Konsep Kepemimpinan Dalam Islam

Tongkronganisalmi.net - Wacana kepemimpinan merupakan wacana yang lumrah di tengah-tengah sebuah masyarakat. Kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan, alasannya sesuai realita yang terjadi, insan yang tergabung dalam suatu perkumpulan baik itu dalam skala kecil maupun besar akan membutuhkan sosok seorang pemimpin. 

Tanpa adanya pemimpin, maka struktur dan aturan main suatu perkumpulan sulit dirumuskan dan dilaksanakan. Akibatnya tujuan dari perkumpulan tersebut tidak akan sanggup terwujudkan. Sementara insan merupakan salah satu makhluk sosial yang akan membutuhkan kelompok biar sanggup mengakomodir kebutuhan-kebutuhan sosial mereka.

Pentingnya pemimpin dan segala aspeknya menciptakan wacana ini merupakan wacana yang penting, sehingga menjadi salah satu pembahasan pokok dalam anutan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Dalam goresan pena ini, penulis akan memaparkan secara ringkas konsep umum kepemimpinan berdasarkan Islam, yang dirumuskan dari bacaan penulis pada buku fikih siyasah dan wacana kontemporer karya khoirul anam, SHI., MSI. 
 Wacana kepemimpinan merupakan wacana yang lumrah di tengah Konsep Kepemimpinan Dalam Islam


Pengertian Kepemimpinan


Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang dalam bahasa Indonesia berarti orang yang memimpin atau orang berada di depan dan mempunyai pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak[1]. Dalam bahasa arab, kata pemimpin sanggup diwakili dengan kata ar-Rais yang akar katanya ra a sa, artinya: mengepalai, mengetuai atau memimpin.[2] Ketika berbicara ihwal kepemimpinan, maka hal yang dibahas di dalamnya, mencakup perihal pemimpin, prosedur pemilihan pemimpin, bentuk-bentuk kepemimpinan dan lain sebagainya.

Dalam anutan Islam, kepemimpinan merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh umat Islam dengan tiga alasan pokok:

1. Manusia diciptakan oleh Allah dengan proposional, artinya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut dirangkum dalam tiga karunia yang dimiliki oleh insan yaitu akal, hati dan nafsu. Ketiga karunia inilah yang menjadi pontensi insan menjadi makhluk yang mulia juga menjadi tiga kendala yang selalu menemani insan disetiap langkah hidupnya. 

Nafsu yang terlalu menghegemoni nalar dan hati akan membawa kejahatan yang sangat luar biasa, lantaran insan yang dikuasai penuh oleh nafsunya tidak akan sanggup mengendalikan sifat keterbutuhannya pada sesuatu, sehingga ia akan berusaha untuk meniadakan orang lain dan kelompok lain dengan menggunakan segala cara biar sanggup memuaskan hawa nafsunya. 

Akibatnya, stabilitas sosial akan terganggu, dan orang lain akan teraniaya. Begitu pula apabila hati atau nalar yang mendominasi, ia pasti tidak akan sanggup bijak dalam menentukan sesuatu. Untuk itu perlu adanya pemimpin yang terpercaya yang sanggup mengatur dengan baik biar tidak terjadi benturan kepentingan, kebutuhan dan permusuhan, serta sanggup membawa umat Islam pada hidup yang aman, tentram dan adil. Hal ini memuntut pemimpin merupakan orang yang memenuhi kualifikasi pemimpin sesuai syari'at.

2. Pemimpin intinya merupakan pengganti dan penerus risalah Nabi Muhammad. Tanpa adanya pemimpin, maka bentuk negara dan sistem pemerintahan Islam yang telah dibentuk dan diteladankan oleh Nabi Muhammad saw akan terhenti. Untuk itu, pemimpin juga dituntut biar mengetahui segala yang berkaitan ihwal pola pemerintahan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya, dan menjalankannya sesuai dengan konteks masyarakat pada ketika ini

3. Islam memandang, tanpa adanya pemimpin, maka umat Islam tidak akan sanggup mewujudkan penegakan nilai-nilai syariat secara baik dalam konteks negara serta tidak sanggup mendatangkan kebaikan bagi umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya kepemimpinan yang menegakkan syari'at, insan akan hidup dalam ketidaktentraman lantaran nafsu dan beragamnya kepentingan insan akan saling berbenturan sehingga mengancam eksistensi insan lainnya.

Ketiga alasan diatas, kiranya sudah menjadi landasan awal yang menyadarkan betapa pentingnya kepemimpinan bagi insan dalam pandangan Islam. Untuk itu kepemimpinan dalam Islam hukumnya ialah wajib. Hal ini didasarkan atas dalil-dalil naqli yang bersumber dari al-Qur'an, diantaranya (an-Nisa': 59):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Juga hadits Rasulullah yang berbunyi

4619 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ شُعَيْبٍ، حَدَّثَنَا عَمَّارُ بْنُ خَالِدٍ الْوَاسِطِيُّ، أَخْبَرَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مَالِكٍ يَعْنِي الْمُزَنِيَّ، عَنِ الْأَعْمَشِ , عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ: قَالَ عُمَرُ: " إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ ثَلَاثَةٌ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ، فَذَلِكَ أَمِيرٌ أَمَّرَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Dalam literatur fikih klasik, mengangkat pemimpin hukumnya wajib 'ain, lantaran dengan adanya pemimpin, maka tujuan kemashlahatan akan terwujud[3]

Konsep Kepemimpinan dalam Islam


Berdasarkan pengertian umum kata kepemimpinan di atas, maka sanggup diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan dalam Islam ialah segala hal yang membicarakan perihal pemimpin, cara menentukan pemimpin, prosedur kepemimpinan dan segala yang terkait dengannya, yang itu semua diatur oleh Islam.

Pada umumnya, wacana kepemimpinan Islam ini terbagi menjadi dua, yaitu kepemimpinan Islam sekuler dan anti sekuler. Antara Islam sekuler dan anti sekuler mempunyai konsep yang berbeda dalam kasus kepemimpinan. Islam sekuler memisahkan antara kepemimpinan pemerintahan dan agama, sehingga seorang ulama tidak berhak menjadi  pemimpin dalam pemerintahan. 

Pandangan ini didasarkan pada keyakinan mereka bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi dari masing-masing individu (privat), tidak berafiliasi dengan dunia politik (public). Hal ini juga berdampak pada sendi-sendi pemerintahan yang dilarang dicampuri dengan anutan agama. Peran ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan, tanpa mengurusi politik. Dalam kondisi ini, ulama mustahil menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, tetapi hanya menjadi alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.

Sedangkan kelompok anti sekuler meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak sanggup dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama haruslah menjadi pemimpin. Ulama harus sanggup membimbing insan tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan pemerintahan haruslah sanggup melepaskan insan dari aneka macam macam belenggu yang menyesatkan.

Konsep kepemimpinan anti sekuler kemudian terbagi juga menjadi dua, konsep imamah yang dibawa oleh Syi'ah dan konsep khalifah yang diusung oleh Sunni. Kedua konsep ini, meski tidak memisahkan agama dengan kepemerintahan, tetapi mempunyai perbedaan yang tidak kalah mencoloknya dengan kelompok sekuler.

Kelompok Sunni menyamakan arti khilafah dan imamah, berdasarkan mereka imamah juga disebut sebagai khilafah, lantaran orang yang menjadi khilafah ialah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasulullah saw. Khalifah sanggup juga disebut dengan imam (pemimpin) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana insan shalat di belakang imam. Proses pemilihan pemimpin berdasarkan kelompok Sunni melalui 3 cara:

1. Penunjukan. Hal ini dipahami oleh para fuqaha dan pemikir klasik (salaf) dari bacaan sejarah secara normatif, dimana sahabat Abu bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya secara langsung. Hal ini juga dilakukan oleh para khalifah dinasti Umayyah dan Abbasiyah terhadap para penggantinya. Namun keberlanjutannya ternyata dimanfaatkan oleh para khalifah-khalifah selanjutnya untuk mempertahankan kekuasaan untuk para anak cucunya (monarki).

2. Baiat. Baiat menjadi ciri pengangkatan kepemimpinan Islam lantaran dengan adanya bai'at, maka terjadi sumpah setia antara kedua belah pihak –pemimpinan dan masyarakat-, pemimpin bersumpah setia akan melakukan tugasnya dengan baik serta mengutamakan kepentingan masayarakat, bangsa, negara dan agama dari kepentingan pribadi dan golongan. Sementara rakyat berjanji untuk menaati pemimpin selama pemimpin tidak keluar dari rambu-rambu syari'at Islam.

3. pemilihan dengan musyawarah. Musyawarah menjadi salah satu nilai politik Islam yang tertuang dalam al-Qur'an surat as-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Metode musyawarah ini juga telah dipraktekkan pada masa Nabi Muhammad maupun masa sahabat ibarat pemilihan khalifah Abu Bakar dan Utsman. Kenyataan sejarah tersebut sebagai indikasi bahwa cara menentukan kepemimimpinan Islam tidak menafikan nilai-nilai demokrasi.

Selain tata cara pemilihan, syarat-syarat menjadi pemimpin juga ditentukan oleh syariat baik secara tertulis di dalam dalil-dalil naqli, maupun yang dikriteriakan berdasarkan fakta sejarah, ibarat syarat sifat yang harus sesuai dengan sifat nabi Muhammad sebagai pola teladan pemimpin Islam (baca: kepemimpinan nabi Muhammad SAW), diantaranya: jujur (shidiq), tabligh (berjiwa aktivis dan dakwah), terpercaya (amanah), fatanah (berwawasan luas) dan sifat-sifat lainnya yang mustahil penulis paparkan semuanya secara terang disini, mengingat banyaknya dan panjangnya klarifikasi syarat-syarat tersebut.

Berbeda dengan kelompok Syi'ah, mereka menyamakan makna khalifah dan imamah pada masa Ali bin Abi Thalib, sesudah itu maka imamah dan khliafah berbeda. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi dilema agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah saw, sementara khalifah hanya menjadi perpanjangan tangan dari imamah, seorang imam sanggup membatalkan hak khalifah sedangkan khalifah tidak, sehingga berdasarkan mereka makna imam lebih umum dan sakral dibanding khalifah.

Pemilihan imam mereka juga tidak melalui tiga cara yang dilakukan oleh kelompok Sunni, melainkan dengan proses eleksi, yaitu pemilihan yang berdasarkan keyakinan mereka pribadi dipilih oleh Allah swt. Pada kenyataannya imam yang ditetapkan berdasarkan keturunan, mulai dari masa Ali Bin Abi Thalib, sampai imam kedua belas mereka muncul yaitu Qaim al imamah, Imam al-Mahdi. Implikasi dari konsep imamah ini, mengakibatkan imam-imam mereka terlepas dari kesalahan (maksum) dan apa yang ditetapkan oleh imamnya dilarang ditentang lantaran dianggap sebagai wahyu.

Penutup


Demikianlah konsep kepemimpinan yang penulis tuliskan secara ringkas sebagai pengetahuan awal. Tentunya dalam goresan pena ini terdapat banyak kesalahan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Pada hasilnya penulis berharap goresan pena ini sanggup menjadi amal jariyah bagi penulis

Wallahu a'lam bissahawab.

Catatan kaki


[1] W.J.S. poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Bali Pustaka, 1976), hlm. 726

[2] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 458

[3] Sulaiman Rasyid, Fikih, (Jakarta: Attahariyah, t.th), hlm. 165-167.

Buat lebih berguna, kongsi: