap berdasarkan al-'Usaimīn ada dua macam yakni pelengkap luar (الزينة الظاهرة) dan pelengkap dalam (الزينة الباطنة). 
Allah membolehkan untuk menampakkan pelengkap dalam kepada pembantunya (laki-laki) yang sudah tidak mempunyai syahwat terhadap perempuan dan kepada anak kecil yang belum mempunyai syahwat dan belum mengerti perihal aurat wanita. Ini menawarkan dua hal: yang pertama, bersama-sama menampakkan pelengkap dalam kepada seseorang yang bukan mahramnya tidaklah dihalalkan kecuali kepada dua orang yang disebutkan dalam ayat diatas. Yang kedua, bahwasanya illat hukumnya yaitu lantaran takut akan terjadinya fitnah terhadap wanita, dan tidak diragukan lagi bersama-sama wajah merupakan sumber keindahan dan daerah terjadinya fitnah. 

ولا يضربن ﺑﺄرجلهن ليعلم ما يُخفين من زينتهنﱠ

Maksud dari penggalan ayat ini yaitu larangan bagi seorang perempuan memukul-mukulkan kakinya, yang dengannya orang sanggup melihat apa yang tersembunyi darinya menyerupai gelang kaki dan yang semisalnya yang digunakan untuk menghias kaki. Jika seorang perempuan tidak boleh memukul-mukulkan kakinya lantaran takut terjadinya fitnah yang muncul dari bunyi yang dihasilkannya, maka berdasarkan al-'Usaimīn membuka wajah tentu lebih berhak untuk dilarang.

2) Dalil kedua, al-Qur'ān surat al-Nūr (24): 60

والقوعد من النسآء التى لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح ﺃن يضعن ثيابهن غير متبرجت بزينة وﺃن يستعففن خيرلهن والله سميع عليم

Dan perempuan-perempuan bau tanah yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah (lagi), tiadalah atas mereka dosa menaggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan yaitu lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
 
 ayat di atas merupakan perintah bagi perempuan mukminah uantuk menahan pandangan dan menjaga Dalil al-Qur'an Pemikiran al-Usaimin perihal Jilbab Wanita Muslimah
Google.com
Menurut pemahaman al-'Usaimīn, ayat di atas menawarkan bahwa Allah meniadakan dosa dari perempuan bau tanah yang sudah tidak mempunyai hasrat (menikah) untuk "menanggalkan pakaiannya" dimana pria sudah tidak mungkin menginginkannya disebabkan usianya yang telah tua. Peniadaan dosa ini (yakni bila mereka menanggalkan pakaiannya) diiringi syarat tidak dimaksudkan untuk menampakkan perhiaasan.
Adapun maksud dari pakaian yang ditanggalkan yaitu pakaian yang melebihi pakaian yang biasa dikenakan di rumah yang biasanya tidak menutupi pecahan badan yang biasa tampak menyerupai wajah dan telapak tangan.[7] Pengkhususan aturan terhadap para perempuan bau tanah ini merupakan dalil bahwa para gadis yang masih mempunyai hasrat untuk menikah maka hukumnya berlawanan dengan mereka. Karena bila aturan tersebut meliputi semuanya dalam hal kebolehan menanggalkan pakaian dan mengenakan pakaian rumah atau semisalnya, pasti pengkhususan (bagi perempuan tua) tersebut tidaklah berguna.

Artikel ini terbagi atas 4 bagian. kesemunya merupakan pendapat al-Usaimin silahkan di klik untuk membaca yang lainnya:

Dalil al-Sunnah fatwa al-Usaimin perihal jilbab perempuan muslimah
Dalil Qiyas fatwa al-Usaimin perihal jilbab perempuan muslimah
Bantahan terhadap yg membolehkan membuka wajah/jilbab perempuan muslimah

Kalimat غيرَ متبرجت بزينة menjadi dalil lain yang menawarkan wajibnya berhijab bagi wanita yang masih berkeinginan untuk menikah. Karena pada umumnya, bila seorang perempuan menampakkan wajahnya ia bermaksud menampakkan pelengkap dan kecantikannya. Amatlah jarang yang tidak dimaksudkan untuk hal ini, sedangkan sesuatu yang jarang berdasarkan al-'Usaimīn tidak sanggup dihukumi.[8]

3) Dalil ketiga, al-Qur'ān Surat al-Ahzāb (33): 59
يايها النبى قل ﻷزوجك وبناتك ونسآء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن ذلك ﺃدنى ﺃن
 يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما
 
Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, bawah umur perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh badan mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih gampang untuk dikenal, lantaran itu mereka tidak diganggu. Dan Allah yaitu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ibnu Abbās ra menyampaikan sebagaimana dikutip al-'Usaimīn, bahwa Allah memerintahkan istri-istri orang mukmin yakni bila mereka keluar rumah lantaran suatu keperluan biar menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab dan hanya menampakkan satu matanya saja untuk keperluan melihat jalan.[9] 

Penafsiran Ibnu Abbās ra ini digunakan al-'Usaimīn sebagai hujjah akan wajibnya menutup wajah, lantaran ada suatu kaidah yang menyatakan bahwa tafsiran sobat yaitu hujjah. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa penafsiran sobat masuk ke dalam hukum marfu' kepada Nabi saw. Pada zaman dahulu, diceritakan oleh Ummu Salamah bahwa istri-istri orang Anşar bila keluar rumah seakan-akan di kepala mereka ada burung gagak lantaran ketenangan menyertai dirinya dan mereka mengenakan pakaian hitam. Hal senada juga diceritakan oleh Abū Ubaidah al-Salmāni bahwa istri-istri orang mukmin mengulurkan jilbabnya dari atas kepala mereka sampai tidak tampak anggota badan mereka kecuali mata mereka untuk keperluan melihat jalan.

4) Dalil keempat, al-Qur'ān Surat al-Ahzāb (33): 55

لاجناح عليهن في ءابائهن ولا ﺃبنائهن ولا ﺇخونهن ولا ﺃبناء ﺇخونهن ولا ﺃبناء ﺃخوتهن ولا نسائهن ولا ما ملكت ﺃيمنهن واتقين الله ﺇن الله كان على كل شىء شهيدا
 
Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, bawah umur pria mereka, saudara pria mereka, anak pria dari saudara pria mereka, anak pria dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kau wahai isteri-isteri Nabi kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Menurut Ibnu Kasīr, dikala Allah memerintahkan kaum  perempuan untuk berhijab dari pria asing, maka Dia menjelaskan bahwa tidak wajib berhijab terhadap kerabat (yang tertera dalam ayat di atas) sebagaimana juga dikecualikan dalam Surat al-Nūr (24): 31.
Inilah empat ayat dari al-Qur'ān yang berdasarkan al-'Usaimīn merupakan dalil atas wajibnya seorang perempuan untuk berhijab dari pria asing. Kata hijab ini pun mempunyai derivasi makna yang berbeda-beda yang telah kami rinci dalam goresan pena derivasi makna hijab dalam al-Qur'an dan Hadis.

Daftar Rujukan
 
Muhammad bin Şālih al-'Usaimīn, Hukum Cadar, terj. Abu Idris 2001. Solo: at-Tibyan.
Riwayat tersebut tidak şahīh dari Ibnu Abbās, lantaran di dalamnya terdapat periwayat yang daīf. Lihat Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy, Jilbāb al-Ma'ah al-Muslimah…, hlm. 88.

 
Buat lebih berguna, kongsi:

Trending Kini: