Hukum Memakan Keledai dalam Islam: Penjelasan Terhadap Hadis Larangan Memakan Keledai
Oleh: Syihab. M
Ketetapan aturan islam yang bersumber dari teks-teks syar’i (baca: al Qur’an dan Hadits) pada masa kontemporer seharusnya tidak lagi sanggup dikonsumsi begitu saja (taken for granted). Sebagian dari para intelektual muslim berupaya untuk melaksanakan pengkajian ulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks (nash) keagamaan dengan sumbangan beberapa ilmu serta pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan dan dibutuhkan bisa mengungkap maksud yang bekerjsama dari sebuah teks.
Pemaknaan literal yang diambil dari sebuah teks agama ternyata sangat menyesakkan dada para ummat tanpa melihat makna bekerjsama serta kondisi sosio-historis pada ketika teks tersebut diucapkan.
Beberapa nash al qur’an dan hadits apabila dipahami secara literal an sich, akan membuat galau apalagi untuk meng-kontekstualisasi-kannya dengan zaman sekarang. Sebagai teladan sebuah hadits nabi mengenai larangan memakan keledai. Jika kita memahami hadits tersebut dari makna literalnya saja tanpa melihat konteks yang melingkupi teks, maka akan tejadi misinterpretation terhadap sabda nabi tersebut.
Beberapa pertanyaan akan muncul di benak kita. Kenapa nabi melarang memakan keledai kampung? Apakah ada zat yang dikandung oleh keledai sebagaimana yang dikandung babi dan binatang sejenisnya sehingga nabi melarang kita memakannya? Bagaimana kondisi sosio-antropologis-historis pada ketika itu - hingga pada alhasil kita akan bertanya, apakah hadits tersebut masih relevan untuk zaman sekarang?
Beberapa ulama’ telah mengomentari hadits tersebut dan sebagian besar menyepakati akan haramnya memakan keledai.
Sekilas ihwal keledai (himar)
Keledai atau masyarakat arab menyebutnya himar, merupakan salah satu binatang selain unta yang banyak dipakai jasanya oleh masyarakat arab pada waktu itu khususnya bagi para pedagang yang menggunakannya untuk membawa dagangan mereka. Suku Badu’i yang daerah tinggalnya berpindah-pindah daerah (nomaden) juga sangat dekat dengan binatang ini alasannya yaitu mengantarkan mereka ke daerah pindah mereka yang baru.
Selain dari fungsi di atas, kulit keledai dan binatang lainnya juga diambil sebagai materi pakaian dan keledai pun dijadikan sebagai sebagai perhiasan. Hal ini bisa dilihat di dalam aneka macam perayaan komitmen nikah serta upacara-upacara kebesaran menyerupai di negeri barat, India serta binatang kesayangan para raja-raja dahulu. Kenyataan ini sebagaimana difirmankan oleh Allah swt di dalam surah an Nahl ayat 8:
Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, biar kau menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah membuat apa yang kau tidak mengetahuinya.
Di dalam masyarakat jahiliyah pun hingga datangnya islam mereka masih memakan daging keledai. Dan hal tersebut dilakukan sebelum adanya larangan dari Rasulullah saw.
Keledai/ Wikipedia.org |
Keledai sebagai Symbol
Sejak jaman primitif, benda-benda yang ada di sekitar insan tinggal seringkali dijadikan sebagai oleh mereka sebagai sebuah symbol ataupun atau ungkapan sebagai alat komunikasi. Symbol tersebut bisa sebagai pertanda/isyarat baik maupun jelek dan terkadang ini dihubungkan dengan mitos-mitos tertentu.
Misalnya bunga yang dipakai untuk symbol ungkapan kasih sayang, api atau sesuatu yang berwarna merah membuktikan berani, air sebagai symbol sumber kehidupan dan lain sebagainya. Hingga ketika inipun masih banyak orang yang memakai segala yang ada di sekitarnya sebagai suatu symbol dan sebagai ungkapan.
Keledai semenjak dulu dipakai sebagai symbol yang mempunyai makna tertentu. Namun, sebagian besar symbol tersebut mempunyai makna yang negatif. Beberapa diantaranya, orang yang bodoh, orang yang suka menuruti kemauan orang lain tanpa mau melawan, disimbolkan dengan binatang keledai. Orang yang bahagia berbohong juga disimbolkan dengan binatang ini[1]. Bahkan di salah satu hadits beliau, menyebutkan keledai sebagai terputusnya shalat[2]. Hadits tersebut adalah:
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ[3]
"Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Shalat itu terputus oleh wanita, keledai, dan anjing. Dan tinggallah hal itu menyerupai seukuran ekor kendaraan."
Hadits Larangan Memakan Keledai Kampung
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَرَخَّصَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[4]
Setelah melaksanakan proses takhrij terhadap hadits di atas, ditemui beberapa hadis yang senada dengan hadits tersebut dan tersebar hampir di seluruh kutub al tis’ah. Beberapa teks hadits yang senada yang mewakili tiap-tiap kitab yaitu sebagai berikut:
1. H.R. Muslim, Shahih Muslim, No. 2513:
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ لِابْنِ عَبَّاسٍ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ[5]
2. H.R. At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, No. 1715:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ وَرَوَاهُ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرٍ وَرِوَايَةُ ابْنِ عُيَيْنَةَ أَصَحُّ قَالَ و سَمِعْت مُحَمَّدًا يَقُولُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ أَحْفَظُ مِنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ[6]
3. H.R. An Nasa’i, Sunan An Nasa’i, No. 4253:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو وَهُوَ ابْنُ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى وَذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَأَذِنَ فِي الْخَيْلِ[7]
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَأَذِنَ لَنَا فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[8]
5. H.R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah No. 3182:
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرَ الْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ[9]
6. H.R. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal No. 13928: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرَ الْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ[10]
أَخْبَرَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[11]
Penyebab dilarangnya Keledai
1. Analisis Historis
Dari beberapa hadits yang dijumpai dalam duduk perkara ini, sebagian telah menyebutkan bahwa larangan ini terjadi di ketika perang Khaibar. Ketika itu para sobat menyembelih binatang kuda, bighal dan himar. Dan pada ketika yang sama tiba seorang utusan Rsaulullah saw yang memberitahukan bahwa Rasulullah saw melarang memakan daging himar (keledai) dan membolehkan memamakan daging kuda.
Di riwayat lain menyebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw ditanya mengenai aturan memakan keledai. Setelah itu Rasulullah saw memerintahkan seorang penyeru dia untuk memberikan kepada masyarakat bahwa sesungguhnya Allah swt dan Rasul-Nya melarang memakan keledai alasannya yaitu sesungguhnya ia yaitu najis[12].
2. Analisis Ensiklopedis
Beberapa ulama’ telah menawarkan komentarnya terhadap hadits mengenai larangan memakan keledai kampung tersebut. Beberapa ulama memandangnya haram dan sebagian beropini makruh.
Kalau kita melihat hadits tersebut, di dalamnya terdapat dua binatang yang hampir sama namun, dihukumi berbeda. Hewan pertama yakni keledai. Sebagian hadits mempunyai redaksi matan yang berbunyi himar ahliyyah (keledai kampung atau jinak). Hewan ini di dalam hadits tersebut diharamkan oleh Rasulullah saw untuk dimakan.
Di dalam kitab Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani, diharamkannya keledai jinak (himar ahliyyah). Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama sesudah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan terang menyerupai di atas. Adapun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama.[13]
Beberapa sobat dan tabi’in yang setuju akan haramnya memakan keledai kampung diantaranya: Ali, Ibnu Umar Jabi Ibnu Abdillah Inu Abi Aufa dan Bara’, Abi Tsa’labah dan lain-lain.
Sedangkan binatang yang kedua yakni kuda. Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan secara umum dikuasai ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan terang di atas.
Adapun Ibnu ’Abbas beropini bahwa aturan memakan keledai kampung yaitu makruh sehingga tidak haram atau hingga pada tingkatan tersebut. Pendapat ini disandarkan pada firman Allah swt di dalam surah al An’am ayat 145:
Katakanlah: "Tiadalah saya peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali bila makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - alasannya yaitu Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Beberapa sobat dan tabi’in yang setuju akan haramnya memakan keledai kampung diantaranya: Ali, Ibnu Umar Jabi Ibnu Abdillah Inu Abi Aufa dan Bara’, Abi Tsa’labah dan lain-lain.
Sedangkan binatang yang kedua yakni kuda. Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan secara umum dikuasai ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan terang di atas.
Adapun Ibnu ’Abbas beropini bahwa aturan memakan keledai kampung yaitu makruh sehingga tidak haram atau hingga pada tingkatan tersebut. Pendapat ini disandarkan pada firman Allah swt di dalam surah al An’am ayat 145:
Katakanlah: "Tiadalah saya peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali bila makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - alasannya yaitu Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Dari ayat tersebut Menurut mazhab Ibnu Abbas: “Bahwasanya tidak diharamkan melainkan empat perkara yang telah disebutkan di dalam al-Quran.” Beliau memandang keumuman ayat tersebut atas hadits keharaman keledai kampung. Mazhab Ibnu Abbas ini telah diikut oleh mazhab Imam Malik.[14]
Adanya najis yang ada pada keledai sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut menetapkan bahwa hukumnya haram. Hal ini disepakati dengan dasar bahwa setiap najis yaitu haram dan bukan sebaliknya.[15] Dan yang demikian diperkuat pula oleh salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
Hadits di atas diperkuat oleh firman Allah swt dalam surah al Maidah ayat 90:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah yaitu termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu biar kau menerima keberuntungan.
Adapun yang dimaksudkan najis yang menempel pada keledai dikarenakan binatang tersebut memakan kotoran insan dan ini yaitu merupakan illat diharamkannya keledai.[16] Sedangkan beberapa pendapat yang bisa dikatakan masuk nalar yakni alasannya yaitu keledai merupakan kendaraan yang dipakai oleh masyarakat sehingga bantuannya sangat dibutuhkan. Namun, lagi-lagi pendapat ini dibantah lagi[17].
Beberapa pendapat di atas merupakan representasi dari aneka macam pendapat yang ada mengenai keharaman keledai kampung. Mungkin masih banyak lagi pendapat yang ada dari beberapa pakar lain berbeda mengenai hadits tersebut.
Penutup
Dari klarifikasi di atas beberapa hal yang bisa ditarik dari sabda Rasulullah saw melarang ummatnya untuk memakan keledai kampung. Para ulama berbeda pendapat mengenai larangan Rasulullah saw. Sebagian menyampaikan larangan tersebut bukan berarti haram akan tetapi hanya makruh saja.
Dari ayat tersebut Menurut mazhab Ibnu Abbas: “Bahwasanya tidak diharamkan melainkan empat perkara yang telah disebutkan di dalam al-Quran.” Beliau memandang keumuman ayat tersebut atas hadits keharaman keledai kampung. Mazhab Ibnu Abbas ini telah diikut oleh mazhab Imam Malik.[14]
Adanya najis yang ada pada keledai sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut menetapkan bahwa hukumnya haram. Hal ini disepakati dengan dasar bahwa setiap najis yaitu haram dan bukan sebaliknya.[15] Dan yang demikian diperkuat pula oleh salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
لَمَّا افْتَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَصَبْنَا حُمُرًا خَارِجَةً مِنْ الْقَرْيَةِ فَنَحَرْنَا وَطَبَخْنَا مِنْهَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْهَا وَإِنَّهَا رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ.
Hadits di atas diperkuat oleh firman Allah swt dalam surah al Maidah ayat 90:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah yaitu termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu biar kau menerima keberuntungan.
Adapun yang dimaksudkan najis yang menempel pada keledai dikarenakan binatang tersebut memakan kotoran insan dan ini yaitu merupakan illat diharamkannya keledai.[16] Sedangkan beberapa pendapat yang bisa dikatakan masuk nalar yakni alasannya yaitu keledai merupakan kendaraan yang dipakai oleh masyarakat sehingga bantuannya sangat dibutuhkan. Namun, lagi-lagi pendapat ini dibantah lagi[17].
Beberapa pendapat di atas merupakan representasi dari aneka macam pendapat yang ada mengenai keharaman keledai kampung. Mungkin masih banyak lagi pendapat yang ada dari beberapa pakar lain berbeda mengenai hadits tersebut.
Penutup
Dari klarifikasi di atas beberapa hal yang bisa ditarik dari sabda Rasulullah saw melarang ummatnya untuk memakan keledai kampung. Para ulama berbeda pendapat mengenai larangan Rasulullah saw. Sebagian menyampaikan larangan tersebut bukan berarti haram akan tetapi hanya makruh saja.
Hewan yang haram dimakan yang disebutkan di dalam al Qur’an hanya ada empat dan tidak ada daerah bagi keledai. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas dan diikuti oleh mazhab imam Malik.
Sebagian yang lainnya menyampaikan larangan tersebut memperlihatkan haram alasannya yaitu termasuk binatang yang najis (memakan kotoran manusia). Sedangkan najis (dalam mazhab syafi’iyah) hukumnya haram dan termasuk perbuatan syaithan. Pendapat ini dipegang oleh Ali, Ibnu Umar Jabir Ibnu Abdillah Inu Abi Aufa dan Bara’, Abi Tsa’labah dan lain-lain dan diikuti oleh Mazahb Syafi’i.
Baca Juga: Hukum Semir Rambut Hitam dalam Ajaran Islam
DAFTAR PUSTAKA
CD Mausu’ah al Hadis al Syarif. Shahih al Bukhari. Global Islamic Software, 1991-1997
_____________, Shahih Muslim. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan at Tirmidzi. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan an Nasa’i. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan Abu Daud. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan Ibnu Majah. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Musnad Ahmad bin Hambal. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan ad Darimi. Global Islamic Software, 1991-1997.
www.almanhaj.or.id, diposting tanggal 10 April 2009
www.DarulKautsar.com, diposting tanggal 10 April 2009
Ash Shan’ani, Muhammad bin Isma’il al Kahlani. Subulussalam. Juz I. Semarang: Toha Putra, tt.
CD Al Maktabah al Syamilah. Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy. Fathul Bari. Juz 9
Catatan Kaki
[1] Hal tersebut sesuai dengan apa yang diceritakan Rasulullah ketika dia diangkat ke langit, dia melihat perempuan yang berkepala babi dan bertubuh keledai. Adapun perempuan yang berkepala babi dan berbadan keledai alasannya yaitu dia yaitu mahir memecah-belah dan pembohong.
[2] Sebagian ulama’ menyampaikan batalnya shalat dan sebagian yang menyampaikan terputus atau tidak sempurna. Namun, penulis lebih setuju dengan makna terputus atau tidak sempurna.
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al shalat, Bab Qadaru ma yastu al mushalli, No. 790, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[4] Imam Bukhari, Shahih al Bukhari, Kitab adz dzabaih wa al shayd, Bab Luhum al Humur wa al Insiyah, No. 5099. Lihat juga Shahih al Bukhari No. 5096, 3897; Shahih Muslim No. 2513, 3595, 3596; Sunan at Tirmidzi No. 1715; Sunan an Nasa’I No. 4253, 4254, 4255, 4268; Sunan Abu Daud No. 3294, 3295, 3314; Sunan Ibnu Majah No. 3182 dan 3188; Musnad Ahmad bin Hambal No. 13928, 13939, 14311, 14361, 14373, 14603, dan Sunan ad Darimi No. 1909, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif. Dan masih banyak lagi hadits dari riwayat lain mengenai hadits ini.
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al Nikah, Bab Nikah al Mut’ah, No. 2513, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[6] Imam at Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, Kitab al ath ‘amah ‘an Rasulillah, Bab ma jJa’a fi akalin luhum al khayl, No.1715, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[7] Imam an Nasa’i, Sunan an Nasa’i , Kitab ash Shayd wa adz Dzabaih, Bab al Idzn fi aklin luhum al khumr, No. 4253, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[8] Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab al ath ‘amah, Bab fi aklin luhum al khumr, No.3294, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[9] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab az Dzabaih, Bab Luhum al Khumr, No. 3182, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[10] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Kitab Baqi Musnad al Muktsirin, BabMusnad Jabir ibn Abdullah, No. 13928, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[11] Ad Darimi, Sunan ad Darimi, Kitab al Adhahiy, Bab fi aklin luhum al khumr, No. 1909, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[12] Lihat Shahih Bukhari, Bab Luhum al Humur al Insiyah, Juz 18, hlm. 350, No. 5528, CD al Maktabah al Syamilah.
[13] www.almanhaj.or.id
Sebagian yang lainnya menyampaikan larangan tersebut memperlihatkan haram alasannya yaitu termasuk binatang yang najis (memakan kotoran manusia). Sedangkan najis (dalam mazhab syafi’iyah) hukumnya haram dan termasuk perbuatan syaithan. Pendapat ini dipegang oleh Ali, Ibnu Umar Jabir Ibnu Abdillah Inu Abi Aufa dan Bara’, Abi Tsa’labah dan lain-lain dan diikuti oleh Mazahb Syafi’i.
Baca Juga: Hukum Semir Rambut Hitam dalam Ajaran Islam
DAFTAR PUSTAKA
CD Mausu’ah al Hadis al Syarif. Shahih al Bukhari. Global Islamic Software, 1991-1997
_____________, Shahih Muslim. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan at Tirmidzi. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan an Nasa’i. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan Abu Daud. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan Ibnu Majah. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Musnad Ahmad bin Hambal. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan ad Darimi. Global Islamic Software, 1991-1997.
www.almanhaj.or.id, diposting tanggal 10 April 2009
www.DarulKautsar.com, diposting tanggal 10 April 2009
Ash Shan’ani, Muhammad bin Isma’il al Kahlani. Subulussalam. Juz I. Semarang: Toha Putra, tt.
CD Al Maktabah al Syamilah. Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy. Fathul Bari. Juz 9
Catatan Kaki
[1] Hal tersebut sesuai dengan apa yang diceritakan Rasulullah ketika dia diangkat ke langit, dia melihat perempuan yang berkepala babi dan bertubuh keledai. Adapun perempuan yang berkepala babi dan berbadan keledai alasannya yaitu dia yaitu mahir memecah-belah dan pembohong.
[2] Sebagian ulama’ menyampaikan batalnya shalat dan sebagian yang menyampaikan terputus atau tidak sempurna. Namun, penulis lebih setuju dengan makna terputus atau tidak sempurna.
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al shalat, Bab Qadaru ma yastu al mushalli, No. 790, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[4] Imam Bukhari, Shahih al Bukhari, Kitab adz dzabaih wa al shayd, Bab Luhum al Humur wa al Insiyah, No. 5099. Lihat juga Shahih al Bukhari No. 5096, 3897; Shahih Muslim No. 2513, 3595, 3596; Sunan at Tirmidzi No. 1715; Sunan an Nasa’I No. 4253, 4254, 4255, 4268; Sunan Abu Daud No. 3294, 3295, 3314; Sunan Ibnu Majah No. 3182 dan 3188; Musnad Ahmad bin Hambal No. 13928, 13939, 14311, 14361, 14373, 14603, dan Sunan ad Darimi No. 1909, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif. Dan masih banyak lagi hadits dari riwayat lain mengenai hadits ini.
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al Nikah, Bab Nikah al Mut’ah, No. 2513, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[6] Imam at Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, Kitab al ath ‘amah ‘an Rasulillah, Bab ma jJa’a fi akalin luhum al khayl, No.1715, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[7] Imam an Nasa’i, Sunan an Nasa’i , Kitab ash Shayd wa adz Dzabaih, Bab al Idzn fi aklin luhum al khumr, No. 4253, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[8] Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab al ath ‘amah, Bab fi aklin luhum al khumr, No.3294, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[9] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab az Dzabaih, Bab Luhum al Khumr, No. 3182, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[10] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Kitab Baqi Musnad al Muktsirin, BabMusnad Jabir ibn Abdullah, No. 13928, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[11] Ad Darimi, Sunan ad Darimi, Kitab al Adhahiy, Bab fi aklin luhum al khumr, No. 1909, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[12] Lihat Shahih Bukhari, Bab Luhum al Humur al Insiyah, Juz 18, hlm. 350, No. 5528, CD al Maktabah al Syamilah.
[13] www.almanhaj.or.id
[14] www.DarulKautsar.com
[15] Muhammad bin Isma’il al Kahlani Ash Shan’ani, Subulussalam, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 36
[16] Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy, Fathul Bari’, Bab Yusibu Min al Tha’am fi ardh al harb, Juz 9, hlm. 423, dalam CD Al Maktabah al Syamilah.
[17] Lihat Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy, Fathul Bari’, hlm. 423
[15] Muhammad bin Isma’il al Kahlani Ash Shan’ani, Subulussalam, Juz I (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 36
[16] Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy, Fathul Bari’, Bab Yusibu Min al Tha’am fi ardh al harb, Juz 9, hlm. 423, dalam CD Al Maktabah al Syamilah.
[17] Lihat Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy, Fathul Bari’, hlm. 423
Buat lebih berguna, kongsi: