Pemikiran Hermeneutika Paul Ricoeuer
Oleh: Qoem Aulassyahied
Kata “hermeneutic” berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti ”menafsirkan”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti “penafsiran” atau interpretasi”, dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Istilah Yunani berkenaan dengan kata ”hermeneutic” ini dihubungkan dengan nama Dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas memberikan pesan-pesan kepada umat manusia. Tugas Hermes yaitu menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang sanggup dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting lantaran jikalau terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan pesan Dewa kesudahannya akan fatal bagi umat manusia. Maka semenjak ketika itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi untuk menafsirkan dan memberikan pesan.[1]
Gambaran umum dari pengertian hermeneutika diungkapkan juga oleh Zygmunt Bauman, yaitu sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau goresan pena yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang mengakibatkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.[2]
Di mulai dari hal tersebut, Hermeneutika telah menjadi salah satu metode dalam memahami teks, bahkan telah menjadi primadona sebagian orang dalam mengetahui dan memahami maksud teks dan pengarang.
Lepas dari pengertian, fungsi dan manfaat heremeneutika, penulis akan memfokuskan kajian pada pemikiran tokoh-tokoh pengusung paham hermeneutika yang notabene yaitu para pemikir dari Dunia Eropa. Tapi pembahasan ini tidaklah luas, hanya akan membahas secara spesifik hermeneutika berdasarkan pandangan Paul Ricoeur terutama erat kaitannya dengan teori interpretasinya yang berawal dari konsep teks dan interpretasi teks.
B. Biografi Tokoh
Paul Ricoeur dilahirkan pada tahun 1913 di Valence, Perancis Selatan dan dua tahun kemudian beliau menjadi yatim piatu. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang taat dan dianggap sebagai salah seorang cendikiawan Protestan yang terkemuka di Perancis. Pada tahun 1930 ia mendaftarkan diri di Universitas Sorbonne sebagai mahasiswa S-2 dan pada tahun 1935 memperoleh agregasi filsafat (aggregation de philoshopie) secara resmi di sana. Di Paris inilah beliau berkenalan antara lain dengan Gabriel Marcel[3] salah satu dedengkot eksistensialisme Perancis. Setelah mengajar setahun di Colmar, beliau dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobilisasi, ia masuk lagi ketentaraan Perancis dan dijadikan tahanan kiprah hingga final kiprah (1945). Dalam tahanan di Jerman itulah beliau mempelajari karya-karya Edmund Husserl[4], yang merupakan mbahnya fenomenologi, di samping beliau juga mempelajari karya Heidegger[5], salah seorang tokoh hermeneutika dialektis.[6]
Kemudian beliau meraih gelar doktornya di Universitas Strausbourg tahun 1950. Dia terus mempelajari dan membaca filsafat dari para filsuf besar sehingga beliau benar-benar hebat dalam filsafat. Kemudian selain bidang filsafat, pandangannya meluas kepada politik, sosial, kultural, pendidikan dan teologi. Berkat pemikiran teologinya, beliau dianugerahi doktor teologi honoris dari Universitas Kristen Nijmegen di Belanda pada tahun 1968. Dia juga memperoleh gelar profesof filsafat dari Universitas di Sorbonne pada 1959. Karya-karyanya terus saja terbit, baik dalam bidang filsafat maupun teologi.
Pada tahun 1966 Ricoeur berpindah ke Universitas Nanterre untuk melaksanakan kontak lebih erat dengan mahasiswa di sana, namun justru dalam gerakan mahasiswa melawan pemerintahan Jenderal Gaulle beliau mengundurkan diri lantaran stress berat dengan kekerasan yang terjadi dalam lingkup kampus. Lalu beliau hanya menjadi dosen seruan di Universitas Louvain, Universitas Chicago dan menjadi eksekutif di Pusat studi ihwal fenomenologi dan hermeneutika. Dia terus berkarya dalam filsafat, bahasa dan hermeneutika.[7]
![]() |
| Paul Ricoeuer |
C. Pemikiran Hermeutika Paul Ricoeur
Dalam pemikiran hermeneutika, Paul Ricoeur lebih mengarahkan hermeneutika ke dalam acara penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis). Paul Ricoeur sependapat dengan statement Nietzsche bahwa hidup itu sendiri yaitu interpretasi, bila terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan.[8]
Dalam perspektif Paul Ricoeur, hermeneutika yaitu kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang mempunyai jarak ruang dan waktu dari pembaca. Melalui bukunya, De I’interpretation (1965), Paul Ricoeur menyampaikan bahwa heremeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol yang dianggap sebagai teks. Menurutnya, kiprah utama hermeneutika ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan ‘subtansi’ teks itu muncul ke permukaan.[9]
Tatkala teks mempunyai implikasi praksis yang sangat signifikan, salah satu metode yang cukup terkenal dalam menafsirkan teks yaitu Hermeneutika. Tiga pedoman pemikiran yang mewarnai studi Hermeneutika yaitu, 1) Teori Hermeneutika atau disebut juga Hermeneutika Teoritis atau Hermeneutika Metodologis, 2) Filsafat Hermeneutika atau Hermeneutika Filosofis dan 3) Hermeneutika kritis. Ketiga ragam hermeneutika ini muncul berurutan untuk saling melengkapi kelemahan dan kekurangan hermeneutika sebelumnya.
1. Hermeneutika teoritis mempunyai fokus pada masalah metode atau aturan-aturan dalam penafsiran. Dengan metode itu, penafsir sebisa mungkin sanggup terhindar dari kesalahpahaman dan sanggup menemukan makna obyektif teks. Pandangan ini mengandaikan adanya kebenaran dibalik teks. (penganut pedoman hermeneutika ini yaitu Sclheiermacher dengan Dilthey)
2. Hermeneutika filosofis lebih memfokuskan diri pada status ontologis dari memahami itu sendiri, lebih bersifat fundamental. Hermeneutika, berdasarkan pandangan ini, tidak semata-mata berkaitan dengan metode yang selalu memilih benar salahnya suatu penafsiran sehingga, bila hermeneutika teoritis lebih bersifat epistemologis sedangkan hermenetika filosofis lebih bersifat ontologis (penganut pedoman ini yaitu Heidegger dan Gadamer).
3. Sedangkan Hermeneutika Kritis yang diwakili oleh Jurgen Habermas lebih berkonsentrasi pada bagaimana membuka selubung-selubung penyebab adanya distorsi yang tersembunyi dalam pemahaman. Problem Hermeneutika ini tidak pada bahasa namun yang dipersoalkan oleh Hermeneutika ini yaitu factor-faktor ekstralinguistik. Hermeneutika Kritis lebih banyak meragukan teks lantaran sudah menembunyikan kesadaran palsu.
Paul Ricoeur dengan interpretasi teks-nya, dianggap berhasil menjembatani ketidakakuran dalam peta hermeneutika sebelumnya (hermeneutical despute), khususnya antara tradisi metodologis dengan tradisi filosofis. Konsep hermeneutika Ricoeur dianggap mendamaikan antara teori hermeneutika yang masih bersifat epistemologis dengan filsafat hermeneutika yang lebih ontologis. Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik berangkat bahwa hermenutika yaitu kajian untuk menyingkapkan makna obyektif dari teks-teks yang mempunyai jarak ruang dan waktu dengan pembaca (seperti Emilio Betti). Namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa seiring dengan berjalannya waktu, niat awal penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai contoh utama dalam memahami teks (seperti Heidegger dan Gadamer). Ricoeur juga dianggap sebagai perantara dari posisi tradisi hermeneutika romantic dari Sclheiermacher dan Dilthey dengan hermeneutika filosofis Heidegger. Ia mengikuti Dilthey yang menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa, namun ia menolak langkah Psikologisme, berupa merekonstruksi pengalaman penulis (milik Sclheiermacher) ataupun perjuangan inovasi diri pada orang lain (milik Dilthey), namun beliau mencoba menyingkap potensi ada atau keberadaan (seperti Heidegger). Dengan demikian Ricoeur sebagai hermeneut belakangan telah melaksanakan agresi sekaligus reaksi terhadap pemikiran hermeneutika sebelumnya.[10]
Hermeneutika Fenomenologis Ricoeur yang erat kaitannya dengan pemahaman teks yaitu ihwal (1) Konsep Teks, dan (2) Interpretasi Teks.
1. Konsep Teks berdasarkan Ricoeur
Bermula pada refleksi filosofisnya ihwal Filsafat Kehendak, yang mana hermeneutika digunakan oleh Ricoeur dalam menganalisis simbol-simbol. Namun dalam perkembangannya, oleh Ricoeur, hermeneutika juga digunakan untuk menganalisis teks, terutama ketika pemikirannya beralih cenderung kepada bahasa. Tugas utama hermeneutika yaitu untuk memahami teks. Dalam pembahasan mengenai teks, ia membedakan wacana dalam bentuk bahasa verbal (parole[11], pembicaraan, ujaran) dengan wacana dalam bahasa tulis atau karya literer (langue). Dan ini berarti terdapat dua artikulasi discourse, yaitu bahasa verbal dan bahasa tulis. Teks sendiri berdasarkan Ricoeur yaitu “any discourse fixed by writing”. Teks yaitu sebuah wacana tertulis, dan oleh karenanya ia adalah, sebuah karya.[12]
Inskripsi wacana yang terdapat dalam goresan pena memerlukan sekian perubahan yang dituangkan oleh Ricoeur dalam satu konsep utama ihwal distansiasi (penjarakan). Perubahan pertama dan paling kasatmata terpusat pada fiksasi wacana, di mana fiksasi ini untuk melindungi wacana dari destruksi. Karena menulis berarti menghasilkan teks yang membutuhkan kemandirian tertentu, maka bentuk-bentuk distansiasi berafiliasi dengan Otonomi Teks.[13]
Bentuk pertama dari distansiasi yaitu Melampaui sebuah bencana dengan cara mengungkapkan apa yang dikatakan. Kedua, terfokus pada kekerabatan antara makna suatu teks dengan maksud si pengarang (aspek psikologis). Ketiga, berkaitan dengan ketidaksesuaian yang sama antara teks dengan kondisi sosial yang melingkupi teks tersebut (aspek sosiologis). Empat, menjelaskan ihwal terbebasnya teks dari batas-batas contoh yang bersifat lahir.[14]
Pendek kata, ketika wacana/diskursus telah terfiksasi (terhenti atau tertuang) dalam sebuah teks atau tulisan, maka ia menjadi Otonom. Ketika wacana telah mengendap dalam sebuah goresan pena maka, menurutnya, ia tidak lagi punya keterkaitan dengan 3 hal berikut (1) Intensi atau maksud pengarang, (2) konteks sosio-kultural pengadaan teks dan (3) kepada siapa teks itu dialamatkan atau audiens orisinil teks.[15] Otonomi Semantik Teks inilah salah satunya yang membedakan Hermenutika Ricoeur dengan hermeneutika-hermeneutika sebelumnya.
Aksi pembicaraan berupa locutionary (tindakan menyampaikan sesuatu) dan illocuationary (tindakan yang tampak ketika menyampaikan sesuatu, kekuatan sebuah ucapan) masih mungkin ditemukan dalam suatu teks. Locutionary dan illocutionary sanggup dilihat dari susunan gramatikal sebuah goresan pena atau struktur sintetiknya. Namun, prelocutionary (dampak dari menyampaikan sesuatu) paling mustahil untuk ditemukan dalam teks/tulisan. Namun, lantaran wacana dalam bentuk bahasa verbal dan goresan pena atau teks berbeda, maka melaksanakan interpretasi terhadap keduanya tidaklah sama.[16] Wacana dalam bentuk verbal atau ujaran membentuk komunikasi eksklusif sehingga lantaran ujaran yang disampaikan masih menempel kepada pembicara, maka metode hermeneutika tidak terlalu diperlukan. Sebaliknya lantaran teks berdasarkan Ricoeur merupakan korpus (satu kesatuan) yang otonom (teks mempunyai kemandirian, totalitas). Maka hermeneutika –di sini menjadi signifikan.
Ricoeur membedakan wacana dalam bahasa verbal (sebuah dialog) dan bahasa tulis (sebuah teks) yaitu (1) dalam sebuah teks, makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan” (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of sayying), sementara dalam bahasa lisan, kedua proses itu tidak sanggup dipisahkan.[17] (2) Dengan demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terkait kepada pengarang sebagaimana dalam bahasa verbal atau dialog. Apa yang dimaksudkan tekslah yang lebih merupakan masalah signifikan ketimbang apa yang dikehendaki oleh pengarangnya.[18] (3) Karena tidak lagi terikat pada sebuah sistem dialog, maka teks tidak lagi terikat pada konteks semula (ostensive reference). Teks tidak lagi terikat pada konteks orisinil dari pembicaraan. Dengan demikian, apa yang ditunjuk oleh teks yaitu dunia imajiner yang dibangun oleh teks sendiri-dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks lain.[19] Dengan demikian juga tidak lagi terikat dengan audiens awal atau kepada teks itu dialamatkan. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang sanggup membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dengan demikian teks melaksanakan dekontekstualisasi diri dari lingkup sosial sejarahnya dan pada ketika yang sama ia membuka diri pada model pembacaan yang tidak terbatas. Dan lantaran teks itu otonom, maka teks baik ditilik dari sudut psikologis maupun sosiologis, harus sanggup mengkontekstualisasikan dan merekontekstualisasikan dirinya sendiri sesuai dengan kondisi dan pembaca yang baru.
2. Interpretasi Teks
Karena teks berdasarkan Ricoeur yaitu sebuah karya tulis yang mempunyai Otonomi, maka interpretasi yaitu merupakan pembacaan yang merespon otonomi tersebut, dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen "pemahaman" dan "penjelasan (eksplanasi)" dan menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang kompleks. Artinya dalam aktifitas memahami teks, Ricoeur mendialektikakan antara verstehen (pemahaman/understanding) dan erklaren (penjelasan/eksplanasi) dalam suatu proses interpretasi.[20]
Interpretasi merupakan pemahaman yang diaplikasikan ke dalam ekspresi kehidupan yang tertulis. Menurut Ricoeur interpretasi yaitu "Usaha logika kebijaksanaan untuk menguak makna tersembunyi di balik makna yang eksklusif tampak, atau untuk menyingkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiyah"
a. Penjelasan (eksplanasi/erklaren) dan Pemahaman (understanding/verstehen)
Eksplanasi yaitu pembacaan apa itu teks yang merupakan makna objektif wacana, sementara Pemahaman merupakan pembacaan terhadap apa itu bencana wacana yang ia merupakan ungkapan wacana. Eksplanasi lebih diarahkan kepada struktur analitik teks, sementara pemahaman lebih diarahkan kepada keutuhan intensional (maksud/niat/kesungguhan) wacana. Yang dimaksud Ricoeur yaitu bahwa meskipun interpretasi yaitu terma (istilah) yang muncul dari pemahaman (bukan dari eksplanasi), namun terhadap teks atau karya tulis, interpretasi difungsikan sebagai proses pembacaan suatu teks atau karya tulis dengan mendialektikakan keduanya (eksplanasi dan pemahaman) dalam satu proses pembacaan, yaitu satu proses interpretasi yang kompleks utuh.
Ricoeur kemudian menempatkan klarifikasi dan pemahaman pada satu domain saja yaitu geisteswissenschaften- tidak menyerupai Dilthey yang menempatkan klarifikasi sebagai karakteristik kerja ilmu alam (naturwissenschaften) dan pemahaman pada geisteswissenschaften dan mendikotomikan keduanya. Ricoeur kemudian mengajukan mekanisme kerja "dept semantic", yaitu menempatkan kedua mekanisme metodologis di atas pada sebuah garis linier, dengan argument bahwa analisis explanation sanggup digunakan sebagai proses awal untuk mengkaji dimensi statis dari teks, sementara understanding digunakan selanjutnya, untuk menangkap makna kontekstual dari teks tersebut. Di sinilah pembaca membuka diri di hadapan teks yang mempunyai makna internal dan obyektif dalam dirinya. Artinya tidak tergantung lagi pada cakrawala pengarang, pun tidak pula menarik teks ke dalam pre-understanding-nya sendiri (pembacaan/dialektika kompleks).[21]
b. Proses Interpretasi teks
Selain perlawanannya terhadap Dilthey yang menghadapkan eksplanasi pada pemahaman, Ricoeur juga mempertanyakan konsep hermeneutika Heidegger dan Gadamer yang keduanya menganggap bahwa pemahaman itu tidak ada kaitannya dengan cara mengetahui tetapi lebih menunjuk kepada cara ber'ada'. Hermeneutika Heidegger dan Gadamer dipertanyakan oleh Ricoeur lantaran keduanya menghentikan semua diskusi ihwal metode. Menurut keduanya bahwa metode bukanlah jalan untuk menuju kebenaran, namun justru mengelakkan diri dari perjuangan metodis manusia.[22] Atas kritiknya terhadap hermenutika Heidegger dan Gadamer yang disebutnya sebagai 'jalan pendek', Ricoeur kemudian kemudian mengajukan sebuah ajuan hermenutika yang disebutnya sebagai 'jalan panjang', yaitu hermeneutika yang tidak memisahkan antara konsep kebenaran dengan metode juga –hermeneutika- yang sekaligus tetap mengakui bahwa pemahaman (pada akhirnya) berkaitan dengan keberadaan (berdimensi ontologis) sebagaimana Heidegger maupun Gadamer.[23]
'Jalan panjang' sebagai model Hermeneutika gres yang ditawarkan oleh Ricoeur mempunyai tiga tahap, (1) level semantik (pemahaman naif); (2) level refleksi (validasi dari model Struktural); dan (3) level eksistensial (pemahaman yang mendalam).[24]
Level Semantik merupakan langkah pemahaman yang paling awal atau pemahaman pada tingkat bahasa murni. Level semantik ini bertujuan untuk mengungkap makna tekstual teks (makna luar teks) yang dilakukan dengan menggunakan analisis linguistik atau eksplanation. Level semantik ini mempunyai kiprah mendasar dalam menjaga kekerabatan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontologi di sisi lain.[25]
Namun, lantaran struktur yang imanen dari teks menjadikan teks sebagai sesuatu yang otonom, maka analisis semantik ini dilakukan dengan melaksanakan distansiasi. Untuk mencapai pemahaman yang sophisticated (eksistensial), tidak sanggup meloncat dari level semantik eksklusif kepada level eksistensial. Namun harus melewati level refleksi.
Level Refleksi, yaitu sebagai jembatan kepada level keberadaan atau sebagai jembatan yang menghubungkan pemahaman atas tanda dengan pemahaman diri. Refleksi dengan proses ulang balik antara pemahaman teks dengan pemahaman diri. Selain itu, refleksi bermanfaat untuk menjustifikasi kesadaran pertama yang disebut (oleh Marx, Nietzsche, dan Freud) sebagai kesadaran palsu. Pada tahap refleksi ini hasil-hasil dari tahap pertama (semantik) dipadukan. Dengan kata lain refleksi yaitu konsep mengenai tindakan kita untuk eksis melalui kritik yang diaplikasikan pada kerja dan tindakan yang menjadi tanda bagi kita untuk eksis. Tahap ini juga biasa disebut dengan tahap validasi atau tahap mengira-ngira makna.[26] Apa yang diperoleh dari interpretasi tersebut yaitu sesuatu yang probable (mungkin benar) yang diketahui dari proses interpretasinya, bukan suatu yang sanggup diklaim sebagai sesuatu yang benar. Di samping terdapat mekanisme validasi juga terdapat mekanisme invalidasi yang serupa dengan falsifikasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Popper. Itulah kenapa berdasarkan Ricoeur bahwa sebuah interpretasi tidak pernah bersifat setara.[27] Adalah selalu mungkin untuk mengajukan atau melawan interpretasi, artinya interpretasi sanggup dilakukan bermacam-macam.
Leve Eksistensial. Selain teks mempunyai struktur imanen, berdasarkan Ricoeur, teks sekaligus juga mempunyai rujukan luar yang sering disebutnya dunia dari teks atau being yang dibawa oleh teks. Pengungkapan rujukan teks sangat penting, lantaran berdasarkan Ricoeur, kalau tidak (pemahaman yang mengacuhkan rujukan teks), analisis struktural akan tereduksi menjadi sebuah permainan mandul.[28] Menurut Ricoeur, dalam tahap eksistensial ini hermeneutika memasuki tahapan paling kompleks, yaitu tahap ontologi –membeberkan hakikat dari pemahaman, ontologi of understanding melalui methodology of interpretation. Tetapi ontologi ini bukan ontology of understanding secara eksklusif dalam dirinya sendiri, melainkan sejauh yang sanggup dijangkau melalui interpretasi-onthology of interpretation- terhadap ekspresi-ekspresi yang di dalamnya hidup mengobjektifikasikan dirinya (teks, dokumen, manuskrip dan semacamnya). Pada tahap ini akan tersingkap bahwa pemahaman dan makna, bagi manusia, intinya berakar pada dorongan-dorongan yang lebih mendasar yang bersifat instingtif yaitu hasrat. Dari hasratlah lahir kehidupan, dan selanjutnya, bahasa -di mana untuk menyingkap realitas hasrat ini sebagai realitas yang tidak disadari (instingtif), Ricoeur menggunakan dukungan psikoanalisis. Melalui lorong psikoanalisislah, Ricoeur mengajak untuk menemukan sumber data diri paling primitif dan mentah (the archeology of subject). Dengan kata lain, keberadaan yang ditemukan oleh psikoanalisis (melalui refleksi) sesungguhnya yaitu hasrat.
Dari uraian di atas, sanggup diringkas bahwa distansiasi (yang memperlakukan teks secara otonom) telah membantu melestarikan makna dan menghindarkannya dari menghilangnya dalam waktu (teks itu sanggup diterapkan ditempat dan waktu mana saja). Dan konsekuensi dari distansiasi, teks menjadi terbuka untuk interpretasi-interpretasi selanjutnya dan ini menjadi lahan bagi proses apropiasi. Apropiasi ini merupakan partner dari otonomi semantic teks, yang membebaskan teks dari pengarangnya. 'Apropiasi yaitu menjadikan 'apa yang asing' menjadi milik sendiri', dan itu terjadi lewat pembacaan kembali teks yang membuka cakrawala baru. Cakrawala gres inilah dunia dari teks yang harus dimengerti dalam eksistensial yakni sebagai suatu cara gres untuk memahami realitas.[29]
Proses apropiasi sebagai upaya untuk 'mendisinikan dan mengkinikan' atau 'mengaku-akukan' makna, harus tetap berdasarkan kaidah-kaidah linguistik pada analisis struktural. Akan tetapi, yang diapropiasi, sekali lagi bukanlah 1) maksud pengarang, 2) bukan situasi historis umum pengarang dan 3) pembaca orisinalnya, 4) juga bukan keinginan atau perasaan pembaca asli, Melainkan makna teks itu sendiri atau kekuatan referensial (petunjuk dari teks/makna teks) orisinil dari teks. Sehingga, pemahaman tidak lagi sekedar mengaitkan teks dengan "pengarang dan situasinya", tetapi mencari sesuatu untuk merenggut proposisi dunia yang diungkap oleh rujukan teks. Memahami teks yaitu mengikuti pergerakan teks tersebut dari makna ke referensi, dari apa yang dikatakan teks kepada ihwal apa yang dikatakannya.
Sungguh pun Interpretasi bepuncak pemahaman diri, tindakan Apropiasi ini tidaklah sama dengan subyektifisme naïf. Apropiasi di sini lebih sebagai pelucutan diri ketimbang penguasaan. Di dalamnya kesadaran ego serta-merta digantikan oleh suatu pemahaman yang dimediasikan melalui teks. Apropiasi inilah yang menjadi tujuan utama keseluruhan hermeneutika.[30]
Dengan ketiga pemahaman tersebut, Ricoeur mencoba untuk menengahi pemikiran hermeneutika sebelumnya, yaitu antara hermeneutika yang hendak menyingkap makna obyektif teks, dengan hermeneutika yang berusaha menyingkap pretensi "ada" atau keberadaan (dari teks), antara hermeneutika yang mengedepankan mekanisme metodologis dengan hermeneutika yang melompat melangkahi metode. Hermeneutika Ricoeur tidak berhenti pada tataran teks, pun tidak melompat eksklusif kepada wilayah eksistensial (menghindari mekanisme metodologis), tapi mendialektikan keduanya sebagai saling melengkapi. Itulah kenapa hermeneutikanya dikatakan sebagai "jalan panjang", lantaran ia melangkapi hermeneutika dasein Heidegger maupun hermeneutika filosofis Gadamer, di mana keduanya melaksanakan pemahaman sebagai keberadaan secara langusng (tidak melalui tahapan sedikit demi sedikit).
Dengan demikian, juga menjadi terang ihwal apakah teks -yang mempunyai struktur imanen dan bersifat equivok (surplus makna)- itu harus didekati dengan klarifikasi struktural ataukah pemahaman hermeneutika. Pendekatan struktural dan pemahaman hermeneutika dilihat Ricoeur secara dialektik, sebagai dua hal yang saling melengkapi. Penjelasan struktural tetap dilihat Ricoeur sebagai kutub objektif di dalam proses memahami teks (pemahaman tahap pertama atau lewat level semantik) yang akan mempersiapkan kutub subjektif yang dinamakan "apropiasi"[31] (pemilikan kembali). Dengan demikian, teks tetap "hangat" dan akan tetap sanggup menghadapi pembaca barunya yang berbeda-beda, lantaran selain dilakukan dekontekstualisasi (yaitu melepaskan diri dari cakrawala dan intense yang terbatas pada pengarangnya atau otonomi sematik) dilakukan pula rekontekstualisasi (membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas oleh pembaca yang gres dan berbeda-beda). Dengan demikian pemahaman eksistensial sanggup diperoleh.
D. Kesimpulan
Dalam pemikiran hermeneutika, Paul Ricoeur lebih mengarahkan hermeneutika ke dalam acara penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis). Paul Ricoeur sependapat dengan statement Nietzsche bahwa hidup itu sendiri yaitu interpretasi, bila terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan.[8]
Dalam perspektif Paul Ricoeur, hermeneutika yaitu kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang mempunyai jarak ruang dan waktu dari pembaca. Melalui bukunya, De I’interpretation (1965), Paul Ricoeur menyampaikan bahwa heremeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol yang dianggap sebagai teks. Menurutnya, kiprah utama hermeneutika ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan ‘subtansi’ teks itu muncul ke permukaan.[9]
Tatkala teks mempunyai implikasi praksis yang sangat signifikan, salah satu metode yang cukup terkenal dalam menafsirkan teks yaitu Hermeneutika. Tiga pedoman pemikiran yang mewarnai studi Hermeneutika yaitu, 1) Teori Hermeneutika atau disebut juga Hermeneutika Teoritis atau Hermeneutika Metodologis, 2) Filsafat Hermeneutika atau Hermeneutika Filosofis dan 3) Hermeneutika kritis. Ketiga ragam hermeneutika ini muncul berurutan untuk saling melengkapi kelemahan dan kekurangan hermeneutika sebelumnya.
1. Hermeneutika teoritis mempunyai fokus pada masalah metode atau aturan-aturan dalam penafsiran. Dengan metode itu, penafsir sebisa mungkin sanggup terhindar dari kesalahpahaman dan sanggup menemukan makna obyektif teks. Pandangan ini mengandaikan adanya kebenaran dibalik teks. (penganut pedoman hermeneutika ini yaitu Sclheiermacher dengan Dilthey)
2. Hermeneutika filosofis lebih memfokuskan diri pada status ontologis dari memahami itu sendiri, lebih bersifat fundamental. Hermeneutika, berdasarkan pandangan ini, tidak semata-mata berkaitan dengan metode yang selalu memilih benar salahnya suatu penafsiran sehingga, bila hermeneutika teoritis lebih bersifat epistemologis sedangkan hermenetika filosofis lebih bersifat ontologis (penganut pedoman ini yaitu Heidegger dan Gadamer).
3. Sedangkan Hermeneutika Kritis yang diwakili oleh Jurgen Habermas lebih berkonsentrasi pada bagaimana membuka selubung-selubung penyebab adanya distorsi yang tersembunyi dalam pemahaman. Problem Hermeneutika ini tidak pada bahasa namun yang dipersoalkan oleh Hermeneutika ini yaitu factor-faktor ekstralinguistik. Hermeneutika Kritis lebih banyak meragukan teks lantaran sudah menembunyikan kesadaran palsu.
Paul Ricoeur dengan interpretasi teks-nya, dianggap berhasil menjembatani ketidakakuran dalam peta hermeneutika sebelumnya (hermeneutical despute), khususnya antara tradisi metodologis dengan tradisi filosofis. Konsep hermeneutika Ricoeur dianggap mendamaikan antara teori hermeneutika yang masih bersifat epistemologis dengan filsafat hermeneutika yang lebih ontologis. Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik berangkat bahwa hermenutika yaitu kajian untuk menyingkapkan makna obyektif dari teks-teks yang mempunyai jarak ruang dan waktu dengan pembaca (seperti Emilio Betti). Namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa seiring dengan berjalannya waktu, niat awal penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai contoh utama dalam memahami teks (seperti Heidegger dan Gadamer). Ricoeur juga dianggap sebagai perantara dari posisi tradisi hermeneutika romantic dari Sclheiermacher dan Dilthey dengan hermeneutika filosofis Heidegger. Ia mengikuti Dilthey yang menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa, namun ia menolak langkah Psikologisme, berupa merekonstruksi pengalaman penulis (milik Sclheiermacher) ataupun perjuangan inovasi diri pada orang lain (milik Dilthey), namun beliau mencoba menyingkap potensi ada atau keberadaan (seperti Heidegger). Dengan demikian Ricoeur sebagai hermeneut belakangan telah melaksanakan agresi sekaligus reaksi terhadap pemikiran hermeneutika sebelumnya.[10]
Hermeneutika Fenomenologis Ricoeur yang erat kaitannya dengan pemahaman teks yaitu ihwal (1) Konsep Teks, dan (2) Interpretasi Teks.
1. Konsep Teks berdasarkan Ricoeur
Bermula pada refleksi filosofisnya ihwal Filsafat Kehendak, yang mana hermeneutika digunakan oleh Ricoeur dalam menganalisis simbol-simbol. Namun dalam perkembangannya, oleh Ricoeur, hermeneutika juga digunakan untuk menganalisis teks, terutama ketika pemikirannya beralih cenderung kepada bahasa. Tugas utama hermeneutika yaitu untuk memahami teks. Dalam pembahasan mengenai teks, ia membedakan wacana dalam bentuk bahasa verbal (parole[11], pembicaraan, ujaran) dengan wacana dalam bahasa tulis atau karya literer (langue). Dan ini berarti terdapat dua artikulasi discourse, yaitu bahasa verbal dan bahasa tulis. Teks sendiri berdasarkan Ricoeur yaitu “any discourse fixed by writing”. Teks yaitu sebuah wacana tertulis, dan oleh karenanya ia adalah, sebuah karya.[12]
Inskripsi wacana yang terdapat dalam goresan pena memerlukan sekian perubahan yang dituangkan oleh Ricoeur dalam satu konsep utama ihwal distansiasi (penjarakan). Perubahan pertama dan paling kasatmata terpusat pada fiksasi wacana, di mana fiksasi ini untuk melindungi wacana dari destruksi. Karena menulis berarti menghasilkan teks yang membutuhkan kemandirian tertentu, maka bentuk-bentuk distansiasi berafiliasi dengan Otonomi Teks.[13]
Bentuk pertama dari distansiasi yaitu Melampaui sebuah bencana dengan cara mengungkapkan apa yang dikatakan. Kedua, terfokus pada kekerabatan antara makna suatu teks dengan maksud si pengarang (aspek psikologis). Ketiga, berkaitan dengan ketidaksesuaian yang sama antara teks dengan kondisi sosial yang melingkupi teks tersebut (aspek sosiologis). Empat, menjelaskan ihwal terbebasnya teks dari batas-batas contoh yang bersifat lahir.[14]
Pendek kata, ketika wacana/diskursus telah terfiksasi (terhenti atau tertuang) dalam sebuah teks atau tulisan, maka ia menjadi Otonom. Ketika wacana telah mengendap dalam sebuah goresan pena maka, menurutnya, ia tidak lagi punya keterkaitan dengan 3 hal berikut (1) Intensi atau maksud pengarang, (2) konteks sosio-kultural pengadaan teks dan (3) kepada siapa teks itu dialamatkan atau audiens orisinil teks.[15] Otonomi Semantik Teks inilah salah satunya yang membedakan Hermenutika Ricoeur dengan hermeneutika-hermeneutika sebelumnya.
Aksi pembicaraan berupa locutionary (tindakan menyampaikan sesuatu) dan illocuationary (tindakan yang tampak ketika menyampaikan sesuatu, kekuatan sebuah ucapan) masih mungkin ditemukan dalam suatu teks. Locutionary dan illocutionary sanggup dilihat dari susunan gramatikal sebuah goresan pena atau struktur sintetiknya. Namun, prelocutionary (dampak dari menyampaikan sesuatu) paling mustahil untuk ditemukan dalam teks/tulisan. Namun, lantaran wacana dalam bentuk bahasa verbal dan goresan pena atau teks berbeda, maka melaksanakan interpretasi terhadap keduanya tidaklah sama.[16] Wacana dalam bentuk verbal atau ujaran membentuk komunikasi eksklusif sehingga lantaran ujaran yang disampaikan masih menempel kepada pembicara, maka metode hermeneutika tidak terlalu diperlukan. Sebaliknya lantaran teks berdasarkan Ricoeur merupakan korpus (satu kesatuan) yang otonom (teks mempunyai kemandirian, totalitas). Maka hermeneutika –di sini menjadi signifikan.
Ricoeur membedakan wacana dalam bahasa verbal (sebuah dialog) dan bahasa tulis (sebuah teks) yaitu (1) dalam sebuah teks, makna yang terdapat pada “apa yang dikatakan” (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of sayying), sementara dalam bahasa lisan, kedua proses itu tidak sanggup dipisahkan.[17] (2) Dengan demikian makna sebuah teks juga tidak lagi terkait kepada pengarang sebagaimana dalam bahasa verbal atau dialog. Apa yang dimaksudkan tekslah yang lebih merupakan masalah signifikan ketimbang apa yang dikehendaki oleh pengarangnya.[18] (3) Karena tidak lagi terikat pada sebuah sistem dialog, maka teks tidak lagi terikat pada konteks semula (ostensive reference). Teks tidak lagi terikat pada konteks orisinil dari pembicaraan. Dengan demikian, apa yang ditunjuk oleh teks yaitu dunia imajiner yang dibangun oleh teks sendiri-dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks lain.[19] Dengan demikian juga tidak lagi terikat dengan audiens awal atau kepada teks itu dialamatkan. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang sanggup membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dengan demikian teks melaksanakan dekontekstualisasi diri dari lingkup sosial sejarahnya dan pada ketika yang sama ia membuka diri pada model pembacaan yang tidak terbatas. Dan lantaran teks itu otonom, maka teks baik ditilik dari sudut psikologis maupun sosiologis, harus sanggup mengkontekstualisasikan dan merekontekstualisasikan dirinya sendiri sesuai dengan kondisi dan pembaca yang baru.
2. Interpretasi Teks
Karena teks berdasarkan Ricoeur yaitu sebuah karya tulis yang mempunyai Otonomi, maka interpretasi yaitu merupakan pembacaan yang merespon otonomi tersebut, dengan menggambarkan secara bersama elemen-elemen "pemahaman" dan "penjelasan (eksplanasi)" dan menggabungkannya dalam satu proses interpretasi yang kompleks. Artinya dalam aktifitas memahami teks, Ricoeur mendialektikakan antara verstehen (pemahaman/understanding) dan erklaren (penjelasan/eksplanasi) dalam suatu proses interpretasi.[20]
Interpretasi merupakan pemahaman yang diaplikasikan ke dalam ekspresi kehidupan yang tertulis. Menurut Ricoeur interpretasi yaitu "Usaha logika kebijaksanaan untuk menguak makna tersembunyi di balik makna yang eksklusif tampak, atau untuk menyingkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiyah"
a. Penjelasan (eksplanasi/erklaren) dan Pemahaman (understanding/verstehen)
Eksplanasi yaitu pembacaan apa itu teks yang merupakan makna objektif wacana, sementara Pemahaman merupakan pembacaan terhadap apa itu bencana wacana yang ia merupakan ungkapan wacana. Eksplanasi lebih diarahkan kepada struktur analitik teks, sementara pemahaman lebih diarahkan kepada keutuhan intensional (maksud/niat/kesungguhan) wacana. Yang dimaksud Ricoeur yaitu bahwa meskipun interpretasi yaitu terma (istilah) yang muncul dari pemahaman (bukan dari eksplanasi), namun terhadap teks atau karya tulis, interpretasi difungsikan sebagai proses pembacaan suatu teks atau karya tulis dengan mendialektikakan keduanya (eksplanasi dan pemahaman) dalam satu proses pembacaan, yaitu satu proses interpretasi yang kompleks utuh.
Ricoeur kemudian menempatkan klarifikasi dan pemahaman pada satu domain saja yaitu geisteswissenschaften- tidak menyerupai Dilthey yang menempatkan klarifikasi sebagai karakteristik kerja ilmu alam (naturwissenschaften) dan pemahaman pada geisteswissenschaften dan mendikotomikan keduanya. Ricoeur kemudian mengajukan mekanisme kerja "dept semantic", yaitu menempatkan kedua mekanisme metodologis di atas pada sebuah garis linier, dengan argument bahwa analisis explanation sanggup digunakan sebagai proses awal untuk mengkaji dimensi statis dari teks, sementara understanding digunakan selanjutnya, untuk menangkap makna kontekstual dari teks tersebut. Di sinilah pembaca membuka diri di hadapan teks yang mempunyai makna internal dan obyektif dalam dirinya. Artinya tidak tergantung lagi pada cakrawala pengarang, pun tidak pula menarik teks ke dalam pre-understanding-nya sendiri (pembacaan/dialektika kompleks).[21]
b. Proses Interpretasi teks
Selain perlawanannya terhadap Dilthey yang menghadapkan eksplanasi pada pemahaman, Ricoeur juga mempertanyakan konsep hermeneutika Heidegger dan Gadamer yang keduanya menganggap bahwa pemahaman itu tidak ada kaitannya dengan cara mengetahui tetapi lebih menunjuk kepada cara ber'ada'. Hermeneutika Heidegger dan Gadamer dipertanyakan oleh Ricoeur lantaran keduanya menghentikan semua diskusi ihwal metode. Menurut keduanya bahwa metode bukanlah jalan untuk menuju kebenaran, namun justru mengelakkan diri dari perjuangan metodis manusia.[22] Atas kritiknya terhadap hermenutika Heidegger dan Gadamer yang disebutnya sebagai 'jalan pendek', Ricoeur kemudian kemudian mengajukan sebuah ajuan hermenutika yang disebutnya sebagai 'jalan panjang', yaitu hermeneutika yang tidak memisahkan antara konsep kebenaran dengan metode juga –hermeneutika- yang sekaligus tetap mengakui bahwa pemahaman (pada akhirnya) berkaitan dengan keberadaan (berdimensi ontologis) sebagaimana Heidegger maupun Gadamer.[23]
'Jalan panjang' sebagai model Hermeneutika gres yang ditawarkan oleh Ricoeur mempunyai tiga tahap, (1) level semantik (pemahaman naif); (2) level refleksi (validasi dari model Struktural); dan (3) level eksistensial (pemahaman yang mendalam).[24]
Level Semantik merupakan langkah pemahaman yang paling awal atau pemahaman pada tingkat bahasa murni. Level semantik ini bertujuan untuk mengungkap makna tekstual teks (makna luar teks) yang dilakukan dengan menggunakan analisis linguistik atau eksplanation. Level semantik ini mempunyai kiprah mendasar dalam menjaga kekerabatan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontologi di sisi lain.[25]
Namun, lantaran struktur yang imanen dari teks menjadikan teks sebagai sesuatu yang otonom, maka analisis semantik ini dilakukan dengan melaksanakan distansiasi. Untuk mencapai pemahaman yang sophisticated (eksistensial), tidak sanggup meloncat dari level semantik eksklusif kepada level eksistensial. Namun harus melewati level refleksi.
Level Refleksi, yaitu sebagai jembatan kepada level keberadaan atau sebagai jembatan yang menghubungkan pemahaman atas tanda dengan pemahaman diri. Refleksi dengan proses ulang balik antara pemahaman teks dengan pemahaman diri. Selain itu, refleksi bermanfaat untuk menjustifikasi kesadaran pertama yang disebut (oleh Marx, Nietzsche, dan Freud) sebagai kesadaran palsu. Pada tahap refleksi ini hasil-hasil dari tahap pertama (semantik) dipadukan. Dengan kata lain refleksi yaitu konsep mengenai tindakan kita untuk eksis melalui kritik yang diaplikasikan pada kerja dan tindakan yang menjadi tanda bagi kita untuk eksis. Tahap ini juga biasa disebut dengan tahap validasi atau tahap mengira-ngira makna.[26] Apa yang diperoleh dari interpretasi tersebut yaitu sesuatu yang probable (mungkin benar) yang diketahui dari proses interpretasinya, bukan suatu yang sanggup diklaim sebagai sesuatu yang benar. Di samping terdapat mekanisme validasi juga terdapat mekanisme invalidasi yang serupa dengan falsifikasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Popper. Itulah kenapa berdasarkan Ricoeur bahwa sebuah interpretasi tidak pernah bersifat setara.[27] Adalah selalu mungkin untuk mengajukan atau melawan interpretasi, artinya interpretasi sanggup dilakukan bermacam-macam.
Leve Eksistensial. Selain teks mempunyai struktur imanen, berdasarkan Ricoeur, teks sekaligus juga mempunyai rujukan luar yang sering disebutnya dunia dari teks atau being yang dibawa oleh teks. Pengungkapan rujukan teks sangat penting, lantaran berdasarkan Ricoeur, kalau tidak (pemahaman yang mengacuhkan rujukan teks), analisis struktural akan tereduksi menjadi sebuah permainan mandul.[28] Menurut Ricoeur, dalam tahap eksistensial ini hermeneutika memasuki tahapan paling kompleks, yaitu tahap ontologi –membeberkan hakikat dari pemahaman, ontologi of understanding melalui methodology of interpretation. Tetapi ontologi ini bukan ontology of understanding secara eksklusif dalam dirinya sendiri, melainkan sejauh yang sanggup dijangkau melalui interpretasi-onthology of interpretation- terhadap ekspresi-ekspresi yang di dalamnya hidup mengobjektifikasikan dirinya (teks, dokumen, manuskrip dan semacamnya). Pada tahap ini akan tersingkap bahwa pemahaman dan makna, bagi manusia, intinya berakar pada dorongan-dorongan yang lebih mendasar yang bersifat instingtif yaitu hasrat. Dari hasratlah lahir kehidupan, dan selanjutnya, bahasa -di mana untuk menyingkap realitas hasrat ini sebagai realitas yang tidak disadari (instingtif), Ricoeur menggunakan dukungan psikoanalisis. Melalui lorong psikoanalisislah, Ricoeur mengajak untuk menemukan sumber data diri paling primitif dan mentah (the archeology of subject). Dengan kata lain, keberadaan yang ditemukan oleh psikoanalisis (melalui refleksi) sesungguhnya yaitu hasrat.
Dari uraian di atas, sanggup diringkas bahwa distansiasi (yang memperlakukan teks secara otonom) telah membantu melestarikan makna dan menghindarkannya dari menghilangnya dalam waktu (teks itu sanggup diterapkan ditempat dan waktu mana saja). Dan konsekuensi dari distansiasi, teks menjadi terbuka untuk interpretasi-interpretasi selanjutnya dan ini menjadi lahan bagi proses apropiasi. Apropiasi ini merupakan partner dari otonomi semantic teks, yang membebaskan teks dari pengarangnya. 'Apropiasi yaitu menjadikan 'apa yang asing' menjadi milik sendiri', dan itu terjadi lewat pembacaan kembali teks yang membuka cakrawala baru. Cakrawala gres inilah dunia dari teks yang harus dimengerti dalam eksistensial yakni sebagai suatu cara gres untuk memahami realitas.[29]
Proses apropiasi sebagai upaya untuk 'mendisinikan dan mengkinikan' atau 'mengaku-akukan' makna, harus tetap berdasarkan kaidah-kaidah linguistik pada analisis struktural. Akan tetapi, yang diapropiasi, sekali lagi bukanlah 1) maksud pengarang, 2) bukan situasi historis umum pengarang dan 3) pembaca orisinalnya, 4) juga bukan keinginan atau perasaan pembaca asli, Melainkan makna teks itu sendiri atau kekuatan referensial (petunjuk dari teks/makna teks) orisinil dari teks. Sehingga, pemahaman tidak lagi sekedar mengaitkan teks dengan "pengarang dan situasinya", tetapi mencari sesuatu untuk merenggut proposisi dunia yang diungkap oleh rujukan teks. Memahami teks yaitu mengikuti pergerakan teks tersebut dari makna ke referensi, dari apa yang dikatakan teks kepada ihwal apa yang dikatakannya.
Sungguh pun Interpretasi bepuncak pemahaman diri, tindakan Apropiasi ini tidaklah sama dengan subyektifisme naïf. Apropiasi di sini lebih sebagai pelucutan diri ketimbang penguasaan. Di dalamnya kesadaran ego serta-merta digantikan oleh suatu pemahaman yang dimediasikan melalui teks. Apropiasi inilah yang menjadi tujuan utama keseluruhan hermeneutika.[30]
Dengan ketiga pemahaman tersebut, Ricoeur mencoba untuk menengahi pemikiran hermeneutika sebelumnya, yaitu antara hermeneutika yang hendak menyingkap makna obyektif teks, dengan hermeneutika yang berusaha menyingkap pretensi "ada" atau keberadaan (dari teks), antara hermeneutika yang mengedepankan mekanisme metodologis dengan hermeneutika yang melompat melangkahi metode. Hermeneutika Ricoeur tidak berhenti pada tataran teks, pun tidak melompat eksklusif kepada wilayah eksistensial (menghindari mekanisme metodologis), tapi mendialektikan keduanya sebagai saling melengkapi. Itulah kenapa hermeneutikanya dikatakan sebagai "jalan panjang", lantaran ia melangkapi hermeneutika dasein Heidegger maupun hermeneutika filosofis Gadamer, di mana keduanya melaksanakan pemahaman sebagai keberadaan secara langusng (tidak melalui tahapan sedikit demi sedikit).
Dengan demikian, juga menjadi terang ihwal apakah teks -yang mempunyai struktur imanen dan bersifat equivok (surplus makna)- itu harus didekati dengan klarifikasi struktural ataukah pemahaman hermeneutika. Pendekatan struktural dan pemahaman hermeneutika dilihat Ricoeur secara dialektik, sebagai dua hal yang saling melengkapi. Penjelasan struktural tetap dilihat Ricoeur sebagai kutub objektif di dalam proses memahami teks (pemahaman tahap pertama atau lewat level semantik) yang akan mempersiapkan kutub subjektif yang dinamakan "apropiasi"[31] (pemilikan kembali). Dengan demikian, teks tetap "hangat" dan akan tetap sanggup menghadapi pembaca barunya yang berbeda-beda, lantaran selain dilakukan dekontekstualisasi (yaitu melepaskan diri dari cakrawala dan intense yang terbatas pada pengarangnya atau otonomi sematik) dilakukan pula rekontekstualisasi (membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas oleh pembaca yang gres dan berbeda-beda). Dengan demikian pemahaman eksistensial sanggup diperoleh.
D. Kesimpulan
Dari klarifikasi -yang bekerjsama masih jauh dari konfrehensif- mengenai pemikiran hermeneutika Paul Ricoeur, kami setidaknya sanggup mengambil kesimpulan bahwa kelainan hermeneutika Paul Ricoeur dengan hermeneutika sebelumnya yang bertitik, dari anggapannya bahwa seiring dengan berjalannya waktu, niat awal penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai contoh utama dalam memahami teks, menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang terbakukan dalam bahasa, penolakan psikologisme pengarang ataupun perjuangan inovasi diri pada orang lain, membuang pra- pemahaman sebelum menginterpretasi, dan tanpa mengabaikan proses metodologis, membawa pemikiran Ricoeur pada sifat teks yang bersifat Otonom. Maka tiga komponen yang harus dihapus dalam proses interpretasi yaitu, Intensi atau maksud pengarang, konteks sosio-kultural pengadaan teks dan kepada siapa teks itu dialamatkan atau audiens orisinil teks tersebut. Tiga hal itu tidak selayaknya ada dalam menginterpretasi, semoga keberadaan makna itu muncul murni dari apa yang ada dalam teks tersebut. Dan di dalam melaksanakan proses interpretasi, Ricoeur melalui tiga tahap untuk memperoleh hasil pemahaman yang interpretatif, yaitu dengan tahap semantik. refleksi, dan eksistensi. Yang menurutnya tiga komponen ini harus ada dan dihentikan terlewat dalam interpretasi.
Rekomendasi Bacaan Lainnya:
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Perancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
Faiz, Fakhrudin, Hermeneutika al-Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam. 2003
Norman, Permata, Ahmad, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur" dalam Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, diterjemahkan oleh Musnur Hery, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003
Ricoeur, Paul, Filsafat Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, diterjemahkan oleh Musnur Hery, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003
Ricoeur, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, diterjemahkan oleh Muhammad Syukri, cet. Ke-2, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008
Ricoeur, Paul, Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran dan Metodologinya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012
Sumaryono, Hemeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Triatmoko, Bambang, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur", Driyarkara. XVI, no. 3, 1998
Wachid, Abdul, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi Paul Ricoeur dalam memahami teks-teks seni, Jurnal Imaji, Vol. 4, No.2 STAIN Purwokerto, Agustus 2006
Catatan Kaki
[1] Sumaryono, Hemeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 23-24
[2] Fakhrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 22
[3] Metodologi Filosofis Marcel termasuk khas, meskipun memikul beberapa kesamaan baik pada eksistensialisme dan fenomenologi yang ditafsirkan secara luas. Ia bersikeras bahwa filosofi dimulai dengan pengalaman konkrit dibandingkan abstraksi.
[4] Menurut Smith Fenomenologi Husserl yaitu sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal Fenomenologi yaitu studi ihwal fenomena, atau ihwal segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau ihwal bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang intinya pernah melaksanakan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang saya rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka bekerjsama anda melaksanakan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.
[5] Martin Heidegger (1889-1976), tokoh Hermeneutika Dialektis, menjelaskan ihwal pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh lantaran itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang. Lihat Dr. Mudjia Rahardjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intensinalisme & Gadamerian, hlm. 45-47
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Perancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 254.
[7] Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, diterjemahkan oleh Muhammad Syukri, cet. Ke-2, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm. 5.
[8] Abdul Wachid, Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur dalam Memahami Teks-teks Seni, Jurnal Imaji, Vol. 4, No.2 STAIN Purwokerto, Agustus 2006, hlm. 214.
[9] Ibid, hlm. 215.
[10] Lihat Ahmad Norman Permata, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur" dalam Paul Ricoeur, Filsafat Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, terj. Musnur Hery (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 202-204.
[11] Penjelasan mengenai langue dan parole sanggup dilihat dalam Paul Ricoeur, Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran dan Metodologinya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 20-28, lihat juga Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…, hlm. 178.
[12] Ibid., hlm. 224.
[13] Paul Ricoeur, Teori Interpretasi…, hlm. 62-71.
[14] Ibid., hlm. 95
[15] Ibid., hlm. 63-71. Lihat Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…, hlm. 186.
[16] Paul Ricoeur, Teori Interpretasi…, hlm. 63-67.
[17] Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…, hlm. 180.
[18] Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 69-70.
[19] Ibid., hlm. 201-203.
[20] Paul Ricoeur, Teori Interpretasi…, hlm. 149.
[21] Ibid., hlm. 150-156.
[22] Bambang Triatmoko, "Hermeneutika Fenomenologis Paul Ricoeur", Driyarkara. XVI, no. 3, 1998, hlm. 32-33
[23]Ahmad Norman Permata, "Hermeneutika Fenomenologi…, hlm 206-209.
[24] Bambang Triatmoko, "Hermeneutika Fenomenologis…, hlm. 34. Lihat juga Paul Ricoeur, Teori Interpretasi…, hlm. 149-166.
[25] Ahmad Norman Permata, "Hermeneutika Fenomenologis…, hlm. 210.
[26] Bambang Triatmoko, "Hermeneutika Fenomenologis…, hlm. 34. Lihat juga Paul Ricoeur, Teori Interpretasi…, hlm. 163.
[27] Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 162-167.
[28] Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…, hlm. 188. Lihat juga Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 184.
[29] Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 96.
[30] Ibid., hlm. 192-194.
[31] Penjelasan lebih detail lihat Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…,
[26] Bambang Triatmoko, "Hermeneutika Fenomenologis…, hlm. 34. Lihat juga Paul Ricoeur, Teori Interpretasi…, hlm. 163.
[27] Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 162-167.
[28] Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…, hlm. 188. Lihat juga Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 184.
[29] Paul Ricoeur, Filsafat Wacana…, hlm. 96.
[30] Ibid., hlm. 192-194.
[31] Penjelasan lebih detail lihat Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu…,
Buat lebih berguna, kongsi:
