Hidup itu pilihan dan setiap pilihan mempunyai konsekuensi tersendiri. Hal inilah yang disadari oleh Amina (28 tahun) dikala dihadapkan pada pilihan antara menjadi perempuan karir atau menjadi ibu yang harus menawarkan perhatian 24 jam penuh pada anaknya. Akhirnya, semenjak dikaruniai seorang putra yang diberi nama Zahra (5 bulan) dari pernikahannya dengan Abdullah (38 tahun), beliau menentukan memberi perhatian penuh anak daripada karirnya.
"Sejak Zahra lahir, saya tetapkan berhenti bekerja di perusahaan pelayaran. Saya menentukan mendidik anak saya daripada menjadi seorang perempuan karir. Sebab, pendidikan anak itu lebih berharga daripada materi." ungkap Amina.
Lulusan S1 administrasi perbankan di Surabaya ini menentukan berhenti bekerja sesudah menimbang dengan seksama. Jika tetap melanjutkan pekerjaannya sebagai perempuan karir, beliau harus mengorbankan anaknya. Pastilah beliau tidak akan sanggup menawarkan perhatian, pendidikan dan kasih sayang yang penuh kepada anaknya. Sebab, bila masih tetap bekerja di kantor, beliau harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang dikala matahari sudah tenggelam. Tentu saja, dalam keadaan yang demikian, beliau harus menyebarkan waktu antara kerja di kantor dan waktu untuk anaknya.
Selain itu, bila beliau tetap bekerja, maka pada dikala bekerja beliau mustahil membawa anaknya ke kantor. Maka beliau harus menitipkan anaknya pada orang renta atau pengasuh bayi alasannya yakni suaminya juga sama-sama bekerja. Bila beliau tetap bekerja, otomatis beliau akan kehilangan waktu yang sangat berharga bersama dengan anaknya sehingga beliau tidak sanggup menawarkan asupan ekslusif air susu ibu (ASI) secara maksimal. Selain itu, beliau akan kehilangan kesempatan untuk mendidik anaknya dalam sekolah ibu (madrasatul ummiyah) sebagai pendidikan pertama bagi seorang anak.
Padahal, dalam sekolah ibu itulah dasar-dasar kepribadian seorang anak akan dibentuk. Apabila pendidikannya diserahkan kepada orang lain, contohnya kepada pengasuh bayi, pembantu ataupun neneknya, maka dasar-dasar kepribadian mereka itulah yang akan tercetak. Lebih ironi lagi bila waktu sang anak lebih banyak dengan pembantu atau pengasuh bayi, maka abjad pembantu dan pengasuh bayi itulah yang akan menempel pada si bayi. Maka tidak mengherankan apabila kepribadian si anak kelak akan sangat jauh dari yang dibutuhkan oleh orang tuanya.
Amina tentu saja tidak ingin cetakan kepribadin orang lain melakat pada abjad anaknya. Dia ingin terjun pribadi sebagai pendidik bagi anaknya. Dia merasa mempunyai tanggung jawab penuh untuk membentuk dasar-dasar kepribadian anaknya itu. Apalagi, beliau punya impian besar bahwa anaknya kelak akan menjadi seorang penghafal Al-Quran (hafidz). Untuk mewujudkan impian besarnya itu, mustahil bila beliau bekerja di luar rumah.
"Saya ingin Zahra menjadi anak yang sehat fisik dan psikologisnya alasannya yakni itu saya akan memberinya ASI selama dua tahun penuh. Selain itu, saya ingin Zahra menjadi seorang hafidz alasannya yakni itu semenjak masih dalam kandungan hingga kini senantiasa saya dengarkan ayat-ayat suci Al-Quran. Untuk kedua hal itu, mustahil sanggup dilakukan apabila saya kerja di luar rumah." kata Amina
Tentu saja, ada konsekuensi yang harus beliau tangung dari keputusannya itu. Dia harus rela kehilangan honor bulanan yang selama ini rutin beliau dapatkan. Namun, beliau tidak merasa rugi dengan kehilangan materi, alasannya yakni merasa ada hal yang jauh lebih berharga dari materi. "Menjadi seorang ibu dan pendidik bagi anak saya di usia emas serta menawarkan asupan ekslusif ASI bagi Zahra itu lebih berharga daripada materi." tuturnya.
Keputusannya berhenti bekerja dan secara khusus mencurahkan waktunya untuk mendidik dan menawarkan nutrisi khusus berupa ASI bagi Zahra menerima proteksi dari suaminya, Abdullah . Semenjak berhenti bekerja, maka suaminya itulah yang menjadi tulang punggung rumah tangga.
Berikut kutipan perbincangan dengan Amina.
Banyak alasannya.Pertama, di Al-Quran itu terang diperintahkan bagi perempuan untuk tinggal di rumah biar tidak bercampur-baur dengan pria yang bukan mahrimnya. Selain itu, perempuan yang tinggal di rumah itu biar beliau sanggup menjega harta suaminya.
Kedua, alasannya yakni saya ingin sanggup menyusui Zahra hingga 2 tahun. Kalau saya bekerja di luar rumah, nyaris mustahil untuk sanggup tepat menyusui anak saya selama 2 tahun.
Ketiga, saya yakin rezeki istri itu ada di suami. Ilustrasinya, jikalau istri bekerja gajinya Rp 5 juta, honor suaminya Rp 5 juta, maka total honor Rp 10 juta. Padahal, kalau istri tidak bekerja, Allah akan tetap menawarkan rezeki Rp 10 juta. Jadi, saya yakin, rezeki istri dan anak itu dititipkan Allah melalui suaminya.
Alasan lainnya?
Saya ingin selalu jadi orang pertama yang tahu perkembangan anak, bukan pengasuh atau neneknya. Karena ibu merupakan sekolah pertama untuk anaknya. Makara saya ingin fokus untuk jadi sekolah pertama yang terbaik untuk anak saya.
Ada yang pernah menasihati saya untuk kerja lagi. Katanya mumpung masih muda, tapi dengan tegas saya menolak. Saya tidak mau kerja di luar rumah lagi. Karena, ketika bekerja saya paling cuma digaji Rp 5 juta. Tapi, anak saya tidak ternilai harganya.
Saya juga mulau mengajarkan sopan santun semenjak dini pada Zahra. Misalnya, kalau mau ke mana-mana saya permisi terlebih dahulu pada anak saya. Bahkan, ke kamar mandi sekali pun, saya permisi pada anak saya. Begitu juga kalau makan, saya nawarin anak saya.
Itu penting sekali dan lebih utama daripada pendidikan formal. Kalau pendidikan formal, untuk sanggup baca tulis, misalnya, bawah umur sanggup berguru sehari selama 2 jam. Begitupula untuk sanggup bahasa Inggris, tinggal kursus 3 bulan lamanya. Tapi untuk urusan pembentukan abjad dan adat anak itu dari rumah dasarnya.
Setiap pilihan niscaya ada resiko dan konsekuensinya. Banyak saya lihat dari teman-teman kerja dan orang-orang sekitar yang menentukan kerja daripada anaknya. Anaknya diberi susu formula alasannya yakni tidak mau puting susunya sakit. Bayi yang dikasih susu formula cenderung lebih usang kenyangnya. Makara mereka bakal tidur lebih nyenyak. Berbeda kalau bayi yang diberi ASI. Karena ASI lebih gampang dicerna, jadi bayi lebih cepat lapar. Ada yang malas dan tidak mau repot, buat saya itu mereka rugi banget, rugi dunia akhirat.
Saya menyusui anak saya lillahi ta'ala alasannya yakni ingin menaati perintah Allah untuk menyusui anak hingga 2 tahun. Ibu yang menyusui anaknya itu akan mempunyai ikatan batin yang lebih besar lengan berkuasa terhadap anaknya daripada yang tidak menyusui. Orang renta yang tidak mau terjun pribadi untuk urus anaknya alasannya yakni malas, tidak mau repot, tidak sabaran dan lain-lain. Kemudian mereka mempercayakan anaknya pada pembantu atau neneknya. Coba dikembalikan lagi kepada orang renta ibarat itu, suatu dikala mereka juga bakal tua. Mereka mau berlindung dan bersahabat ke mana kalau bukan ke anak? Bagaimana perasaan mereka kalau bawah umur gantian tidak mau urusin mereka nanti, terus dititipin ke perawat, panti jompo dan lain-lain.
Saya bersyukur sekali sanggup menyusui dengan lancar, berkah, melimpah, irit secara biaya, sehat, dan banyak kelebihannya. Saya juga gres sanggup warta kalau bayi yang diberi ASI cenderung akan jadi orang yang besar lengan berkuasa dan sehat dikala besarnya nanti. Daya tahan badan mereka lebih besar lengan berkuasa dan jarang sakit. Kandungan ASI itu berubah setiap harinya menyesuaikan usia dan perkembangan bayi. Makara kalau ada yang bilang takut anaknya tidak kenyang, takut nutrisinya kurang, itu salah besar.
Amina tentu saja tidak ingin cetakan kepribadin orang lain melakat pada abjad anaknya. Dia ingin terjun pribadi sebagai pendidik bagi anaknya. Dia merasa mempunyai tanggung jawab penuh untuk membentuk dasar-dasar kepribadian anaknya itu. Apalagi, beliau punya impian besar bahwa anaknya kelak akan menjadi seorang penghafal Al-Quran (hafidz). Untuk mewujudkan impian besarnya itu, mustahil bila beliau bekerja di luar rumah.
"Saya ingin Zahra menjadi anak yang sehat fisik dan psikologisnya alasannya yakni itu saya akan memberinya ASI selama dua tahun penuh. Selain itu, saya ingin Zahra menjadi seorang hafidz alasannya yakni itu semenjak masih dalam kandungan hingga kini senantiasa saya dengarkan ayat-ayat suci Al-Quran. Untuk kedua hal itu, mustahil sanggup dilakukan apabila saya kerja di luar rumah." kata Amina
Tentu saja, ada konsekuensi yang harus beliau tangung dari keputusannya itu. Dia harus rela kehilangan honor bulanan yang selama ini rutin beliau dapatkan. Namun, beliau tidak merasa rugi dengan kehilangan materi, alasannya yakni merasa ada hal yang jauh lebih berharga dari materi. "Menjadi seorang ibu dan pendidik bagi anak saya di usia emas serta menawarkan asupan ekslusif ASI bagi Zahra itu lebih berharga daripada materi." tuturnya.
Keputusannya berhenti bekerja dan secara khusus mencurahkan waktunya untuk mendidik dan menawarkan nutrisi khusus berupa ASI bagi Zahra menerima proteksi dari suaminya, Abdullah . Semenjak berhenti bekerja, maka suaminya itulah yang menjadi tulang punggung rumah tangga.
Berikut kutipan perbincangan dengan Amina.
Mengapa lebih menentukan menjadi pendidik bagi anak daripada menjadi perempuan karir?
Banyak alasannya.Pertama, di Al-Quran itu terang diperintahkan bagi perempuan untuk tinggal di rumah biar tidak bercampur-baur dengan pria yang bukan mahrimnya. Selain itu, perempuan yang tinggal di rumah itu biar beliau sanggup menjega harta suaminya.
Kedua, alasannya yakni saya ingin sanggup menyusui Zahra hingga 2 tahun. Kalau saya bekerja di luar rumah, nyaris mustahil untuk sanggup tepat menyusui anak saya selama 2 tahun.
Ketiga, saya yakin rezeki istri itu ada di suami. Ilustrasinya, jikalau istri bekerja gajinya Rp 5 juta, honor suaminya Rp 5 juta, maka total honor Rp 10 juta. Padahal, kalau istri tidak bekerja, Allah akan tetap menawarkan rezeki Rp 10 juta. Jadi, saya yakin, rezeki istri dan anak itu dititipkan Allah melalui suaminya.
Alasan lainnya?
Saya ingin selalu jadi orang pertama yang tahu perkembangan anak, bukan pengasuh atau neneknya. Karena ibu merupakan sekolah pertama untuk anaknya. Makara saya ingin fokus untuk jadi sekolah pertama yang terbaik untuk anak saya.
Apa tidak ada godaan untuk bekerja di luar rumah lagi?
Ada yang pernah menasihati saya untuk kerja lagi. Katanya mumpung masih muda, tapi dengan tegas saya menolak. Saya tidak mau kerja di luar rumah lagi. Karena, ketika bekerja saya paling cuma digaji Rp 5 juta. Tapi, anak saya tidak ternilai harganya.
Apa yg sudah dilakukan untuk mendidik anak semenjak dini?
Saya ingin sekali anak saya menjadi seorang hafidz atau penghafal Al-Quran. Karena itu, mulai dari dalam perut hingga kini sering saya dengarkan Al-Quran. Saya bacakan surat-surat pendek Al-Quran agara terbiasa dengan Al-Quran.Saya juga mulau mengajarkan sopan santun semenjak dini pada Zahra. Misalnya, kalau mau ke mana-mana saya permisi terlebih dahulu pada anak saya. Bahkan, ke kamar mandi sekali pun, saya permisi pada anak saya. Begitu juga kalau makan, saya nawarin anak saya.
Apa arti penting pendidikan keluarga?
Itu penting sekali dan lebih utama daripada pendidikan formal. Kalau pendidikan formal, untuk sanggup baca tulis, misalnya, bawah umur sanggup berguru sehari selama 2 jam. Begitupula untuk sanggup bahasa Inggris, tinggal kursus 3 bulan lamanya. Tapi untuk urusan pembentukan abjad dan adat anak itu dari rumah dasarnya.
Banyak perempuan lebih menentukan karir daripada mendidik anaknya. Tanggapannya?
Setiap pilihan niscaya ada resiko dan konsekuensinya. Banyak saya lihat dari teman-teman kerja dan orang-orang sekitar yang menentukan kerja daripada anaknya. Anaknya diberi susu formula alasannya yakni tidak mau puting susunya sakit. Bayi yang dikasih susu formula cenderung lebih usang kenyangnya. Makara mereka bakal tidur lebih nyenyak. Berbeda kalau bayi yang diberi ASI. Karena ASI lebih gampang dicerna, jadi bayi lebih cepat lapar. Ada yang malas dan tidak mau repot, buat saya itu mereka rugi banget, rugi dunia akhirat.
Mengapa lebih menentukan menyusui sendiri?
Saya menyusui anak saya lillahi ta'ala alasannya yakni ingin menaati perintah Allah untuk menyusui anak hingga 2 tahun. Ibu yang menyusui anaknya itu akan mempunyai ikatan batin yang lebih besar lengan berkuasa terhadap anaknya daripada yang tidak menyusui. Orang renta yang tidak mau terjun pribadi untuk urus anaknya alasannya yakni malas, tidak mau repot, tidak sabaran dan lain-lain. Kemudian mereka mempercayakan anaknya pada pembantu atau neneknya. Coba dikembalikan lagi kepada orang renta ibarat itu, suatu dikala mereka juga bakal tua. Mereka mau berlindung dan bersahabat ke mana kalau bukan ke anak? Bagaimana perasaan mereka kalau bawah umur gantian tidak mau urusin mereka nanti, terus dititipin ke perawat, panti jompo dan lain-lain.
Apa kelebihan menyusui sendiri?
Saya bersyukur sekali sanggup menyusui dengan lancar, berkah, melimpah, irit secara biaya, sehat, dan banyak kelebihannya. Saya juga gres sanggup warta kalau bayi yang diberi ASI cenderung akan jadi orang yang besar lengan berkuasa dan sehat dikala besarnya nanti. Daya tahan badan mereka lebih besar lengan berkuasa dan jarang sakit. Kandungan ASI itu berubah setiap harinya menyesuaikan usia dan perkembangan bayi. Makara kalau ada yang bilang takut anaknya tidak kenyang, takut nutrisinya kurang, itu salah besar.
Buat lebih berguna, kongsi: