Tongkronganislami.net - Maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni ‘maqasid’ dan ‘syari’ah’. Maqasid yaitu bentuk jamak dari kata مقصد yang terambil (musytaq) dari fi’il قصد yang berdasarkan bahasa mempunyai beberapa arti[1], di antaranya:
1. Istiqamat al-Tariq, ibarat dalam firman Allah swt.: “Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kalian (kepada jalan yang benar)”[2]
2. Al-‘Adl (keadilan), yaitu menengahi di antara dua bagian. Firman Allah swt.: “Dan di antara mereka ada yang pertengahan”[3]
3. Al-I’tisam wa al-i’timad (mencari santunan dan kepercayaan)[4]
Kata “syari’at”, berdasarkan bahasa berarti al-‘utbah (lekuk-liku lembah, al-‘atabah (ambang pintu dan tangga), maurid al-syaribah (jalan daerah peminum cari air atau sumber mata air), dan al-tariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).[5]
Para ulama undangan fikih memperlihatkan defenisi terkait maqasid al-syari’ah:
1. Imam al-Amidi dalam al-Ihkam memperlihatkan keterangan bahwa sebenarnya tujuan dari disyariatkannya aturan yaitu untuk mencapai manfaat dan menghindari kemudaratan atau adonan keduanya.[6]
2. Syatibi mendefenisikannya yaitu bahwa syari’ (Allah) telah memilih syariat untuk menegakkan kemaslahatan alam abadi dan kemaslahatan dunia.[7] Sebenarnya Syatibi tidak mengambil perhatian utuk mendefinisikan maqasid dalam bentuk jami’ mani’ dan terbatas, akan tetapi, ia hanya memperkenalkan maqasid lewat pembagian terstruktur mengenai teori-teorinya yang meluas.
3. Tahir Ibn Asyur memperlihatkan defenisi terkait maqasid al-syari’ah yaitu makna-makna dan hikmah-hikmah yang diinginkan oleh Tuhan pada segala kondisi tasyri’, cita-cita tersebut tidak hanya terbatas pada satu macam aturan syariat, tetapi semua bentuk aturan syariah yang tujuan dan maknanya termasuk di dalamnya. Juga termasuk makna-makna aturan yang tidak terekam dalam aneka macam macam hukum, akan tetapi terekam dalam bentuk-bentuk yang lain.[8]
4. Yusuf al-Qardawi mendefenisikan maqasid al-syari’ah bahwa tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh nas-nas baik berupa perintah, larangan serta ibahat (kebolehan). Tujuan itu ingin mengarahkan hukum-hukum yang bersifat juziyyah (parsial) pada seluruh aspek kehidupan mukallaf.[9]
Berdasarkan dari beberapa definisi tersebut, maqasid al-syari’ah berarti tujuan Allah swt. dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu sanggup ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. sebagai alasan logis bagi rumusan suatu aturan yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Macam-Macam Maqasid al-Syari’ah
Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[10] Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu berdasarkan Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan daruriyyat (primer), kebutuhan hajiyyat, dan kebutuhan tahsiniyyat.
1. Kebutuhan Daruriyyat
Kebutuhan daruriyyat yaitu kebutuhan yang harus ada dan harus dipenuhi untuk menunaikan kemaslahatan agama dan dunia. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, tidak akan tercapai kemaslatan di dunia, bahkan terancam kerusakan dalam kehidupan. Di alam abadi akan kehilangan kenikmatan dan akan mencicipi kerugian yang jelas.[11]
Ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu menjaga agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat aturan bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain yaitu memelihara lima pokok tersebut. Misalnya firman Allah swt. ihwal mewajibkan jihad:
Terjemahan: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), mereka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim”[12]
dan firman Allah swt. ihwal mewajibkan kisas:“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, semoga kalian bertakwa”[13]
Ayat pertama sanggup diketahui tujuan disyariatkan perang yaitu untuk melancarkan jalan dakwah bila terjadi gangguan dan mengajak umat insan untuk menyembah Allah swt. Ayat kedua diketahui bahwa tujuan disyariatkan kisas alasannya yaitu dengan itu bahaya terhadap kehidupan insan sanggup dihilangkan.
2. Kebutuhan Hajiyyat (sekunder)
Kebutuhan hajiyyat (sekunder) yaitu kebutuhan-kebutuhan sekunder bila mana tidak terwujudkan tidak hingga mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.[14] Adanya aturan rukhsah yaitu sebagai pola dari kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Masalah ibadah, Islam mensyariatkan beberapa aturan rukhsah (keringanan) bilamana kenyataannya menerima kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Dalam dilema muamalah, disyariatkan banyak macam akad, macam-macam jual beli, sewa menyewa, syirkah (perseroaan) dan mudarabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi untung) dan beberapa aturan rukhsah dalam muamalah. Dalam dilema ‘uqubat, Islam mensyariatkan eksekusi diat (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja dan menangguhkan eksekusi potong tangan atas seseorang yang mencuri alasannya yaitu terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan suatu kesempitan menjadikan dispensasi dalam syariat Islam yaitu ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an juga.
3. Kebutuhan Tahsiniyyat (tambahan)
Kebutuhan tahsiniyyat yaitu yang tidak hingga kepada tingkatan daruri dan sekunder, tingkat kebutuhan ini hanyalah pelengkap.[15] Hal-hal yang merupakan kepatutan berdasarkan sopan santun istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak yummy dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntuan norma dan akhlak.
Berbagai bidang kehidupan, ibarat ibadah, muamalah dan ‘uqubah, Allah swt. telah menyariatkan hal-hal yang berafiliasi dengan kebutuhan tahsiniyyat. Dalam lapangan ibadah, Islam menyariatkan bersuci baik dari najis atau dari hadas, baik dari tubuh maupun pada daerah dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias saat hendak ke mesjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunat.
Masalah muamalah, Islam melarang boros, kikir, menaikkan harga, monopoli dan lain-lain. Dalam dilema ‘uqubah, Islam mengharamkan membunuh belum dewasa dalam peperangan dan kaum wanita.
Catatan Kaki
[1]Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid V (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), h. 3642.
[2]Q.S. al-Nahl (16): 9.
[3]Q.S. Fatir (35): 32.
[4]Lihat Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqasid al-Syari’ah ‘Inda Ibn Taimiyyah (Yordania: Dar al-Nafais, t.th), h.44.
[5]Sya’ban Muhammad Isma’il, al-Tasyri’ al-Islam; Masadiruh wa Atwaruh (Mesir: Maktabah al-Nahdah al –Misriyyah, 1985), h. 7.
[6]‘Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Usl al-Ahkam, Jil. 3 (Kairo, Dar al-Sami’i, t.th), h. 271.
[7]Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muawafaqat fi Usul al-Syari’ah, juz 1 (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah, 2003), h. 30
[8]Muhammad al-Tahir Ibn ‘Asyur, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah (Cet. II; Kairo: Dar al-Nafais, 2001), h.
[9]Yusuf al-Qardawi, Dirasah fi Fiqh Maqasid al-Syari’ah; baina al-Maqasid al-Kulliyah wa al-Nusus al-Juziyyah (Kairo: Dar al-Syuruq, 2006), h. 20.
[10]Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muawafaqat fi Usul al-Syari’ah, juz 1 (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah, 2003), hal. 30.
[11]Ibid., h. 6.
[12]Q.S. al-Baqarah (2):193.
[13]Q.S. al-Baqarah (2): 179.
[14]Mahmud Bilal Mahran, Mausu’at al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: al-Majlis al-A’la, 2009), h.619.
[15]Ibid.
Buat lebih berguna, kongsi: