Makalah Perkembangan Filsafat Modern (Renaisans, Rasionalisme, Dan Empirisme)

Makalah Perkembangan Filsafat Modern
(Renaisans, Rasionalisme, dan Empirisme)
Oleh: Saida Manilet

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Haron Nasution dalam bukunya Islam Rasional menyampaikan bahwa di tangan para filosof Yunani ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perli ditegaskan bahwa waktu ituilmu filsafat merupakan satu kesatuan dan belum terpisahkan sebagaimana hari ini, maka budi dan ilmu pengetahuan sama dengan filsafat, mempunyai kedudukan yang sangat penting sekali.[1]

Pada masa pertengahan, hegemoni antara budi dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada masa itu budi kalah total dan iman menang mutlak. Abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal terjadinya insan itu sudah menunjukan bahwa ia sanggup maju dengan cepat. Abad ini juga telah dipenuhi lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir kreatif, lantaran pemikirannya berlawanan atau berbeda dari pikiran tokoh Gereja. Abad ini tidak saja lamban, lebih dari itu secara pukul rata filsafat mundur pada masa ini: jangankan menambah, menjaga warisan sebelumnya pun masa ini tidak mampu.[2]

Untunglah pada abad-abad ini di pecahan dunia lain, yaitu di dunia islam, filsafat berkembang pesat. Pemikiran bukan saja tidak diganggu oleh islam, lebih dari itu insan di dorong untuk berpikir, untuk maju, tidak puas dengan apa yang telah ada.

Tidak sanggup dipungkiri, kapan zaman filsafat modern dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai semenjak adanya krisis zaman pertengahan selama dua masa (abad ke-14 dan masa ke-15), yang ditandai dengan gerakan Renaissance.[3] Renaissance berarti kelahiran kembali, yang mengacu kepada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan masa ke-14). Tujuan utamanya yaitu merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan pedoman agama Kristen. Selain itu juga dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja-gereja yang terpecah-pecah.

Di samping itu, para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang serasi dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah insan dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik.

Renaissance akan banyak memperlihatkan segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang kongkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya insan untuk memberi daerah kepada budi yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar, lantaran adanya suatu keyakinan bahwa budi niscaya sanggup menerangkan segala macam masalah yang dibutuhkan juga pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.[4]

Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan budi akan sanggup diharapkan lahir “dunia baru”, dimana penghuninya (manusia-manusianya) sanggup mencicipi puas atas dasar kepemimpinan budi yang sehat. Aliran yang menjadi pendahuluan Filsafat Modern ini didasarkan pada suatu kesadaran atas yang individual, dan yang kongkret.[5]

Bermula dari William Ockham (1295-1349), yang mengetengahkan Via Moderna (jalan modern) dan Via Antiqua (jalan kuno). Akibatnya insan didewa-dewakan, insan tidak lagi memusatkan pikirannya kepada Tuhan dan surga. Akibatnya, terjadi perkembangan ilmu pengetahuan secara pesat dan membuahkan sesuatu yang mengagumkan. Di sisi lain, nilai filsafat merosot lantaran dianggap ketinggalan zaman.

Dalam era filsafat modern, yang kemudian dilanjutkan dengan era filsafat ke-20, muncullah banyak sekali aliran pemikiran, diantaranya Rasionalisme dan Empirisme selain Renaissance. Oleh lantaran itu dalam makalah ini akan dibahas secara gamblang ihwal ketiga aliran tersebut.

 Haron Nasution dalam bukunya Islam Rasional menyampaikan bahwa di tangan para filosof Yunan Makalah Perkembangan Filsafat Modern (Renaisans, Rasionalisme, dan Empirisme)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, yang menjadi masalah pokok dalam pembahasan ini ialah bagaimana perkembangan filsafat modern, dengan sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan filsafat pada zaman modern?

2. Bagaimana sejarah lahirnya Renaissance, tokoh-tokoh dan pemikirannya?

3. Bagaimana sejarah lahirnya Rasionalisme, tokoh-tokoh dan pemikirannya?

4. Bagaimana sejarah lahirnya Empirisme, tokoh-tokoh dan pemikirannya?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Filsafat Pada Zaman Modern
Istilah “modern” muncul bukan tanpa alasan. Kata ini sebetulnya mempunyai sejarah yang panjang dan menggemparkan, muncul sebagai simbol antitesis, perlawanan, pemberontakan, dan penolakan terhadap apa yang lampau dan tradisional. Karenanya tak heran kalau modern selalu vis a vis tradisional.

Dalam sejarah peradaban Yunani dan Arab masa pertengahan ada sebagian kelompok yang menyebut diri sebagai kelompok modern sebagai simbol resistensi generasi bau tanah yang di dalam tradisi Arab disebut sebagai mutaakhirun yang artinya sama dengan modern.[6]

Ada beberapa kriteria pemikiran yang bisa disebut ”modern”. Pada umumnya kriteria modern itu yaitu apabila ada sesuatu yang baru, lain dengan biasanya, berada dan bukan bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau adat-istiadat termasuk adat keagamaan, apabila ada gerakan atau dinamika untuk menolak atau meninggalkan hal-hal yang dianggap sebagai masa kemudian dan menganut hal-hal yang dianggap baru.[7]

Pada zaman modern filsafat dari banyak sekali aliran muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme Yunani, sedikit pengecualian pada Kant (salah satu tokoh idealisme). Paham-paham yang muncul dalam garis besarnya yaitu Rasionalisme, Idealisme, dan Empirisme. Dan paham-paham yang merupakan pecahan dari aliran itu. Paham rasionalisme mengajarkan bahwa budi itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung Rasionalisme ini, yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz.[8]

Sedangkan paham Empirisme menyatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. Paham ini bertolak belakang dengan paham Rasionalisme. Mereka menentang pendapat para penganut rasionalisme yang berdasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat a priori. Pelopor aliran ini yaitu Francis Bacon, kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.[9]

Sementara itu pada masa XX, aliran filsafat banyak sekali sehingga sulit digolongkan, lantaran makin eratnya kolaborasi internasional. Namun sifat-sifat filsafat pada masa ini lawannya masa XIX, yaitu anti positivistis, tidak mau bersistem, realistis, menitik beratkan pada manusia, pluralistis, antroposentrisme, dan pembentukan subjektivitas modern.[10]

Paparan di atas memperlihatkan betapa besarnya perkembangan pemikiran insan yang sebelumnya terkandas pada masa pertengahan. Pada masa ini bermunculan pemikiran-pemikiran yang mengarah pada kemajuan filsafat. Abad ini ditandai dengan munculnya Renaissance, yang kemudian dalam perkembangannya muncul aliran Rasionalisme, Empirisme, dan lain sebagainya. Untuk lebih memperjelas sejarah munculnya aliran-aliran tersebut serta pemikiran-pemikiran mereka, akan diuraikan secara rinci pada pembahasan berikut.

B. Renaisans

1. Sejarah Lahirnya Renaisans

Zaman pertengahan berakhir pada dikala yang tidak terperinci lantaran batas-batas pemikiran filsafatnya terlalu subtil, Namun beberapa andal beropini bahwa masa renaisans lah yang menjadi batasnya, yaitu batas pemisah antara masa pertengahan dan masa modern.[11]

Dalam bahasa Latin, Renaisans berasal dari kata re dan nasci berarti lahir kembali (rebith), maksudnya yaitu melahirkan kembali budaya klasik, yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Istilah ini biasa digunakan oleh sejarahwan untuk menunjuk banyak sekali periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang masa ke-15 dan ke-16. Istilah ini mula-mula digunakan oleh sejarahwan terkenal, Michelet dan dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat indivdualisme, kebangkitan kebudayaan antik, inovasi dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode masa pertengahan. Karya filsafat pada masa ini sering disebut filsafat renaissance.[12]

Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Nasrani Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme[13]. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 144 M) dan ditemukannya benua gres (1492 M) oleh Colombus memperlihatkan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris, Prancis, dan Spanyol. Pada masa itu juga seni musik mengalami perkembangan. Adanya inovasi para andal perbintangan ibarat Copernicus dan Galileo menjadi dasar bagi munculnya astronomi modern yang merupakan titik balik dalam pemikiran ilmu dan filsafat.[14]

Tidaklah gampang untuk menciptakan garis batas yang tegas antara zaman renaisans dengan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah ekspansi renaisans. Akan tetapi pemikiran ilmiah membawa insan lebih maju ke depan dengan kecepatan yang besar, berkat kemampuan-kemampuan yang dihasilkan oleh masa-masa sebelumnya. Manusia maju dengan langkah raksasa dari zaman uap ke zaman listrik, kemudian ke zaman atom, elektron, radio, televisi, dan zaman ruang angkasa.

Berkembangnya penelitian empiris merupakan salah satu ciri Renaisans. Oleh lantaran itu, ciri selanjutnya yaitu munculnya sains. Di dalam bidang filsafat, Zaman Renaisans tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Perkembangan sains ini dipacu lebih cepat setelah Descartes berhasil mengumumkan rasionalismenya. Sejak itu, dan juga telah dimulai sebelumnya, yaitu semenjak permulaan Renaissance, sebetulnya individualisme dan humanisme telah dicanangkan. Descartes memperkuat idea-idea ini. Humanisme dan individualisme merupakan ciri Renaisans yang penting. Humanisme ialah pandangan bahwa insan bisa mengatur dunia dan dirinya. Ini suatu pandangan yang tidak menyenangkan orang-orang yang beragama.[15]

Kaprikornus ciri utama Renaissance ialah humanisme, individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari tabiat itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaisans itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang lantaran semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini lantaran semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan terperinci kelak pada zaman modern. Rupanya setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan menghasilkan yang positif, tetapi sekaligus yang negatif.

Jadi, Zaman Modern filsafat didahului oleh Zaman Renaisans. Sebenarnya secara esensial Zaman Renaisans itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman Modern. Ciri-ciri filsafat Renaisans ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern yaitu Descartes. Pada filsafatnya kita menemukan ciri-ciri Renaisans tersebut. Ciri itu antara lain ialah menghidupkan kembali rasionalisme Yunani (renaissance), individualisme, humanisme, lepas dari imbas agama dan lain-lain. Sekalipun demikian, para andal lebih bahagia menyebut Descartes sebagai tokoh rasionalisme. Penggelaran yang tidak salah, tetapi bukanlah hanya Descartes yang sanggup dianggap sebagai tokoh rasionalisme. Rasionalis pertama dan serius pada zaman modern memang Descartes.

Pada zaman renaisans ini insan Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Pemikir yang sanggup dikemukakan dalam goresan pena ini antara lain Nicholas Copernicus dan Francis Bacon.

2. Tokoh-tokoh Renaisans dan Pemikirannya

a.) Nicholas Copernicus (1473-1543)

Nicholas Copernicus yaitu seorang tokoh gereja ortodoks, ia menemukan bahwa matahari berada di sentra jagad raya, dan bumi mempunyai dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari. Teorinya ini disebut Heliosentrisme, di mana matahari yaitu sentra jagad raya, bukan bumi sebagaimana yang dikemukakan oleh Ptolomeus yang diperkuat gereja. Teori Ptolomeus disebut Geosentrisme yang mempertahankan bumi sebagai sentra jagad raya.[16]

Sekalipun Copernicus menciptakan model, namun alasan utamanya bukanlah sistemnya, melainkan keyakinannya bahwa prinsip Heliosentrisisme akan sangat memudahkan perhitingan. Cupernicus sendiri tidak berniat untuk mengumumkan penemuannya, terutama mengingat keadaan dan lingkungan gereja waktu itu. Menurut gereja, prinsip Geosentrisme dianggap yang lebih benar daripada prinsip Heloisentrisisme. Tiap siang dan malam kita melihat semuanya mengelilingi bumi. Hal ini ditetapkan Tuhan, oleh agama, lantaran insan menjadi sentra perhatian Tuhan, untuk manusialah semua itu diciptakan-Nya. Paham demikian disebut Homosentrisisme. Dengan kata lain, prinsip Geosentrisisme tidak sanggup dipisahkan dari prinsip Heliosentrisisme. Jika dalam keadaan demikian prinsip Heliosentrisisme dilontarkan, maka akan berakibat berubah dan rusaknya seluruh kehidupan insan dikala itu.[17]Teori Cepernicus ini melahirkan revolusi pemikiran ihwal alam semesta, terutama astronomi.

b.) Francis Bacon (1561-1626)

Francis Bacon yaitu pemikir yang seakan-akan meloncat keluar dari zamannya dengan melihat perintis filsafat ilmu. Ungkapan Bacon yang populer yaitu Knowledge is Power (pengetahuan yaitu kekuasaan). Ada tiga pola yang sanggup menunjukan pernyataan ini, yaitu:

1.) Mesin menghasilkan kemenangan dan perang modern,

2.) Kompas memungkinkan insan mengarungi lautan,

3.) Percetakan yang mempercepat penyebaran ilmu.[18]

Bacon menjadi perumus pertama dari apa yang nantinya menjadi norma umum di dalam metode ilmiah, yakni bahwa semua bentuk pengetahuan harus didasarkan pada bukti-bukti dan eksperimen. Dengan metode ini, beliau menolak pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu mempunyai lantaran pertama dan tujuan final. Alih-alih memandang alam dengan paradigma yang sudah bersifat apriori sebelumnya, ia mulai dengan melaksanakan observasi empiris mendetail atas hal-hal yang bersifat partikular. Selanjutnya, merumuskan prinsip-prinsip umum dari pengamatan tersebut.

Secara umum sanggup dikatakan bahwa Bacon melihat adanya prinsip kausalitas di dalam seluruh realitas. Dengan kata lain, segala sesuatu yang terjadi niscaya mempunyai lantaran dan kondisi-kondisi yang memungkinkannya, ibarat yang dirumuskan Aristoteles dengan penyebab efisiensinya.[19]

Penemuan Copernicus mempunyai imbas luas dalam kalangan sarjana, antara lain:

a.) Tycho Brahe (1546-1601)

b.) Johannes Keppler (1571-1630)

c.) Gallileo Galilei (1546-1642), penemu lintas peluru, aturan pergerakan, dan tata bulan planet Jupiter.

d.) Isaac Newton (1643-1727), penemu teori Gravitasi, perhitungan Calculus, dan Optika.

e.) Joseph Black (1728-1799), penemu gas CO2.[20]

Secara singkat sanggup ditarik sebuah sejarah ringkas ilmu-ilmu yang lahir dikala itu, yakni :

- Perkembangan ilmu pada masa ke-18 telah mewlahirkan ilmu taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika.

- Abad ke-19 lahir semisal pharmakologi, geofisika, geormophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi.

- Abad ke-20 mengenal ilmu teori informasi, logika matematika, mekanika kwantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiobiology, oceanografi, antropologi budaya, psikologi dan sebagainya.[21]

Pada zaman modern inilah yang melahirak revolusi industri di Inggris, sebagai jawaban peralihan masyarakat agraris dan perdagangan masa pertengahan ke masyarakat indistri modern dan perdagangan maju. Pada masa inilah James Watt menemukan mesin uap (abad ke-18).

C. Rasionalisme
1. Sejarah Lahirnya Rasionalisme

Dengan bertambah majunya alam pikiran insan dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan pada zaman modern ini, insan sanggup menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang mitos. Menurut A. Comte, dalam perkembangan manusia, sehabis tahap mitos, insan berkembang dalam tahap filsafat, rasio sudah terbentuk, tetapi belum ditemukan metode berpikir secara objektif. Rasio sudah mulai dioperasikan tetapi kurang objektif. Berbeda dengan pada tahap teologi, pada tahap filsafat ini insan mencoba mempergunakan rasionya untuk memahami onjek secara dangkal, tetapi objek belum dimasuki secara metodologis yang definitif.[22]

Setelah pemikiran Renaisans hingga pada penyempurnaannya, yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara alamiah sanggup digunakan manusia, yaitu budi (rasio) dan pengalaman (empiri). Karena orang mempunyai kecenderungan untuk membentuk aliran berdeasarkan salah satu di antara keduanya, maka kedua-duanya sama-sama membentuk aliran tersendiri yang saling bertentangan.

Latar belakang munculnya rasionalisme yaitu keiginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima tetapi ternyata tidak bisa menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang ditanam Aristoteles dalam pemikiran dikala itu juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khalan.[23]

Rasionalisme yaitu salah satu aliran filsafat utama yang meletakkan kandasan konseptual epistimologi. Dalam pandangan penganut rasionalisme dengan proses rasional, yaitu melalui penalaran, pengetahuan sanggup dicapai secara dan absah dan benar. Faham filsafat rasional menyatakan bahwa budi (reason) yaitu alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Jika empirisisme menyampaikan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengalami obyek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.[24]Dalam menyusun pengetahuan, kaum Rasionalis menggunakan penalaran deduktif.[25]

Rasionalisme ada dua macam: dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme yaitu lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme yaitu lawan empirisme.

Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik pedoman agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berkhasiat sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisme, rasionalisme beropini bahwa sebagian dan pecahan penting pengetahuan tiba dari inovasi akal. Contoh yang paling terperinci ialah pemahaman kita ihwal logika dan matematika.

Sejarah rasionalisme sudah bau tanah sekali. Thales telah menerapkan rasionalisme dalam filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan terperinci sekali pada orang-orang sofis dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles) dan juga beberapa tokoh sehabis itu. Pada Zaman Modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme yaitu Descartes yang dibicarakan setelah ini. Bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar rasionalisme lainnya, yaitu Buruch Spinoza dan Leibniz. Setelah periode ini rasionalisme dikembangkan secara tepat oleh Hegel yang kemudian populer sebagi tokoh rasionalisme dalam sejarah.[26]

2. Tokoh-tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya
a.) Descartes

Rasionalisme dipelopori oleh Rene Decartes (1596-1650)[27] yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia andal dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang, sebagai bangunan yang berdiri sendiri berdasarkan satu metode yang umum. Yang harus dipandang sebagai hal yang benar yaitu apa yang terperinci dan terpilah-pilah (clear and distinctively). Ilmu pengetahuan harus mengikuti langkah ilmu pasti, lantaran ilmu niscaya sanggup dijadikan model cara mengenal secara dinamis.[28]

Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang sanggup mengemban amanah yaitu akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan budi sanggup diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, ibarat yang dicontohkan dalam ilmu pasti.[29] Metode keraguan itu bukanlah tujuannya. Tujuan metode ini bukanlah untuk mempertahankan keraguan sebaliknya, metode ini bergerak dari keraguan menuju kepastian. Keraguan Descartes hanya ditujukan untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang sanggup diragukan dari sesuatu yang tidak sanggup diragukan. Ia sendiri tidak pernah mewaspadai bahwa ia bisa menemukan keyakinan yang berada dibalik keraguan itu, dan menggunakannya untuk menunjukan sesuatu kepastian di balik sesuatu. Keyakinan itu begitu terperinci dan pasti, dan menghasilkan keyakinan yang sempurna, Spinoza meurujut kepada inspirasi ini da memberinya nama adequate ideas, sementara Leibniz merujuk juga dan memberinya sebutan truths of reason.[30]

Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% niscaya dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan. Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak sanggup diragukan, yaitu "saya ragu-ragu". Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika saya menyangsikan sesuatu, saya menyadari bahwa saya menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu pribadi menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", saya berpikir (= menyadari) maka saya ada. Itulah kebenaran yang tidak sanggup disangkal lagi. - Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab saya mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah" - "clearly and distinctly", "clara et distincta". Artinya, yang terperinci dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam memilih kebenaran.[31]

Descartes menginginkan cara yang gres dalam berpikir, maka dibutuhkan titik tolak pemikiran yang niscaya yang sanggup ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Jelasnya, bertolak dari keraguan mendapatkan kepastian.[32]

b.) Spinoza (1632-1677)

Spinoza, nama aslinya Barunch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benerdictus de Spinona.

Metafisika modern biasanya dikatakan dimulai oleh Descartes yang sama halnya dengan Aristoteles dengan beropini bahwa sesuatu untuk ada tidak memerlukan yang lain (bila adanya lantaran yang lain, berarti substansinya kurang meyakinkan), Spinoza ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu.

Spinoza mencoba mencoba menjawab petanyaan-pertanyaan ihwal permasalahan metafisika modern dengan menggunakan deduksi matematis ala Descartes. Ia memulai dengan meletakkan definisi-definisi, aksioma-aksioma, proposisi-proposisi, kemudian barulah menciptakan pembuktian (penyimpulan) berdasarkan definisi, aksioma, atau proposisi itu yang sepintas dilihat cukup rumit juga.[33]

c.) Leibniz (1646-1716)

Gottfried Wilhelm von Leibniz yaitu filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Lama menjadi pegawai pemerintah, menjadi atase, pembantu pejabat tinggi negara. Pusat metafisikanya yaitu inspirasi ihwal substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.[34]

Bagi Spinoza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz yaitu hidup, dan setiap sesuatu terjadi untuk suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah “prinsip budi yang mencukupi”, yang secara sederhana sanggup dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Leibniz beropini bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) yaitu pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz ihwal ini diberi judul Monadology, dengan abreviasi mrtafisikanya sebagai berikut:

1. Monad, yakni substansi yang sederhana, yang selanjutnya menyuusun substansi yang lebih besar.

2. Harus ada substansi yang sederhana lantaran adanya susunan itu, lantaran susunan tidak lain dari suatu koleksi substansi sederhana.

3. Sekarang, apa pun yang tidak mempunyai bagian-bagian tentulah tidak mempunyai ukuran, tidak berbentuk, tidak sanggup dibagi. Monad itu yaitu atom yang sebetulnya pada sifatnya dan kenyataannya yaitu unsur segala sesuatu.

4. Kerusakan, lantaran itu tidak akan terjadi pada substansi itu, ya, lantaran tidak sanggup dibagi itu, lantaran imaterial itu.

5. Dengan cara yang tidak sama ada jalan untuk memahami simple substance itu dicipta lantaran monad itu tidak sanggup dibuat dengan menyusun.

6. Kita hanya sanggup menyatakan kini bahwa monad itu mulai dan berakhir hanya satu kali. Monad muncul lantaran dicipta dan berakhir melalui peniadaan. Yang tersusun mempunyai permulaan dan berakhir secara berangsur.

7. Monad tidak mempunyai kualitas, karenanya mestinya mereka tidak akan pernah ada. Dan kalau substansi sederhana tidak sanggup dibedakan satu dengan yang lainnya, tidak berarti kita tidak sanggup membayangkan perubahan padanya. Apapun yang tergabung dalam suatu susunan sanggup dikenai rusak hanya melalui unsur sederhana dari monad itu. Sekalipun mereka itu tanpa kualitas, sekalipun kuantitasnya tidak sanggup dibedakan, tetap saja sanggup dibedakan satu daru lainnya.

8. Setiap monad harus dibedakan satu dengan lainnya lantaran tidak pernah ada isi alam yang sama sekalipun kita tidak sanggup mengetahui perbedaan itu.

9. Tidak ada jalan untuk menjelaskan bagaimana monad-monad itu sanggup berubah dalam dirinya sendiri oleh sesuatu di luarnya lantaran tidak ada kemungkinan sesuatu yang masuk ke dalamnya. Kita tidak pula sanggup membayangkan di dalam dirinya ada gerakan yang sanggup dihasilkannya sebagaiman di dalam suatu composite (gabungan monad). Monad itu tidak mempunyai jendela yang lewat jendela itu sesuatu sanggup masuk dan keluar.[35]

D. Emprisme
1. Sejarah Lahirnya Empirisme


Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai kelemahan, maka muncullah pandangan yang lain berdasarkan pengalaman konkret. Mereka yang berbagi pengetahuan berdasarkan pengalaman kasatmata ini disebut penganut empirisme.

Secara radikal, empirisme berpendirian bahwa sebetulnya seseorang hanya bisa memperoleh pengetahuan merlalui pengalaman dengan menggunakan indra lahiriahnya.[36] Empirisme suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahas Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme yaitu lawan rasionalisme. Untuk memahami isi doktrin ini perlu dipahami lebih dahulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori ihwal makna dan teori ihwal pengetahuan.[37]

Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar yaitu pengetahuan yang diperoleh pribadi dari pengalaman konkret. Menurut paham empirisme ini, tanda-tanda alam ini bersifat kasatmata dan sanggup ditangkap dengan pancaindera manusia. Dengan proteksi pancainderanya, insan berhasil menghimpun sangat banyak pengetahuan. Penganut empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran induktif.[38]

Sebagai tokohnya yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume. Oleh lantaran adanya kemajuan ilmu pengetahuan sanggup dirasakan manfaatnya, maka pandangan orang terhadai filsafat mulai merosost. Hal ini disebabkan lantaran filasafat dianggap tidak berkhasiat lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali keuntungannya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera (empiri), dan empirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama Empirisme.

2. Tokoh-tokoh Empirisme dan Pemikirannya
1.) Thomas Hobbes

Ia spesialis pikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford untuk berguru logika skolastik dan fisiska, yang ternyata gagal, lantaran ia tidak berminat lantaran gurunya beraliran Aristotelian. Sumbangan yang besar sebagai andal pikir yaitu suatu sistem materialistik yang besar, termasuk juga perikehidupan organis dan ruhaniah. Dalam bidang kenegaraan ia mengemukakan teori Kontrak Sosial.

Dalam tulisannya, ia telah menyusun suatu sitem pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris, di samping juga mendapatkan metode dalam ilmu alam yang matematis.

Pendapatnya, bahwa ilmu filsafat yaitu suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Karena filsafat yaitu suatu ilmu pengetahuan ihwal akibat-akibat atau ihwal gejala-gejala yang diperoleh dari sebab-sebabnya. Sasaran filsafat yaitu fakta, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan aturan ilmu niscaya atau ilmu alam.[39]

Namanya sangat populer lantaran teorinya ihwal Kotrak Sosial, yaitu insan mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan diri. Apabila setiap orang mempunyai kecenderungan demikian, maka pertentangan, pertengkaran atau perang total tak sanggup dihindari. Perang akan menciptakan kehidupan menjadi sengsara dan buruk. Bagaimana insan sanggup menghindarinya. Maka dibutuhkan budi sehat, semoga setiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendaknya sendiri. Untuk itu mereka harus bersatu menciptakan perjanjian untuk mentaati / tunduk terhadap penguasa. Orang-orang yang dipersatukan disebut Commonwealth.

2.) John Locke (1932-1704)

Ia dilahirkan di Wrington, bersahabat Bristol, Inggris. Di samping sebagai seorang hali hukum, juga mewnyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, hingga seberapa jauh (bagaimana) insan menggunakan kemampuannya.

Dalam penelitiannya ia menggunakan istilah sensation dan reflection. Sensation yaitu suatu yang sanggup berafiliasi dunia luar, tetapi insan tidak sanggup mengerti dan meraihnya. Sedangkan reflection yaitu pengenalan intuitif yang memperlihatkan pengetahuan kepada manusia, yang sifatnya lebih baik dari pada sensation. Tiap-tiap pengetahuan yang diperoleh insan terdiri dari sensation dan reflection. Walaupun demikian, insan harus mendahulukan sensation. Mengapa demikian? Karena jiwa insan di dikala dilahirkan putih higienis (tabula rasa) yaitu jiwa itu kosong bagaikan kertas putih yang belum tertulisi. Tidak sesuatu yang dalam jiwa yang dibawa semenjak lahir, melainkan pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.[40]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan di atas sanggup ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1.) Perkembangan filasaf modern mempunyai sejarah yang panjang dan menggemparkan, muncul sebagai simbol antitesis, perlawanan, pemberontakan, dan penolakan terhadap apa yang lampau dan tradisional. Pada zaman modern filsafat dari banyak sekali aliran muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme Yunani. Betapa besarnya perkembangan pemikiran insan pada masa ini dengan munculnya pemikiran-pemikiran yang mengarah pada kemajuan filsafat yang sebelumnya terkandas pada masa pertengahan. Masa ini ditandai dengan unculnya Renaisans. Pada masa ini ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat sehingga menjadikan terjadinya revolusi industri di Inggris dengan hasil-hasil temuah oleh para ahli-ahli filsafat modern.

2.) Renaisans merupakan masa kelahiran kembali peradaban klasik Yunani dan Romawi. Konsep sejarah pada masa ini menunjuk kepada periode yang bersifat indivdualisme, kebangkitan kebudayaan antik, inovasi dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode masa pertengahan. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa. Tokoh-tokoh yang mengawali periode renaisans ini ialah Nicholas Copernicus, Francis Bacon, Tycho Brahe.Johannes Keppler, Gallileo Galilei, Isaac Newton, dan Joseph Black.

3.) Setelah pemikiran Renaisans hingga pada penyempurnaannya, yaitu telah tercapainya kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara alamiah sanggup digunakan manusia, yaitu budi (rasio) dan pengalaman (empiri). Rasionalisme ialah aliran yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan proses rasional, yaitu melalui penalaran, pengetahuan sanggup dicapai secara dan absah dan benar. Adapun tokoh-tokoh yang menganut pemikiran ini ialah Rene Decartes, Barunch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm von Leibniz.

4.) Aliran yang muncul selain Rasionalisme yaitu aliran Empirisme yang mempunyai pendapat bertentangan dengan Rasionalisme. Mereka berpandangan bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan dari pengalaman empirik. Tokoh- tokoh yang mempelopori aliran ini ialah Thomas Hobbes dan John Locke.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum. Cet. IV; Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Aly, Abdullah, Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Cet. 9; Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Binarto, Nor Pud, Periode Pemikiran Filsafat Modern, www.gogle.com, 15 Januari 2011.

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu. Cet.IV; Yogyakarta: Liberty, 1999.

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Cet. III; Jokjakarta: Ar-Ruzz Media Goup, 2010.

Mustansir , Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu. Cet. 2; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Nasution, Harun, Islam rasional. Bandung: Mizan, 1998.

Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat. Jakarta: PT Pembangunan, 1966.

Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat. Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Tafsir, Ahmad­, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Cet. VII; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.

___________, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cet. XVIII; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010.

Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Grasindo, 2008.

Wiramihardja, Sutardjo A., Pengantar Filsafat; Sistematika dan sejarah filsafat logika dan filsafat ilmu (epistemologi), metafisika dan filsafat insan (aksiologi). Cet. III; Bandung: Refika Aditama, 2009.

Katt Soff, Louis O., Element Of Philosophy, trj., Sojonom Soemarsono dengan Judul Pengantar Filsafat. Cet. VII; YogyakartaL: Tiara Wacana, 1996.

Catatan Kaki

[1]Harun Nasution, Islam rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 297.

[2]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James (Cet. VII; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 102.

[3]Renaissance (kelahiran kembali) yaitu istilah yang sering digunakan untuk menamakan gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran di Eropa yang dimulai dari Italia (abad ke-14) dan kemudian meluas ke Prancis, Spanyol, Jerman, Belanda, Inggris dan ke Negara-negara Eropa lainnya. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Leonardo Da Vinci, Michelangelo, dan Machiavelli. Lihat Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Cet. IV; Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 109.

[4]Ibid., h. 110.

[5]Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat (Jakarta: PT Pembangunan, 1966), h. 106.

[6]Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme (Cet. III; Jokjakarta: Ar-Ruzz Media Goup, 2010), h. 113.

[7]Ibid., h. 114.

[8]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. I; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), h. 204.

[9]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet. 9; Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 67.

[10]Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 161.

[11]Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat; Sistematika dan sejarah filsafat logika dan filsafat ilmu (epistemologi), metafisika dan filsafat insan (aksiologi) (Cet. III; Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 72.

[12]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James (Cet. VII; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 109.

[13]Humanisme, maksud ungkapan ini ialah insan diangkat dari Abad Pertengahan. Pada masa Pertengahan itu insan dianggap kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari gereja (kristen), bukan berdasarkan ukuran yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia. Karena insan mempunyai kemampuan berpikir, maka humanisme menganggap insan bisa mengatur dirinya dan mengatur dunia. Lihat Ahmad tafsir, Ibid.,

[14]Amsal Bakhtiar, Op. Cit., h. 50.

[15]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Op. Cit., h. 110.

[16]Rizal Mustansir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. 2; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 70.
[17]Amsal Bakhtiar, Op. Cit., h. 51.
[18]Rizal Mustansir dan Misnal Munir, Op. Cit., h. 71.

[19]Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains; Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 129-130.

[20]Lihat Amsal Bakhtiar, Op. Cit., h. 52-61.
[21]Ibid., h. 62.

[22]Abdullah Aly, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 8.

[23]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Cet. IV; Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 111-112.

[24]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Op. Cit., h. 111.

[25]Penalaran deduktif yaitu cara berpikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini menggunakan pola pikir yang disebut silogisme. Silogisme itu sendiri terdiri atas dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan disebut premis mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh dengan penalaran deduktif dari kedua premis itu. Lihat Abdullah Aly, Op. Cit., h. 9.

[26]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Op. Cit., h. 112.

[27]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Cet.IV; Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 18.
[28]Asmoro Achmadi, Op. Cit., h. 111.

[29]Ibid.,

[30]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Op. Cit., h. 116.

[31]Nor Pud Binarto, Periode Pemikiran Filsafat Modern, www.gogle.com, 15 Januari 2011.
[32]Endang Daruni, et. al., Filosof-filosof Dunia dalam Gambar (Yogyakarta: Kencana, 1982), h. 65.

[33]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Op. Cit., h. 118.
[34]Ibid., h. 122.

[35]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Cet. XVIII; Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), h. 139-141.

[36]Louis O. Katt Soff, Element Of Philosophy, trj., Sojonom Soemarsono dengan Judul Pengantar Filsafat (Cet. VII; YogyakartaL: Tiara Wacana, 1996), h. 136.

[37]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Op. Cit., h. 173-174

[38]Penalaran induktif ialah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Misalnya pengamatan atas logam besi, alumunium, tembaga, dan sebagainya, kalau dipanasi ternyata memperlihatkan bertambah panjang. Dari sini sanggup disimpulkan secara umum bahwa logam kalau dipanasi akan bertambah panjang. Lihat Abdullah Aly, Op. Cit., h. 11.

[39]Asmoro Achmadi, Op. Cit., h. 113.
[40]Ibid., h. 114.
Buat lebih berguna, kongsi: