Corak Pemikiran Politik dalam Sejarah Islam - Setiap zaman mempunyai sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai kisah tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya.
Bermula semenjak Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman perilaku empati antar sesama umat beragama-diakatakan demikian, alasannya yaitu pada ketika itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase sehabis wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami banyak sekali perubahan, mirip pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara menggunakan pola Khilafah, namun sehabis terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan bermetamorfosis monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Ada ungkapan setiap zaman niscaya mempunyai pemikir yang disebut sebagai anak zaman, dan dari tiap pemikir tersebut niscaya akan menghasilkan banyak sekali konsepsi yang berbeda-beda, bukan mustahil kita yang ada pada ketika ini, hanya suatu ketika nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan Islam, mirip halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara Sempurna” Plato atau Muhammad Abduh yang menganut pemikiran sekularistik, tapi terang yang diperlukan bukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya mem-plagiat pendapat orang lain ataupun yang keluar dari koridor Islam, melainkan bentuk pemikiran “Otentik Islamiyyah” yang bisa menjawab segala permasalahan yang terjadi pada masyarakat kita. Jadi, bersiaplah!
FlashBack Tiga Zaman
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai semenjak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu[2], insan sudah mengenal system pemerintahan, mirip zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang populer lalim.
Empat belas kala sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di kawasan Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita oleh-oleh dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita ketika ini.
Era Klasik dan Pertengahan
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum mempunyai teori-teori yang utuh, maka dari itu prosedur penggantian Khalifah pun berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu, karenanya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para andal ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang populer sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada kala pertengahan.
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[4] Al-Mawardi menyampaikan citra ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar hukum pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat citra ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para andal mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa insan yaitu makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan.
Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para andal juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir para andal juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, mirip Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi insan pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan insan pada Allah, bahwa insan diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.
Menurut Al-Mawardi[5], insan yaitu makhluk yang paling memerlukan derma pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Oleh alasannya yaitu banyak hewan contohnya yang sanggup hidup sendiri dan mandii lepas dari hewan sejenisnya, sedangkan insan selalu memerlukan insan lain. Dan ketergantungannya satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng.
Kemudian dengan criteria menentukan dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang Islam kental. Dengan menyampaikan banyak sekali kriteria yang hampir-hampir menyerupai insan yang sempurna, mirip berdasarkan Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai 12 kualitas luhur[6]: lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pintar mengemukakan pendapatnya, dll.
Bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang mempunyai kriteria tersebut secara tepat maka pemimpin negara dipikul secara kolektif.
Untuk lebih gampang melihat beberapa perbedaan atau persamaan apa saja yang terdapat pada pemikiran pakar politik periode klasik dan pertengahan, sanggup dilihat melalui kolom berikut
Melihat dari penjabaran yang telah disebutkan diatas mengenai beberapa pemikiran-pemikiran para pakar, dalam literature dikatakan, adanya sebuah realita bahwa tiap tokoh tersebut tidak menyampaikan penjabaran yang eksplisit mengenai prosedur pengangkatan dan pemberentian seorang kepala negara. Dan menjadi sebuah pertanyaan, adakah pemikir Islam yang nantinya berani menggagas secara gambling mengenai prosedur baku bernegara dalam Islam, sehingga pengharapan dengan adanya penyeragamana umat Islam dalam bermasyarakat terwujud.
Tidak ada pengklasifikasian yang terang mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut,[7]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar imbas itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
Kedua, selain Al-Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing. Bahkan diantara mereka ada yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/ keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, dan gres kemudian menyampaikan saran-saran perbaikan dan reformasi.
Era Kontemporer
Setelah sekian usang dunia Islam karam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya Dinasti Abbasiyah, selaku sentra pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah para leader Islam (sejak kala XVIII M). Bahwa pada ketika itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan banyak sekali upaya untuk menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya, para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara, dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, mirip Al-Maududi yang membuatkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi anutan Islam, diantara tokoh-tokoh yang populer yaitu Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir yaitu termasuk aktifis dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Diantara yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik bergotong-royong hal ini jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” gres lagi dalam Islam, mengingat pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik, daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim yaitu Ali Abd Al-Raziq. Beliau mengemukakan pada bab kedua kesimpulan dibukunya[8] yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah untuk mendirikan sebuah negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas, Islam tidak mencampuri urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan beliau yaitu hadits Nabi yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari sang guru, Muhammad Abduh. Yang karenanya beliau kembangkan sendiri menjadi pemikiran sekuler, selain itu melihat dari basic pendidikan beliau pernah mengenyam pendidikan barat.
Pada perkembangannya pemikiran Raziq sangat ditentang oleh orang-orang dari golongan Islamic Oriented, yang mulanya sangat bersemangat untuk menanamkan kembali sendi-sendi Islam pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari imbas Raziq mereka menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, mempunyai imbas yang sangat luas nantinya.
Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad Abduh[9]. Meskipun Islam tidak menyampaikan bentuk baku dalam prototype bernegara, namun menyampaikan asas-asas yang nantinya dipergunakan dalam bernegara. Oleh alasannya yaitu itu mereka menyampaikan keleluasaan umat Islam untuk melihat pola bernegara yang digunakan oleh Barat, tentunya dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.
Yang ketiga, tipologi yang digunakan yaitu tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan berdasarkan golongan ini yaitu tipe pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin, mereka tidak menghendaki umat Islam menjiplak pada pola pemeritahan yang digunakan oleh Barat. Tokohnya yaitu Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan ikhwannya, Muhammad Rasyid Ridha. Terdapat kegelisahan pemakalah, apakah pola pemerintahan mirip ini masih bisa diterapkan, mengingat alur kehidupan pada ketika ini yang tergolong majemuk. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Dalam pola ini Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal pengambilan kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang telah dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali, tipe negara ini disebut Teodemokrasi.
Pemakalah pun lebih condong kepada pemikiran kedua yang mengedepankan keseimbangan antara segi agama dan kemashlahatan.
Letak Distings Corak Dalam Tiga Zaman
Tidak ada dalam literatur yang kami ambil, menyebutkan secara spesifik corak pemerintahan dari tiap zaman, namun sebagaimana dengan pembahasan yang telah kami uraikan diatas, kami menyimpulkan beberapa perbedaan yang tampak jelas:
Pemikiran Periode Klasik
a. Kebanyakan para andal yang menjelaskan perihal asal-usul berdirinya sebuah negara, artinya hal-hal yang bersifat esensi sekali dalam bersosialisasi masih menjadi topik pembahasan utama.
b. Pemikiran para andal yang mempunyai kecenderungan terpengaruh oleh ajaran-ajaran dari alam Yunani, sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Sebagai contoh, pendapat Plato yang menyampaikan bahwa insan yaitu makhluk sosial.
c. Pada umumnya para andal di periode ini, pandangan gres pemikirannya kuat pada pemerintahan yang berkuasa dimana mereka hidup.
d. Corak pemikiran integralistik Agama dan politik menyatulah yang mewarnai pemikiran politik pada masa ini, maka tidak heran ada tokoh yang mengatakan, “Raja yaitu baying-bayang Tuhan di muka bumi” (Al-Ghazali).
Pemikiran Periode Pertengahan
a. Tidak banyak tokoh yang muncul pada masa ini, hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun lah yang bisa dikatakan sebagai perwakilan dari tokoh pertengahan ini, itupun kalau kita melihat pada pembagian periode yang dirujuk dari Harun Nasution. Adapun pemikiran pada dua tokoh yang mewakili zaman ini, tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh zaman klasik.
Mengingat dua tokoh yang dianggap sebagai wakil dari zaman pertengahan ini, masih sama-sama hidup pada kondisi masyarakat yang sama dengan para tokoh kalsik. Mungkin kalaupun harus ada perbedaan corak pada zaman ini kita harus melihat pada sejarah Islam sehabis runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Yang mana pada ketika itu Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Namun sayangnya pada masa ini Islam mengalami saat-saat kembali ke titik nadirnya. Ketika Barat bangun dengan reformasi gerjanya sementara dunia Islam sedang sibuk mengurusi kekuasaan masing-masing dan dunia pengetahuan mengalami kemunduran. Sehingga tidak muncul para tokoh yang membuat pandangan gres brilian yang bersifat progresif.
Pemikiran Periode Kontemporer
a. Para tokoh tidak lagi terfokus pada tema bagaimana asal mula negara ini terjadi.
b. Teori politik praktislah yang dimunculkan pada masa ini, buktinya dengan munculnya beberapa pandangan gres pemikiran pada masa ini, diantaranya: Integralistik, Moderat, dan Sekuleristik.
c. Pemikiran para tokoh pun disinyalir terpengaruh dengan ide-ide yang dicetuskan pemikir barat (Prancis, Jerman, dll) mirip pada pola pikir yang menganut paham sekuleristik.
d. Mengenai bentuk bernegara yang ideal para andal tidak menentukan apakah harus Khilafah, Imamah atau Monarki. Akan tetapi lebih mengutamakan bagaiamana syariat Islam itu bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya di wilayah tersebut.
Penutup
“Orang Barat lebih melihat ke bumi, orang Timur lebih melihat ke langit”
Bunyi ungkapan yang dikutip dari Sayid Muhammad Baqr Ash-Shadr, ini merupakan justifikasi yang memang terjadi pada realita kehidupan ketika ini. Orang barat yang tergila-gila dengan konsep imperialisnya, yang menghendaki pemenuhan kepuasan kepada materi sementara orang Islam berpolitik di muka bumi sebagai Khalifah sebagaimana titah dari langit, sehingga bertendensi religius.
Mungkin ini hanya pengkalaiman sepihak dari kita, namun pertanyaan tadi memaksa kita untuk tetap menjaga kemurnian dari tujuan berpolitik umat Islam dan menghindari dari upaya Islam sebagai bentuk pe-legitimasi-an dalam berpolitik, padahal banyak terdapat kebusukan-kebusukan yang dilakukan para oknum birokrat.
Layaknya nikmat allah yang tak sanggup dihitung, ilmu pengetahuan juga mirip itu. Masih banyak mungkin bentuk-bentuk pemikiran yang belum sempat diangkat oleh manusia. Oleh alasannya yaitu itu, kita selaku generasi Islam jangan hanya diam, bersiaplah untuk menjawab segala permasalahan dimasa nanti. Dan mencatatkan kita pada tinta emas kesejatrahan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2001. Agama, Negara: Dalam Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Ash-Shadr, Sayid Muhammad Baqir. 2001. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar. Jakarta: Lentera.
Azra, Azyumardi, Dr. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Nasution, Harun, Prof. Dr. 1974. Islam: Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I. Jakarta: UI Press.
Pulungan, J. Suyuthi. Dr. 1993. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syadzali, Munawir. H. M.A. 1990. Islam Dan Tata Negara, Cet V. Jakarta: UI Press.
Syarif, Mujar Ibnu. Drs. M.Ag. 2003. Hak-Hak Politik Minoritas Non Muslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan Dari Prespektif Politik Islam. Bandung: Angkasa.
Catatan Kaki
[1] Pembagian dari tiap-tiap zaman, pemakalah merujuk pada Harun Nasution, yang menetapkan periode klasik: 650 – 1250 M, pertengahan: 1250 – 1800 M, kontemporer: + 1800 M. Lih. Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1974), h. 50
[2] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 4
[5] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press, 1990) Cet-V. h. 60
[6] Lebih lengkap lih. Munawir Syadzali, Ibid, h. 56.
[7] Ibid, 42
[8] Ibid, h. 142-143. Untuk mengetahui teks yang aslinya sanggup melihat pribadi dari buku karangan Raziq yaitu Al-Islam Wa Usul Al-Hukm.
[9] Ibid. h. 208
Bermula semenjak Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman perilaku empati antar sesama umat beragama-diakatakan demikian, alasannya yaitu pada ketika itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase sehabis wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami banyak sekali perubahan, mirip pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara menggunakan pola Khilafah, namun sehabis terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan bermetamorfosis monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Ada ungkapan setiap zaman niscaya mempunyai pemikir yang disebut sebagai anak zaman, dan dari tiap pemikir tersebut niscaya akan menghasilkan banyak sekali konsepsi yang berbeda-beda, bukan mustahil kita yang ada pada ketika ini, hanya suatu ketika nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan Islam, mirip halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara Sempurna” Plato atau Muhammad Abduh yang menganut pemikiran sekularistik, tapi terang yang diperlukan bukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya mem-plagiat pendapat orang lain ataupun yang keluar dari koridor Islam, melainkan bentuk pemikiran “Otentik Islamiyyah” yang bisa menjawab segala permasalahan yang terjadi pada masyarakat kita. Jadi, bersiaplah!
FlashBack Tiga Zaman
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai semenjak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu[2], insan sudah mengenal system pemerintahan, mirip zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang populer lalim.
Empat belas kala sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di kawasan Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita oleh-oleh dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita ketika ini.
Era Klasik dan Pertengahan
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum mempunyai teori-teori yang utuh, maka dari itu prosedur penggantian Khalifah pun berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu, karenanya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para andal ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang populer sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu[3] Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada kala pertengahan.
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya[4] Al-Mawardi menyampaikan citra ideal mengenai kekhalifahan. Namun diklaim bahwa para pemikir ini sama sekali tidak membuat sistem politik atau garis-garis besar hukum pemerintahan yang komprehensif, melainkan sekedar membuat citra ideal moral bagi para penguasa dan kekuasaannya. Diawali dengan pemikiran mengenai proses terbentuknya negara, para andal mendominasi pemikiran dari alam pikiran Yunani, bahwa insan yaitu makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi hajat dalam kehidupan.
Ditambah dengan pernyataan-pernyataan lanjutan yang kelihatannya terjadi satu sama lain antara satu tokoh dengan tokoh yang lain, namun dalam pola piker para andal juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, namun dalam pola pikir para andal juga diwarnai dengan pengaruh-pengaruh dari aqidah Islam, mirip Al-Mawardi yang menganggap proses berdirinya negara bukan hanya didasari sekadar untuk membentuk regenarasi insan pada satu komunitas. Namun juga untuk mengingatkan insan pada Allah, bahwa insan diciptakan sebagai makhluk yang lemah, karenanya saling membutuhkan.
Menurut Al-Mawardi[5], insan yaitu makhluk yang paling memerlukan derma pihak lain dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Oleh alasannya yaitu banyak hewan contohnya yang sanggup hidup sendiri dan mandii lepas dari hewan sejenisnya, sedangkan insan selalu memerlukan insan lain. Dan ketergantungannya satu sama lain merupakan suatu yang tetap dan langgeng.
Kemudian dengan criteria menentukan dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang Islam kental. Dengan menyampaikan banyak sekali kriteria yang hampir-hampir menyerupai insan yang sempurna, mirip berdasarkan Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai 12 kualitas luhur[6]: lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pintar mengemukakan pendapatnya, dll.
Bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang mempunyai kriteria tersebut secara tepat maka pemimpin negara dipikul secara kolektif.
Untuk lebih gampang melihat beberapa perbedaan atau persamaan apa saja yang terdapat pada pemikiran pakar politik periode klasik dan pertengahan, sanggup dilihat melalui kolom berikut
Tokoh | Eksistensi Negara | Eksistensi Kepala Negara | Bentuk Pemerintahan | Lain-lain |
Ibn Rabi’ | Manusia, makhluk sosial Allah membuat insan dengan tabiat yang cenderung berkumpul dan bermasyarakat. | Otoritas Raja yaitu mandate dari Tuhan, didasari dari nash Al-Quran. | Monarki | Pemikirannya berpenagruh pada pemerintahan Khalifah Mu’tashim. |
Al-Farabi | Memenuhi hajat hidup manusia, untuk dunia dan akhirat. | Seorang kepala negara haruslah dari golongan kelas atas. | - | Konsepsinya yang Utopian. |
Al-Mawardi | Kebutuhan untuk meneruskan roda-roda kehidupan, adapun mekanismenya insan menggunakan akalnya. | Seorang kepala negara mempunyai dapat dipercaya dalam bernegara dan agama. | - | Teori kontrak sosial. |
Al-Ghazali | Faktor regenarasi. | Kepala negara yaitu bayang-bayang Tuhan di Bumi jabatan kepala negara yaitu sesuatu yang suci/Muqaddas. | Teokrasi. | Agama dan raja yaitu menyerupai dua anak kembar, agama yaitu fondasi dan raja yaitu penjaganya. |
Ibn Taimiyah | Selain alasannya yaitu faktor sosial, juga alasannya yaitu insan mengemban amanat dari Tuhan. | Mempunyai kepala negara yaitu satu hal yang sangat urgen. | - | Pemikirannya yang puritan, zahid dan pengutamaan pada penegakan keadilan. |
Ibnu Khaldun | Kodrat insan saling membutuhkan satu sama lain. | Keefektifan dalam pelaksanaan syari’at Islam. | Khilafah atau Imamah | Teori Ashabiyah |
Tidak ada pengklasifikasian yang terang mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut,[7]
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar imbas itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
Kedua, selain Al-Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing. Bahkan diantara mereka ada yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/ keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, dan gres kemudian menyampaikan saran-saran perbaikan dan reformasi.
Era Kontemporer
Setelah sekian usang dunia Islam karam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya Dinasti Abbasiyah, selaku sentra pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah para leader Islam (sejak kala XVIII M). Bahwa pada ketika itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan banyak sekali upaya untuk menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya, para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara, dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, mirip Al-Maududi yang membuatkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi anutan Islam, diantara tokoh-tokoh yang populer yaitu Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir yaitu termasuk aktifis dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Diantara yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik bergotong-royong hal ini jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” gres lagi dalam Islam, mengingat pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik, daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim yaitu Ali Abd Al-Raziq. Beliau mengemukakan pada bab kedua kesimpulan dibukunya[8] yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah untuk mendirikan sebuah negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas, Islam tidak mencampuri urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan beliau yaitu hadits Nabi yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari sang guru, Muhammad Abduh. Yang karenanya beliau kembangkan sendiri menjadi pemikiran sekuler, selain itu melihat dari basic pendidikan beliau pernah mengenyam pendidikan barat.
Pada perkembangannya pemikiran Raziq sangat ditentang oleh orang-orang dari golongan Islamic Oriented, yang mulanya sangat bersemangat untuk menanamkan kembali sendi-sendi Islam pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari imbas Raziq mereka menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, mempunyai imbas yang sangat luas nantinya.
Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad Abduh[9]. Meskipun Islam tidak menyampaikan bentuk baku dalam prototype bernegara, namun menyampaikan asas-asas yang nantinya dipergunakan dalam bernegara. Oleh alasannya yaitu itu mereka menyampaikan keleluasaan umat Islam untuk melihat pola bernegara yang digunakan oleh Barat, tentunya dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.
Yang ketiga, tipologi yang digunakan yaitu tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan berdasarkan golongan ini yaitu tipe pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin, mereka tidak menghendaki umat Islam menjiplak pada pola pemeritahan yang digunakan oleh Barat. Tokohnya yaitu Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan ikhwannya, Muhammad Rasyid Ridha. Terdapat kegelisahan pemakalah, apakah pola pemerintahan mirip ini masih bisa diterapkan, mengingat alur kehidupan pada ketika ini yang tergolong majemuk. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Dalam pola ini Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal pengambilan kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang telah dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali, tipe negara ini disebut Teodemokrasi.
Pemakalah pun lebih condong kepada pemikiran kedua yang mengedepankan keseimbangan antara segi agama dan kemashlahatan.
Letak Distings Corak Dalam Tiga Zaman
Tidak ada dalam literatur yang kami ambil, menyebutkan secara spesifik corak pemerintahan dari tiap zaman, namun sebagaimana dengan pembahasan yang telah kami uraikan diatas, kami menyimpulkan beberapa perbedaan yang tampak jelas:
Pemikiran Periode Klasik
a. Kebanyakan para andal yang menjelaskan perihal asal-usul berdirinya sebuah negara, artinya hal-hal yang bersifat esensi sekali dalam bersosialisasi masih menjadi topik pembahasan utama.
b. Pemikiran para andal yang mempunyai kecenderungan terpengaruh oleh ajaran-ajaran dari alam Yunani, sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Sebagai contoh, pendapat Plato yang menyampaikan bahwa insan yaitu makhluk sosial.
c. Pada umumnya para andal di periode ini, pandangan gres pemikirannya kuat pada pemerintahan yang berkuasa dimana mereka hidup.
d. Corak pemikiran integralistik Agama dan politik menyatulah yang mewarnai pemikiran politik pada masa ini, maka tidak heran ada tokoh yang mengatakan, “Raja yaitu baying-bayang Tuhan di muka bumi” (Al-Ghazali).
Pemikiran Periode Pertengahan
a. Tidak banyak tokoh yang muncul pada masa ini, hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun lah yang bisa dikatakan sebagai perwakilan dari tokoh pertengahan ini, itupun kalau kita melihat pada pembagian periode yang dirujuk dari Harun Nasution. Adapun pemikiran pada dua tokoh yang mewakili zaman ini, tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh zaman klasik.
Mengingat dua tokoh yang dianggap sebagai wakil dari zaman pertengahan ini, masih sama-sama hidup pada kondisi masyarakat yang sama dengan para tokoh kalsik. Mungkin kalaupun harus ada perbedaan corak pada zaman ini kita harus melihat pada sejarah Islam sehabis runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Yang mana pada ketika itu Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Namun sayangnya pada masa ini Islam mengalami saat-saat kembali ke titik nadirnya. Ketika Barat bangun dengan reformasi gerjanya sementara dunia Islam sedang sibuk mengurusi kekuasaan masing-masing dan dunia pengetahuan mengalami kemunduran. Sehingga tidak muncul para tokoh yang membuat pandangan gres brilian yang bersifat progresif.
Pemikiran Periode Kontemporer
a. Para tokoh tidak lagi terfokus pada tema bagaimana asal mula negara ini terjadi.
b. Teori politik praktislah yang dimunculkan pada masa ini, buktinya dengan munculnya beberapa pandangan gres pemikiran pada masa ini, diantaranya: Integralistik, Moderat, dan Sekuleristik.
c. Pemikiran para tokoh pun disinyalir terpengaruh dengan ide-ide yang dicetuskan pemikir barat (Prancis, Jerman, dll) mirip pada pola pikir yang menganut paham sekuleristik.
d. Mengenai bentuk bernegara yang ideal para andal tidak menentukan apakah harus Khilafah, Imamah atau Monarki. Akan tetapi lebih mengutamakan bagaiamana syariat Islam itu bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya di wilayah tersebut.
Penutup
“Orang Barat lebih melihat ke bumi, orang Timur lebih melihat ke langit”
Bunyi ungkapan yang dikutip dari Sayid Muhammad Baqr Ash-Shadr, ini merupakan justifikasi yang memang terjadi pada realita kehidupan ketika ini. Orang barat yang tergila-gila dengan konsep imperialisnya, yang menghendaki pemenuhan kepuasan kepada materi sementara orang Islam berpolitik di muka bumi sebagai Khalifah sebagaimana titah dari langit, sehingga bertendensi religius.
Mungkin ini hanya pengkalaiman sepihak dari kita, namun pertanyaan tadi memaksa kita untuk tetap menjaga kemurnian dari tujuan berpolitik umat Islam dan menghindari dari upaya Islam sebagai bentuk pe-legitimasi-an dalam berpolitik, padahal banyak terdapat kebusukan-kebusukan yang dilakukan para oknum birokrat.
Layaknya nikmat allah yang tak sanggup dihitung, ilmu pengetahuan juga mirip itu. Masih banyak mungkin bentuk-bentuk pemikiran yang belum sempat diangkat oleh manusia. Oleh alasannya yaitu itu, kita selaku generasi Islam jangan hanya diam, bersiaplah untuk menjawab segala permasalahan dimasa nanti. Dan mencatatkan kita pada tinta emas kesejatrahan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2001. Agama, Negara: Dalam Penerapan Syariah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Ash-Shadr, Sayid Muhammad Baqir. 2001. Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar. Jakarta: Lentera.
Azra, Azyumardi, Dr. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Nasution, Harun, Prof. Dr. 1974. Islam: Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I. Jakarta: UI Press.
Pulungan, J. Suyuthi. Dr. 1993. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syadzali, Munawir. H. M.A. 1990. Islam Dan Tata Negara, Cet V. Jakarta: UI Press.
Syarif, Mujar Ibnu. Drs. M.Ag. 2003. Hak-Hak Politik Minoritas Non Muslim Dalam Komunitas Islam: Tinjauan Dari Prespektif Politik Islam. Bandung: Angkasa.
Catatan Kaki
[1] Pembagian dari tiap-tiap zaman, pemakalah merujuk pada Harun Nasution, yang menetapkan periode klasik: 650 – 1250 M, pertengahan: 1250 – 1800 M, kontemporer: + 1800 M. Lih. Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1974), h. 50
[2] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) h. 26. Nabi Ibrahim hidup antara tahun 1700-2000 SM. Pada peradaban orang-orang Sumeria.
[3] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 216-217. Pada buku ini dalam catatan kaki terdapat juga nama lengkap dari masing-masing tokoh.
[4] Azyurmadi Azra, Pergolakan Plitik Islam: Dari Fundementalisme, Modernisme dan Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 4
[5] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: IU Press, 1990) Cet-V. h. 60
[6] Lebih lengkap lih. Munawir Syadzali, Ibid, h. 56.
[7] Ibid, 42
[8] Ibid, h. 142-143. Untuk mengetahui teks yang aslinya sanggup melihat pribadi dari buku karangan Raziq yaitu Al-Islam Wa Usul Al-Hukm.
[9] Ibid. h. 208
Buat lebih berguna, kongsi: