Pandangan Ulama Terhadap Hijab Wanita

Pandangan Ulama Klasik Terhadap Hijab 

Menurut Ibnu Taimiyyah: Hijab berarti moral kesopanan bagi perempuan dan penggunaannya hanya dikhususkan bagi perempuan merdeka serta tidak diwajibkan bagi perempuan budak, mereka boleh menampakkan tubuhnya. 

Jumhur Ulama’ (kebanyakakan ulama’): Seluruh anggota tubuh perempuan yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain yaitu semua badannya yakni aurat wajib untuk ditutupi, kecuali muka dan dua telapak tangan, berdasarkan surat an-Nur ayat 31.

 Hijab  berarti  moral  kesopanan  bagi  perempuan  dan penggunaannya  hanya  dikhususkan  bag Pandangan Ulama Terhadap Hijab Wanita

Baca juga: Pengertian hijab dalam Islam dan Etika berpakaian perempuan muslimah.

Madzab Maliki – Pertama: Pendapat yang masyhur menyampaikan bahwa, seluruh tubuh perempuan ditutup tak terkecuali menutup muka dan kedua telapak tangan. Kedua: Tidak diwajibkan untuk menutup muka dan kedua telapak tangan, akan tetapi lelaki wajib menundukkan pendangannya. Ketiga: Adanya perbedaan dalam kecantikan. Perempuan yang bagus wajib menutup muka dan telapak tangannya, sedangkan yang tidak bagus disunatkan.

Madzhab Hanafi: Madzhab ini beropini bahwa perempuan boleh membuka muka dan kedua telapak tangan, namun laki-laki diharamkan melihatnya dengan syahwat. 

Pandangan Ulama Kontemporer Terhadap Hijab

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqoh: Hijab bermakna tabir, sebagai pembatas antara perempuan dan laki-laki. Hijab ini hanya berlaku pada isteri-isteri Nabi dikala mereka berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan dikala keluar rumah untuk suatu keperluan maka harus menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah, untuk membedakan antara wanita-wanita yang lain, bahwa kedudukan perempuan (istri-istri Nabi) lebih tinggi.

Menurut Mahmud Muhamed Toha: Beliau beropini bahwa fatwa murni Islam yakni Al- Sufur. Karena tujuan Islam yakni ketakwaan, ketakwaan laki-laki dan perempuan bukan dengan menjatuhkan larangan dengan cara adanya pemisah dan menggunakan jubah panjang. Hijab berdasarkan ia yakni sebuah eksekusi akhir dari adanya penyalahgunaan kebebasan dari Al-Sufur.

Menurut Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah: Hijab berdasarkan ia dibagi menjadi dua, yaitu hijab bahan dan hijab rohani). Hijab Rohani yakni hijab seorang perempuan yang hidup ditengah masyarakat tidak berusaha untuk tampil dengan dandanan yang menarik perhatian. Dan hijab sanggup juga muncul dalam bentuk pembicaraan “maka janganlah kau tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya” (QS. Al- Ahzab:32) dan dalam bentuk prilaku yang lain. Hijab Materi yakni kewajiban seorang perempuan untuk menutup seluruh anggota tubuhnya selain wajah dan telapak tangan.

Menurut Fatimah Mernissi: Konsep hijab terdiri dari tiga dimensi: (1).Visual: bersembunyi (2).Tempat: memisahkan (3). Etika yang terkait problem larangan.

Dari banyak sekali uraian di atas sanggup di ketahui bahwa hijab memiliki korelasi dengan pendidikan akhlak. Hijab (jilbab) menyiapkan kondisi psikologis untuk memerangi dampak prilaku- prilaku yang menyeret kepada penyimpangan di luar diri, dan mendatangkan imunisasi di dalam diri pada laki-laki dan perempuan untuk melawan prilaku-prilaku yang menyimpang.  

Hijab bukanlah problem individual saja ,tetapi menyangkut problem sosial, alasannya setiap hal yang dengan sendirinya sanggup menjaga individu dari keadaan terperosok dan penyimpangan, maka ia juga sanggup menjaga masyarakat. 

Daftar Rujukan

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih lima Madzab, terj, Maskur, A.B, (eds), (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001 ).

Halya binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslim, terj. Amir Hamzah Fachrudin (Jakarta : Darul Falah, 2002).

Al-Sufur yakni menggunakan pakaian berdasarkan selera dan tradisi modern.

Mahmud Muhammed Toha, Syariah Demokratik, terj. Nur Rahman, (Suarabaya: Elsad, 1996).
Buat lebih berguna, kongsi: