Hukum Tradisi Selapanan Bayi Yang Berkembang Di Masyarakat

Tongkronganislami.net - Masyarakat Indonesia memang dikenal banyak orang dengan watak istiadat (tradisi) yang masih bersifat tradisional, mereka melaksanakan tradisi tersebut terkadang tidak didasarkan pada teks al-Qur’an maupun hadis, apalagi kalau kita menjumpai masyarakat Indonesia abangan yang mana mereka masih sangat kental dengan literatur yang ada, yang ‘berbau’ klasik, terkadang memahami masih berdasarkan teks.

Mereka memprioritaskan nilai spiritual dalam menyebarkan tradisi yang sudah ada. Akan tetapi lambat laun ciri khas keagamaan yang makin menonjol juga semakin nampak, bisa dilihat dari tradisi tahlilan, yasinan, sima’an, dan sebagainya. Yang semuanya berdasarkan penulis dasarnya yaitu ‘back to al-Qur’an dan hadis’.

Kelahiran anak sungguh merupakan kebahagiaan yang tak terkira bagi pasangan orang bau tanah yang memang mengharapkan kehadiran seorang anak. Bagi seorang muslim kehadiran seorang anak juga disambut dengan ritual agama yang berjulukan Aqiqah, yaitu penyembelihan binatang aqiqah pada hari ketujuh kelahirannya sebagai tebusannya. Meskipun juga tidak mutlak harus hari ketujuh, yaitu diadaptasi dengan kemampuan orang tuanya.[1]

Dalam tradisi yang sudah berlangsung semenjak ratusan tahun silam, ada sejumlah ritual yang dilakukan masyarakat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Yakni bancakan yang digelar sesudah bayi lahir, puputan yang dilakukan ketika tali pusar terlepas dari perut bayi, dan selapanan yang digelar ketika bayi telah genap selapan umurnya. Istilah selapanan bayi tidaklah ajaib di kalangan masayarakat Indonesia, khususnya di kawasan Jawa . Tradisi yang lain juga bisa dijumpai seputar kelahiran ibarat tradisi tingkeban, pasaran, pitonan, dan lain-lain.[2]

 Masyarakat Indonesia memang dikenal banyak orang dengan watak istiadat  Hukum Tradisi Selapanan Bayi yang Berkembang di Masyarakat

Deskripsi Tradisi Selapanan Bayi

Hari kelahiran, dalam bahasa Jawa disebut weton, yaitu campuran hari yang unik antara hari masehi dan hari pasaran (kalender jawa). Kata selapan berasal dari bahasa jawa, yang mana penulis di sini menyebutnya dengan ‘pendak’, hal ini lantaran kegiatan ini dilaksanakan setiap 35 hari sekali, akan tetapi ada juga yang menjumlahkannya menjadi 36 hari, di dalam kalender masehi jumlah hari disana ada tujuh, yang diantaranya yaitu Ahad, senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, dan sabtu. Disamping itu terdapat pula lima pasaran (pasangan hari-hari masehi) yaitu legi, pahing, pon, wage dan kliwon. 

Istilah selapanan hampir dipakai untuk tradisi rutinan yang erat kaitannya dengan hari pasaran.[3] Untuk mengetahui selapanan hari tersebut di sini penulis memperlihatkan pemaparan bahwa berdasarkan kalender yang ada, terdapat lima minggu. Contoh seseorang yang lahirnya atau pernikahnnya jatuh pada hari sabtu pon, jikalau diitung dari sabtu pon hingga lima ahad berikutnya lagi semuanya berjumlah 35 atau 36 hari, maka hari itulah selapan baginya.

Istilah Selapanan bayi (peringatan 36 hari seorang bayi dari hari kelahirannya hingga ke wetonnya yang pertama) merupakan ungkapan rasa syukur kehadirat Allah atas kelahiran sang bayi. Dan biasanya peringatan selapan ibarat ini di kalangan Muslim Indonesia diadakan bersamaan dengan peringatan aqiqah.

Jikalau orang bau tanah bayi secara finansial tidak bisa melaksanakan selapanan, hal itu tidaklah menjadi masalah, lantaran program tersebut hanyalah merupakan tradisi turun temurum masyarakat Indonesia, akan tetapi untuk aqiqah sangatlah dianjurkan, hal ini berbeda dengan selapan, lantaran tradisi aqiqah berangkat dari hadis Nabi, dan pada umumnya tradisi Selapanan dan Aqiqah biasanya disertai keramaian semisal klenengan, ketoprak, pentas wayang dan sebagainya.

Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُذْبَحَ عَنْ الْغُلَامِ الْعَقِيقَةُ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ يَوْمَ السَّابِعِ فَيَوْمَ الرَّابِعَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأْ عُقَّ عَنْهُ يَوْمَ حَادٍ وَعِشْرِينَ وَقَالُوا لَا يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ مِنْ الشَّاةِ إِلَّا مَا يُجْزِئُ فِي الْأُضْحِيَّةِ[4]

Dari hadis di atas, sanggup diketahui kalau aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran bayi, dengan dibarengi menyembelih kambing[5] dan disertai dengan mecukur rambut bayi serta memberikannya nama. Jika hal tersebut tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, maka boleh dilaksanakan pada hari keempat belas, jikalau masih tidak bisa juga, maka hari kedua puluh satu, dan jikalau pada ketiga hari tersebut masih tidak bisa juga, maka bisa dilakukan pada hari dimana orang bau tanah bisa untuk melaksanakannya. Namun demikian, apabila orang bau tanah benar-benar tidak mampu, maka aqiqah bisa dilaksanakan oleh masing-masing individu sesudah ia dewasa. Adapun untuk penamaan bayi ini sebagaimana yang terkandung dalam hadis riwayat Ibnu Abbas berikut:

أخبرنا أبو الحسين بن بشران ، أنا أبو عمرو بن السماك ، نا محمد بن عيسى بن حسان المدائني في سنة اثنتين وسبعين ومائتين ، نا محمد بن الفضل بن عطية ، عن أبيه ، عن عطاء ، عن ابن عباس ، أنهم قالوا : يا رسول الله ، قد علمنا حق الوالد على الولد ، فما حق الولد على الوالد ؟ قال : « أن يحسن اسمه ، ويحسن أدبه »

Sebenarnya pelaksanaan selapanan bayi tidaklah berhenti pada hari-hari itu saja, pada weton-weton berikutnya juga dilaksanakan tradisi ‘bancakan’ dengan memperlihatkan bubur merah dan putih pada tetangga-tetangga terdekat. Tradisi bancakan tersebut ada juga yang menamainya dengan sebutan selametan, bertujuan untuk supaya sang bayi selalu selamat dari ancaman yang menghadangnya. Akan tetapi pada weton ketiga, perayaan yang dilakukan biasanya lebih meriah dari pada weton yang kedua. Untuk weton-weton berikutnya bisa diteruskan atau tidak, semua tergantung pada orang bau tanah sang bayi.

Allah tidak akan membebankan suatu kasus pada hambanya yang itu diluar kemampuan mereka, hal ini sebagaimana firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Alquran sebagai petunjuk bagi insan dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kau hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki fasilitas bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kau mencukupkan bilangannya dan hendaklah kau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kau bersyukur.[6]

Asal Usul Tradisi Selapanan Bayi

Tradisi ini memang tidak diketahui siapa yang pertama kali menerapkannya sehingga masyarakat mengikuti ritual tersebut. Akan tetapi diyakini oleh semua bahwasannya hal itu merupakan tradisi turun temurun dari masa ke masa. Bisa dilihat dari ‘penamaan’ tradisi yang ada. Istilah-istilah tersebut diambil dari bahasa Jawa.

Bacaan yang dibaca yaitu surat al-Insyirah sebanyak 7 kali, al-Qadr 7 kali, al-Ikhlash 3 kali, Mu’awwidzatain 1 kali dan al-Fatihah 1 kali. Akan tetapi bacaan tersebut tidaklah konsisten di setiap kawasan lantaran terkadang ditemukan tradisi selapanan hanya dibarengi dengan bacaan shalawatan sebanyak 1000 kali. Ada juga yang dibacakan dengan bacaan diba’iyah, barzanji, manaqib, dan lain-lain. Hal itu tergantung pada orang bau tanah sang bayi masing-masing.

Waktu Pelaksanaan Tradisi Selapanan Bayi

Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tradisi yang dilaksanakan sewaktu sang ibu hamil, ibarat tingkeban, pitonan (dalam istilah jawa ‘procotan’), atau yang lainnya. Semua praktik tidaklah sama dalam waktu pelaksanaannya, ada yang dilaksanakan pada pagi hari, sore hari, atau malam hari. Akan tetapi secara umum dikuasai dilaksanakan di waktu malam hari, sesudah selesai shalat isya’ hingga berakhirnya acara. Biasanya sekitar dua jam, lantaran memang dalam kasus ini, penulis hanya membahas wacana selapanan bayi. Sebenarnyan proses selapanan bayi ini berlangsung dua kali, waktu pagi hari dengan program kendurenan, malamnya juga dilaksanakan program yang biasanya mengundang kyai, ustadz dengan membaca surat-surat tertentu.

Semua laki-laki yang diundang yaitu para tetangga yang dekat, tetapi terkadang shahib al-hajah mengundang orang sedesa (masing-masing tuan rumah). Dasar penentuan jarak (dekat dari rumah ke segala arah) untuk permintaan ini yaitu semata-mata teritorial; keluarga atau bukan, semua diusahakan hadir lantaran dalam hadis sendiri pernah disebutkan wacana hak muslim satu dengan yang lain.

Seperti dalam hadis al-Bukhari: 1164

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ تَابَعَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ وَرَوَاهُ سَلَامَةُ بْنُ رَوْحٍ عَنْ عُقَيْلٍ

Prosesi Acara Selapanan Bayi

Sebenarnya istilah selapan bayi bukanlah hal yang ajaib di kalangan masyarakat, khususnya Jawa Timur, lantaran secara umum dikuasai masyarakat di Jawa sudah mengenal lebih tradisi ini. Akan tetapi mungkin program pelaksanaannya saja yang berbeda. Dalam perkembangannya, tidak hanya pasaran saja, ketika ini selapanan bayi juga sebagai ungkapan syukur atas kesehatan dan keselamatan bayi, diwujudkan cukup dengan nasi tumpeng beserta lauk seadanya. 

Kemudian mengundang tetangga kanan-kiri untuk kendurenan (selamatan), membaca tahlil dan berdoa gotong royong dan diakhiri dengan tumpeng dibagi rata untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Sekitar jam 8 atau jam 9 orang bau tanah tersebut membagikan bubur merah dan putih kepada tetangga-tetangga terdekat. Hal ini dilakukan waktu pagi harinya, untuk malamnya diadakan program formalnya.

Pada pagi hari, yang diharapkan yaitu nasi tumpeng beserta sayur-sayuran, jenang merah putih, jajan pasar, telur ayam yang telah direbus secukupnya. Di bersahabat tempat tidur bayi diletakkan sesaji intuk-intuk. Intuk-intuk yaitu tumpeng kecil yang dibalut dengan daun pisang (Jawa: diconthongi), di puncaknya dicoblosi bawang merah, cabai merah. Di samping dan sekitarnya dihiasi dengan majemuk warna bunga (sekar mancawarna). Tumpeng berlubang atau bermata (bathok bolu), dilengkapi dengan telur ayam mentah, kemiri dan kluwak. Bayi tersebut rambutnya dicukur, kukunya dipotong.[7] Hal ini jikalau program selapanan bayi berbarengan dengan program aqiqah.

Pada goresan pena kami ini, sedikit dideskripsikan manual program secara formal tersebut yang biasanya dilakukan oleh sang tuan rumah atau yang mewakili, bisa dikatakan sebuah sambutan. Beliau mengucapkan terima kasihnya atas kehadiran para undangan, dan juga menganggap mereka sebagai saksi dari keikhlasan dan kesungguhan niatnya serta mengharapkan supaya anaknya menerima berkah, menjadi anak yang shalih/shalihah, supaya umurnya dilalui dengan kebaikan, dan lain-lain.

Acaranya adalah:

Ø Pembukaan, Biasanya memakai bacaan surat al-Fatihah, atau hanya cukup dengan bacaan basmalah saja.

Ø Pembacaan kalam Ilahi, Dalam hal ini, biasanya dibacakan sebagian ayat dari surat Luqman. Hal ini merupakan impian yang bertujuan untuk mendoakan sang bayi supaya kelak bisa cerdas layaknya Luqman al-Hakim.

Ø Mauidlah al-hasanah, Biasanya shahib al-hajah mengundang kyai, modin, atau penduduk sekitar yang dianggap bisa untuk memperlihatkan sediki petuah atau ceramah kepada masyarakat yang diundang.

Sebelum dia menutup mauidlahnya dengan doa, terlebih dahulu dia memimpin secara gotong royong untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an:

a) Surat al-Insyirah: 7x
b) Surat al-Qadr: 7x
c) Surat al-Ikhlas: 3x
d) Mu’awwidzatain: 1x
e) Surat al-Fatihah: 1x

Ø Diba’iyah

Istilah diba’an juga biasanya diterapkan dalam program selapanan bayi, sesudah membaca surat-surat di atas, maka dilanjutkan dengan shalawatan Nabi. ini tergantung shahib al-hajah, apakah dengan cara mendatangkan jam’iyah dari luar (undangan) atau dari kawasan sendiri lantaran dalam masyarakat sekitar juga terdapat jam’iyah, ibarat organisasi remas, dan lain-lain.

Satu hal yang menarik dalam point ini, sewaktu pembacaan shalawatan Nabi ini hingga pada kata Mahallul Qiyam... yang dilanjutkan dengan bacaan Ya Nabi Salam ‘Alaik tersebut, sang ibu pun mengikuti prosesi program ini dengan menggendong anaknya. Sembari bacaan shalawatan yang terus berlaun-laun, sang bayi pun disodorkan (didekatkan) pada masyarakat yang hadir secara satu persatu. Mereka mencium kening atau kepala sang bayi, akan tetapi ada juga dengan cara meniup kepala sang bayi, atau bisa dikenal dalam istilah jawa ‘nyuwuk’.[8]

Ø Makan bersama

Selepas program diba’an selesai, para hadirin pun siap menyantap makanan yang sudah dipersiapkan oleh shahib al-hajah yang diadaptasi dengan financial orang bau tanah sang bayi.

Makanan khas untuk program ini bahwasanya tergantung pada orang bau tanah masing-masing, akan tetapi yaitu nasi kebuli (kuning) dengan lauk tahu, tempe, perkedel. Jajanan pasar, kalau tidak ada, biasanya dengan makanan homogen ubi-ubian. Hal ini dilakukan waktu pagi hari.

Jika selapanan bayi dibarengi dengan program aqiqahan, maka seharusnyalah daging kambing dipakai sebagai lauk makanan yang dihidangkan maupun yang akan dibawa pulang oleh para undangan.

Manfaat Tradisi Selapanan Bayi

Dalam masyarakat, tidaklah ajaib banyaknya tradisi yang memungkinkan berbeda dengan kawasan yang lain. Hal itu dikarenakan budaya lokal dan sosial yang tidak sama. Akan tetapi suatu tradisi tentulah punya ‘daya kekuatan’ bagi mereka. Dalam hal ini selapanan bayi pun punya guna tersendiri. Di antaranya:
  1. Mengenang hari lahir sang bayi
  2. Harapan orang bau tanah dan keluarga supaya sang bayi selalu sehat
  3. Menjadikan anak tersebut shalih atau shalihah
  4. Jauh dari marabahaya
  5. Bentuk rasa syukur orang bau tanah kepada Allah
  6. Memohon rahmat, barokah dan ridla Allah
Relasi dengan tradisi Aqiqah

Tradisi selapanan bayi, kebanyakan ditemukan di sebagian masyarakat bahwa tradisi ini biasanya dilaksanakana dengan tradisi aqiqah dikarenakan orang bau tanah sang bayi pada hari-hari yang disunahkan untuk melaksanakan aqiqah masih kurang mampu. Pada hari inilah dua tradisi ini dilaksanakan, akan tetapi tujuannya tetaplah berbeda. Namun demikian urgensinya tetaplah sama yaitu untuk keselamatan bayi dan bentuk rasa syukur atas kelahiran bayi.

Menurut bahasa ' Aqiqah berasal dari kata ‘aqqa: memotong atau memutus. Asalnya dinamakan 'Aqiqah, lantaran dipotongnya leher binatang dengan penyembelihan itu. Ada pula yang menyampaikan bahwa ‘aqiqah itu asalnya ialah : Rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu, rambut ini disebut 'aqiqah, lantaran ia mesti dicukur.

Adapun berdasarkan istilah agama, yang dimaksud 'aqiqah itu ialah : Sembelihan yang disembelih sehubungan dengan kelahiran seorang anak, baik laki-laki ataupun wanita pada hari ke tujuh semenjak kelahirannya dengan tujuan semata-mata mencari ridla Allah.

Syariat 'aqiqah, yaitu menyembelih 2 ekor kambing jikalau anaknya laki-laki, dan seekor kambing jikalau anaknya perempuan,[9] telah dikenal dan biasa dilakukan orang semenjak zaman jahiliyah, namun dengan cara yang berbeda dengan yang dituntunkan oleh Nabi SAW bagi ummat Islam. Sebagaimana hadis Nabi:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُسْلِمٍ اللَّيْثِيُّ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ قَالَ أَبُو دَاوُد اخْتَلَفُوا عَلَى مَالِكٍ وَعَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو فِي عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ بَعْضُهُمْ عُمَرُ وَأَكْثَرُهُمْ قَالَ عَمْرٌو قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ عَمْرُو بْنُ مُسْلِمِ بْنِ أُكَيْمَةَ اللَّيْثِيُّ الْجُنْدُعِيُّ[10]

Hukum Aqiqah yaitu sunnah (muakkad) sesuai pendapat Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama jago fiqih (fuqaha).

Dalam aqiqah biasanya disertai dengan pertolongan nama bayi, yang mana berdasarkan keyakinan masyarakat nama merupakan sarana untuk mempermudah mengenali seseorang dan memperlancar hubungan sosial. Namun demikian janganlah kita terjebak dengan suatu nama. Sebab, baik buruknya seseorang memang tidak terletak pada namanya semata, melainkan pada watak dan amal shalehnya. Dalam pandangan agama, nama juga berfungsi sebagai doa. Orang bau tanah yang memberi anaknya dengan nama Muhammad atau Ahmad misalnya, itu merupakan doa semoga anaknya menjadi orang yang terpuji. Atau mudah-mudahan anak itu tersugesti untuk bersikap dan bertindak dengan meneladani watak Nabi Muhammad SAW.

Selain pertolongan nama, dalam aqiqah biasa juga disertakan pencukuran rambut bayi yang sebaiknya dilakukan di hadapan sanak keluarga supaya mereka mengetahui dan menjadi saksi. Namun demikian boleh juga dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Atau jikalau tidak mampu, bisa diwakilkan kepada ahlinya.

Dalam mencukur rambut bayi, Ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Diawali dengan membaca basmallah
  2. Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri
  3. Dicukur secara keseluruhan (gundul) sehingga tidak ada kotoran yang tersisa
  4. Rambut hasil cukuran ditimbang dan jumlah timbangan dinilai dengan nilai emas atau perak kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.

Selengkapnya: Hukum Aqiqah dalam Islam

Analisis Tradisi Selapanan Bayi yang Berkembang di Masyarakat 

Alasan kenapa berjumlah 35 hari Ternyata jawabannya sederhana. Misalnya Sabtu pon, maka jumlah 7 hari masehi dan 5 hari pasaran, akan bertemu dan menjadi kombinasi hari yang sama Sabtu pon, pada hari ke-35. Hitungan ini ibarat mata pelajaran matematika tingkatan SD, angka kelipatan 7 dan angka 5, akan bertemu dan sama di angka 35.

Berikut ini yaitu dalil yang dijadikan landasan untuk menentukan surat-surat di atas. Ini hanyalah perspektif dari penulis sendiri, lantaran tradisi ini memang bahwasanya didasarkan pada nilai budaya (kejawen). Nilai spiritual itulah yang menciptakan mereka yakin akan bacaan dalam tradisi yang dilakukan. Alasan menentukan surat al-Fatihah lantaran surat itu yaitu pokoknya al-Qur’an. Isi dalam al-Qur’an terkandung semua dalam surat ini. Kegunaannya sangat besar. Sebagaimana dalam sabda Nabi:

حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ وَأَحْمَدُ بْنُ جَوَّاسٍ الْحَنْفِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ عَمَّارِ بْنِ رُزَيْقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ[11]

Sementara surat alam nasyrah yaitu para orang bau tanah menginginkan supaya anaknya selalu diberi fasilitas dalam menghadapi kesulitan buat anaknya ke depannya. Sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi:

سُورَةُ أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ وَقَالَ مُجَاهِدٌ وِزْرَكَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْقَضَ أَثْقَلَ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ أَيْ مَعَ ذَلِكَ الْعُسْرِ يُسْرًا آخَرَ كَقَوْلِهِ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَلَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ وَقَالَ مُجَاهِدٌ فَانْصَبْ فِي حَاجَتِكَ إِلَى رَبِّكَ وَيُذْكَرُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ[12]

Untuk surat al-Qadr, penulis belum menemukan dalil yang berdasarkan penulis masih ada hubungannya dengan tradisi ini. Untuk surat al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain yaitu surat yang sering dibaca oleh orang-orang. Fungsinya yaitu untuk menjaga dari marabahaya.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَفَثَ فِي كَفَّيْهِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَبِالْمُعَوِّذَتَيْنِ جَمِيعًا ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَمَا بَلَغَتْ يَدَاهُ مِنْ جَسَدِهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَلَمَّا اشْتَكَى كَانَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ قَالَ يُونُسُ كُنْتُ أَرَى ابْنَ شِهَابٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ إِذَا أَتَى إِلَى فِرَاشِهِ[13]

Untuk duduk kasus aqiqah, Fungsi mencukur rambut:

ü Suatu upaya untuk mendekatkan diri pada keridhaan Allah Swt dengan mengikuti sunah Rasulnya;

ü Memperkuat training dan hubungan masyarakat serta perekonomian lantaran pencukuran rambut bayi diikuti dengan penimbangan berat rambut bayi dengan perak untuk disedekahkan kepada para fakir miskin;

ü Sebagai suatu sarana dan upaya penyehatan sang bayi lantaran dengan mencukur rambutnya berarti pori-pori kulit kepalanya menjadi lebih terbuka, rambutnya akan lebih subur, dan mungkin juga akan kuat menguatkan daya penglihatan, pendengaran, dan penciuman.

Hal ini selaras dengan hadis sebagai berikut:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إِمَاطَةُ الْأَذَى حَلْقُ الرَّأْسِ.[14]

‘Atha berkata : ”Pencukuran rambut didahulukan dari pemotongan aqiqah”. Mungkin hal ini untuk membedakannya dari manasik haji supaya tidak saru. Lazimnya mencukur rambut itu dilakukan pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi.Berbicara wacana pencukuran rambut ini maka kami akan mengomentari kebiasaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin di sekitar kita yng mencukur sebagian rambut bayinya dan membiarakn sebagian yang lainnya, antara lain :
  1. Memotong sebagian rambut kepalanya dan membiarkan sebagian lainya tanpa beraturan; 
  2. Mencukur belahan tengah kepalanya dan membiarkan belahan lainnya persis ibarat yang dilakukan oleh Khadam gereja atau biarawati gereja; 
  3. Mencukur sekeliling kepala dan membiarkan yang belahan tengahnya persis ibarat jambul; 
  4. Mencukur belahan depan dari kepala dan membiarkan belahan belakangnya. 

Sudah barang tentu pemotongan rambut dengan sistem gaza di atas, dengan diberi jambul atau ibarat rumbai-rumbai di kepalanya sehingga terlihat jelek dan tidak bagus itu yaitu bukan anutan yang diwariskan Islam. Perlakuan semacam itu bukan saja bertentangan dengan anutan Islam malah merusak gambaran dan selera anak hingga cukup umur kelak.

Di antara nasihat di balik pensyariatan aqiqah yaitu sebagai berikut:

ó Aqiqah merupakan suatu pengorbanan yang akan mendekatkan anak kepada Allah di masa awal ia menghirup udara kehidupan

ó Aqiqah merupakan tebusan bagi anak dari banyak sekali musibah, sebagaimana Allah telah menebus Ismail a.s. dengan sembelihan yang besar

ó Sebagai pembayaran hutang anak supaya kelak di hari simpulan zaman ia bisa memperlihatkan syafaat kepada kedua orang tuanya

ó Merupakan media untuk memperlihatkan rasa syukur atas keberhasilan melaksanakan syariat Islam dan bertambahnya generasi mukmin

ó Mempererat tali persaudaraan di antara sesama anggota masyarakat. Dalam hal ini akikah bisa menjadi semacam wahana bagi berlangsungnya komunikasi dan interaksi sosial yang sehat

ó Menambah erat hubungan antara hamba dengan Rabbnya dengan ikatan ibadah dan doa

ó Membina masyarakat ideal diantara insan yang diliputi rasa kasih sayang antara yang kaya dengan yang miskin, baik kaya materi ataupun kaya spiritual

ó Untuk kepentingan individu itu sendiri, diantaranya untak kesehatan insan muslim itu.

Kesimpulan


Tradisi selapanan bayi yaitu salah satu bentuk fenomena interaksi masyarakat dengan al-Qur’an, baik dari isi bacaan, tujuan, serta prosesi pelaksanaan yang secara umum dikuasai hanya terdapat di beberapa Daerah. Nilai spiritual mereka dalam memahami al-Qur’an pun masih kental dengan nilai kejawen yang mereka pakai.

Tradisi ini memperlihatkan akan respon masyarakat terhadap al-Qur’an lantaran spiritual dan keyakinan mereka dalam melaksanakan sebuah tradisi. Nilai kejawen pun tidak terlepas dari nilai keIslaman lantaran tradisi tersebut selalu ‘dibumbui’ dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya dan watak istiadat.

Sungguh al-Qur’an telah mewarnai kehidupan insan dari waktu ia masih dalam kandungan sang ibu hingga kematian menjemput. Sungguh indah kalam Allah ini, tidak hanya sebagai syifa’, huda, akan tetapi juga bisa menjadi ‘senjata’ tersendiri bagi masyarakat atau juga bisa menjadi hal yang paling berharga dalam keyakinan pada diri mereka. Sungguh al-Qur’an yaitu bacaan yang sempurna, indah, dan isi kandungan yang sangat multifungsi. Masyarakat Indonesia sangatlah kaya akan kebudayaan yang islami.

Demikianlah ulasan dari hasil penelitian singkat mengenai tradisi selapanan bayi di beberapa kawasan di Indonesia. Semua tanggapan akan fenomena yang ada tidaklah bersifat mutlak, lantaran itu hanyalah sebuah tradisi yang memang sudah dikenal semenjak beberapa tahun silam dan wawancara yang dilakukan pun hanya sebagian orang saja. Namun tradisi yang dilestarikan ini bukanlah tanpa dasar. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa apa yang kita lestarikan ini didasarkan atas dasar dalil al Qur’an dan hadis. Kiranya, goresan pena ini sebagai materi awal untuk lebih mendalami wacana tradisi selapanan bayi di beberapa kawasan di Indonesia.

Baca Juga: Hukum Membaca Al-Qur'an di Kuburan

Catatan kaki

[1] Hal tersebut sesuai dengan hadis riwayat al-Tirmidzi: 1442

[2] Keterangan lebih lanjut, lihat Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa terj. Aswab Mahasin. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983) hlm. 48

[3] Misalnya sima’an al-Qur’an tiap malam selasa wage. Seperti yang terjadi di PPAM al-Muhsin, kawasan Krapyak wetan, Yogyakarta. Karena istilah tidak hanya dipakai buat kehiran bayi saja, ibarat selapanan pengajian, selapanan bayi, selapanan ijab kabul dan lain-lain.

[4] Hadis Riwayat al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Tirmidzi, kitāb al-Adlahi ‘an Rasulillah, belahan al-Aqiqah bi Syat No. 1442 dalam CD ROM al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997

[5] Dua ekor kambing buat anak laki-laki, sementara buat wanita hanya seekor
[6] QS. Al-Baqarah: 185

[7] Menurut kepercayaan, rambut cukuran pertama, potongan kuku pertama dan puser yang telah terlepas dijadikan satu, dicampur dengan kembang telon (tiga macam bunga) yang kemudian dibungkus menjadi satu. Bila bayi itu telah cukup umur kelak isi bungkusan tadi ditelan gotong royong dengan pisang mas. Hal tersebut bermanfaat untuk tolak bala’ artinya tidak akan terkena guna-guna dan terlepas dari segala macam bahaya.

[8] Pengalaman penulis sendiri yang pernah mengikuti program selapanan bayi plus aqiqah selama di Jogja yaitu sewaktu bayi tersebut dikelilngkan ke orang-orang tersebut, semangkuk daun yang penulis sendiri juga belum menelitinya lebih jauh itu dicampur air ditaruh di atas nampan. Lalu berjalan di belakang sang ibu, mengikuti kemana bayi tersebut dikelilingkan.

[9] Sebagaimana dalam hadis Nabi (HR. Al-Tirmidzi: 1433)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ أَنَّهُمْ دَخَلُوا عَلَى حَفْصَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَسَأَلُوهَا عَنْ الْعَقِيقَةِ فَأَخْبَرَتْهُمْ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

[10] Abu Daud no. 2409 kitab al-Dlahaya, belahan al-Rajulu Ya’khudzu min Sya’rihi fi al-Ashri wa huwa Yuridu an Yudlha fi al-Mubalaghah fi al-Dzabh dalam DVD al-Maktabah al-Syamilah

[11] Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, kitāb Shalah al-Musafir wa Qashruha, belahan Fadhl al-Fatihah wa Khawatim Surah al-Baqarah wa al-Hatstsu ‘ala Qiraah No. 1339 dalam CD ROM al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997

[12] Syarah hadis al-Bukhari, Abwab Alam Nasyrah dalam CD ROM al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997

[13] Hadis Riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitāb Shalah al-Thibb, belahan al-Nafatsu fi al-Ruqyah No. 5307 dalam CD ROM al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997. Lihat juga HR. Al-Tirmidzi: 3499

[14] Hadis Riwayat Abu Daud, Sunan Abi Daud, kitāb al-Dlahaya, belahan fi al-Aqiqah No. 2457 dalam CD ROM al-Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997

Buat lebih berguna, kongsi: