Hukum Mengunyahkan Masakan Untuk Bayi Ketika Puasa

Hukum Mengunyah Makanan untuk Bayi dikala Puasa -  Orang yang sedang melaksanakan puasa, baik sunnah terlebih puasa wajib, harus menjaga diri dari hal-hal yang sanggup membatalkan atau mengurangi pahala puasanya. Sebab puasa bukan semata menahan lapas, dahaga, dan korelasi suami istri (jima’) di siang hari, melainkan untuk meraih predikat sebagai insan yang bertaqwa. Allah swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau biar kau bertaqwa [Q.S. al-Baqarah (2): 183].”

Namun terkadang ada kebutuhan untuk melaksanakan kegiatan yang berdekatan dengan pembatal puasa, menyerupai merasakan dan atau mengunyah masakan untuk anak kecil/bayi. Keadaan ini mengakibatkan keraguan bagi sebagian kaum Muslimin terkait dengan hukumnya dalam syari’at Islam; apakah dibolehkan, makruh, atau dilarang. Berkaitan dengan hal ini, berikut paparan singkat dari kami.
Hukum Mengunyah Makanan untuk Bayi dikala Puasa Hukum Mengunyahkan Makanan untuk Bayi dikala Puasa
Mengunyahkan Makanan Untuk Bayi

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas menyatakan:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ جَابِرٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Waqi’ telah menceritakan kepada kami, dari Israil, dari Jabir, dari ‘Atho, dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: ‘Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk ke kerongkongannya (H.R. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, no. 9277. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab al-Irwa’ no 937).”

Riwayat lain dari ‘Aisyah ra menyebutkan:

وقالت عائشة في شراب سقته لأضيافها وقالت لولا أني صائمة لذقته

“Aisyah berkata perihal minuman yang ia hidangkan kepada tamu-tamunya, ‘Sekiranya saya tidak (sedang) berpuasa, tentu saya akan mencicipinya’ [Lihat Mushannaf ‘Abd ar-Razzaq, IV: 107 (no. 7310), Thabaqat Ibn Sa’d, VI: 79 , Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, II: 305 (no. 9282)].”

Berkaitan dengan kedua riwayat ini, Imam Ibnu Taimiyyah memperlihatkan pandangan bahwa intinya seseorang boleh merasakan masakan dan atau minuman. Hanya saja seseorang dianjurkan untuk menjaga diri (tidak mencicipi) masakan dan atau minuman alasannya yakni dikhawatirkan akan masuk ke kerongkongannya (Al-Majmu’, VI: 356). Dan dengan alasan kehati-hatian, imam Malik memakruhkan secara mutlak untuk merasakan masakan dan atau minuman bagi orang yang berpuasa, meskipun kalau dilakukan puasanya tetap sah selama tidak masuk ke kerongkongan (Al-Mudawwanah, I: 178. Lihat pula An-Nawaadir wa Az-Ziyadat, II: 40-41).

Lalu bagaimana dengan mengunyah masakan bagi orang yang sedang puasa?

Pada dasarnya, orang yang berpuasa dibolehkan melaksanakan kegiatan apa saja selain makan, minum, korelasi suami istri di siang hari, dan berbuat maksiat (terutama yang berpotensi membatalkan puasa –pent). Adapun terkait dengan mengunyak masakan untuk bayi, terdapat sebuah keterangan dari Ibnu ‘Abbas:

وقال ابن عباس لا بأس أن تمضغ الصائمة لصبيها الطعام وهو قول الحسن البصري والنخعي وكرهه مالك والثوري والكوفيون إلا لمن يجد بدًّا من ذَلِكَ

“Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Tidak mengapa wanita yang berpuasa mengunyah masakan untuk bayinya, dan ini merupakan pendapat dari Al-Hasan Al-Bashri dan Imam An-Nakha’i. Sedangkan Imam Malik, Ats-Tsauri, dan para ulama Kufah memakruhkannya kecuali memang tidak ada pilihan lainnya (Lihat at-Taudlih Li Syarh al-Jami’ ash-Shahih, XIII: 201, Mushanaf ‘Abd ar-Razzaq, IV: 207 (no. 7512).”

Berdasarkan keterangan di atas, seseorang -baik pria atau perempuan- yang hendak mengunyah masakan ketika puasa harus memperhatikan beberapa hal:

1. Berada dalam kondisi yang tidak memberinya pilihan lain.

2. Ada keperluan yang mendorongnya untuk melaksanakan hal ini (mengunyah makanan) dan ia tidak mendapat cara lain ketika itu. Jika masih sanggup mengupayakan cara lain tersebut, maka sangat dianjurkan untuk mengambilnya.

3. Wajib menjaga diri dari sisa masakan dan atau rasa yang tertinggal dari kegiatan mengunyah. Sebab sisa masakan yang tertinggal sangat berpotensi menjadi penyebab batalnya puasa. Adapun cara menjaga diri dari sisa masakan sanggup dengan cara berkumur dan menggosok gigi (tanpa pasta gigi sangat dianjurkan). Jika upaya maksimal sudah dilakukan, lalu masih ada sisa masakan yang tertelan alasannya yakni sulit untuk menjaga diri darinya -karena larut bersama air liur, misalnya- maka in syaa Allah hal ini dimaafkan dan tidak membatalkan puasa (lihat pedoman asy-Syabakah al-Islamiyyah no 127899 dan 720).

Baca Juga:
  1. Hukum Menggunakan Obat Tetes Mata, Telinga, dan Hidung Saat Puasa Ramadhan
  2. Hukum Puasa Wanita yang Tidak Berjilbab, Tidak Diterimakah?
  3. Marah dan Emosi Kepada Orang Lain, Apakah Membatalkan Puasa?

Demikian paparan singkat perihal aturan mengunyah masakan ketika puasa. Wajib bagi setiap muslim untuk menjaga diri dari hal-hal yang berpotensi membatalkan puasa supaya puasa yang dijalankan mendapat ganjaran maksimal dari Allah swt dan sanggup menjadi wasilah untuk meraih predikat sebagai insan yang bertaqwa. Wallahu ‘alam bi ash-shawab

Buat lebih berguna, kongsi: