Biografi Dan Anutan Al-Kindi Di Bidang Filsafat Dan Agama

Biografi dan Pemikiran Al-Kindi di Bidang Filsafat dan Agama
Oleh: Muh Nur

Tongkronganisalmi.net - Perkembangan Zaman memperlihatkan kesempatan peningkatan dan pengembangan alam fikiran Bangsa Arab, terutama setelah wafatnya Rasulullah, sedangkan keperluan dan kebutuhan untuk memperoleh kepastian aturan dialihkan kepada al-Qur'an dan al-sunnah. Kedua dasar ini tentu membutuhkan klarifikasi dan penafsiran yang terperinci dan shahih, yang selanjutnya mengakibatkan ijtihad atau kemampuan daya fakir brilian, guna menuntaskan persoalan-persoalan tertentu. Yang terperinci bahwa kekuatan daya fakir seseorang sangat ditentukan oleh taraf kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sehingga sanggup menghasilkan kesimpulan yang benar.

Dalam sejarah Islam, penulisan filsafat yang sistematis bam dimulai pada masa ke-9, Sebelumnya acara filosofis hanya berkisar pada penerjemahan karya­karya filsafat Yunani. Penulis yang pertama-tama merayakan tradisi penulisan filsafat yaitu al-Kindi. Filosof ini mengaku keturunan kabilah Kindah, lahir di kota Kufah dan di kota itu, ayahnya menjabat Gubernur.[1]

Awal mula pemikiran filsafat, menyerupai halnya penciptaan manusia, sama-­sama melampaui perjalanan sejarah. Pemikiran merupakan ciri yang tidak bisa dipisahkan dari manusia, di mana pun ia menjejakkan kakinya. Pemikiran dan pemahaman senantiasa dibawanya. Oleh lantaran itu, tidak ada informasi secara niscaya mengenai pemikiran-pemikiran yang tak tertulis oleh manusia, kecuali dugaan berdasarkan peninggalan yang ditemukan.

Diantara sekian banyak duduk masalah yang ingin diungkap oleh pemikiran insan yaitu pengetahuan ihwal " wujud", awal dan akhirnya, pengetahuan ihwal wujud ini, sejalan dengan pengetahuan keagamaan. Oleh lantaran itu, dapatlah dikatakan bahwa pemikiran filosof terkuno ada dalam pemikiran keagamaan Timur.

Tak diragukan bahwa orang-orang Islam terdahulu dengan taraf kecerdasanya telah banyak menemukan dan menyebarkan ilmu pengetahuan diantaranya : fisika, matematika, ekonomi, politik, logika. Psikologi, musik dsb.

Al-Kindi yaitu seorang filosof Islam yang pertama merintis perjuangan untuk mempertemukan agama dan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran. Menurutnya filsafat yaitu pengetahuan yang benar, al-Quran juga membawa argumen-argumen yang meyakinkan dan benar dan tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat.[2] Sementara para filosof Yunani tidak menemukan adanya titik temu filsafat dan agama.

Menurut al-Kindi, seorang tidak perlu aib untuk mengakui kebenaran itu, meskipun kebenaran itu dari suatu bangsa yang perbedaannya sangat jauh dari kita sehingga orang-orang yang mengingkari kebenaran tidak seorang pun akan rendah alasannya yaitu kebenaran, sebaliknya semua orang menjadi akan mulia oleh kebenaran.[3]

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka goresan pena ini mencoba menelusuri secara khusus tentang: Riwayat Hidup Al-Kindi dan Pandangan Al-Kindi ihwal keserasian filsafat dan agama, Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Jiwa Al-Nafs

 Perkembangan Zaman memperlihatkan kesempatan peningkatan dan pengembangan alam fikiran Bangsa Biografi dan Pemikiran Al-Kindi di Bidang Filsafat dan Agama



Biografi & Riwayat Hidup Al-Kindi


Nama, lengkapnya, al-Kindi yaitu Abu Yusuf Yakub, bin Ishak ibu al­Subbah Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-asy’ats bin Qais al-Kindi. ia terkenal dengan sebutan al-Kindi. la lahir di Kufah (Iraq) sekitar 185 H. dan wafat tahum 26o H./873 M. prang tuanya yaitu gubernur di Bashrah.[4]

Setelah dewasa, ia ke Bagdad dan menerima pemberian dan­ khalifah al.-Ma'mun (Daulah Abbasiah) dan khalifah al-Mu,tasim.[5] Neneknya bernama, al-Asy’ats bin Qaish. Termasuk seorang sobat Nabi yang paling pertama tiba di kota Kufah.[6]

Ketika al-Kindi hingga di Bagdad, ia sangat senang dengan suasana intelektual di sana, ia menerjemahkan beberapa karya dan merevisi terjemahan orang lain, menyerupai teologi Aristoteles. Untuk mengalih bahasakan istilah-istilah filosofis dan ilmiah tertentu yang ia tentukan dalam karya­ karya asing, is membuat kata-kata gres dalam bahasa Arab. Seperti jirm untuk tubuh, thinah untuk bahan al-tawahum untuk imajinasi dan lain-lain.[7]

Sebagai penults yang sangat produktif, ia mempunyai sekitar 270 dalam aneka macam bidang ilmu yang dikenal pada masanya, menyerupai geometrik, musik, astronomi, parmakologi, meteorologi, kimia, kedokteran dan polomika. la juga menulis semua cabang ilmu filsafat, menyerupai logika, fisika, metafisika, psikologi dan etika.

Di dalam menulis karya-karya tersebut, pertama ia menjelaskan sejelas mungkin pandangan-pandangan para pendahulunya kemudian merevisi dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan kepentingan-­kepentingan baru.[8]

Karya-karya al-Kindi yang berjumlah sekitar 270 buah, tersebar di belahan dunia Islam, akan tetapi, banyak be-rupa risalah-risalah pendek dalam bidang filsafat, antara lain sebagai berikut:

1. Fi al-falsafah al-ula (filsafat pertama)

2. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah goresan pena filosofis ihwal diam-diam spritual).

3. Risalah fi Hudud al-Asyya wa Rusumiha (defenisi bendy-bendy uraiannya)

4. Fi Ma’iyah al-Ilmu wa al-Aqsami (filsafat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya)[9]

mengenai kematiannya tidak ada kepastian, L, Musognon menyampaikan ia wafat sekitar 245 H (860 M). C. Laninno menerka tahun wafat al-Kindi sekitar (w. 26o H/873 M). Adapun Mustafa Abdul Raziq mantan Rektor at­-Azhar menyampaikan tahun (252 H/866 M),[10]


Kesesuaian antara Filsafat dan Agama


Masalah korelasi filsafat dan agama, mengakibatkan masalah- gres yang diperdebatkan pada zaman al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak keabsahan ilmu filsafat, lantaran di antara produk pemikiran filsafat terperinci memperlihatkan kontradiksi dengan aliran al-Qur'an, Sebagai seorang. filosof al-Kindi telah mengangkat dirinya sebagai pembela ilmu filsafat yang seharusnya tidak dipertentangkan dalam agama lantaran keduanya membawa kebenaran yang serupa.[11]

Agama dan filsafat menurutnya yaitu ilmu pengetahuan yang benar oleh lantaran itu, Al-Qur'an sebagai sebuah wahyu dari Allah tidak mungkin bahkan tidak mungkin bertentangan kebenaran yang dihasilkan filsafat sebagai sebuah upaya maksimal dalam memakai kecerdikan untuk menemukan kebenaran. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat bukanlah merupakan pengingkaran terhadap kebenaran wahyu (al-Qur'an), dan teologi sebagai belahan dari filsafat, sangat penting untuk dipelajari.

Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama di samping wahyu mempergunakan kecerdikan dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama berdasarkan al-Kindi yaitu Tuhan.

Dengan demikian, orang yang menolak filsafat, maka orang tersebut berdasarkan al-Kindi telah mengingkari kebenaran, menolaknya berarti ia "kafir" padahal kita harus menyambut kebenaran dari mana pun datangnya, alasannya yaitu tiada yang lebih berharga bagi pencari kebenaran, kecuali kebenaran itu sendiri.

Adanya golongan menolak filsafat ganjal dasar tidak mau mendapatkan ta'wil, padahal berdasarkan al-Kindi, itu dihentikan dijadikan alasan sebab, al-Qur'an yaitu bahasa Arab dan bahasa Arab menentukan 2 macam, pertama makna hakiki dan kedua yaitu makna majazi, tame saja yang sanggup mena’wilkan al-Qur'an hanya orang yang mendalam agamanya dan jago fikir.

AI-Kindi juga mengacu pada al-Qur'an yang banyak menyuruh meneliti penomana yang banyak terjadi dalam alam, contohnya dalam (Qs. al­-Gasyiah ayat 17 hingga 20 (32): 4). Artinya: Maka apakah tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, langit bagaimana ditinggikan, gunung-gunung bagaimana ditegakkan, bumi bagaimana, dihamparkan.[12] 

Dan firman Allah yang berbunyi dalani surah al-Araf. 185: Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada isu manakah lagi mereka akan beriman selain kepada .M Qur'an itu?[13]

Ayat itu menunjukkan, kepada kita, semoga berfilsafat, mengamati fenomena alam, sehingga insan semakin sadar terhadap kebenaran Tuhan. Namun demikian tidak bisa dipungkiri perbedaan di antara keduanya, sebagaimana dijelaskan al-Kindi dalam karyanya Kammiyah Kutub Aristoteles, sebagaimana. berikut:

FIISAFAT 

- Himaniora[14] yang dicapai oleh filsafat dengan berfikir, belajar. 
- Jawaban filsafat memerlukan pemikiran dan perenungan. 
- Menggunakan metode logika 
- Ilmu insaniyah 

AGAMA 

- Ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi, eksekusi alam di peroleh tanpa proses belajar, dan hanya diterima secara eksklusif para Rasul dalam bentuk wahyu. 
- Jawaban a1-Qur’an meyakinkan secara mutlak. 
- Pendekatan keyakinan.[15] 
- Ilmu Ilahiyah. 

Mencermati bagan di atas, sanggup disimpulkan bahwa al-Kindi menganut rasionalisme, tetapi tetap memposisikan agama sebagai kebenaran tertinggi. Kesesuaian antara filsafat dan agama di dasarkan pada tiga alasan, sebagai berikut.

Pertama : Ilmu agama merupakan belahan dari ilmu filsafat.

Kedua : Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan kebenaran filsafat saing berkesesuaian.

Ketiga : Menurut ilmu secara logika diperintahkan dalam at-Qur’an.[16]

Atas dasar inilah Al-Kindi telah membuka pintu ihwal penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an, sehingga terjadi persesuaian antara agama dan filsafat.[17]


Filsafat ketuhanan


Bagi al-Kindi, Tuhan yaitu wujud yang tepat dan tidak didahului wujud yang lain. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an dengan firman-Nya, Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud yang lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan yaitu yang Maha Esa yang tidak sanggup dibagi-bagi dan tidak ada zat yang menyamainya dalam segala aspek Ia tidak melahirkan dan tidak pula­ dilahirkan.[18]

Tuhan dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti ainiah (jus’I) atau mahiyah (universal). tidak ainiyah eksekusi alam Tuhan tidak termasuk benda-benda yang ada dalam alam. Bahkan ia pencipta alam. Ia tidak tersusun dari bahan dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, eksekusi alam Tuhan bukan merupakan jenis,[19] atau species[20] , Tuhan hanya satu dan tidak ada yang scraps dengannya.

Tuhan yaitu unik, Ia yaitu al-Haq al-Awwal ( )dan Ia semata-mata satu.[21] Lebih lanjut dikemukakan dalam bukunya "al-Sinaat al-Uzma, bahwa Allah Maha terpuji, Dia yaitu penyebab belahan gerak yang infinit (Qadim), maka ia tidak sanggup dilihat dan tak bergerak penyebab gerak tanpa menggerakkan dirinya, inilah gambarannya bagi yang memahaminya Lewat kata-kata sederhana: Ia Tunggal sehingga tidak sanggup dipecah-pecah, ia menjadi tunggal, dan ia tak terlihat, eksekusi alam ia tak tersusun dan tak ada susunan baginya tetapi sesungguhnya ia terpisah dari segala yang sanggup dilihat, karena, ia penyebab gerak segala yang sanggup dilihat.[22]

Kelihatannya al-Kindi pengalih konsepsi hellenistis ihwal Tuhan. Al-­Kindi membuat istilah-istilah baru: Tuhan Maha Besar, la Maha tinggi, ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, tak berhubungan, juga tidak sanggup disifati dengan ciri-ciri yang ada (al-ma’qulat). Ia abadi. oleh lantaran itu, Ia Maha Esa (al-Wahdah).[23]

Argumen-argumen al-Kindi ihwal kemaujudan Tuhan betumpuh pada keyakinan alasannya yaitu akibat, segala yang maujud niscaya ada yang mengakibatkan kemaujudannya, hanya rangkaian- alasannya yaitu itu terbatas akibatnya, ada alasannya yaitu pertama atau alasannya yaitu sejati yaitu Tuhan.[24]

Dalil-dalil lain ihwal adanya Tuhan yaitu dunia mulanya tak maujud, oleh karenanya niscaya butuh satu pencipta. segala ciptaan tak abadi, hanya Tuhanlah sendiri yang abadi. Hal ini memperlihatkan bahwa segala hal itu berproses. Demikian pula dunia secara keseluruhan tak infinit eksekusi alam mereka terbatas dan tercipta, segala yang terbatas dengan ruang dell waktu yaitu tak abadi.[25]

Jadi, dunia (alam) ini baharu sebagaimana pendapat para mutakallimun, hanya saja perbedaannya yaitu dari segi kandungan dalilnya. Oleh lantaran itu, timbal pertanyaan apakah mungkin sesuatu dalam kenyataan ini menjadi alasannya yaitu bagi dirinya atau tidak,? Al-Kindi menjawab tentu tidak mungkin, lantaran sesuatu yang ada dalam alam ini alasannya yaitu padanya. Olehnya itu, alam ini ada permasalahannya baik dari segi gerak maupun dari segi waktu. Pencipta itu tidaklah banyak melainkan Maha Fsa, tidak terbilang, Dialah yang eksklusif lantaran ia tidak berubah. Sesuatu yang berubah, ia tidak langgeng.[26]


Filsafat Jiwa/al-Nafs


Dalam. Islam, duduk masalah jiwa, (roh) pada dasarnya tidak dianggap satu duduk masalah yang perlu lagi dipersoalkan, lantaran ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi telah memperlihatkan pernyataan bahwa duduk masalah roh yaitu urusan Tuhan, bukan urusan manusia.[27]

Menurut al-Kindi, roh itu tidak tersusun, mempunyai arti panting, tepat dan mulia. Substansi roh berasal dari subtansi Tuhan, Hubungan roh dan Tuhan sebagaimana dengan korelasi cahaya dan matahari.

Selain itu, jiwa bersifat spritual, ilahiyah, terpisah dan berbeda dengan Tuhan.[28] Tubuh mempunyai hawa nafsu, dan sifat pemarah sedangkan roh menentang hawa nafsu. Makara berdasarkan saga, bahwa roh yaitu merupakan sosial kontrol terhadap tubuh. Tubuh akan binasa tanpa roh.

Dengan roh pulalah insan memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Roh bersifat kekal dan tidak hancur, sebagaimana hancurnya tubuh kalau meninggal, lantaran substansinya berasal dari Tuhan. Merupakan cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan.

Selama di dalam tubuh roh tidak memperoleh ketenangan yang sebetulnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan tubuh roh memperoleh kesenangan yang sebetulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan tubuh roh pergi ke alam kebenaran ( ), alam kecerdikan ( ) di dalam lingkungan cahaya Tuhan, erat dengan Tuhan dan sanggup melihat Tuhan Di sinilah kesenangan infinit dari roh.[29]

Al-Kindi beropini bahwa jiwa mempunyai 3 daya, yakni:

1. Daya bernafsu 
2. Daya pemarah  
3. Daya berfikir [30]

Daya berfikir ini disebut dengan akal, bagi al-Kindi kecerdikan terbagi atas tiga belahan sebagai berikut:

a. Akal bersifat potensial 
b. Akal yang keluar dari kecerdikan yang potensial 
c. Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas

Akal yang bersifat potensial, tidak sanggup keluar menjadi positif jikalau tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar, olehnya itu al-Kindi menambah satu macam kecerdikan yang mempunyai wujud di luar wujud insan yang berjulukan kecerdikan yang selamanya dalam aktualitas yang membuat kecerdikan menjadi potensial dalam roh insan menjadi aktuil.

Menurut dugaan saya, mungkin inilah yang disebut kecerdikan yang tak terbatas. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang membedakan menjadi dua macam kecerdikan yakni kecerdikan mungkin dan kecerdikan agen. Akal mungkin itulah yang mendapatkan pikiran. Sedangkan kecerdikan biro menghasilkan obyek-­obyek pemikiran. Akal biro ini selalu aktual, dan selalu tersendiri, kekal dan tak rusak.[31]

Menurut syayyid Syarif kecerdikan itu ada disebut juga (intelak pertama), hakikat Muhammadiyah, nafs wahidah, hakikat asmaiyyah yang identik dengan eksistensi pertama yang diciptakan Allah yang, dinamakan (khalifah terbesar) atau inti cahaya, pada dasarnya merupakan wahana penampakan zat. Sedangkan cahayanya penammpakan pada umumnya. Yang pada dasarnya dinamakan (nafs wahidah) cahayanya dinamakan intelak pertama.[32]

Dan rupanya teori ihwal nafs,/jiwa masih belum tuntas lantaran filosof di belakang al-Kindi masih mempersoalkan. Dan yang terpenting berdasarkan al-­Kindi bagaimana menyempurnakan jiwa untuk memperoleh kebahagian tertinggi.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis sanggup menarik suatu kesimp­ulan sebagai berikut:

1. Al-Kindi yaitu seorang filosof muslim Yang pertama, (185 H.) yang meninggalkan 270 buah buku. Sekaligus dikenal sebagai filosof yang mengkompromikan Agama dan filsafat, Menurutnya bahwa Agama dan Filsafat tidaklah mungkin bertentangan, lantaran keduanya berasal dari. Allah. Al-Qur'an sudah terperinci kebenarannya secara eksklusif sebagai wahyu melalui Rasul-rasulnya, dan filsafat yaitu hash dari upaya penghinaan kecerdikan secara maksimal sebagai potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jadi, apa yang dihasilkan oleh filsafat yaitu kebenaran yang tidak bertentangan dengan Agama, selain itu, Allah telah menganjurkan kepada insan untuk selalu memakai akalnya dalam mengamati fenomena alam, lantaran seseorang yang bisa memakai akalnya, niscaya akan menemukan kekuasaan Allah yang sangat besar melalui alam ini.

2. Dalam filsafat ketuhanan al-Kindi, dijelaskan bahwa Tuhan yaitu wujud yang tepat dan tidak didahului wujud apapun. Pada hakikatnya pandangan ini, dianut semua. para filosof muslim sebelum dan sesudahnya. Namun ada klarifikasi al-Kindi yang menarik dalam menjelaskan ihwal wujud Tuhan. Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti ainiah (jus,I) atau mahiyah (universal). Tuhan tidak ainiyah, lantaran Ia tidak termasuk bends yang tersusun, bahkan Ia penyebab adanya benda. Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, lantaran Tuhan bukan jenis atau species. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengannya. Tuhan yaitu al­-Haq al-Awwal ( ) dan Ia semata-mata satu.

3. filsafat jiwa pada dasarnya tidak terlalu jauh memperlihatkan komentar, lantaran ia mengacu pada firman Allah yang menyampaikan bahwa "roh yaitu urusan Tuhan". Namun al-Kindi menjelaskan bahwa roh itu, tepat dan mulia, lantaran rah yaitu substansi Tuhan. Selanjutnya Al-Kindi menganalogikan korelasi Tuhan dengan roh dengan menyampaikan bahwa Tuhan dengan roh yaitu dengan korelasi matahari dengan cahayanya. Roh juga pada hakikatnya kekal dan tidak hancur, lantaran ia yaitu cahaya yang dipancarkan oleh Allah.

Baca Juga: Biografi dan pemikiran Fakhruddin Al-Razi di Bidang Filsafat

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mits'al al-Saidiy, Al-Mujaddiduna fi al-Islam min Qarni al-Awwal ila at-Rabiy at­`Asyar, Midan al-Awabiral al-Qahirah, 1996

Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Filsafat Islam, Cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1989

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang, PT. Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994

Imam al-Razi, Imam al-Rani, Ilmu Akhlaq diterjemahkan dengan judul Roh dan jiwa
Tinjauan Filosofis dan Persfektif Islam. Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 2000

Madjid Fakhriy, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Petak Kronologis, cet, I; Bandung, Mizan, 2001

Muhammad Tacky Misbagh yazdi, Buku Daras Fffisqfat Islam, Cet. I; Bandung: Mizan, 2003 

M. M, Syarif, Para Filosof Muslim, Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998

Muliyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai Dari Cicago, Cet: I Jakarta: Para Madinah, 2000

Noercholis, Madjid, Khasanah Intelektual Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994 

Nasution Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Cet, X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999
                           Falsafat Agama, Cet: 8, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
                           Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet.8, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Syekh Kamil Muhammad bin Muhammad 'lwaidah, al-Kindimin Falasafat al-Musyrik wa al-islam fi al-Usur al-Wustha, Baerut. Dar al-Kutub al-ilmiah, 1993

T. J. De Boer, The History of Philosophy, New York: Loser Publicatio, inc, T.


Catatan Kaki


[1] Madjid Fakhriy, Sejarah Filsofat Islam: Sebuah Petah Kronologis (cet. I; Bandung: Mizan, 2001), h. 25. 

[2] Muhammad Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Iskandariya: Dar al­Ma'rifat al-Jamiah, 1996), h. 316. 

[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 18. 

[4] Abdul Mits'al al-Saidiy, At-Mujaddidunafi al-Islam min Qarni aI-Awwal ila al­-Rabiy al-Asyar (Midan al-Awabiral al-Qahirah, 1996), h. 107. 

[5] 1bid, h. 15. 
[6] Harun Nasutin, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Cet X; Jakarta. Bulan Bintang, 1999), h. 7 

[7] T. J. De Boer, The History of philosophy (New York: Doser Publicatio, ine, T.th), h. 97 

[8] Muliyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai Dari Cieago (Cet. I Jakarta: Para Madinah, 2000), h. 28. 

[9] Ibid, h. 29. 

[10] Harun Nasution, op. cit., h. 8-9. Hasyimsyah Nasution, op. cit. h. 13. lihat juga Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu FRsafat Islam (Cet. I Jakarta: Bulan Bintang, ig8g), h. 11. 

[11] Ibid, h. 16. 

[12] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo Semarang,­ 1999), h. 1055 

[13] Ibid, h. 252. 

[14] Ilmu pengetahuan yang dianggap sanggup membuat insan menjadi lebih insan (beradap). 

[15] Hasyimsyah Nasution, op. cit. h. 19. 
[16] M.M Syarif, Para Filosof Muslim (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998, h.17 

[17] Ibid, h, 20. 
[18] Hasyimsyah, loc. cit. 

[19] Adalah jenis, kelas dan golongan. 

[20] Adalah tanaman, hewan, dan kategori penggolongan dalam biologi. 
[21] Ibid. 

[22] M. M. Syarif. Op.cit. h. 21. 
[23] Ibid. 

[24] 1bid h. 22 
[25] Ibid, h. 23. 

[26] Noercholis Masjid, Khosanah Intelektual Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 92. 

[27] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam op. cit. h. 10. 
[28] Hasyimsyah, op. cit. h. 22.. 

[29] Harun Nasution, Mistisme dalam Islam, op. cit. h. 11. 

[30] Syekh Kamil Muhammad bin Muhammad 'Iwaidah, al-Kindimin Falasafat al­-Masyrik wa al-islam al-Usur al- Wustha (Baerut: Dar al-Kutub al-ilmiah, 1993), 49. 

[31] M. M. Syarif, op. cit. h. 26. 

[32] Imam al-Razi, Imam al-Razi, Ilmu Akhlaq diterjemahkan dengan judul Roh dan jiwa Tinjauan Filosofis dan Persfektif Islam. (Cet. 1; Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 76.

Buat lebih berguna, kongsi: