Studi Kritis Atas Hermeneutika Feminis Fatima Mernissi

TELA’AH ATAS KONSEP HERMENEUTIKA FEMINIS FATIMA MERNISSI
Oleh: Qaem Aulassyahied

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hingga kini wacana wacana pembebasan perempuan merupakan salah satu wacana Islam yang terus berkembang. Hal ini lantaran oleh sebagian orang menganggap bahwa marginalisasi tugas perempuan tercipta dan lestari salah satu di antaranya lantaran tradisi agama yang menomor duakan perempuan dalam banyak aspek. Ghada Karmi, dalam Women Islam and Patriarchalisme, merujuk pernyataan Nawal Sa’dawi untuk memperlihatkan fakta budaya dan tradisi Islam yang patriarkhis[1]. Tidak jauh berbeda Anne Sofie Rolald juga meyakinkan bahwa terdapat hukum-hukum Islam yang dilegitimasi oleh dalil agama sarat dengan tindakan bernuansa diskriminatif terhadap perempuan.[2]

Fenomena ini kemudian melahirkan beberapa gerakan pembebasan perempuan atau yang biasa dikenal dengan feminisme. Seperti contohnya Charlez Kurzman menulis bahwa dilema hak-hak perempuan kemudian menjadi salah satu gosip utama pemikiran islam liberal di sampung juga perlawanan atas kasus teokrasi, demokrasi dan hak-hak non muslim.[3] Budy munawar rahman menjelaskan bahwa Istilah feminisme di dunia Islam kemungkinan besar sudah muncul semenjak awal kala XX. Hal ini berkembng melalui pemiiran tokoh geminis menyerupai Aisyah taymuniyah, zainab fawwaz dan termasuk kartini.[4]

Di antara tokoh feminisme muslim yaitu fatima mernissi. Sama dengan para tokoh lain, mernissi menganggap bahwa tradisi yang bersumber dari tafsiran salah faham atas sumber Islam yang bertanggung jawab banyaknya perempuan termaginalkan atas nama Islam. terlebih lagi, semenjak kecil, fatima mernissi memang mencicipi sendiri bagaimana wajah Islam yang terkesan superior di hadapan wanita, tidak teduh dan mengayomi.

Tulisan ini mencoba menelaah bagaimana fatima mernissi mencoba menggugat tafsiran keagamaan yang diambil dari hadis dengan hermeneutika feminisnya. Sebagai seorang pakar sosiolog fatima merupakan perempuan yang dekat dengan literatur klasik dan kajian historis. Tulisan ini fokus pada penerapan studi kritisnya, terutama pada beberapa riwayat bubuk hurairah yang dia golongkan sebagai hadis misoginis. Tidak lupa penulis memberikan analisis sebagai upaya ilmiah penulis menela’ah secara obyektif. 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Fatima Mernissi

Sosok Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di kota Fez, cuilan dari negara Maroko yang ketika itu tengah menghadapi pergolakan dan semangat pembebasan secara sosio-kultural. Terlahir sbgai harem di kota tersebut, fatima mernissi menerima pendidikan tingkat pertama dari seorang guru berjulukan Lalla Faqiha di sekolah tradisional yang didirakan oleh kaum Nasionalis Maroko. Dalam suasana pergolakan tersebut, Fatima mernissi mengisi masa remajanya dengan ikut aktif dalam gerakan menentang imprealis Perancis.[5]

Besar dan berkembang dalam lingkungan harem, Fatima mernissi hidup di antara dua kultur yang berbeda. Pertama lingkungan keluarga ayah di kota fez yang memandanga harem sebagai simbol penghalang dalam wujud dinding-dinding yang tinggi. Kedau keluarga ibunya yang berada jauh dari perkotaan, yang menganggap harem sebagai strata sosial elit yang hidup dan tinggla di rumah yang di kelilingi kebun yang luas. Pada kesannya mernissi lebih banyak tumbuh terpengaruh dan mendapatkan pengalaman berharga wacana kesetaraan sesaman insan di keluarga nenek dari ibunya tersebut. selain wacana keseteraan, semenjak kecil, Fatima Mernissi juga telah berguru wacana keterkungkungan yang hakikatnya dialami juga oleh harem dan korelasi lantaran akhir antara kekalahan yang dialami kaum muslimin dengan keterpurukan yang dialami perempuan.[6]

Lingkungan dan tempaan hidup yang telah dia dapati membentuk fatima mernissi sebagai gadis yang kritis semenjak kecil. Bersama saudara sepupunya chama, merka selalu bertanya wacana makna harem. Adapun anggota keluarganya, terbagi menjadi dua; pertama terdiri dari nenek Lalla Mani dan Ibu Chama, Lalla Radia. Kelompik ini pro harem dan menganggapnya sebagai hal baik. Sementara keluarga kedua yang terdiri dari ibu, Chama dan bibi Habiba yaitu kelompok yang anti harem. Ibunya sering melaksanakan protes terhadap pemisahan ruangan antara keluarganya engan keluarga pamannya, yang secara eksklusif maupun tidak eksklusif mengajarkan kepadanya gagasan pembebasan dan pemberontakan perempuan.[7]selain dari ibunya, fatima mernissi juga mendapatkan pelajaran berharga dari neneknya Lalla Yasmina. Dari neneknya, fatima mernissi berlajar wacana batasan-batasan harem yang menurutnya lebih banyak tersimpan dalam benak seseorang, lebih dari sekedar batas-batas dinding secara fisik membatasi ruang gerak perempuan.

Pada masa kecil, fatima mernissi mengenal al-Qur’an dengan pemahaman tradisional. Hal ini dikarenakan sekolah tradisional yang didirikanoleh kaum nasionalis, mengajarkan al-Qur’an dengan sistem pelajaran yang keras. Berbeda dengan pembelajaran yang dia terima dari neneknya lalla yasmina yang sennantiasa membuka pintu mengenal agama dengan gaya puitis. Di sekolah al-Qur’an fatima mernissi tidak segan mendapatkan bentakan dan eksekusi keras hanya lantaran salah melafalkan ayat. Lalla Faqiha, gurunya selalu menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur;an haruslah dibaca persis sama dengan ketika kitab tersebut turun dari surga. Setiap kali hafalan yang diadakan hari rabu, fatima tidak jarang mendapatkan eksekusi tersebut, bahkan mendapatkan pukulan dari pelajar senior atau yang ketika itu disebut Mahdriyah.[8]

Dalam pengakuannya sendiri, mernissi menyampaikan bahwa dua sistem pendidikan yang kontras tersebut menjadikan perilaku gandanya terhadap teks suci. Dua perilaku ganda ini menempel selama bertahun-tahun di mana ia menyikapi ayat-ayat suci sanggup sebagai pintu gerbang untuk melarikan diri atau malah sebagai penghalang yang tak sanggup di atasi. Al-Qur’an pun, dalam benak fatima mernissi kecul dapan membawa ke dalam mimpi atau malah menjadi pelemah semangat. Dua perilaku ini, bagi fatima mernissi, tergantung siapa yang menyeru ayat-ayat suci tersebut.[9]

Memasuki masa remaja, fatima mernissi berkenalan dan mulai dekat dengan hadis. Namun kedekatan ini bukanlah terhubung dengan baik. Justru melahirkan banyak gejolak di dalam dirinya yang memang telah terlatih bersikap kritis. Di sekolah tradisional tersebut, fatima mernissi pernah mendengar sang guru menyebutkan salah satu hadis yang tercantum dalam kitab al-Bukhari “Anjing, Keledai dan Wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila melintas di depan mereka, menyela antara orang yang shalat dengan kiblat. Mendengar hal itu, perasaannya terguncan dan bertanya-tanya yang mana pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu hadir dalam ingatannya: “bagaimana mungkin Rasulullah menyampaikan hadis itu? sesuatu yang sangat melukai hati saya? Guncangan dan pertanyaan semacam itu semakin tumbuh mengingat ketidak sesuaiannya dengan dongeng wacana kehidupan Nabi Muhammad. “bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih telah melukai perasaan gadis cilik, yang ketika pertumbuhannya berusaha menjadikannya pilar harapan romantisnya?[10]

Di masa dewasanya, fatima mernissi pun tumbuh dengan semakin kritis atas pedoman agama yang dianutnya. Pada satu kesempatan ia pernah bertanya kepada seorang pedagang sayur langganannya “bisakah seseorang perempuan menjadi pemimpin kaum muslim?” pedagang sayur tersebut lantas berseru dengan kaget”naduzubillah min dzalik”. Di tempat yang sama seorang guru pun menimpali pertanyaanya dengan menyitir hadis “suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wainta tidak akan memperoleh kemakmuran”. Mendapati perilaku yang tak bersahabat atas pertanyaan tersebut, fatima mernissi tidak sanggup mengucapkan apa-apa. Baginya dalam sehara Iuslam, hadis bukanlah sesuatu yang biasa dan sembarangan. Dengan rasa kalah, ia pulan dan marah. Dari pengalamaninilah, pada kesannya fatima merasa butuh untuk mencari teks-teks tadi dalam rangka mencari pemahaman yang baik.

Pengembaraan intelektual tersebut, kemudian membawa Fatima Mernissi melanjutkan studi hingga tingkat universitas. Ia melanjutkan studinya di universitas Muhammad V di Rabat, dengan kegiatan ilmu politik yang diselesaikannya pada tahun 1965. Kemudain ia melanjutkan ke paris dengan sempat menjadi wartawan pada tahun 1973. Fatima Mernissi menamatkan doktoralnya di bidang sosiologi di Universitas Brandeis. Setelah itu dia kembali dan mengabdikan diri di negara kelahirannya dan mengajar di universitas Muhammad V pada departemen sosiologi sekaligus aktif jgua mengajar di Institute of Scientific Research pada universitas yang sama. Selain sebagai pengajar, ia juga bertindak sebagai konsultan di Unitedi Nation Agencies dan terlibat secara aktif dalam gerakan perempuan menyerupai mendaftarkan dirinya sebagai anggota Pan Arab Woman Solidarity Association.[11]

B. Konsep Hermeneutikan Fatima Mernissi 

1. Kegelisahan Intelektual

Biografi singkat yang dipaparkan di atas setidaknya memberikan citra sederhana kepada kita wacana kegelisahan fatima Mernissi melihat posisi perempuan khususnya dalam naungan agama. maka tidak hiperbola bila dikatakan bahwa dari kegelisahan inilah, Fatima Mernissi mencoba menulusuri secara ilmiah banyak sekali turats islam untuk mengungkap tabir bias penafsiran yang menjadi legitimasi budaya patrairkhi dalam tradisi muslim.

Kenyataan ini dibuktikan dari banyaknya fatima mernissi mengutip tokoh-tokoh yang mengkritisi peradaban Arab, utamanya tradisi atas mengikuti naskah lama. di antara tokoh yang sering dikutip tersebut yaitu Abid al-Jabiri. Dalam bukunya, Women In Islam, Fatima Mernissi mendukung pendapat al-Jabiri yang menyatakan penuangan teks-teks religius ke dalam bentuk tertulis (‘asr at-tadwin) merupakan awal pelembagaan sistem pencekalan. Di mulai tahun 134 hijriah (pada kala ke-8), ketika para sarjana muslim terkemuka mulai membuat katalog hadis fiqh, dan tafsir sebagai peringtah kekhalifaan abbasyiah dan juga dilakukan di bawah penguasaan kekhalifaan.[12]

Bentuk bias kepentingan ini, berdasarkan Fatima Mernissi, berimbas pada manipulasi teks-teks agama. baik manipulasi tersebut dalam bentuk hadis-hadis palsu, atau juga menyusupkan hal-hal yang bertendensi pada politik menyerupai syair-syair Arab yang dipakai secara luas sebagai tumpuan tata bahasa dan kosa kata oleh para penafsir al-Qur’an, para penulis biogradi Rasulullah dan para andal sejarah. Terkait syair-syair Arab, Fatima Mernissi mengutip Thaha husain yang mepertanyakan keshahihan salah satu pilar pengetahuan arab tersebut:

...ia (Thaha Husein) mengingatkan kita bahwa teks orisinil biografi itu, awalnya ditulis oleh ibnu Ishaq, yang meminta maag sedalam-dalamnya lantaran tidak mengetahui syair secara mendalam. Jadi, tanya Thaha Husein, dari mana asalnya baris syair-syair panjang yang merupakan bagiandari teks yang hingga ke tengan kita tersebut? tidakkah syair itu ditambahkan semata untuk memeriahkan karya tersebut.[13] 

Adapun terkait manipulasi hadis palsu, Fatima Mernissi mengungkapkan fakta historis wacana banyaknya kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat muslim pasca wafatnya Nabi Muhammad saw yang saling bersaing, berebut kekuasaan dan mobilitas yang semakin massif dalam memperluas wilayah kekuasaan, kemudian mencari legitimasi yang berkekuatan transendental dengan mengutip perkataan Nabi, menafsirkan ayat secara parsial atau memanipulasi hadis. Dengan mengaku dekat pada Rasulullah atau pernah diberi kekuasaan istimewa, maka kelompok tertentu sanggup menggunakaanya sebagai topeng untuk merahi laba politik dan ekonomi. Dengan sangat terang fatima mernissi berkesimpulan

...Keadaan ini membuat kita menyadari bahwa tonggak-tonggak kepentingan politik dan ekonomilahyang telah mengawali dan akan terus mengupayakan manipulasi hadis-hadis, semenjak hari senin tahun 632 M, tatkala mayat Rasulullah, insan yang berhasil membuat masyarakat yang demokratik dan berkedaulatan, terbaring terlupakan dan tidak segera dimakamkan.[14]

2. Hermeneutika Feminisme

Irsyadunnas dalam bukunya “Hermeneutika Feminisme Dalam Pemikiran tokoh Islam Kontemporer”, secara sederhana menyiratkan bahwa Hermeneutika feminisme yaitu teladan pembacaan terhadap teks-teks agama yang menganut paradigma fenimisme. Feminisme semdiri merupakan sebuah gerakan atau praktek sosial politik yang mempunyai tujuan untuk membebaskan kaum perempua dari supremasi dan eksploitasi kaum laki-laki. sehingga dalam perspektif muslim yang menganut paradigma feminisme, setiap penafsiran bercoarak patriarkhi cenderung mengedepankan konsep ‘maskulinitas’ dalam membaca dan memahami dalil agama.[15]
Mengacu pada penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa apa yang hendak digugat oeh Fatima Mernissi yang mencoba membuka tabir bias maskulinisitas dalam teks-teks keagamaan memasukkannya sebagai tokoh feminis muslim. Gerakan feminisme dalam dunia Islam sudah diawali semenjak selesai kala ke XIX dengan gagasan emansipasi yang dicanangkan dan dipelopori oleh tokoh-tokoh pemikir Islam menyerupai Ri’fa’ah al-Tahtawi, Qasim Amin dan Muhammad Abduh dengan menyerukan perlunya pemberdayaan kaum perempuan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengungkapkan partisipasi sosial mereka sebagai cuilan dari usaha untuk memajukan umat Iswlam. Ahmad baidawi tafsir feminis.[16]

AH ATAS KONSEP HERMENEUTIKA FEMINIS FATIMA MERNISSI Studi Kritis Atas Hermeneutika Feminis Fatima Mernissi

Hermeneutika Feminisme yang diusung oleh para pembebas perempuan termasuk fatima mernissi, mempunyai kegiatan utama. Agenda tersebut yaitu meluruskan kembali makna substansi sumber pedoman Islam. dasar-dasar metodologi yang mereka gunakan: 

a. mengacu pada metodologi Islam Klasik wacana Ijtihad dan tafsir

b. memakai banyak sekali macam perangkat metodologi keilmuan yang lain, menyerupai linguistik, sejarah, kritik sastra, sosiologi, antropologi dan lainnya.

c. dalam mendekati al-Qur’an mereka para perempuan tersebut membawa sejumlah pengalaman dan pertanyaan. Mereka memperlihatkan bahwa penafsiran klasik dan pasca klasik sangat dipengaruhi oleh sejumlah pengalaman dan pertanyaan yang berputar pada pria sebagai akhir dari budaya patriarkhi.[17]

Dalam menerapkan Hermeutikanya, terlihat jelas, Fatima mernissi sebagai spesialis sosiologi, berusaha membangun penafsiran dengan menghubungkan konteks sosialnya. Ia berusaha menulusuri khazanah keilmuan, baik berupa penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, Hadis-hadis misoginis yang dimuat dalam shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ataupun karya-karya lain menyerupai Tarikh at-Thabari, al-Ishabah fi at-Tamyiz as-Shahabah dan lain-lain.[18] dengan menganalisis proses penafsirannya, maka nampak terang metode hermeneutika yang dipakai Fatima Mernissi yaitu Historis Sosiologis. Di samping itu, Nur Mukhlish Zakariya juga menyebut hermeneutika Fatima Mernissi yaitu Hermeneutika Hadis disebabkan konsennya dalam mengkritisi hadis-hadis misoginis.[19]

C. Penerapan Heremeneutikan Fatima Mernissi pada Hadis Misoginis

Berbeda dari para orientalis yang masih mewaspadai kevalidan Hadis, Fatima Mernissi pada dasaranya mengakui hadis berasal dari Rasulullah dan statusnya sebagai sumber pedoman dan aturan Islam. bahkan dengan keyakinan inilah, sehingga bagi Fatima Mernissi mustahil Rasulullah akan berbuat diskriminasi terhadap umatnya, termasuk di dalamnya yaitu kaum perempuan. namun demikian, di dalam kenyataannya terdapat beberapa Hadis yang sarat dengan nuansa diskriminatif terhadap perempuan atau yang dikenal dengan hadis misoginis. Terhadap hadis ini, ia menerapkan hermeneutika sosio-historis berdasarkan paradigma feminis. Hasilnya, ia memperlihatkan terdapat perawi terindikasi diskriminatif terhadap perempuan. di antara perawi hadis tersebut ialah Abu Hurairah.

Dalam bukunya Women In Islam, fatima mernissi membuat dua sub tema wacana hadis misoginis. Hal itu memperlihatkan fokus kritiknya pada hadis-hadis tersebut. salah satu perawi yang paling banyak ia kritik riwayatnya mengenai perempuan yaitu Abu Hurairah. dalam proses kritik tersebut, fatima mernissi menjadikan al-Ishabah karya al-Asqalani tumpuan dalam melihat biografi Abu Hurairah secara historis dan al-Ijabah karya imam Zarkasyi sebagai tumpuan dalam mengkritik riwayat-riwayat Abu Hurairah yang mana sebagian kritikan tersebut bersandar pada Aisyah.

Dari kritikan tersebut, penulis sanggup menyimpulkan secara terang bahwa bagi Fatima Mernissi, sosok Abu Hurairah merupakan perawi yang bertanggung jawab atas ada dan tersebarnya hadis-hadis misoginis. Hal ini sanggup dibuktikan dalam bebeberapa statmennya. Pertama, Fatima Mernissi mengatakan:

... Tanpa prentensi memainkan tugas sebagai penyelidik psikoanalisis, sanggup saya nyatakan bahwa perilaku ambivalen Abu Hurairah terhadap perempuan terselubung dalam kisah singkat mengenai namanya.[20]

Untuk memperjelas pernyataan ini, Fatima Mernissi kemudian menjelaskan biografi singkat nama Abu Hurairah yang bersumber dari al-Ishabah fi at-Tamyiz as-Shahabah:

Abu Hurairah berasal dari satu suku Yaman, Daws. Pada usia 30 tahun, orang yang dijuluki Hamba sang matahari ini masuk Islam. Rasulullah memberinya nama Abdullah dan menjulukinya Abu Hurairah (ayah kucing betina kecil), lantaran ia seringkali berjalan-jalan, ersama-sama kucing betina kecil peliharaannya. Abu hurairah tidak bahagia terhadap nama julukannya, lantaran ada wangi kewanitaan di dalamnya: “Abu Hurairah mengatakan: “jangan panggil saya Abu Hurairah, Rasululah menjuluki saya mana Abu Hirr. Karena jantan lebih baik dari pada betina. Ia juga memilki alasan lain yang membuatnya merasa lebih sensitif dalam soal femenimitas. Ia tidak mempunyai pekerjaan yang memperlihatkan kejantanan.[21]

Berdasarkan pernyataan ini, nampak terang Fatima Mernissi ingin memperlihatkan betapa pandangan Abu Hurairah yang lebih mengutamakan panggilan bubuk Hurr merupakan pandangan yang bias gender.

Kedua, perilaku kasarnya terhadap Aisyah ketika dikritik. Dalam hal ini Fatima menyampaikan bahwa Abu Hurairah selalu melawan Aisyah yang mengkritiknya meskipun Aisyah yaitu “ibu Kaum Mukminin” dan kekasih yang dikasihi Allah”. Fatima memberikan bukti:

...pada suatu hari, Abu Hurairah kehilangan kesabarannya dan mencoba mempertahankan diri atas serangan yang dilancarkan Aisyah ketika Aisyah berkata “abu Hurairah, engkau telah menyatakan suatu hadis yang belum pernah kau dengar”, Abu Hurairah menjawab pedas: “wahai ibu, seumur hidup saya mengumpullkan hadis, sementara engkau terlalu sibuk dengn celak dan cerminmu.[22]

Ketiga, tidak hanya sebagai perawi yang diskriminatif terhadap perempuan, Abu Hurairah mempunyai cacat pribadi yang itu sifatnya yang malas dan enggan bekerja. Untuk mengambarkan ini, Fatima Mernissi mengutip percakapan Abu Hurairah dengan Umar bin Khattab yang bersumber dari al-Ishabah:

Pada suatu kesempatan ia memanggil bubuk hurairah dan memberikan pekerjaan. Ia sangat terkejut lantaran bubuk hurairah menolak tawarannya. Umar, yang tidak menganggap penolakannya sebagai lelucon, mencelanya

“engkau menolak untuk bekerja ? orang yang lebih baik dari kau sekalipun meminta pekerjan.”

“siapa gerangan orang yang lebih baik dari saya itu?” tanya Abu Hurairah

“Yusuf putra Ya’qub, misalnya”, jawab umar mengakhiri percakapan.

“ia” ujar Abu Hurairah secara tak tahu aib “adalah seirang rasul, juga putra seorang rasul, sedang saya Abu Hurairah, putra Umaimah.[23]

1. Kritik atas Riwayat Abu Hurairah


Di antara hadis-hadis misoginis riwayat Abu Hurairah yang diketengahkan oleh Fatima Mernissi adalah:

a. Hadis Larangan Berpuasa Dalam Keadaan Junub

Perihal Hadis ini Fatima Mernissi menceritakan kronologis bagaimana tendensi Abu Hurairah ketika menyampaikannya:

“Saya mendengar Abu Hurairah mengatakan, bahwa pada ketika fajar subuh berada dalam keadaan junub hendaknya tak berpuasa. Setelah mendengar fatwa gres ini, para Sahabat eksklusif bergegas mendatangi istri-istri Rasulullah untuk meyakinkan diri mereka sendiri mengenai fatwa tersebut:

... “mereka segera bertanya kepada Ummu Salamah dan Aisyah... keduanya menjawab: “Rasulullah biasa menghabiskan malam dalam keadaan junub tanpa mandi mensucikan diri, sementara pagi harinya ia berpuasa.” Para Sahabat yang kebingungan segera kembali menjumpai Abu Hurairah:

... oh ya mereka menyampaikan demikian? Tanggap Abu Hurairah. “ya mereka menyampaikan begitu,” ulang para sahabat yang merasa semakin bingung, berhubung puasa ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. lantaran terdesak, Abu Hurairah mengakui bahwa ia tidak mendengar secara eksklusif hal tersebut, tetapi ia mendengar dari seseorang ia akan mempertimbangkan kembali apa yang telah ia ucapkan dan sesaat sebelum wafat, Abu Hurairah menarik ucapannya kembali.

b. Hadis Tentang Tiga Hal yang Membawa Bencana

Fatima menulis dengan mengutip kritik Aisyah mengenai hadis ini di dalam al-Ijabah:

...mereka berkata kepada Aisyah menyampaikan Rasulullah bersabda: “ada tiga hal yang membawa bencana: rumah, perempuan dan kuda”. Aisyah menjawab “abu Hurairah mempelajari soal ini secara jelek sekali. Ia tiba memasuki rumah kami ketika Rasulullah di tengah-tengah kalimatnya. Ia hanya sempat mendengar cuilan selesai dari kalimat Rasulullah. Rasulullah sebetulnya berkata “semoga Allah mengambarkan kesalahan kaum Yahudi; mereka mengatakan, ada tiga hal yang membawa bencana, rumah perempuan dan kuda”.[24]

Beberapa hadis yang dibahas Fatima Mernissi di atas bagi penulis sendiri memperlihatkan bagaimana Fatima Mernissi ingin memperlihatkan wacana klaimnya atas Abu Hurairah. untuk itu, maka masuk akal kalau Fatima Mernissi menyimpulkan sosok Abu Hurairah dengan ungkapan yang jelas:

Bukanlah suatu usaha yang sia-sia untuk menggali kepribadian Abu Hurairah, perawi hadis yang begitu menjenuhkan wacana kehidupan sehari-hari perempuan muslim modern. Ia juga telah menjadi sumber dari sejumlah literatur keislaman. Namun, ia tetap menjadi objek kontroversi dan tidak pernah ada janji bahwa ia merupakan sumber yang sanggup dipercaya.[25]

D. Analisis Feminisme dan Semangat Pembebasan Islam atas Kaum Wanita

Semangat pembebasan kaum feminis atas perempuan tidak sanggup dipungkiri yaitu semangat yang baik, lantaran Islam sendiri sejalan dengan hal tersebut. Islam semenjak masa kedatangannya. telah merubah tradisi fundamental kaum Arab yang sangat tidak menghargai perempuan, menjadi tradisi yang menghargai hak-hak perempuan. Seperti Islam menghapus pembunuhan perempuan. Aqiqah yang sebelumnya yaitu tradisi untuk kelahiran bayi laki-laki, juga diperuntukkan bagi perempuan. Pemberian hak menentukan pasangan yang juga diserahkan pada perempuan. Begitu juga mas kawin dan hak waris perempuan yang sebelum Islam datang, sama sekali tidak diberikan.[26]

Maka dalam hal ini, sangat beralasan sekali kalau Fatima Mernissi memulai eksplorasi Hadis-hadis Misoginisnya dengan perkiraan awal bahwa terdapat beberapa hadis yang sengaja dipalsukan demi kepentingan parsial. Persoalan pemalsuan hadis pun telah jauh dikemukakan oleh ulama hadis. Sebut saja yang paling dekat masanya yaitu shalahuddin al-Adlabi. Al-Adlabi menyatakan bahwa Terjadinya pemalsuan hadis secara sengaja dilatarbelakangi oleh beberapa alasan antara lain: pertama, pemalsuan yang dilakukan oleh kau zindik untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kedua, keinginan melaksanakan pembelaan baik terhadap aliran politik, terhadap aliran fikih, dan aliran geografis. Ketiga terodong motif-motif duniawi menyerupai ingin mendekati penguasa, dan mencari pendukung.[27]

1. Kontroversi Abu Hurairah: Kesengajaan ataukah Kekeliruan?

Namun demikian, hal yang perlu ditanyakan kemudian yaitu apakah terjadinya pemalsuan hadis tersebut murni lantaran kesengajaan ataukah sanggup terjadi lantaran faktor lain. hal ini bagi penulis yang mungkin luput di ketengahkan oleh Fatima Mernissi. Dalam literatur ilmu hadis, adanya hadis yang tidak sesuai dari Rasulullah tidak hanya lantaran tendensi ekonomi, kekuasaan dan politik saja, tetapi juga ada lantaran kekeliuran yang ranahnya ketidak sengajaan.

Al-Adlabi sendiri menyatakan bahwa Munculnya pemalsuan ini dibedakan menjadi dua, lantaran yang disengaja atau yang tidak disengaja. faktor yang tidak disengaja sehingga hadis sanggup dipalsukan, di antaranya yaitu terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada periwayat[28] atau penyusupan hadis palsu dalam cacatan periwayat yang ṡiqah oleh orang lain tanpa sepengetahuan dirinya.[29]

Selain dari itu pula ada beberapa riwayat yang terindikasi salah dalam periwayatan lantaran adanya kekeliruan (waham) yang dalam hal ini, bahkan Sahabat pun sanggup melakukannya. Al-Adlabi mengatakan:

“Bila di antara Nabi saw dan seorang Sahabat tidak terdapat rangkaian periwayat lain, bahkan hanya Sahabat itu sendiri, dan ini yang umumnya dijumpai, maka andaikata terjadi kesalahan, kesalahan itu tidak lain berasal dari Sahabat tersebut. Kesalahan itu sanggup disebabkan oleh salah satu faktor berikut”:[30]

a. Sahabat itu meriwayatkan hadis yang didengarnya eksklusif dari Nabi saw, tetapi ia tidak tahu kalau hadis itu telah di-nasakh (an yaḥduṡa bimā sami’ahu min an-Nabi wa lā yadri annahu mansūkhun)

b. Ia mengalami kekeliruan dalam meletakkan dua hadis atau dua kata, sehingga meletakkan yang satu ke tempat yang satunya lagi. Ini yang disebut al-maqlūb (an yaqa’a lahu inqilāban baina syai’aini aw lafẓaini, fa yaj’alu kulla wāḥidin minhuma makān al-ākhar, wa hāża huwa al-maqlūb)

c. Dalam meriwayatkan hadis, ia menyertakan komentarnya bersama dengan redaksi hadis itu, sehingga diduga oleh para pendengarnya bahwa itu cuilan dari hadis. Inilah yang disebut hadis mudraj (an yaqūla ma’a riwayah al-ḥadīṡ qaulan min ‘indi nafsihi, muttaṣilan binas al-ḥadīṡ, fa yaẓunnuhu as-sāmi’ūna annahu marfū’un, wa hāża huwa al-mudraj)

d. Ia meriwayatkan hadis dengan redaksinya sendiri yang mempunyai cakupan lebih luas dari makna sebetulnya (an yarwiya al-ḥadīṡ fi mauridin yaj’aluhu yaḥtamila min al-ma’na akṡar mimma yaḥtamil).

e. Keliru dalam menguasai dan memahami redaksi hadis sehingga menyelisihi makna sebetulnya (an laa yaḍbiṭa lafẓ al-ḥadīṡ bihaiṡu yakhtalifu al-ma’na)

f. Sahabat meriwayatkan hadis dengan maksud yang tidak benar lantaran lupa atau atau tidak tahu latar belakang penuturan hadis tersebut (an yarwiya al-ḥadīṡ ‘alā gairi wajhihi ligaflatihi ‘an sabāb al-wurūd)

g. Sahabat melaksanakan kesalahan dengan meriwayatkan secara keliru apa yang tidak pernah dia dengar eksklusif dari Nabi saw (an yaqa’a lahu ghalat fa yarwi wāhiman ‘an an-Nabi mā lam yasma’hu minhu).

Menyadari dan mengungkapkan hal ini bagi penulis penting, semoga kita sanggup terjaga dari perilaku kritis hiperbola yang mengarah kepada hal negatif dan berujung pada perilaku skeptis. Bahkan sesudah penulis telaah secara seksama, usaha Fatima Mernissi dalam menilai sosok Abu Hurairah, bagi penulis terkesan terlalu hiperbola dan mengandung unsur skeptis. Hal ini sanggup dilihat dari beberapa hal.

Pertama. Fatima Mernissi mengindikasikan adanya perilaku “anti perempuan” pada jawaban Abu Hurairah yang lebih menentukan dipanggil Abu Hurr dibanding Abu Hurairah. dalam hal ini, Fatima Mernissi merujuk informasi tersebut di dalam al-Ishabah karangan al-Asqalani. Namun sesudah penulis lacak, sanggup disimpulkan bahwa menjadikan hal ini sebagai bukti Abu Hurairah anti perempuan terlalu berlebihan. Sebab dalam pembahasan nama Abu Hurairah, banyak ikhtilaf yang terjadi. Di antaranya:

وقال أبو عليّ بن السّكن: اختلف في اسمه، فقال أهل النسب: اسمه عمير بن عامر، وقال ابن إسحاق: قال لي بعض أصحابنا عن أبي هريرة: كان اسمي في الجاهلية عبد شمس بن صخر، فسماني رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلّم عبد الرحمن، وكنيت أبا هريرة، لأني وجدت هرّة فحملتها في كمّي، فقيل لي أب 

وهكذا أخرجه أبو أحمد الحاكم في الكنى من طريق يونس بن بكير، عن ابن إسحاق

وأخرجه ابن مندة من هذا الوجه مطولا. وأخرج الترمذي بسند حسن، عن عبيد اللَّه بن أبي رافع، قال: قلت لأبي هريرة: لم كنيت بأبي هريرة؟ قال: كنت أرعى غنم أهلي، وكانت لي هرة صغيرة، فكنت أضعها بالليل في شجرة، وإذا كان النهار ذهبت بها معي، فلعبت بها فكنوني أبا هريرة. انتهى.

قال النووي في مواضع من كتبه: اسم أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر على الأصح من ثلاثين قولا

وقال أبو معشر المدائنيّ، عن محمد بن قيس، قال: كان أبو هريرة يقول: لا تكنوني أبا هريرة، فإن النبي صلى اللَّه عليه وسلّم كناني أبا هرّ والذّكر خير من الأنثى[31] و هريرة.

apa yang penulis kutipkan di atas tidak ada sepertiga dari perbedaan nama-nama milik Abu Hurairah di dalam kitab al-Ishabah. Kutipan ini memperlihatkan bahwa bahkan Abu Hurairah sendiri mengenalkan namanya dengan sebutan Abu Hurairah. Imam an-Nawawi juga menshahihkan nama bubuk Hurairah ‘Abdurrahman bin Skhar.

Adapun keterangan terakhir yaitu dalil yang dikemukakan oleh Fatima Mernissi. Namun bagi penulis, meskipun hal ini ada, tetap, berdasarkan penulis belum sanggup mengambarkan bahwa perkataan Abu Hurairah memperlihatkan dia anti wanita. lantaran dalam hal ini, konteksnya yaitu hurairah yang berarti kucing betina, dan hurr kucing laki-laki. Sementara menentukan kucing pria merupakan hal yang lumrah, tidak ada kaitan antara membenci atau tidak.

Kedua. Terdapat terjemahan atau kutipan yang sesudah penulis cek, bagi penulis kurang sempurna bahkan ada beberapa sisipan yang berbau skeptisisme. Seperti terjemahan:

... oh ya mereka menyampaikan demikian? Tanggap Abu Hurairah. “ya mereka menyampaikan begitu,” ulang para sahabat yang merasa semakin bingung, berhubung puasa ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. lantaran terdesak, Abu Hurairah mengakui bahwa ia tidak mendengar secara eksklusif hal tersebut, tetapi ia mendengar dari seseorang ia akan mempertimbangkan kembali apa yang telah ia ucapkan dan sesaat sebelum wafat, Abu Hurairah menarik ucapannya kembali.

Di keterangan footnotenya, Fatima mernissi merujuk percakapan ini pada kitab al-Ishabah halaman 112 dan 113. Namun sesudah penulis menelaah eksklusif kitabnya, tidak penulis temukan lafal yang mengartikan “para sahabat yang merasa semakin bingung” dan kata “karena terdesak” . meskipun sekiranya ini yaitu jumlah sisipan, bagi penulis sendiri, sebaiknya tidak memakai kedua kata tersebut lantaran kutipan yang dipakai yaitu kutipan eksklusif dan kedua kata tersebut sanggup mengarahkan percakapan pada sisi negatif Abu Hurairah.[32]

Hal yang sama kita temukan pada keterangan percakapan Umar dan Abu Hurairah:

Pada suatu kesempatan ia memanggil bubuk hurairah dan memberikan pekerjaan. Ia sangat terkejut lantaran bubuk hurairah menolak tawarannya. Umar, yang tidak menganggap penolakannya sebagai lelucon, mencelanya

“engkau menolak untuk bekerja ? orang yang lebih baik dari kau sekalipun meminta pekerjan.”

“siapa gerangan orang yang lebih baik dari saya itu?” tanya Abu Hurairah

“Yusuf putra Ya’qub, misalnya”, jawab umar mengakhiri percakapan.

ia” ujar Abu Hurairah secara tak tahu aib “adalah seirang rasul, juga putra seorang rasul, sedang saya Abu Hurairah, putra Umaimah.”

Percakapan ini Fatima Mernissi rujuk pada kitab al-Ishabah jilid tujuh halaman lima ratus tujuh belas. Berikut percakapan eksklusif di dalam kitabnya:

وقال عبد الرّزّاق: أخبرنا معمر، عن أيوب، عن ابن سيرين- أن عمر استعمل أبا هريرة على البحرين، فقدم بعشرة آلاف، فقال له عمر: استأثرت بهذه الأموال، فمن أين لك؟ قال: خيل نتجت، وأعطية تتابعت، وخراج رقيق لي، فنظر فوجدها كما قال، ثم دعاه ليستعمله فأبى، فقال: لقد طلب العمل من كان خيرا منك؟ قال: ومن؟ قال: يوسف. قال:

إنّ يوسف نبي اللَّه، ابن نبي اللَّه وأنا أبو هريرة بن أميمة، وأخشى ثلاثا أن أقول بغير علم، أو أقضي بغير حكم، ويضرب ظهري، ويشتم عرضي، وينزع مالي.[33]

Dilihat secara lengkap dengan pengertian harfiah, sanggup disimpulkan bahwa pengertian yang dituliskan dalam percakapan dalam buku perempuan dalam Islam tidaklah searah dan semaksud dengan lafal orisinil di dalam kitab rujukan. Pada percakapan di atas dengan terang dieritakan bahwa Abu Hurairah pada zaman Umar R.A. telah menjadi Amir di kawasan Bahrain. Satu ketika ia dipanggil oleh Umar untuk diaudit harta kepemilikannya yang berjumlah seratus ribu. Ketika ditanya dari mana sumber pendapatan ini, Abu Hurairah menjawab dari kuda ternaknya, dari hadiah yang ia dapatkan dan dari upah pajak yang menjadi haknya. Setelah kebenarannya telah diklarifikasi.

Hingga selesai cerita, justru memperlihatkan bahwa bukan lantaran malas Abu Hurairah menolak untuk mendapatkan jabatan Amir lagi, tetapi lantaran justru lantaran ketawadhuannya atas ilmu, dan takutnya kalau memutuskan kasus tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

Catatan Kaki

[1] pernyataan Nawal Sa’dawi, adalah:
Arab men look upon their women as bodies which must remain forever youthful. The value of women deteriorates with age. Attitudes towards the age of women, their youth and their beauty, can be easly understood againts this background. Their youth extends in fact over the years during which they are capable of giving the husband sexual pleasure, bearing chlidren for him, and serving the family. It usually extends from the beginning of buerty, that is from the first menstrual period, until the menopause. In other wordsm it encompasses the whole of her fertile age from roughly fifteen to forty-five years.

Ghada Karmi, Women, Islam and Patriarchalisme, dalam feminism and Islam legal and literary perspectives, disampaikan untuk Centre of Islamic and Middle Eastern Law School of Oriental and African Studies Universty London, ITHACA press, 1997, hlm.69-70

[2] Anne Sofie Roald (2001), Women in Islam: the Western Experience. London Routledge,hlm.109-110

[3] Budy munawar-rachman, Islam Pluralis; wacana kesetaraan kaum beriman. Jakarta: paramadina, 2001) hlm 389

[4] Budhy Munawar Rahman, “Islam dan Feminisme: dari Sentralisme Kepada Kesataraan”, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, ed. Mansour Faqih, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 201

[5] Amal Rassam, “Mernissi, Fatima”, dalam, Nur Mukhlish Zakariya, Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis, Jurnal KARSA, Vol. 19, No. 2 Tahun 2011, hlm. 123

[6] Ibid
[7] Ibid, hlm. 123

[8] Di Pendahuluan dalam Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.2

[9] , Nur Mukhlish Zakariya, Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis, Jurnal KARSA, Vol. 19, No. 2 Tahun 2011, hlm. 124

[10] Ibid

[11] Biografi Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Equal Before Allah, Terj. Tim LSPPA. (Yogyakarta: LSPPA, 2000)

[12] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.9
[13] Ibid, hlm. 60

[14] Ibid, hlm. 61-62

[15] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, ( Yogyakarta: Kaukaba, 2014), hlm.32

[16] Ahmad baidawi tafsir feminis (studi pemikiran aminah wadud dan Nasr Hamid Abu Zaid) disertasi: pasca sarjana sunan kalijaga 2009, 51

[17] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, ( Yogyakarta: Kaukaba, 2014), hlm.37

[18] Nur Mukhlish Zakariya, Kegelisahan Intelektual Seorang Feminis, Jurnal KARSA, Vol. 19, No. 2 Tahun 2011, hlm. 130

[19] Hlm, 126

[20] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm. 90

[21] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.91dengan footnote al-Ishabah, jilid 7, hlm. 517

[22] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.92 dengan footnote al-Ijabah 112

[23] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.103 dengan footnote al-Ishabah. 517

[24] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.93 dengan footnote al-Ijabah, hlm 112-113

[25] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994 M), hlm.100

[26] Musdah Mulia, Muslimah Sejati: Menempuh jalan Islam Meraih Ridha Ilahi, (Bandung, MARJA, 2011),hlm.45-49

[27] Ṣalāḥuddin bin Aḥmad al-Adlābī, Manhaj Naqd al-Matn Inda ‘Ulamā’ al-Ḥadīṡ An-Nabawī Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983, hlm.55

[28] Menurut al-Adlābī, betapapun ṡiqahnya, seorang perawi niscaya pernah melaksanakan kesalahan. Hal ini akan kami bahas pada pembahasan selanjutnya

[29] Salah satu peristiwa yang menjadi bukti akan faktor ini yaitu apa yang tejadi pada Abdullah bin Shalih. Ia yaitu sekertaris pribadi al-Laiṡ ibn Said, terutama berkenaan dengan hartanya. Meskipun dia populer ṣadūq, tetapi dalam periwayatannya terdapat hadis-hadis munkar. Hal itu dikarenakan dia mempunyai tetangga yang memliki perangai jelek dan permusuhan dengannya. Tetangga itu sering menjiplak hadis dengan bentuk goresan pena yang sama dengan miliknya, kemudian goresan pena itu dilempar pada catatan-catatan Abdullah bin Ṣālih, sementara dia Abdullah lalai akan hal itu. Akhirnya Abdullah dengan ketidaktahuannya juga meriwayatkan hadis-hadis palsu tersebut. Ṣalāḥuddin bin Aḥmad al-Adlābī, Manhaj an-Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamā al-Ḥadīṡ…, hlm.58

[30] Ṣalāḥuddin bin Aḥmad al-Adlābī, Manhaj an-Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulamā al-Ḥadīṡ…, hlm.108-109

[31] Ahmad bin Hajr al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H) Jilid 7, hlm. 354

[32] Badaruddin az-Zarkasyi, al-Ijabah Li Iradi ma Istadrakathu Aisyah ala As-Shabah, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1970), hlm. 113

[33] Ahmad bin Hajr al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H) Jilid 7. 360

Buat lebih berguna, kongsi: