Tongkronganislami.net - Dalam fase kejayaan khalifah al-Ma’mun, Mu’tazilah sebagai golongan yang menerima sumbangan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan anutan ini dikenal dalam sejarah dengan insiden mihnah (inquisition). Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham khalq Al-Qur’an. Kaum Mu’tazilah beropini bahwa Al-Qur’an yaitu kalam Allah SWT yang tersusun dari bunyi dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu mahluk, dalam arti diciptakan tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak Qadim. Jika Al-Qur’an itu dikatakan Qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang Qadim selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan kepada para gubernur biar diadakan pengujian terhadap pegawanegeri pemerintahan (mihnah) perihal iktikad mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun, orang yang memiliki iktikad bahwa Al-qur’an yaitu Qadim tidak sanggup digunakan untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan, terutama dalam jabatan kadi. Dalam pelaksanaanya, bukan hanya para pegawanegeri pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat.
Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintahan yang disiksa, diantaranya Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh alasannya yaitu tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, menyerupai al-Khuzzai dan al-Buwaiti. Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan gres berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 228-247 H/847-861 M) memegang tampuk pemerintahan menggantikan al-Wasiq (memerintah 228-232 H/842-847 M). [1]
Setelah beberapa tahun lamanya, aliran Mu’tazilah mencapai kejayaan dan kemegahannya, terutama pada masa-masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Wasiq balasannya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebetulnya alasannya yaitu perbuatan mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti paham mereka.
Puncaknya dari tindakan mereka, ketika al-Ma’mun menjadi khalifah dan bahkan mengakui aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara. hal ini memberi peluang bagi kaum Mu’tazilah untuk memaksakan paham dan keyakinannya kepada golongan-golongan lain atas nama khalifah, yang mengakibatkan timbulnya suatu insiden yang dikenal dengan “Peristiwa Khalq Al-Qur’an”, apakah Al-Qur’an itu Qadim atau Hadis?[2]
Ajaran yang ditonjolkan oleh kaum Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bersifat gres dan diciptakan, alasannya yaitu berdasarkan mereka paham yang Qadim selain Tuhan berarti selingkuh Tuhan. Menduakan Tuhan berarti syirik dan syirik yaitu dosa yang terbesar yang tidak diampuni oleh Tuhan.[3]
Ajaran ini kuat juga dalam pemerintahan alasannya yaitu khalifah al-Ma’mun tidak menempatkan posisi penting dalam pemerintahan bagi orang yang memiliki paham syirik. Sehingga timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut dengan insiden “al-Mihnah” yang dimulai dari para hakim, saksi, dan para andal hadis. Malapetaka ini terus berlanjut hingga khalifah sesudahnya (al- Mu’tashim dan al-Mutawakkil) hingga tidak ada yang melewatkan untuk di adili, mulai dari andal Fiqih, andal Hadis, Mu’adzin hingga seluruh tenaga pengajar. Banyak orang yang melarikan diri dan penjara dipenuhi orang-orang yang menolak undangan pemerintah ini.
Diantaranya yang diuji dari andal Hadis dan Fiqih, terdapat Ahmat bin Hambal di Irak. Dengan keberaniannya dan tidak takut mati mempertahankan keyakinannya menentang faham diciptakannya Al-Qur’an, sehingga dia dibelenggu dan di masukkan ke dalam penjara. Sikap ini, menciptakan banyak pengikut dikalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Sehingga pada masa al-Mutawakkil pada tahun 848 M. aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan.[4]
Akibatnya dari penghapusan itu, kedudukan Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan perilaku penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibnu Hambal, yang merupakan lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu. Sekarang keadaan menjadi terbalik; Ibnu Hambal dan pengikut-pengikutnya menjadi golongan yang bersahabat pada pemerintah, sedang kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang jauh dari dinasti Bani Abbas.
Dengan demikian selesailah riwayat al-Mihnah, dan aliran Mu’tazilah sebagai suatu golongan yang kuat pada ketika itu, berangsur-angsur menjadi lemah, terutama setelah al-Asy’ari mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran.[5] dan acara kaun Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia Islam, sehingga berdasarkan Ahmad Amin yang dikutip oleh A. Hanafi bahwa hilangnya aliran Mu’tazilah merupakan peristiwa terbesar bagi kaum Muslimin.[6]
Catatan Kaki
[1] Islam Jilid III. Ichtiar Baru Van Hocve, Jakarta: 1994. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam h. 292
[2] Ibid, h. 123
[3] Ibid, h. 61
[4] Ibid, h. 291
[5] Hasan, Ibrahim Hasan. Tarikh al-Islam, Jilid I h. 124
[6] Ibid, h. 125
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan kepada para gubernur biar diadakan pengujian terhadap pegawanegeri pemerintahan (mihnah) perihal iktikad mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun, orang yang memiliki iktikad bahwa Al-qur’an yaitu Qadim tidak sanggup digunakan untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan, terutama dalam jabatan kadi. Dalam pelaksanaanya, bukan hanya para pegawanegeri pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat.
Ilustrasi / Senjatarohani.wordpress.com |
Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintahan yang disiksa, diantaranya Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh alasannya yaitu tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, menyerupai al-Khuzzai dan al-Buwaiti. Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan gres berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 228-247 H/847-861 M) memegang tampuk pemerintahan menggantikan al-Wasiq (memerintah 228-232 H/842-847 M). [1]
Setelah beberapa tahun lamanya, aliran Mu’tazilah mencapai kejayaan dan kemegahannya, terutama pada masa-masa khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Wasiq balasannya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebetulnya alasannya yaitu perbuatan mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti paham mereka.
Puncaknya dari tindakan mereka, ketika al-Ma’mun menjadi khalifah dan bahkan mengakui aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara. hal ini memberi peluang bagi kaum Mu’tazilah untuk memaksakan paham dan keyakinannya kepada golongan-golongan lain atas nama khalifah, yang mengakibatkan timbulnya suatu insiden yang dikenal dengan “Peristiwa Khalq Al-Qur’an”, apakah Al-Qur’an itu Qadim atau Hadis?[2]
Ajaran yang ditonjolkan oleh kaum Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bersifat gres dan diciptakan, alasannya yaitu berdasarkan mereka paham yang Qadim selain Tuhan berarti selingkuh Tuhan. Menduakan Tuhan berarti syirik dan syirik yaitu dosa yang terbesar yang tidak diampuni oleh Tuhan.[3]
Ajaran ini kuat juga dalam pemerintahan alasannya yaitu khalifah al-Ma’mun tidak menempatkan posisi penting dalam pemerintahan bagi orang yang memiliki paham syirik. Sehingga timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut dengan insiden “al-Mihnah” yang dimulai dari para hakim, saksi, dan para andal hadis. Malapetaka ini terus berlanjut hingga khalifah sesudahnya (al- Mu’tashim dan al-Mutawakkil) hingga tidak ada yang melewatkan untuk di adili, mulai dari andal Fiqih, andal Hadis, Mu’adzin hingga seluruh tenaga pengajar. Banyak orang yang melarikan diri dan penjara dipenuhi orang-orang yang menolak undangan pemerintah ini.
Diantaranya yang diuji dari andal Hadis dan Fiqih, terdapat Ahmat bin Hambal di Irak. Dengan keberaniannya dan tidak takut mati mempertahankan keyakinannya menentang faham diciptakannya Al-Qur’an, sehingga dia dibelenggu dan di masukkan ke dalam penjara. Sikap ini, menciptakan banyak pengikut dikalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Sehingga pada masa al-Mutawakkil pada tahun 848 M. aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan.[4]
Akibatnya dari penghapusan itu, kedudukan Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan perilaku penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibnu Hambal, yang merupakan lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu. Sekarang keadaan menjadi terbalik; Ibnu Hambal dan pengikut-pengikutnya menjadi golongan yang bersahabat pada pemerintah, sedang kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang jauh dari dinasti Bani Abbas.
Dengan demikian selesailah riwayat al-Mihnah, dan aliran Mu’tazilah sebagai suatu golongan yang kuat pada ketika itu, berangsur-angsur menjadi lemah, terutama setelah al-Asy’ari mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran.[5] dan acara kaun Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia Islam, sehingga berdasarkan Ahmad Amin yang dikutip oleh A. Hanafi bahwa hilangnya aliran Mu’tazilah merupakan peristiwa terbesar bagi kaum Muslimin.[6]
Catatan Kaki
[1] Islam Jilid III. Ichtiar Baru Van Hocve, Jakarta: 1994. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam h. 292
[2] Ibid, h. 123
[3] Ibid, h. 61
[4] Ibid, h. 291
[5] Hasan, Ibrahim Hasan. Tarikh al-Islam, Jilid I h. 124
[6] Ibid, h. 125
Buat lebih berguna, kongsi: