Tradisi Baayun Mulud, Maulid Nabi Ala Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan

Tradisi Baayun Mulud pada Masyarakat 
Banjar Kalimantan Selatan

Tidak ada insiden yang lebih monumental dalam sejarah peradaban insan selain detik-detik pertama kelahiran Nabi Muhammad SAW. Syahdan, pada detik-detik yang menggetarkan itu, para Malaikat, alam semesta, burung-burung, dan lambaian daun-daun menyenandungkan kalam langit demi menyambut kehadiran bayi pria cerdas yang kelak menjadi pamungkas para nabi dan rasul, pemimpin revolusi spiritual di seluruh jagat bumi. Michael H. Hart (2005), menempatkan nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh paling besar lengan berkuasa sepanjang masa.

Peristiwa yang popular disebut maulid nabi itu merupakan salah satu nikmat terbesar bagi umat Islam. Tak pelak, setiap momentum maulid Nabi tiba, umat Islam nusantara mempunyai tradisi yang unik dan khusus untuk menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jika di Yogyakarta kita mengenal tradisi Sekaten, di masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel) dikenal juga upacara Baayun Mulud. Ritual sakral ini dilakukan tiap 12 Rabiul Awal bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad.

Baayun Mulud yakni insiden budaya penuh simbolik yang sarat dengan muatan sejarah, makna filosofis, akulturasi dan prosesi budaya yang berharga bagi perkembangan Islam di Kalsel yang senantiasa menarik untuk dikaji secara komprehensif. Ritual warisan nenek moyang ini telah menyusuri ruang dan waktu yang cukup panjang. Keagungan nabi Muhammad dan dogma Islam yang kental terus menjadi ide dan pemicu semangat masyarakat Banjar dalam memelihara eksistensi tradisi lokal berbalut dakwah ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, tradisi ini sudah tersohor menjadi satu dari banyak acara pariwisata unggulan Kalsel. Tidak hanya dikunjungi warga Kalsel, banyak pelancong sekaligus penerima Baayun dari luar Banua. Bahkan ada penerima dari Malaysia dan Brunei Darussalam.

Mengingat bahwa tradisi ini sudah mengakar kuat dalam struktur masyarakat Banjar, bahkan diklaim sesuai dengan pemikiran Islam, tentunya akan lebih menarik bila tradisi ini dikaji secara mendalam melalui kacamata tafsir dan hadis supaya di kemudian hari sanggup dibuktikan secara ilmiah bahwa tradisi ini memang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Deskripsi Tradisi Baayun Mulud 
Baayun Mulud terdiri dari dua kata, yaitu baayun dan mulud. Kata baayun berarti melaksanakan acara ayunan/buaian. Aktivitas mengayun bayi biasanya dilakukan oleh seseorang untuk menidurkan anaknya. Dengan diayun-ayun, seorang bayi akan merasa nyaman sehingga ia akan sanggup tidur dengan lelap.

Sedangkan kata Mulud (dari bahasa Arab maulud) merupakan ungkapan masyarakat Arab untuk insiden kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kata Baayun Mulud mempunyai arti sebuah kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW sang pembawa rahmat bagi sekalian alam.

 Tidak ada insiden yang lebih monumental dalam sejarah peradaban insan selain detik Tradisi Baayun Mulud, Maulid Nabi Ala Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan
Theasianparent.com

Hakikat dari upacara tersebut yakni selain untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. dan syiar Islam juga sebagai sarana membangun dan menyempurnakan watak dan moral mulia bagi bawah umur khususnya, lantaran orang renta mereka menghendaki anaknya kelak mempunyai sifat atau watak mirip Nabi.

1. Dasar Landasan Pengamalan

Setiap tradisi tentu mempunyai landasan yang pada gilirannya teraktualisasi dalam tindakan. Setidaknya ada beberapa hal yang mendasari masyarakat untuk melaksanakan tradisi ini ( Baayun Mulud), yaitu pertama yakni program maulid dilakukan lantaran cinta kepada Rasul dan yang kedua lantaran adanya perintah mengikuti sunnahnya dengan dasar landasan bahwa bagi siapa yang menyayangi sunnahnya berarti menyayangi Rasul dan akan bersama Rasul di Surga. 

Adapun hal yang ketiga terkait program diayunnya bayi itu, mempunyai makna filosofis bahwa menuntut ilmu itu harus dari buaian hingga liang lahat, dengan mendengarkan bacaan maulid Nabi yang berisi kebanggaan dan kalimat-kalimat baik merupakan salah satu bentuk pengajaran pada anaknya yang masih dalam buaian. Adapun dalil-dalil yang dipercaya masyarakat merupakan dasar pengamalan tradisi ini diantaranya yaitu:

a. Firman Allah dalam QS. al-Ahzab: 56 perihal shalawat atas Nabi. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kau untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

b. Hadis perihal Keutamaan Rasulullah saw.

وإذا ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير من الملأ الذي ذكرني فيه رواه الطبراني عن ابن عباس

“Jika mengingatku dengan penuh maka saya mengingatnya pula (orang yang mengingatku) dengan penuh kebaikan dari apa yang dilakukannya”. (HR. Al-Thabrani dan Ibn Abbas). [1]

Dalam syarah ‘Aqīdah al-Thahāwiyyah perihal hadis ini dijelaskan bahwa hadirnya Rasul berada pada posisi yang mulia yang kemuliaannya itu di istilahkan dengan عرج به إِلَى السماء (yang naik –menghujam- ke langit) yang memperlihatkan pemuliaan terhadap Rasul, oleh karenanya Allah menamainya dengan sebutan الملأ الأعلى lantaran kemuliaannya, merupakan kemulian tertinggi, begitu pula dekatnya Rasul kepada Allah swt.[2]

Secara eksplisit pada penggalan hadis ini, Allah secara khusus memperlihatkan kemulian kepada Nabi. Jika demikian adanya maka wujud syukur atas kelahiran Rasul sebagaimana digambarkan oleh masyarakat Banjar dengan ritual tradisi Baayun Mulud sudah barang tentu merupakan bentuk ta’zhīm kepada Rasul yang teraktualisasi dalam shalawat kepada Nabi pada perayaan Baayun Mulud di Banjar, Kalimantan Selatan. Ini juga sebagaimana riwayat yang disinyalir merupakan hadis Nabi, yaitu:

من أعظم مولدى كنت شفيعا له يوم القيامة

“Barang siapa yang mengagungkan hari kelahiranku, maka saya akan memperlihatkan syafa’at kepadanya pada hari kiamat.”

c. Hadis perihal Mencintai Nabi

وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِى فَقَدْ أَحَبَّنِى. وَمَنْ أَحَبَّنِى كَانَ مَعِى فِى الْجَنَّةِ[3

“Dan barang siapa menghidupkan sunnahku maka ia mencintaiku, dan barang siapa yang mencintaiku maka ia bersamaku di surga.” (HR. Al-Tirmidzi).

Al-Manāwī dalam faydh al-Qādīr menjelaskan hadis ini dengan menjelaskan bahwa menghidupkan sunnah Rasul yakni dengan mengaktualisasikan apa yang menjadi ajuan dari Rasul.[4] Terkait dengan cinta kepada Nabi, tidak terlepas problem Baayun Mulud yakni penggalan dari wujud cinta masyarakat Banjar pada Nabi.

d. Hadis Tentang Menuntut Ilmu dari Buaian Hingga Liang lahat.

اطلبوا العلم من المهد إلى اللحد[5

“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”

Tradisi Baayun Mulud dimaksudkan supaya bayi-bayi yang diayun itu menjadi simbol yang memperlihatkan bahwa menuntut ilmu telah dimulai semenjak buaian hingga liang lahat.

2. Asal-Usul Baayun Mulud

Menurut catatan sejarah, Baayun Anak semula yakni prosesi atau upacara adat peninggalan nenek moyang yang masih beragama Kaharingan.[6] Sejarawan H.A.Gazali Usman menyatakan tradisi ini semula hanya ada di Kabupaten Tapin (khususnya di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara). Namun kemudian berkembang dan dilaksanakan di banyak sekali kawasan di Kalimantan Selatan.[7]

Tradisi ini sanggup dianggap sebagai penanda konversi agama orang-orang Dayak yang mendiami Banua Halat dan kawasan sekitarnya, yang semula beragama Kaharingan kemudian memeluk agama Islam. Karena itu upacara Baayun Anak mempunyai kaitan yang kuat dengan sejarah masuknya Islam ke kawasan ini.

Sebagaimana diketahui, sehabis Islam diterima dan dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan oleh pendiri kerajaan Islam Banjar, Sultan Suriansyah, pada tanggal 24 September 1526, maka semenjak itulah Islam dengan cepat berkembang di Banua Banjar, terutama di daerah-daerah aliran pinggir sungai (DAS atau Daerah Batang Banyu) sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ketika itu.

Jalur masuknya Islam ke Banua Halat yakni jalur kemudian lintas sungai dari Banjarmasin ke Marabahan, Margasari, terus ke Muara Muning, hingga Muara Tabirai hingga ke Banua Gadang. Dari Banua Gadang dengan menyisiri sungai Tapin sampailah ke kampung Banua Halat. Besar kemungkinan Islam sudah masuk ke kawasan ini sekitar kurun ke-16.[8]

Sebelum masuknya Islam, orang-orang Dayak Kaharingan yang berdiam di kampung Banua Halat biasanya melaksanakan program Aruh Ganal.[9] Upacara ini dilaksanakan secara meriah dan besar-besaran ketika pahumaan (baca: sawah) menghasilkan banyak padi, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur sehabis panen mereka pun melaksanakan Aruh Ganal, yang diisi oleh pembacaan mantra dari para Balian. Tempat pelaksanaan upacara yakni Balai.

Setelah Islam masuk dan berkembang serta berkat usaha dakwah para ulama, risikonya upacara tersebut sanggup “diislamisasikan”. Jika sebelumnya upacara ini diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra-mantra, doa dan persembahan kepada para tuhan dan leluhur, atau nenek moyang di Balai, risikonya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulud, yang berisi sejarah, perjuangan, dan kebanggaan terhadap Nabi Muhammad SAW, dilaksanakan di masjid, sedangkan sistem dan teladan pelaksanaan upacara tetap. Akulturasi terhadap tradisi ini terjadi secara tenang dan serasi serta menjadi substansi yang berbeda dengan sebelumnya, lantaran ia berubah dan menjadi tradisi gres yang bernafaskan Islam.

3. Proses dan Tata Cara Pelaksanaan

Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibentuk ayunan yang membentang pada tiang-tiang masjid.[10] Ayunan yang dibentuk ada tiga lapis[11], lapisan atas dipakai kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah menggunakan kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan). Pada penggalan tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan mengunakan buah-buahan atau camilan anggun tradisional mirip cucur, cincin, camilan anggun gelang, pisang, kelapa, dan lain-lain. 

 Tidak ada insiden yang lebih monumental dalam sejarah peradaban insan selain detik Tradisi Baayun Mulud, Maulid Nabi Ala Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan
Tribunnews.com

Kepada setiap orang renta yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini bukan maksud untuk musyrik tetapi nanti akan dimakan beramai-ramai oleh orang yang hadir. Upacara Baayun Mulud ini sudah merupakan upacara tahunan yang selalu digelar gotong royong oleh masyarakat Banjar. Salah satu faktor pendorong bagi para keluarga melaksanakan tradisi ini yaitu adanya “wasiat” dari nenek moyang pendahulunya(faktor turunan), sehingga bila tidak dilaksanakan maka akan berdampak negatif bagi keluarga tersebut. [12]

Peserta Baayun Mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang melaksanakan saja, tetapi boleh saja penerima dari kampung lain ikut meramaikan. Bahkan ketika ini ada saja orang yang sudah renta ikut Baayun lantaran mereka merasa waktu kecil dulu tidak sempat ikut upacara Baayun Mulud. Dalam upacara nanti akan dibacakan banyak sekali syair, mirip syair barzanji, syair syarafal anam, dan syair diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa dan ketika dimulai pembacaan asyaraqal, si anak eksklusif dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan.

Saat pembacaan asyraqal dikumandangkan dimana semua orang yang hadir di sana berdiri, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Berdirinya semua orang ketika membaca asyraqal tersebut dikaitkan dengan keinginan supaya anaknya yang gres tiba ke dunia itu disambut mirip layaknya kaum Anshar di Madinah menyambut kedatangan Nabi sewaktu hijrah. Inilah keinginan yang luhur supaya anaknya nanti menjadi orang yang disenangi seluruh masyarakat, disambut ketika tiba dan dihormati oleh semua orang, disanjung dan dihargai oleh segala lapisan masyarakat. Selain dimaksudkan untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang renta yang hadir juga berharap anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan RasulNya.

Upacara Baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih afdhol apabila dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi orang renta yang mendapat kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini akan merasa sangat senang dan beruntung.

Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibaratkan melaksanakan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair merdu.

Dialektika Agama Dan Budaya; Sebuah Analisis
Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo (1991), agama dan budaya yakni dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya; nilainya yakni agama, tetapi simbolnya yakni kebudayaan. Kedua, budaya sanggup mempengaruhi simbol agama. Ketiga, kebudayaan sanggup menggantikan sitem nilai dan simbol agama.

Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya yakni sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya gampang sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial yakni sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa insan (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).

Baik agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memperlihatkan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan supaya sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang gres lahir, Islam memperlihatkan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama) dan aqiqah (penyembelihan hewan) bagi anak tersebut, sementara kebudayaan lokal urang Banjar yang dikemas dalam bentuk tradisi Baayun Anak yang disandingkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw atau Maulid Rasul (sehingga kemudian menjadi Baayun Maulud) memperlihatkan wawasan dan cara pandang lain, tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu mendoakan supaya anak yang diayun menjadi anak yang berbakti, anak yang saleh, yang mengikuti Nabi Saw sebagai uswah hasanah dalam kehidupannya kelak.

Baayun Anak yakni proses budaya yang menjadi salah satu simbol kearifan dakwah ulama Banjar dalam mendialogkan makna hakiki pemikiran agama dengan budaya masyarakat Banjar. Maulid yakni simbol agama dan menjadi salah satu manifestasi untuk menanamkan, memupuk, dan menambah kecintaan sekaligus pembumian sosok insan pilihan, insan teladan, Nabi pembawa Islam, untuk mengikuti pemikiran dan petuahnya. Sedangkan baayun anak penterjemahan dari manifestasi tersebut, lantaran dalam baayun anak terangkum deskripsi biografi Nabi Saw sekaligus doa, upaya, dan impian untuk meneladaninya.

Baayun Anak juga wujud nyata geneus lokal dalam menterjemahkan suatu riwayat dan perintah Nabi untuk menuntut ilmu semenjak dari buaian (ayunan). أطلب العلم من المهد إلى اللحد “Tuntutlah ilmu dari semenjak dalam buaian (ayunan) hingga liang lahat”.

Ilmu yang dituntut yakni ilmu yang telah dianjurkan oleh Nabi; meliputi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebagaimana perkataan Imam al-Syafi’i: 

من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم [13

“Barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan (kebahagiaan) di dunia, maka tuntutlah ilmu; dan barangsiapa yang ingin mendapat kebaikan di akhirat, maka tuntutlah ilmu”.

Berdasarkan kenyataan di atas, yang dikehendaki dari terjadinya dialektika antara agama dan kebudayaan yakni dua hal yang sama-sama menguntungkan, katakanlah win-win solution, bukan hal-hal yang menegangkan, apalagi merugikan. Sebab, harmonisasi antara keduanya; agama akan memperlihatkan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.

Oleh karenanya, ketika terjadi ketegangan dan pertikaian, disebabkan oleh seni, tradisi, budaya lokal atau adat-istiadat yang tidak sejalan dengan agama, diharapkan rekonsialisasi melalui sentuhan dakwah, yang kini dikenal sebagai pendekatan dakwah kultural. Dakwah kultural yakni dakwah bijak untuk mempertemukan (mengislamisasikan) tradisi budaya supaya tidak bertentangan dengan pemikiran agama. Jadi, dakwah kultural tidak hanya sebatas mengunakan medium seni budaya (Azyumardi Azra, 2003). Atau sebagai suatu upaya memberikan pemikiran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat (Hussien Umar, 2003). Namun, dakwah kultural menghendaki adanya akal dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan dakwah Islam (Munir Mulkhan, 2003). Sehingga, dengan begitu, sebuah tradisi tetap akan terjaga dan lestari, dan tentu saja tidak bertentangan dengan pemikiran agama, sebagaimana halnya dengan tradisi Baayun Anak.

Dengan demikian, Baayun Anak yakni salah satu simbol pertemuan antara tradisi dan pemikiran agama. Mengayun anak, terperinci sebuah tradisi lokal yang dilakukan oleh masyarakat Banjar dan Dayak secara bebuyutan dari dulu hingga kini untuk menidurkan anak-anak. Sedangkan memberi nama anak, berdoa, membaca shalawat, ataupun membaca Alquran, dan silaturrahmi merupakan ajuan dan perintah agama. Kedua ritus, secara harmoni telah bersatu dalam kegiatan baayun anak, yang bahkan secara khusus dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal (bulan Maulid) sebagai peringatan sekaligus penghormatan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Inilah dialetika agama dan budaya, budaya berjalan seiring dengan agama dan agama tiba menuntun budaya. Sehingga dengan model kekerabatan yang mirip itu mereka tetap menjaga dan melestarikan sebuah tradisi dengan prinsip “setiap budaya yang tidak merusak iman sanggup dibiarkan hidup”, sekaligus mewariskan dan menjaga nilai-nilai dasar kecintaan umat kepada Nabi Muhammad Saw, untuk dijadikan panutan dan teladan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berpemerintahan.

Selain itu, segala macam bentuk kesenian budaya senantiasa menyimpan nilai sakral dan nilai profan. Menurut Koentjaraningrat (1992), sistem nilai budaya (culture value system) terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang mereka anggap sangat bernilai dalam hidup.[14] Kluckhohn (1953), menilai konsepsi-konsepsi tersebut bersifat universal dan meliputi lima bidang kehidupan insan yakni; pertama, problem hakikat hidup manusia; kedua, karya manusia; ketiga, kedudukan insan dalam ruang waktu; keempat, korelasi insan dengan alam alam sekitarnya; dan kelima, korelasi insan dengan sesamanya (Maidir Harun Dt. Sinaro, 2005: 230).

Sistem nilai budaya tersebut secara bersamaan akan kita temui dalam ritual Baayun Mulud. Meski demikian, pada tatanan yang lebih verbal, ritual ini lebih menitik tekankan pada problem hakikat hidup manusia, religiusitas, humanisme, dan sekaligus berdimensi rekreatif.

Nilai religious menjadi hal utama yang hendak ditanamkan oleh para ulama dalam upacara Baayun Mulud. Nilai religious dalam tradisi ini sanggup dilihat pada motif, bacaan dan tujuan dari upacara ini. Kita tahu, motif awal penyelenggaraan upacara ini yakni sebagai ekspresi kecintaan kepada dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Rasa syukur dan kecintaan tersebut kemudian diverbalkan dalam bentuk pembacaan syair-syair yang berisi kebanggaan dan doa-doa. Dan sebagai buah dari rasa syukur dan kecintaan tersebut, mereka mengharapkan supaya putra-putri mereka senantiasa mendapat kebahagiaan, syafa’at Nabi, dan menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT. Pada titik ini budaya menjadi penggalan dari seni administrasi dakwah kultural yakni dengan memperkenalkan agama melalui media budaya.

Pada titik ini, Baayun Mulud sanggup dimaknai sebagai suatu upaya memberikan pemikiran Islam dengan mengakomodir budaya lokal serta lebih menyatu dengan lingkungan hidup masyarakat setempat. Bagaimana pun dakwah kultural menghendaki adanya akal dalam memahami kondisi masyarakat dan kemudian mengemasnya sesuai dengan pesan-pesan dakwah Islam.

Nilai sosial dari pelaksanaan upacara Baayun Mulud sanggup dilihat dari para pesertanya yang berasal dari segenap lapisan masyarakat dengan latar belakang ekonomi, sosial, politik dan umur yang berbeda-beda. Di arena pelaksanaan upacara, mereka berbaur dan membangun kembali solidaritas sosial antar masyarakat. Ketika modernitas telah berhasil membentuk manusia-manusia modern yang individualis, maka pelaksanaan upacara ini merupakan ajang silaturrahim untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan yang humanis; saling menghargai, menghormati, dan tidak takut untuk berbagai.

Abdurrahman Wahid benar bahwa tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya akan memungkinkan adanya persambungan antara banyak sekali kelompok atas dasar persamaan-persamaan, baik persamaan agama maupun persamaan budaya.

Kesimpulan 
Baayun Mulud terdiri dari dua kata, yaitu Baayun dan Mulud. Kata Baayun berarti melaksanakan acara ayunan/buaian. Aktivitas mengayun bayi biasanya dilakukan oleh seseorang untuk menidurkan anaknya. Dengan diayun-ayun, seorang bayi akan merasa nyaman sehingga ia akan sanggup tidur dengan lelap.

Sedangkan kata Mulud (dari bahasa Arab maulud) merupakan ungkapan masyarakat Arab untuk insiden kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kata Baayun Mulud mempunyai arti sebuah kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW sang pembawa rahmat bagi sekalian alam.

Syukur yang diaktualisasikan dalam bentuk ritual tradisi Baayun Mulud ini tentu merupakan dialektika antara hadis yang terpahami dengan budaya setempat dimana ia dipahami sehingga hasil dari pergumulan ini melahirkan tradisi dengan wajah yang berbeda-beda yang salah satunya yakni tradisi Baayun Mulud.


Catatan Kaki

[1] Abd al-Rauf, al-Ittihāfat al-Sunnāh bi al-Ahādits al-Qudsiyyāh, Juz I, hlm. 17dalam DVD-Rom al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2004).

[2] Al-Radūd, Juz V, hlm. 270 dalam DVD-Rom al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2004).

[3] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi , Juz 10, no. DVD-Rom al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2004) 2894, hlm. 197.

[4] Al-Manāwī, faydh al-Qādīr, Juz 6, DVD-Rom al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2004) hlm. 40.

[5] Ali bi Nayif, Mausu’ah al-Difā an Rasūlillah, juz 5, hlm. 118 dalam DVD-Rom al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). Lihat juga: Kitab Ahadits yahtajju biha al-Syi’ah, juz 1 hlm. 64 dalam CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, مشهورة وهي لا أصل لها عند أهل الحديث

[6] Kaharingan yakni kepercayaan suku Dayak primitif jauh sebelum Islam masuk, didasarkan pada pemujaan roh leluhur bercampur dengan unsur animisme dan dinamisme.

[7] A. Ghazali. Usman, Sejarah Berdirinya Masjid Banua Halat(PEMDA Kab. Tapin, 2006), hlm. 24.

[8] A. Ghazali Usman, Tradisi Baayun Maulud: 12 Rabiul Awal di Masjid Keramat Banua Halat-Rantau-Kabupaten Tapin(Rantau: Pemkab DT II, 2000), hlm.6-7. Lihat juga: A. Ghazali Usman, Sejarah Berdirinya ..., hlm. 21.

[9] Aruh GanalàAruh: selamatan, Ganal: besar. Maksudnya yakni merupakan selamatan besar-besaran atau perayaan secara besar-besaran. Biasanya dilaksanakan pada waktu panen, peringatan haul dan maulid Nabi. Arti lain yakni upacara yang dilakukan untuk orang yang meninggal dunia, upacara ini di adakan untuk arwah supaya diterima di sisi Allah SWT.

[10] Tempat pelaksanaan ini kemudian tidak hanya di mesjid tapi terkadang juga di tanah lapang yang telah dikasih atap dari terpal dan sejenisnya.

[11] Hal ini digambarkan supaya anak yang diayun sanggup menguasai ilmu tasawuf, ma’rifat dan hakikat

[12] Wawancara dengan ibu Masyruqiyah salah satu warga di desa Batu Mandi Kec. Balangan

[13]Lihat dalam kitab Mafatih Tadabbur al-Sunnah, juz 1 hlm. 30 dalam CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.

[14] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antopologi, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2000), hlm. 221

Buat lebih berguna, kongsi: