Makalah Penerapan Konsep Qat'i dan Zanni dalam Perkembangan Dinamika Masyarakat
Oleh Risnawaty Widayani,Rusdiawan,Muh. Nur
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-lmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam. Dengan demikian, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu sanggup mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.[1]
Hadis merupakan ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw. Maknanya yaitu wahyu Allah swt. sedang lafalnya dari Nabi saw. Hal ini sanggup dilihat dalam firman Allah swt.:“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) berdasarkan kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[2]
Salah satu kaidah klasik yang menjadi “aturan main” dalam proses budi sehat aturan yaitu “la ijitihada fi muqabalat al-nas”, tidak dimungkinkan adanya ijtihad atau budi sehat aturan dalam bidang-bidang ada teks yang menerangkan dengan terang ketentuan hukumnya. Ketentuan dalam duduk kasus itu disebut sebagai ketentuan yang sudah niscaya dan mengikat, atau yang biasa disebut dengan qat’i.
Istilah qat’i dan zanni lazim diketahui terdiri dari kepingan masing-masing, yaitu yang menyangkut al-subut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber al-Qur’an. Semua sepakat meyakini bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia cukup umur ini yaitu sama, tanpa sedikit perpedaan dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. dari Allah swt. melalui Malaikat Jibril a.s.[3]
Menggali kandungan al-Qur’an diharapkan petunjuk, ketelitian dan kecermatan, lantaran dalam al-Qur’an dikenal dengan adanya istilah qat’i dan zanni. Hubungan insan dengan Tuhan dalam bentuk tata aturan ibadah sebagian besar diatur dengan nas-nas yang qat’i, baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Sedangkan dalam kekerabatan insan dengan sesamanya dan kekerabatan insan dengan alam sekitarnya sebagian besar diatur dengan nas-nas yang zanni. Kendati sebagian kecilnya diatur dengan nas-nas yang qat’i.
Hukum yang menyangkut ibadah diatur dengan nas-nas yang qat’i lantaran tidak menyentuh kepentingan lahiriyah insan dan bersifat gair ma’qul ma’na (tidak sanggup dijangkau oleh pikiran maknanya). Oleh lantaran itu, harus diterima apa adanya sebagaimana telah ditentukan oleh nas. Dengan demikian, insan tidak sanggup menentukan bentuk ibadah lain selain yang telah ditentukan oleh nas. Berlainan dengan nas-nas dalam duduk kasus ibadah, nas-nas dalam bidang muamalah sebagian besar yaitu nas-nas yang zanni, yang mengandung prinsip-prinsip umum perihal kekerabatan insan dengan sesamanya, dan hubungannya dengan alam sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sanggup ditarik batasan dan rumusan permasalahan sebagai berikut, yaitu:
1. Apa pengertian qat’i dan zanni itu?
2. Bagamana interpretasi qat’i dan zanni itu?
3. Bagaimana bentuk-bentuk qat’i dan zanni dalam nas?
4. Bagaimana penerapan konsep qat’i dan zanni dalam perkembangan dinamika masyarakat cukup umur ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qat’i dan Zanni
Qat’i berasal dari akar kata قَطَعَ yang berdasarkan bahasa berarti memotong, tajam, mengakibatkan sesuatu dengan yang lainnya jelas.[4] Dari pengertian ini, sanggup disimpulkan bahwa kata قطع dalam bahasa Arab sanggup diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti: tajam, jelas, pasti, yakin, tak ragu lagi. Kemudian kata tersebut mendapat imbuhan “ya nisbah” sehingga terbentuk kata: قطعي yang menunjuk kepada kata sifat sehingga bermakna sesuatu yang terang atau sesuatu yang pasti.
Kata zanni juga berasal dari bahasa Arab yang akar katanya: ظَنَّ يَظُنُّ ظَنَّا berarti tidak kuat, ragu atau sangkaan.[5] Kata zanni terkadang disinonimkan dengan kata nazari yang berarti relatif.[6] Menurut Ibn Zakariyah kata ظَنّ yaitu bentuk masdar yang terdiri dari tiga karakter ظ ـ ن ـ ن yang menunjuk kepada dua makna yang berbeda, yaitu yakin dan ragu,[7] Kemudian kata tersebut mendapat imbuhan “ya nisbah” sehingga terbentuk kata: ظني yang bermakna sesuatu yang bersifat dugaan, relative, sangkaan, dan tidak pasti.
Menurut istilah para ulama memperlihatkan defenisi masing-masing, namun defenisi yang ulama berikan tidak jauh berbeda, di antaranya:
1. Abdullah Rabi’i Abdullah Muhammad dalam Mausu’at al-Tasri’i al-Islami memperlihatkan defenisi terkait dengan qat’i yaitu suatu dalil yang memperlihatkan terhadap makna yang sanggup dipahami maksudnya serta tidak membutuhkan menakwilan dan tidak memberi petunjuk terhadap makna yang lain. Misalnya dalil yang memperlihatkan atas keesaan Allah swt., ayat-ayat kewarisan dan ayat-ayat perihal ‘uqubat dan hudud. Sedangkan zanni yaitu dalil yang memperlihatkan terhadap kemungkinan takwil dengan adanya dalil yang selainnya.[8] Berarti zanni termasuk di dalamnya seluruh nas yang terdapat pada lafaz musytarak, lafaz mutlaq serta lafaz ‘am.
2. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, qat’i yaitu yang memperlihatkan kepada makna tertentu yang harus difahami dari nas, tidak mengandung kemungkinan takwil, serta tidak ada daerah atau peluang untuk memahami makna selain makna nas tersebut. Sedangkan zanniy yaitu nas yang memperlihatkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.[9]
3. Menurut Abu al-‘Ainain Badran al-‘Ainain, qat’i yaitu sesuatu yang mengambarkan kepada aturan tertentu dan tidak mengandung kemungkinan makna lain, sedangkan zanni yaitu dalil yang memperlihatkan kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.[10]
Beberapa definisi qat’i dalalah tersebut, menggambarkan bahwa suatu ayat disebut qat’i manakala dari lafal ayat tersebut hanya sanggup dipahami makna tunggal sehingga mustahil dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku.
B. Batasan Interpretasi Qat’i dan Zanni
Syatibi memperlihatkan pendapat bahwa jarang sekali dalil-dalil syara’ bila dilihat secara bangkit sendiri (ahad) yang qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu minggu tentu tidak qat’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-luqah dan pendapat-pendapat hebat nahwu.[11]
Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an, tetapi Syatibi sebetulnya ingin menyatakan bahwa untuk hingga pada pengertian qat’i al-dalalah sebagai istilah yang terkenal digunakan mengalami suatu proses sehingga suatu aturan yang diangkat dari ayat-ayat itu pada balasannya disebut qat’i al-dalalah. Menurutnya, kepastian makna (qat’i al-dalalah) suatu nas berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan mempunyai kekuatan tersendiri. Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi yang menjadi semacam mutawatir ma’nawi. Inilah yang kemudian dinamakan qat’i al-dalalah.
Syatibi mengemukakan referensi mengenai perintah shalat. Apabila perintah shalat dipahami hanya dari firman Allah swt. yang potongannya berbunyi “aqimu al-salah”, maka akan bersifat zanni.[12] Namun, lantaran didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya kebanggaan dari Allah bagi orang yang melaksanakan shalat, celaan dan bahaya bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik saat sehat atau sakit, tenang atau perang serta dalil-dalil lain perihal shalat. Kumpulan nas yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara niscaya (qat’i) perihal wajib shalat.
Penjelasan qat’i al-dalalah tersebut, sanggup diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang memperlihatkan untuk suatu makna yang jelas. Qat’i al-dalalah dalam pengertian ini sanggup dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Gazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qat’i al-dalalah yaitu suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya.[13] Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an yaitu qat’i yang mengandung makna yang terang lagi bangkit sendiri tanpa didukung oleh dalil lain.
Kedua, qat’i al-dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil. Dalam inspirasi yang sama al-Gazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil.[14]
Abdul Wahbah Abdul Salam menyetujui pendapat yang mendefinisikan zanni al-dalalah sebagai: “Apabila dalalah suatu lafal tidak memperlihatkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian makna lain, lafal itu sendiri mengandung dua makna atau lebih”.
Definisi tersebut, terang bahwa nas atau ayat-ayat zanni al-dalalah mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih berpengaruh dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya. Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya sanggup dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi sanggup dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan memakai metode istinbat aturan yang mencakup kias, istihsan, istislah dan ‘urf.
C. Bentuk-bentuk Qat’i dan Zanni dalam Nas
1. Bentuk Qat’i dan Zanni dalam al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an dari segi wurud, subut dan penukilannya yaitu qat’i. Dengan arti bahwa seluruh isi al-Qur’an yaitu yang diturunkan Allah swt. terhadap Rasulullah saw. yang disampaikan kepada umatnya dengan penuh amanat tanpa adanya perubahan sedikitpun.[15] Lalu dinukilkan dengan hafalan dan penulisan hingga hingga kepada kita dan akan tetap hingga kepada setelah kita dengan pertolongan Allah swt. yaitu dengan hafalan dan goresan pena juga sebagaimana yang telah Allah swt. turunkan keada rasulNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Zikr (al-Qur’an) dan Kamilah yang menjaganya”. [16]
Al-Qur’an dari segi dalalah ayatnya terhadap hukum-hukum kemungkinan qat’i dan kemungkinan juga bersifat zanni. Ayat al-Qur’an yang bersifat qat’i yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak sanggup dipahami makna lain darinya.[17] Seperti ayat yang berkaitan dengan warisan, hudud dan kaffarat. Contohnya, firman Allah swt.:
“Allah mensyariatkan bagimu perihal (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lalaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jikalau anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jikalau anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jikalau yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jikalau yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebbut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang ia buat atau setelah membayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kau tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih bersahabat (banyak) keuntungannya bagimu. Ini yaitu ketetapan dari Allah. Sesugguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”[18]
Contoh lain yang terkait dengan kaffarat:“Allah tidak menghukum kau disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kau disebabkan sumpah-sumpah yang kau sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kau berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melaksanakan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu yaitu kaffarat sumpah-sumpahmu bila kau bersumpah (dan kau langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya semoga kau bersyukur (kepada-Nya)”[19]
Contoh lain terkait dengan eksekusi perzinaan:“Perempuan yang berzina dan pria yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kau untuk (menjalankan) agama Allah, jikalau kau beriman kepada Allah dan hari alam abadi dan hendaklah (pelaksanaan) eksekusi mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”[20]
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas—bagian warisan, puasa tiga hari untuk kaffarah sumpah dan seratus kali dera—menurut para ulama seruan fikih, mengandung aturan yang qat’i dan tidak sanggup dipahami dengan pengertian lain.
Adapun ayat-ayat yang mengandung aturan zanni yaitu lafal-lafal dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafaz musytarak (mengandung pengertian lebih dari satu) ibarat dalam firman Allah swt:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru, tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim-rahim mereka, jikalau mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jikalau mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya berdasarkan cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[21]
Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh alasannya itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, ibarat yang dipahami ulama Syafi’iyyah yaitu boleh, dan jikalau diartikan dengan haid juga boleh ibarat yang dipahami ulama Hanafiyyah.[22] Contoh lain yaitu firman Allah swt.:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagimana) pembalasan bagi apa mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[23]
Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan dimaksudkan yaitu asisten atau kiri, juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya hingga pergelangan saja atau hingga siku. Penjelasan yang dimaksud dengan “tangan” ini ditentukan dalam hadis Rasulullah saw. Kekuatan aturan kata-kata yang ibarat ini, quru’ dalam ayat pertama dan “tangan” pada ayat kedua, berdasarkan para ulama seruan fikih bersifat zanni. Oleh alasannya itu, para mujtahid boleh menentukan pengertian yang terkuat berdasarkan pandangannya serta didukung oleh dalil lain.[24]
2. Bentuk Qat’i dan Zanni dalam Hadis
Dilihat dari segi wurudnya maka hadis mutawatir yaitu qat’i dari Rasulullah saw. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh para periwayatnya memperlihatkan keyakinan bahwa gosip itu berasal dari Rasulullah saw.[25] Untuk itu, gosip yang dinukil dari Rasulullah saw. dengan jalan mutawatir yaitu niscaya (qat’i) maka itu disamakan dengan al-Quran, matannya qat’i sedangkan dalalahnya yaitu zanni.
Hadis mutawatir tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama perihal kebolehnnya dijadikan dasar dalam memutuskan hukum, baik dalam duduk kasus keyakinan (i’tiqad) maupun dalam duduk kasus hukum-hukum mudah (‘amaliyyah), lantaran baik dari segi periwayatan maupun dari segi kekuatan hukumnya, hadis ibarat ini bersifat qat’i.[26] Adapun hadis yang tidak hingga kepada tingkat mutawatir maka itu tidak qat’i apabila dinisbahkan kepada Rasulullah saw. maka tidak tercapai tingkat yakin ditinjau dari segi subutnya. Sekalipun mutawatir dan minggu sanggup saja qat’i pada dalalahnya dan sanggup juga zanni.
Hadis dari segi subutnya, maka hal itu berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an seluruhnya qat’i al-subut. Sedangkan hadis, sebagian qat’i al-subut dan sebagian yang lain yaitu zanni. Maka dari inilah ulama berbeda terhadap hadis minggu apakah zanni atau yakin.
Hadis masyhur, sekalipun periwayatannya di zaman sahabat bersifat ahad, namun pada generasi setelah sahabat periwayatannya bersifat mutawatir. Oleh alasannya itu, tingkat kekuatan hadis ini hanya bersifat zanni.[27] Menurut jumhur ulama seruan fikih, hadis masyhur termasuk ke dalam hadis-hadis minggu yang berstatus zanni dan sanggup mentakhsis ayat-ayat yang umum serta mentaqyid ayat-ayat yang mutlak. Akan tetapi, berdasarkan ulama Hanafiyyah hadis minggu tidak sanggup mentakhsis ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sedangkan hadis masyhur sanggup mentakhsis al-Qur’an, sanggup mentaqyid ayat-ayat mutlak, persis ibarat hadis mutawatir.[28]
Masalah keyakinan atau aqidah, para ulama juga sepakat menyampaikan bahwa hadis minggu tidak sanggup dijadikan sebagai landasan, lantaran duduk kasus keyakinan harus ditetapkan dengan sifatnya mutawatir. Akan tetapi, dalam duduk kasus hukum, para ulama berbeda pendapat dalam mengakibatkan hadis minggu sebagai landasan hukum.[29] Perbedaan ini muncul disebutkan status hadis minggu yang bersifat zanni, dari segi periwayatannya dan dari segi dalalahnya, sekalipun tidak semua hadis minggu itu zanni al-dalalah.
Jumhur ulama, pada prinsipnya mendapatkan hadis minggu sebagai landasan memutuskan hukum. Hanya saja dalam penerapannya ada yang mengemukakan syarat dan ada pula yang menerimanya tanpa syarat. Ulama Malikiyyah sanggup mendapatkan hadis minggu sebagai landasan memutuskan aturan apabila tidak bertentangan dengan amalan penduduk Madinah, lantaran amalan penduduk Madinah berdasarkan mereka, merupakan amalan yang dipraktekkan banyak orang semenjak zaman Rasulullah saw., yang berarti diwarisi dari masa Rasulullah saw., hingga ke zamannya. Oleh alasannya itu, amalan hebat Madinah lebih didahulukan dari hadis minggu yang hanya diriwayatkan beberapa orang. Mengambil amalan yang dilakukan banyak orangn semenjak zaman Rasulullah saw. hingga ke zaman Imam Malik, berdasarkan mereka, lebih utama daripada mengamalkan suatu riwayat yang hanya diriwayatkan beberapa orang.[30]
Ulama Syafi’iyyah mendapatkan sepenuhnya hadis minggu sebagai landasan aturan apabila memang hadis itu sahih dan sanadnya bersambung.[31] Oleh alasannya itu, ulama Syafi’iyyah tidak mendapatkan hadis mursal sebagai dalil dalam memutuskan hukum, kecuali mursalnya itu dari kalangan tabi’in yang populer, lantaran mereka pada umumnya bertemu pribadi dengan para sahabat, ibarat Said bin al-Musayyab di Madinah dan Hasan al-Basri di Irak.[32]
D. Penerapan Konsep Qat’i dan Zanni dalam Perkembangan Dinamika Masyarakat Dewasa Ini
Masalah ta’abbudi[33] yaitu qat’i. Manusia hanya mendapatkan apa adanya sesuai dengan ketentuan tersebut. Umat Islam tidak sanggup dan tidak boleh melaksanakan interpretasi terhadap nas-nas dan hukum-hukum yang bersifat ta’abbudi, ibarat mengubah jumlah rakaat shalat lima waktu, mengubah bulan puasa selain bulan bulan puasa dan mengubah pelaksanaan ibadah haji ke daerah selain Baitullah. Demikian halnya dengan hukum-hukum daruriyyah (pokok) yang merupakan kebutuhan primer insan untuk mempertahankan eksistensinya dan berbagi fungsinya sebagai khalifah Allah swt. di bumi. Dalam hal ini, ada lima aspek daruriyah yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Semua ketentuan nas dalam aspek-aspek ini tidak membutuhkan intervensi budi insan untuk memodivikasi atau mengubahnya. Di antara ketentuan ini yaitu larangan membunuh orang lain tanpa hak (Q.S. al-Isra (17): 33), larangan berzina (Q.S. al-Isra (17): 32), larangan meminum minuman keras (Q.S. al-Maidah (5): 90), dan larangan memakan riba (Q.S. al-Baqarah (2): 276 dan Q.S Ali ‘Imran (3): 130). Larangan-larangan ini secara niscaya mengandung makna haram. Tidak ada lapangan ijtihad bagi insan untuk mengubah hukumnya menjadi makruh atau mubah. Selain itu beberapa aspek dalam aturan keluarga atau aturan perihal orang(al-ahwal al-syakhsiyyah) juga termasuk dalam kategori ta’abbudi. Di antaranya yaitu ketentuan batas talaq yang sanggup dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (Q.S. al-Baqarah (2): 229), ketentuan perihal batas ‘iddah atau masa tunggu seorang istri yang ditalaq suami (Q.S. al-Baqarah (2): 228, 234; Q.S. al-Talaq (65): 6), sangsi kaffarah terhadap pelaku zihar dan ila’ (Q.S. al-Baqarah (2): 226 dan Q.S al-Mujadilah (58): 2-4). Semua itu dijelaskan oleh Allah swt. secara gamblang dan terperinci. Oleh lantaran itu, ketentuan tersebut tidak membutuhkan ijtihad.
Berbeda halnya dengan masalah-masalah muamalah yaitu mayoritas lapangan ta’aqquli<,[34] yang maknanya sanggup dipahami oleh nalar manuasia. Ilat dari muamalah sanggup dirasionalkan dengan melihat ada atau tidak ada maslahat di dalamnya bagi kehidupan manusia. Maka sesuatu tidak boleh saat tidak terdapat maslahat di dalamnya, dan dibolehkan bahkan diperintahkan saat di dalamnya saat terdapat maslahat. Dalam hal ini, perihal objek ta’aqquli, ulama seruan berbeda pendapat yakni apakah ketentuan-ketentuan lain yang termaktub secara tegas dalam nas merupakan lapagan ijtihad atau tidak. Sebagian ulama memandang bahwa nas-nas qat’i yang menyebutkan suatu duduk kasus meskipun bukan urusan ibadah, termasuk dalam bidang ta’abbudi.
Konsep dan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan ta’abbudi dan ta’aqquli apabila dihubungkan dengan nas yang bersifat qat’i dan zanni yaitu dalam soal ibadah mahdah (ta’abbudi) dan hal-hal yang daruri, umat Islam tidak sanggup dan tidak boleh melaksanakan interpretasi terhadap nas-nas dan hukum-hukum Allah swt. alasannya sudah disebutkan dalam nas yang sifatnya qat’i. Berbeda dengan duduk kasus muamalah, termasuk dalam perbuatan ta’aqqulat (perbuatan yang sifatnya rasional), sehingga masuk dalam wilayah ijtihad. Wilayah ini dibatasi pada duduk kasus yang hukumnya ditunjukkan oleh nas yang sifatnya zanni.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Qat’i yaitu yang memperlihatkan kepada makna tertentu yang harus difahami dari nas, tidak mengandung kemungkinan takwil, serta tidak ada daerah atau peluang untuk memahami makna selain makna nas tersebut. Sedangkan zanniy yaitu nas yang memperlihatkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.
2. Qat’i al-dalalah, sanggup diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang memperlihatkan untuk suatu makna yang jelas. Qat’i al-dalalah dalam pengertian ini sanggup dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”. Kedua, qat’i al-dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil. Dalam inspirasi yang sama al-Gazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil. Sedangkan zanni al-dalalah mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih berpengaruh dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya. Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya sanggup dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi sanggup dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan memakai metode istinbat aturan yang mencakup kias, istihsan, istislah dan ‘urf sehingga masih sanggup dikembangkan.
3. Adanya ayat-ayat qat’i dan zanni dalam al-Qur’an merupakan ciri al-Qur’an dalam menjelaskan hukum-hukum. Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya yaitu tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, Allah memang secara sengaja menempatkan suatu ayat qat’i dan yang lain zanni.
Menggunakan paradigma “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain dengan pertolongan sejumlah dalil”, maka banyak ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an, meskipun tidak sebanyak ayat zanni. Ayat-ayat qat’i ini hanya mengandung makna tunggal dan dari sisi pemikiran yang dikandungnya merupakan pokok-pokok pemikiran agama yang bersifat tetap (al-sawabit) sehingga tidak berpeluang ditakwil dan dirubah. Meskipun lafal suatu ayat qat’i, tetapi maknanya mungkin saja zanni sehingga maknanya sanggup dikembangkan, bukan dimaksudkan untuk menggeser pengertiannya. Metode mengembangkannya melalui kias, ibarat mengkiaskan keharaman khamar kepada segala jenis minuman dan makanan lain yang mempunyai ilat sama.
Ayat-ayat zanni yaitu ayat-ayat yang lafalnya mengandung kebolehjadian beberapa makna sehingga menjadi ruang lingkup ijtihad menentukan makna yang dimaksudkan ayat itu. Ayat-ayat zanni banyak berkaitan dengan bidang muamalat.
4. Penerapan qat’i dan zanni dalam masyarakat muslim sangat kondisional, sesuai dengan kemaslahatan umat pada masa itu. Dalam duduk kasus ta’abbudi, insan hanya mendapatkan apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Sedang dalam duduk kasus ta’aqquli terbuka peluang bagi insan untuk memakai nalar atau melaksanakan interpretasi, relatif memerlukan pemikiran dalam pelaksanaannya semoga ketentuan-ketentuan hukumnya sanggup mengikuti keadaan dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat di setiap waktu dan tempat, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan syariat dan bertujuan untuk kemaslahatan umat.
B. Implikasi
Mengetahui qat’i dan zanni yang terdapat dalam al-Qur’an berarti menambah kemukjizatan al-Qur’an semoga lebih menekankan kepada para mujtahid untuk mengistinbatkan aturan dari ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya pasti.
Penerapan konsep qat’i dan zanni dalam masyarakat Islam sangat kondisional, sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Konsep qat’i dan zanni merupakan hasil pemikiran ulama perihal al-Qur’an dan hadis. Karena sifatnya pemikiran Islam, maka selalu berusaha menerjemahkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan, terutama bila ditinjau dari kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abu Zahrah. Muhammad. Usul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2006.
al-‘Ainain, Abu al-‘Ainain Badran. Usul al-Fiqh al-Islami. t.d.
Ambary, Hasan Muarif. Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Cet. VII; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001.
al-Gazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Jil. II. Beirut: Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, t.th.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Hasaballah, ‘Ali. Usul al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976.
Ibn Faris. Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, Juz V. t.tp., Dar al-Fikr, t.th.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab. Kairo, Dar al-Misriyyah, t.th.
Ismail, M. Syuhudi. Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hadis, 2002.
Muhammad, Abdullah Rabi’i Abdullah. Mausu’at al-Tasri’i al-Islami. Kairo: al-Majlis al-‘A’la, 2009.
al-Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. Yokyakarta: PT. al-Munawir, 1984.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Quran. Cet. XI; Bandung: Mizan, 1995.
al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz I. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2003.
Yahya. Mukhtar, Fatchurrahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
al-Zuhaili, Wahbah. Al-Wajiz fi Usul al-FiqhDamaskus: Dar al-Fikr, 1999.
[1]QuraishShihab, Membumikan al-Quran (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1995), h. 83.
[2]Q.S. Al-Najm (53) : 3-4.
[3]Ibid., h. 137.
[4]Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, Juz V, (t.tp., Dar al-Fikr, t.th.), h. 101. Lihat juga Hasan Muarif Ambary, et al, Ensiklopedi Islam, Jilid 2 (Cet. VII; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001), h. 109.
[5]Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Misriyyah, t.th.) h. 146. Lihat juga Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yokyakarta: PT. al-Munawir, 1984), h. 787.
[6]M. Syuhudi Ismail, Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 93.
[7]Ibn Faris, Juz III, (t.tp., Dar al-Fikr, t.th.), h. 462.
[8]Abdullah Rabi’i Abdullah Muhammad, Mausu’at al-Tasri’i al-Islami (Kairo: al-Majlis al-‘A’la, 2009), h. 419.
[9]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), h. 38-39.
[10]Abu al-‘Ainain Badran al-‘Ainain, Usul al-Fiqh al-Islami (t.d.), h. 63.
11]Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz I (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2003), h. 26.
[12]Ibid., h. 27.
[13]Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Jil. II (Beirut: Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, t.th), h. 94.
[14]Ibid.
[15]Abdullah Rabi’i Abdullah Muhammad., loc. it.
[16]Q.S. al-Hijr (15): 9.
[17]Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), h. 32.
[18]Q.S. al-Nisa (4): 11.
[19]Q.S. al-Maidah (5): 89.
[20]Q.S. al-Nur (24) : 2.
[21]Q.S. al-Baqarah (2) : 228.
[22]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 33.
[23]Q.S. al-Maidah (5) : 58.
[24]Nasrun Haroen, loc. it.
[25]Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), h. 55.
[26]Nasrun Haroen, op. cit., h. 42.
[27]Ibid.
[28]Ibid.
[29]‘Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 43
[30]Nasrun Haroen, op. cit., h. 43
[31]Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2006), h. 104.
[32]Nasrun Harun, loc. it.
[33]Ta’abbudi berarti kepatuhan, penyembahan, dan ketaatan kepada Allah swt., sedangkan berdasarkan al-Suyuti ibarat yang dikutip ‘Abdul Wahhab Khallaf yaitu hal-hal yang tidak sanggup dipertimbangkan secara akal, yakni bersifat kepercayaan dan pasti.
[34]Ta’aqquli berarti hal yang masuk akal, rasionalitas, dan kebijaksanaan.
Buat lebih berguna, kongsi: