Studi Matan Hadis Azan dan Iqamah ketika hendak bersafar (haji) dengan metodologi Muhammad Zuhri
Oleh: Qoem Aulassyahied
Selain menganjurkan, ternyata tidak sedikit juga yang menganggap hal itu bid’ah. Seperti yang tertera dalam beberapa goresan pena yang termuat di internet, bahwa Abdullah bin bâz menganggap hal itu tidak dianjurkan dan tidak diperintahkan oleh Rasulullah. Di samping itu, pada kenyataanya usulan mengumandangkan ażan ketika hendak bersafar haji tidak menjadi topik kitab-kitab hadis.
Dalam goresan pena ini, akan coba diulas salah satu hadis yang dijadikan sebagai sandaran kaum yang menganjurkan ażan dan iqâmah ketika ber-haji. Kajian ini berupaya untuk lebih memahami secara tepat dan komperhensif hadis tersebut dari sudut matan hadisnya supaya mendapat pemahaman yang utuh.
Dalam upaya analisis ma’an al-Hadiṡ akan dipakai metodologi yang ditawarkan Muhammad Zuhri. Dipilihnya metode Muhammad Zuhri lantaran berdasarkan penulis, Muhammad Zuhri memperlihatkan cara pendekatan dalam memahami hadis dengan konsep yang sedikit kompleks dan dengan urutan pemahaman yang sistematis.
Haji Ke Baitulah / Samaa.tv |
Konsep Ma'anil Hadis Dengan Nalar Induktif Menurut Muhammad Zuhri
Menurut Muhammad Zuhri salah satu cara dalam menggali makna hadis secara tepat dan komperhensif ialah dengan memakai pisau analisis ilmiah. Yaitu dengan menempatkan teks, dalam hal ini hadis, sebagai data empiris yang dibentangkan bersama teks-teks lain supaya “berbicara sendiri-sendiri” selanjutnya ditarik kesimpulan darinya. Pisau analisis ini disebut nalar induktif[2].
Pada dasarnya nalar induktif yang popular sebagai metode analisis kontemporer telah ada rumusannya pada kajian aturan Islam, utamanya ijtihad uṣûl fiqih yang dikenal dengan ijtihad ist’qrâ'i.
Pada dasarnya nalar induktif yang popular sebagai metode analisis kontemporer telah ada rumusannya pada kajian aturan Islam, utamanya ijtihad uṣûl fiqih yang dikenal dengan ijtihad ist’qrâ'i.
Dalam kaijian tafsir, metode ini juga dikenal dengan metode mauḋu’i, ibarat yang dipopulerkan oleh al-Farmawi. Kesemuanya memperlihatkan sebuah alur pemahaman bahwa dalam memahami sebuah teks maka harus mendatangkan teks-teks yang mempunyai tema atau kandungan yang sama selain dari teks yang dikaji. Cara ini sanggup mengantarkan kita untuk mendapat validitas. Baik itu validitas terhadap teks itu sendiri –berlaku hanya bagi dalil ẓanni al-Wurûd, atau pada validitas pemahaman terhadap teks tersebut.[3]
Secara aplikasi, kalau diterapkan pada hadis, maka teks dari hadis tersebut, mula-mula harus dihadapkan pada ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan arti hadis yang sedang diteliti. Hal ini lantaran hadis ialah catatan kehidupan Rasulullah yang berfungsi menjelaskan atau menjadi pola bagaimana melaksanakan fatwa al-Qur’an. Kalau al-Qur’an itu bersifat konsep, maka hadis bersifat operasional dan praktis. Karena itu, ketika diragukan sebuah hadis, maka diperbolehkan untuk mengambil perilaku bahwa hadis tersebut tidak akan bertentangan dengan kandungan al-Qur’an[4].
Di samping menghadapkan dengan al-Qur’an, hadis juga perlu dihadapkan dengan matan hadis lain. Hal itu lantaran banyak hadis yang diriwayatkan bi al-ma’na dan tidak sedikit pula hadis mempunyai kesamaan namun melalui jalur berbeda.
Secara aplikasi, kalau diterapkan pada hadis, maka teks dari hadis tersebut, mula-mula harus dihadapkan pada ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan arti hadis yang sedang diteliti. Hal ini lantaran hadis ialah catatan kehidupan Rasulullah yang berfungsi menjelaskan atau menjadi pola bagaimana melaksanakan fatwa al-Qur’an. Kalau al-Qur’an itu bersifat konsep, maka hadis bersifat operasional dan praktis. Karena itu, ketika diragukan sebuah hadis, maka diperbolehkan untuk mengambil perilaku bahwa hadis tersebut tidak akan bertentangan dengan kandungan al-Qur’an[4].
Di samping menghadapkan dengan al-Qur’an, hadis juga perlu dihadapkan dengan matan hadis lain. Hal itu lantaran banyak hadis yang diriwayatkan bi al-ma’na dan tidak sedikit pula hadis mempunyai kesamaan namun melalui jalur berbeda.
Adanya perbedaan tersebut tidak menutup kemungkinan terdapat informasi yang saling berbeda antara satu hadis dan hadis lainya. Dalam arti satu hadis memuat satu informasi namun informasi tersebut tidak terdapat dalam hadis lain meski dalam tema yang sama, atau juga informasinya saling berkaitan.
Terhadap kasus pertama, maka dengan mengumpulkan hadis-hadis satu tema akan melahirkan pandangan yang luas dan informasi yang komplit, hal itu tentu saja akan sangat membantu menyimpulkan sebuah pemahaman yang tepat terhadap matan hadis dan penerapan yang tepat pula. Terhadap kasus yang kedua, pengumpulan ibarat itu juga membantu kita untuk mengetahui, mana hadis yang syâż dan mana hadis yang ṡiqah.[5]
Analisi dan Pembahasan Matan Hadis Azan dan Iqomah Ketika Hendak Safar Haji
Salah satu hadis yang dijadikan sandaran dalil bagi kelompok yang menganjurkan melaksanakan ażan dan iqâmah –dan merupakan hadis yang kami teliti- di sini ialah sebagai berikut: حدثنا محمود بن غيلان حدثنا وكيع عن سفيان عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن مالك بن الحويرث قال : قدمت على رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا وابن عم لي فقال لنا إذا سافرتما فأذنا وأقيما وليؤمكما أكبركما[6]
Dilihat dari segi sanad, maka hadis ini –sesuai dengan penilitan rijâl al-Hadiṡ penulis- berniliai ḥasan. Hal ini lantaran ada dua indikasi yang bisa memperlihatkan keganjilan kecil pada sanadnya.
Pertama, Maḥmud bin Gailân dalam empat kitab rijâl al-Hadiṡ, : Tahżîb al-Kamâl fî Asmâ Kutub al-Rijâl karya Jamaluddin al-Ḥajjâj Yûsuf al-Mizzi, Tahżîb al-Tahżîb karya ‘Aḥmad bin ‘Âli bin Ḥajar Syihâb al-Dîn al-‘Asqalâni as-Syâfi’i, Taqrȋb at-Tahżȋb karya ‘Aḥmad bin ‘Ali bin Ḥajar al-‘Aṡqalâni dan Mausu’ah Rijâl al-Kutub al-Tis’ah karya ‘Abd al-Gaffâr Sulaiman al-Bandarî dan Sayyid Kurdi Ḥasan, tidak dicantumkan sebagai guru dari at-Tirmiżi, perkiraan penulis, bahwa Maḥmud bin Gailân ialah guru at-Tirmiżi yang tidak popular.
Indikasi keganjilan yang kedua adalah: perawi Khâlid al-Khazzâ’i dinilai kurang ṡiqah kaazrena dari ke-empat kitab rijâl al-Hadiṡ yang kami sebutkan di atas, tidak luput dari memperlihatkan komentar tercela –dengan lafal yang ringan- terhadap perawi tersebut. Meski terdapat juga ulama yang menilai baik, tapi melihat seimbangnya evaluasi tersebut, ditambah dengan informasi târikh ar-Ruwwât-nya yang sedikit janggal, yaitu dia diklaim mengikuti gerakan politik dan hafalannya berubah ketika memasuki masa tua, menambah ketercacatan dari perawi tersebut.
Dilihat dari segi matan, maka berdasarkan penulis, terdapat kata yang musykil, yang perlu diketahui maknanya secara tepat supaya bisa mendapat pemahaman yang baik. Kata yang musykil di situ ialah lafal فأذنا dan أقيما. Lafal فأذنا merupakan kata perintah yang berasal dari kata kerja ażżana أذَن atau âżana آذَن. Keduanya sama-sama mempunyai arti memberitahu, mengumumkan, memberi izin atau secara khusus ażan[7]. Pengertian ini senada dengan penjelasan lafal yang diberikan oleh Muslim:
Indikasi keganjilan yang kedua adalah: perawi Khâlid al-Khazzâ’i dinilai kurang ṡiqah kaazrena dari ke-empat kitab rijâl al-Hadiṡ yang kami sebutkan di atas, tidak luput dari memperlihatkan komentar tercela –dengan lafal yang ringan- terhadap perawi tersebut. Meski terdapat juga ulama yang menilai baik, tapi melihat seimbangnya evaluasi tersebut, ditambah dengan informasi târikh ar-Ruwwât-nya yang sedikit janggal, yaitu dia diklaim mengikuti gerakan politik dan hafalannya berubah ketika memasuki masa tua, menambah ketercacatan dari perawi tersebut.
Dilihat dari segi matan, maka berdasarkan penulis, terdapat kata yang musykil, yang perlu diketahui maknanya secara tepat supaya bisa mendapat pemahaman yang baik. Kata yang musykil di situ ialah lafal فأذنا dan أقيما. Lafal فأذنا merupakan kata perintah yang berasal dari kata kerja ażżana أذَن atau âżana آذَن. Keduanya sama-sama mempunyai arti memberitahu, mengumumkan, memberi izin atau secara khusus ażan[7]. Pengertian ini senada dengan penjelasan lafal yang diberikan oleh Muslim:
فأذن أي أعلم بالرحيل و في بعض النسخ فأذن بلا مد و بذال مشددة و هو بمعناه
Adapun lafal آذَن ialah pemberitahuan akan sebuah pemberangkatan, dalam sebagian goresan pena juga, ditulis أذَن tanpa panjangnya abjad “a” dan bertasydidnya abjad “żal”, dengan makna yang sama.
Pengertian secara bahasa tadi, memperlihatkan kesimpulan, bahwa kalau lafal فأذنا, diartikan perintah Rasulullah untuk memberitahukan pemberangkatan mereka yang hendak berhaji, maka itu sedikit janggal lantaran tidak mempunyai kekerabatan dengan lafal selanjutnya yaitu أقيما. Sehingga berdasarkan penulis, arti dari lafal secara bahasa yang paling cocok ialah Rasulullah menyuruh untuk ber-ażan, kemudian setelah itu ber-iqâmah.
Persoalan selanjutnya adalah, apakah pengertian secara teks tersebut sudah tepat, sehingga maksud dari hadis ini ialah dianjurkannya orang yang hendak berhaji untuk ażan dan iqâmah? ataukah terdapat makna lain yang lebih tepat dalam memahaminya?
Secara nalar induktif, hal pertama yang harus dilakukan ialah mengklarifikasi hadis tersebut pada ayat-ayat al-Qur’an ihwal haji. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang berkaitan ihwal baitullah, Mekkah, kisah penyembelihan, syiar-syiar Allah dalam haji dan segala hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan proses haji diantarnya:
Surah al-Baqarah, ayat: 196 – 203:
Secara nalar induktif, hal pertama yang harus dilakukan ialah mengklarifikasi hadis tersebut pada ayat-ayat al-Qur’an ihwal haji. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang berkaitan ihwal baitullah, Mekkah, kisah penyembelihan, syiar-syiar Allah dalam haji dan segala hal yang berkaitan dengan ibadah haji. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan proses haji diantarnya:
Surah al-Baqarah, ayat: 196 – 203:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (١٩٦) الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ (١٩٧) لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (١٩٨)ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٩٩) فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (٢٠٠) وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (٢٠١) أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (٢٠٢) وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (٢٠٣)
al-Ḥaj, ayat: 26 – 37:
وَإِذْ بَوَّأْنَا لإبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (٢٦) وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (٢٧) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (٢٨) ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (٢٩) ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ (٣٠) حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ (٣١) ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢) لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ (٣٣) وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (٣٤) الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (٣٥) وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٣٦)لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (٣٧)
“Dan (ingatlah), ketika Kami memperlihatkan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kau memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud; Dan berserulah kepada insan untuk mengerjakan haji, pasti mereka akan tiba kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang tiba dari segenap penjuru yang jauh; Supaya mereka menyaksikan banyak sekali manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir; Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada tubuh mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melaksanakan ṭawaf sekeliling rumah yang bau tanah itu (Baitullah); Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu ialah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kau semua hewan ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta; Dengan nrimo kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ialah ia seperti jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh; Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati; Bagi kau pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, hingga kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta final masa) menyembelihnya ialah setelah hingga ke Baitul Atiq (Baitullah); Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, lantaran itu berserah dirilah kau kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah); (Yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka; Dan telah Kami jadikan untuk kau unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kau memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kau menyembelihnya dalam keadaan bangun (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kau bersyukur; Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak sanggup mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sanggup mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kau supaya kau mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS: 22: 26-37).
Rangakaian ayat-ayat ihwal haji yang dipaparkan di atas, memperlihatkan citra umum proses haji mulai dari permulaan hingga selesainya haji ditunaikan. Pada kelompok ayat pertama, diberitahukan bahwa bagi orang-orang yang bertekad untuk menunaikan haji, maka hendaknya ia menjauhi rafaṡ, yaitu tidak berkata jorok, perkataan yang mengakibatkan birahi dan perbuatan yang tidak senonoh[8], tidak berbuat fasik dan bertengkar dalam melaksanakan ibadah haji dan diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik.
Sementara pada kelompok ayat kedua, dijelaskan bahwa orang-orang yang berhaji, akan tiba dari segenap penjuru dunia dengan berjalan kaki, mengendarai unta dan banyak sekali macam sarana transport lainnya. Hendaknya pula bagi orang yang berhaji untuk membersihkan diri-diri mereka, memenuhi nazar-nazar mereka, menjauhi perkataan dusta dan nrimo kepada Allah swt.
Berdasarkan informasi dari dua kelompok ayat ini, tidak ada satupun ayat yang menyuratkan usulan melaksanakan ażan dan iqâmah ketika hendak melaksanakan safar haji. Dalam ayat tersebut, memang terdapat usulan untuk memperbanyak pengucapan zikir, tapi berdasarkan penulis, kalau ażan dan iqâmah dalam hal ini digolongkan sebagai sebuah zikir maka itu terlalu dipaksakan, lantaran usulan untuk berzikir dalam ayat itu tidak hanya ketika hendak berhaji, tapi juga sedang dan setelah berhaji.
Berdasarkan itu semua, maka setelah menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an mengenai haji, terdapat dua opsi kesimpulan;
Berdasarkan informasi dari dua kelompok ayat ini, tidak ada satupun ayat yang menyuratkan usulan melaksanakan ażan dan iqâmah ketika hendak melaksanakan safar haji. Dalam ayat tersebut, memang terdapat usulan untuk memperbanyak pengucapan zikir, tapi berdasarkan penulis, kalau ażan dan iqâmah dalam hal ini digolongkan sebagai sebuah zikir maka itu terlalu dipaksakan, lantaran usulan untuk berzikir dalam ayat itu tidak hanya ketika hendak berhaji, tapi juga sedang dan setelah berhaji.
Berdasarkan itu semua, maka setelah menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an mengenai haji, terdapat dua opsi kesimpulan;
Pertama, bahwa memang ażan dan iqâmah itu bukan sebuah usulan ketika hendak berhaji, sehingga pemaknaan lafa فأذنا dan أقيما harus dimaknai lain.
Kedua, hadis itu berfungsi sebagai tafṣil atau perinci dari hal-hal yang harus dilakukan ketika haji, sehingga ażan dan iqâmah termasuk perbuatan baik yang dianjurkan ketika hendak berhaji.
Analisis selanjutnya untuk mendapat pemahaman yang mendalam dan komperhensif, sebagaimana dalam pola nalar induktif adalah, mengaitkan hadis dengan hadis-hadis lainnya yang mempunyai makna sama. Dalam pencarian hadis dengan makna yang sama, penulis memakai kata kunci أَذِّنَا وَأَقِيمَا. Berdasarkan kata kunci ini, didapatkan hadis-hadis yang berkaitan sebagai berikut:
Analisis selanjutnya untuk mendapat pemahaman yang mendalam dan komperhensif, sebagaimana dalam pola nalar induktif adalah, mengaitkan hadis dengan hadis-hadis lainnya yang mempunyai makna sama. Dalam pencarian hadis dengan makna yang sama, penulis memakai kata kunci أَذِّنَا وَأَقِيمَا. Berdasarkan kata kunci ini, didapatkan hadis-hadis yang berkaitan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ انْصَرَفْتُ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَنَا أَنَا وَصَاحِبٍ لِي أَذِّنَا وَأَقِيمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
Telah bercerita kepada kami Aḥmad bin Yunus telah bercerita kepada kami Abu Syihâb dari Khâlid Al Hażżâ'i dari Abu Qilâbah dari Malik bin Al Huwairiṡ berkata; Aku berpamitan pulang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian Beliau bersabda kepada kami, saya dan sahabatku: "Ażanlah kemudian qamat dan hendaklah yang menjadi imam siapa yang paling bau tanah usianya diantara kalian berdua".[9]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ وَهُوَ أَبُو سُلَيْمَانَ أَنَّهُمْ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ وَصَاحِبٌ لَهُ أَوْ صَاحِبَانِ لَهُ فَقَالَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَيْنِ لَهُ أَيُّوبُ أَوْ خَالِدٌ فَقَالَ لَهُمَا إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا وَصَلُّوا كَمَا تَرَوْنِي أُصَلِّي
Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Khâlid dari Abu Qilâbah dari Malik bin Huwairiṡ yaitu Abu Sulaiman bahwa mereka tiba menemui Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, ketika itu di samping dia ada seorang sahabat, -atau dua orang sahabat, kemudian salah satu dari keduanya berkata -Ayyub atau Khalid-, kemudian dia bersabda kepada keduanya: "Apabila tiba waktu shalat, maka kumandangkanlah, dan dirikanlah shalat, hendaklah orang yang lebih bau tanah diantara kalian menjadi imam, kemudian shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat."[10]
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ هِلَالٍ الصَّوَّافُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَصَاحِبٌ لِي فَلَمَّا أَرَدْنَا الِانْصِرَافَ قَالَ لَنَا إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Hilâl Aṣ-Ṣawwâf berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' dari Khalid Al-Hażżai` dari Abu Qilâbah dari Malik Ibn al-Huwairiṡ ia berkata, "Aku bersama dengan seorang temanku tiba menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka ketika kami akan pergi dia bersabda kepada kami: "Jika waktu shalat tiba, maka ażan dan iqâmahlah kalian, dan hendaklah yang paling besar dari kalian menjadi imam. "[11]
خْبَرَنَا حَاجِبُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمَنْبِجِيُّ عَنْ وَكِيعٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَابْنُ عَمٍّ لِي وَقَالَ مَرَّةً أَنَا وَصَاحِبٌ لِي فَقَالَ إِذَا سَافَرْتُمَا فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُما
Telah mengabarkan kepada kami Ḥâjib bin Sulaiman Al Manbiji dari Waki' dari Sufyân dari Khâlid al-Ḥażża'i dari Abu Qilâbah dari Malik bin Al-Huwairiṡ dia berkata; "Aku pernah tiba kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersama anak pamanku -pada kesempatan lain ia berkata, "bersama temanku"- lantas Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda, 'Jika kalian berdua melaksanakan perjalanan, maka ażan dan iqâmahlah, dan hendaknya yang paling bau tanah menjadi imam bagi yang lain'[12]
Berdasarkan semua hadis-hadis ini, terdapat informasi lebih lengkap dari hadis sebelumnya, di mana dalam sunan Ibnu Mâjah dan Sunan an-Nasâ’i terdapat suplemen lafal إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ, yang memperlihatkan bahwa lafal فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا ialah ażan dan iqâmah disebabkan masuknya waktu shalat, bukan lantaran hendak berhaji. Sehingga hadis di atas, tidak memperlihatkan adanya usulan untuk melaksanakan ażan dan iqâmah ketika hendak berhaji, melainkan ketika masuk waktu sholat sementara dalam perjalanan.
Begitu pun dengan penjelasan yang diberikan oleh ulama mengenai hadis-hadis ini. Diantaranya syarh dalam kitab Fatḥ al-Bâri[13]
حدثنا مسدد : ثنا يزيد بْن زريع : ثنا خَالِد ، عَن أَبِي قلابة ، عَن مَالِك ابن الحويرث ، عَن النَّبِيّ ( ، قَالَ : ( ( إذا حضرت الصلاة فأذنا وأقيما ، وليؤمكما أكبركما ) ) .وقد تقدم هَذَا الحَدِيْث فِي ( ( أبواب الأذان ) ) ، خرجه البخاري هناك من حَدِيْث الثوري ، عَن خَالِد الحذاء ، ولفظ حديثه : أتى رجلان النَّبِيّ ( يريدان السفر ، فَقَالَ النَّبِيّ ( : ( ( إذا أنتما خرجتما فأذنا وأقيما ، وليؤمكما أكبركما ) ) .وخرجه هناك - أيضاً - من حَدِيْث أيوب ، عَن أَبِي قلابة ، عَن مَالِك بْن الحويرث ، قَالَ : أتيت النَّبِيّ ( فِي نفر من قومي ، فأقمنا عنده - فذكر الحَدِيْث - ، وفي أخره : ( ( فإذا حضرت الصلاة فليؤذن أحدكم ، وليؤمكم أكبركم ) ) .فرواية أيوب تدل عَلَى أنهم كانوا جماعة ، فلا يحتج بِهَا عَلَى أن الاثنين جماعة ، وإنما يحتج لذلك برواية خَالِد الحذاء ؛ فإنه ذكر فِي روايته أنهما كانا اثنين ، وأن النَّبِيّ ( أمرهما أن يؤمهما أكبرهما ، فدل عَلَى أن الجماعة تنعقد باثنين .
Telah mengabarkan kepada kami musaddad, telah memberitahukan pada kami Yazîd bin Zurai’, memberitakan kepada kami Khâlid, dari Abi Qilâbah, dari Malik Ibn al-Huwairiṡ, Dari Nabi saw, bersabda : “apabila telah tiba waktu Shalat maka hendaknya kalian berdua mengumandangkan ażan dan iqâmah, dan hendaknya yang paling bau tanah di antara kalian menjadi imam. Hadis ini sudah ada sebelumnya pada cuilan pembahasan “bab-bab ażan”.(yaitu) Hadis diriwayatkan oleh Bukhari, yang berasal dari hadisnya aṡ-Ṡauri, dari Khalid al-Hażża’i, lafal hadisnya sebagai berikut: “dua orang pria mendatangi Nabi saw, di mana keduanya hendak bersafar. Maka bersabdalah Rasulullah, “apabila kalian berdua keluar bersafar, maka hendaknya kalian ażan dan beriqâmah (menegakkan shalat) dan hendaknya yang paling bau tanah di antara kalian menjadi imam. Dan di dalam cuilan itu juga terdapat hadis dari Ayub, dari Malik al-Huwairiṡ, ia berkata “aku mendatangi Nabi saw (saat itu saya bersama kaumku). Lalu kami melaksanakan shalat bersama beliau, kemudian dia menyebutkan hadis, yang diakhirnya, Ia bersabda “ dan apabila telah tiba waktu shalat maka hendaknya salah satu diantara kalian ażan dan yang paling bau tanah menjadi imam.
Dalam riwayat Abu dawud ini memperlihatkan bahwa pada ketika itu mereka dalam kelompok, sehingga hadis ini tidak bisa dijadikan ḥujjah bahwa dua orang sudah disebut sebagai jama’ah. Adapun riwayat yang dijadikan ḥujjah bahwa dua orang sudah disebut jama’ah ialah riwayat milik malik al-Huwairiṡ, lantaran pada ketika itu dia dua orang dan Nabi menyuruh yang paling bau tanah di antara mereka menjadi imam, sehingga hadis ini memperlihatkan ukuran jama’ah itu dua orang.
Dalam konteks keterangan ini, bahwa yang diperbincangkan dalamnya ialah dilema ukuran jama’ah dalam shalat, artinya lafal فأذنا وأقيما bukan ketika hendak bersafar, tapi ketika waktu shalat telah masuk.
Juga dalam kitab at-Tamhîd limâ fi al-Muwaṭṭa min al-Ma’âni wa al-Asânid[14]:
Dalam konteks keterangan ini, bahwa yang diperbincangkan dalamnya ialah dilema ukuran jama’ah dalam shalat, artinya lafal فأذنا وأقيما bukan ketika hendak bersafar, tapi ketika waktu shalat telah masuk.
Juga dalam kitab at-Tamhîd limâ fi al-Muwaṭṭa min al-Ma’âni wa al-Asânid[14]:
….أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له ولصاحبه "إذا كنتما في سفركما فأذنا وأقيما وليؤمكما أحدكما" وهو قول أهل الظاهر ولا أعلم أحدا قال بقوله من فقهاء الأمصار إلا ما روى أشهب عن مالك وما روي عن الأوزاعي فيمن ترك الإقامة دون الأذان وهو قول عطاء ومجاهد وقال الثوري تجزئك الإقامة في السفر عن الأذان وإن شئت أذنت وأقمت وتكفيك الإقامة وإن صليت بغير أذان ولا إقامة أجزتك صلاتك وقال الشافعي وأبو حنيفة وأصحابهما وهو قول أبي ثور وأحمد وإسحاق والطبري إذا ترك المسافر الأذان عامدا أو ناسيا أجزأته صلاته وكذلك لو ترك الإقامة عندهم لم تكن عليه إعادة صلاته وقد أساء إن تركها عامدا وهو تحصيل مذهب مالك أيضا
…Rasulullah bersabda padanya dan pada sahabatnya, “jika kalian berdua dalam keadaan safar, maka hendaknya kalian ażan dan iqâmah, dan hendaknya yang paling bau tanah diantara kalian menjadi imam, ini merupakan pendapat hebat Zâhir, dan saya tidak mengetahui satu pun fuqaha kota besar yang menjadikan hadis ini sebagai pegangan atas pendapat mereka kecuali hadis yang diriwayatkan oleh Asyhâb dari mâlik dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Awzâ’i mengenai orang yang meninggalkan iqâmah. Ini (juga) pendapat ‘Aṭa dan Mujâhid. Aṡ-Ṡauri beropini bahwa beriqâmah (ketika hendak shalat) dalam perjalan tanpa ażan itu sudah cukup. Jika kau ingin ażan dan iqâmah hal itu boleh. Iqâmah itu sudah cukup untukmu, kalau kau melaksanakan shalat tanpa ażan dan tanpa iqamah, itu pun juga boleh. Syâfi’i, Abu Hanîfah dan sahabat-sahabatnya beropini –dan ini juga pendapat yang dipegangi aṡ-Ṡaur, Aḥmad, Ishâq dan Ṭabari, bahwa apabila orang yang sedang bersafar tidak ażan secara sengaja ataupun lantaran lupa, maka shalatnya tetap sah. Sehingga apabila iqamah ditinggalkan maka tidak wajib baginya untuk mengulangi shalat, akan tetapi meninggalkan iqâmah secara sengaja merupakan hal yang tidak baik. Pendapat ini juga dipegangi oleh mâlik.
Penjelasan dalam kitab ini juga ihwal aturan meninggalkan ażan dan iqâmah ketika melaksanakan shalat ketika sedang bersafar. Berbagai macam ulama memperlihatkan komentar mengenai hal tersebut yang semuanya dalam satu konteks yaitu shalat ketika safar. Hal ini kembali menguatkan bahwa lafal فأذنا وأقيما tidak memperlihatkan usulan ażan dan iqâmah ketika hendak berhaji.
Juga dalam kitab Syarh Ṣaḥîḥ al-Bukhâri[15]:
….قال النَّبِيِّ عليه السلام : ( إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاةُ ، فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا ) . اختلف العلماء فى أقل اسم الجمع ، فذهب قوم إلى أن الاثنين جمع ، واستدلوا بهذا الحديث ، وقالوا : كل جماعة قليلة كانت أو كثيرة ، فالمصلى فيها له سبع وعشرون درجة ، قال إبراهيم النخعى : إذا صلى الرجل مع الرجل لهما أجر التضعيف خمس وعشرون درجة ، وهما جماعة . وقالت طائفة : الثلاثة جماعة ، روى ذلك عن الحسن البصرى ، وقال إسماعيل بن إسحاق : فى حديث أبى بن كعب ، أن النبى ، عليه السلام ، قال : ( صلاة الرجل مع الرجل أزكى من صلاة الرجل وحده ) دليل أن صلاة الرجل مع الرجل فى معنى الجماعة .
…Nabi saw bersabda: “jika telah tiba waktu Shalat, makan hendaknya kalian berdua ażan dan iqâmah kemudan hendaknya yang paling bau tanah di antara kalian menjadi imam. Para ulama berselisih pendapat mengenai ukuran jama’ah paling kecil. Sekelompok beropini bahwa dua orang itu sudah dianggap jama’ah. Mereka berpegang pada dalil ini. Sementara yang lain berpendapat, bahwa semua shalat yang dilakukan secara berjama’ah baik itu sedikit maupun banyak maka orang yang shalat dalam jama’ah itu mendapat pahala sebesar dua puluh tujuh derajat, Ibrahim an-Nakha’i berpendapat: apabila seorang pria shalat dengan seorang lainnya, maka bagi mereka pahala yang berlipat, yaitu dua puluh lima derajat, dan keduanya sudah disebut berjama’ah. Sementara sekelompok lainnya berpendapat: tiga orang itulah disebut jama’ah, pendapat ini diriwayatkan dari Ḥasan al-Biṣri. Sedangkan Isma’il bin Ishâq beropini bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab: Rasulullah bersabda “shalat seorang pria bersama pria lainya itu lebih utama dari pada shalatnya secara sendirian”, memperlihatkan bahwa shalatnya seorang pria dengan seorang lainnya sudah masuk dalam makna berjama’ah.
Penjelasan dalam kitab ini berbicara ihwal kontradiksi ukuran minimal dalam shalat berjama’ah dengan berpegang pada hadis-hadis yang sedang diteliti sekarang. Keterangan ini semakin menguatkan bahwa lafal فأذنا وأقيما tidak bisa berpengertian melaksanakan ażan dan iqâmah ketika hendak bersafar, baik itu safar untuk haji maupun safar untuk lainnya.
Azan / Alartemag.be |
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, yaitu dengan menganalisa kata-kata kunci yang dianggap musykil, kemudian mengaitkannya dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan dan menghubungkannya pula dengan hadis-hadis yang se-tema, sanggup disimpulkan bahwa menjadikan hadis yang diteliti di atas sebagai pegangan dalam menganjurkan ażan dan iqâmah ketika hendak bersafar merupakan hal yang salah, lantaran mengartikan lafal فأذنا وأقيما dengan arti “melakukan ażan dan iqâmah ketika hendak bersafar ialah arti yang tidak sesuai dengan konteks hadis”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, yaitu dengan menganalisa kata-kata kunci yang dianggap musykil, kemudian mengaitkannya dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik yang sedang dibicarakan dan menghubungkannya pula dengan hadis-hadis yang se-tema, sanggup disimpulkan bahwa menjadikan hadis yang diteliti di atas sebagai pegangan dalam menganjurkan ażan dan iqâmah ketika hendak bersafar merupakan hal yang salah, lantaran mengartikan lafal فأذنا وأقيما dengan arti “melakukan ażan dan iqâmah ketika hendak bersafar ialah arti yang tidak sesuai dengan konteks hadis”.
Arti yang bergotong-royong dalam hadis tersebut, dikaitkan dengan konteks yang ada ialah ber-ażan dan ber-iqâmah ketika tiba waktu shalat ketika sedang bersafar. Maka melaksanakan ażan dan iqâmah ketika hendak bersafar baik haji maupun safar lainnya dengan menganggap hal itu dianjurkan berdasarkan hadis yang diteliti di atas ialah hal yang diada-adakan dan tidak mempunyai sandaran.
Nalar induktif dalam memahami matan suatu hadis yang ditawarkan oleh Muh. Zuhri ternyata bisa dengan baik membantu menyimpukan pemahaman secara tepat dan komplit sehingga bisa mengambil aturan dengan tepat pula
Penutup
Tentunya kajian terhadap ma’ân al-Hadis sangat banyak, disebabkan banyak pula tawaran metodologis yang ditawarkan oleh ulama-ulama lainya. Untuk itu penelitian terhadap hadis ini atau hadis-hadis lain yang sama dengan yang dikaji oleh penulis kini sangatlah menarik untuk dilakukan, supaya menambah wawasan intelektual, dan menambah kelimuan dalam menjawab masalah-masalah yang tengah berkembang sekarang
Daftar Bacaan
Al-Bagdâdi, Syihâb ad-Dîn, Fatḥ al-Bâri, Arab Saudi: Dâr Ibn al-Jauzi, 1422, Maktabah Syamilah, V. 4.83
al-Bikri al-Qurṭûbi, Ibn al-Baṭṭâl, Syarh Ṣaḥîḥ al-Bukhari, Riyaḋ : Maktabah ar-Rasyd, 2003, Software Maktabah Syamilah, V. 4.83
Al-Bukhari, Ibrâhîm bin Al-Mugîrah, Al-Jâmi’ aṡ-Ṡaḥîḥ, Mesir : Dâr as-Sya’b, Maktabah Syamilah, V. 4.83
Al-Qazwaini, Muḥammad bin Yazîd, Sunan Ibn Mâjah, Maktabah Abi al-Mu’âṭî, Maktabah Syamilah, V. 4.83
An-Nasa’i, Syu’aib bin ‘Ali, Sunan al-Kubrâ, Muassasah ar-Risâlah, Maktabah Syamilah, V. 4.83
At-Tirmiżi, Abu ‘Îsa, Al-Jâmi’ aṡ-Ṡaḥîḥ Sunan at-Tirmiżi, Beirut : Dâr Iḥyâ’ at-Turaṡ, Maktabah Syamilah, V. 4.83
Ibn ‘Âṣim an-Namiri, ‘Abd al-Bar, At-Tamhîd lima fî al-Muwaṭṭa’ min al-Ma’âni wa al-Asânid, Muassasah al-Qurṭûbi, Software Maktabah Syamilah, V. 4.83
www.nu.or.id
Zuhri, Muhammad, Tela’ah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI, 2003
Catatan Kaki
Nalar induktif dalam memahami matan suatu hadis yang ditawarkan oleh Muh. Zuhri ternyata bisa dengan baik membantu menyimpukan pemahaman secara tepat dan komplit sehingga bisa mengambil aturan dengan tepat pula
Penutup
Tentunya kajian terhadap ma’ân al-Hadis sangat banyak, disebabkan banyak pula tawaran metodologis yang ditawarkan oleh ulama-ulama lainya. Untuk itu penelitian terhadap hadis ini atau hadis-hadis lain yang sama dengan yang dikaji oleh penulis kini sangatlah menarik untuk dilakukan, supaya menambah wawasan intelektual, dan menambah kelimuan dalam menjawab masalah-masalah yang tengah berkembang sekarang
Daftar Bacaan
Al-Bagdâdi, Syihâb ad-Dîn, Fatḥ al-Bâri, Arab Saudi: Dâr Ibn al-Jauzi, 1422, Maktabah Syamilah, V. 4.83
al-Bikri al-Qurṭûbi, Ibn al-Baṭṭâl, Syarh Ṣaḥîḥ al-Bukhari, Riyaḋ : Maktabah ar-Rasyd, 2003, Software Maktabah Syamilah, V. 4.83
Al-Bukhari, Ibrâhîm bin Al-Mugîrah, Al-Jâmi’ aṡ-Ṡaḥîḥ, Mesir : Dâr as-Sya’b, Maktabah Syamilah, V. 4.83
Al-Qazwaini, Muḥammad bin Yazîd, Sunan Ibn Mâjah, Maktabah Abi al-Mu’âṭî, Maktabah Syamilah, V. 4.83
An-Nasa’i, Syu’aib bin ‘Ali, Sunan al-Kubrâ, Muassasah ar-Risâlah, Maktabah Syamilah, V. 4.83
At-Tirmiżi, Abu ‘Îsa, Al-Jâmi’ aṡ-Ṡaḥîḥ Sunan at-Tirmiżi, Beirut : Dâr Iḥyâ’ at-Turaṡ, Maktabah Syamilah, V. 4.83
Ibn ‘Âṣim an-Namiri, ‘Abd al-Bar, At-Tamhîd lima fî al-Muwaṭṭa’ min al-Ma’âni wa al-Asânid, Muassasah al-Qurṭûbi, Software Maktabah Syamilah, V. 4.83
www.nu.or.id
Zuhri, Muhammad, Tela’ah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI, 2003
Catatan Kaki
[1] Selengkapnya sanggup dilihat di www.nu.or.id
[2] Muhammad Zuhri, Tela’ah Matan Hadis, Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta : LESFI, 2003) hlm. 65
[3] Ibid.
[4] Ibid, hlm, 66
[5] Ibid, hlm. 72
[6] Sunan at-Tirmżi, cuilan al-Ażan fi as-Safar, juz 1, hlm.399, no hadis 205 (tidak ada di Mizan al-I’tidâl)
[7] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: pustaka progressof, 1997), hlm. 15
[8] kementerian Agama, Syamil al-Qur’an edisi tajwid, (Jakarta: Sygma, 2010), hlm. 32
[9] Ṣaḥîḥ al-Bukhâri, jilid ke-empat, cuilan kitab bid’i al-Waḥyi, hlm. 33, No. Hadis. 2848 (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
[10] Musnad Imam Aḥmad, jilid ke-5, cuilan Baqiyyah Hadîṡ mâlik bin al-Huwairiṡ, hlm. 53, no Hadis. 20549 (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
[11] Sunan Ibnu Mâjah, Bab Man Ahaqqu bi al-Imâmah, hlm. 313, no Hadis. 979 (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
[12] Sunan an-Nasâ’i, jilid ke-dua, cuilan ażan al-Munfaridina fi as-Safar, hlm. 8, no Hadis. 634 (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
[13] Fatḥ al-Bâri, jilid ke-empat, cuilan al-Kalâm iża uîimat aṣ-Ṣalâh, hlm. 51, (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
[14] At-Tamhîd limâ fi al-Muwaṭṭa’ min al-Ma’âni wa al-Aâanid, jilid ke-sembilan, cuilan al-Ḥadîṡ aṡ-Ṡâliṡ, hlm. 279 (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
[15] Syarḥ Ṣaḥîḥ al-Bukhâri, jilid ke-2, cuilan Ṣalâh al-Jamâ’ah wa al-Imâmah, hlm. 283 (Software Maktabah as-Syamilah versi 3.48)
Buat lebih berguna, kongsi: