Potret Sejarah Singkat Kerajaan Banjar - Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di daerah pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang mempunyai hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada masa ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong. Jauh beberapa masa kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang tiba ke daerah ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk tempatan yang terdiri dari suku Maanyan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudian membentuk bahasa Banjar Klasik.
Untuk mengetahui sejarah Banjar lebih lanjut, historiografi tradisional masyarakat tempatan sangat banyak membantu. Di antara sumber yang paling terkenal yaitu Hikayat Lambung Mangkurat, atau Hikayat Banjar. Berdasarkan sumber tersebut, di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah sekitar Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa yaitu kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa sanggup dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia yaitu seorang saudagar kaya, tapi bukan keturunan raja. Oleh lantaran itu, menurut sistem kasta dalam Hindu, ia mustahil menjadi raja. Namun, dalam pratiknya, ia mempunyai kekuasaan dan imbas yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya yaitu Ampu Jatmika, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, menyerupai candi, balairung, kraton dan arca berbentuk pria dan wanita yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunia, ia berwasiat semoga kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, lantaran mereka bukan keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera menggunakan gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha yaitu Maharaja Sukarama. Ketika Sukarama meninggal, ia berwasiat semoga cucunya Raden Samudera yang menggantikan. Tapi, lantaran masih kecil, hasilnya Raden Samudera kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan semoga terhindar dari pembunuhan, Raden Samudera kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan tetapkan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Di antara desa-desa tersebut yaitu Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkampungan Melayu yang dibuat oleh lima buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pageran). Semuanya anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang-orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih. Oleh lantaran itu, desa Banjar tersebut kemudian disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, semoga sanggup keluar dari imbas Daha, dan mengakibatkan daerah mereka merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka setuju mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat. Kemudian, mereka juga setuju memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden Samudera, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada masa ke-16 M. Pemberontakan ini amat penting, lantaran sudah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha, yang berarti final dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan Banjar.
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudera meminta proteksi Kerajaan Demak di Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudera mengirim duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut yaitu Patih Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini sekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, semoga Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama Islam. Atas proteksi Demak, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) Samudera segera menunaikan akad untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia menggunakan gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya yaitu Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan semenjak itu, agama Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) diislamkan oleh wakil penghulu Demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan utusan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan kiprah melaksanakan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar hingga ia meninggal dunia, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telah membuka era gres di Kerajaan Banjar dengan masuk dan berkembangnya agama Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini yaitu kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
Silsilah dan Periode Pemerintahan Kerajaan Islam Banjar
Silsilah berikut dimulai dari era masuknya Islam di Kerajaan Banjar. Berikut silsilahnya:
Raja I yaitu Sultan Suriansyah, putera dari pasangan Ratu Intan Sari atau Puteri Galuh dengan Raden Manteri Jaya. Suriansyah cucu Maharaja Sukarama Raja dari Kerajaan Negara Daha. Bergelar Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
Raja II yaitu Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan Batu Putih
Raja III yaitu Sultan Hidayatullah, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Irang.
Raja IV yaitu Sultan Mustainbillah.
Silsilah berikut dimulai dari era masuknya Islam di Kerajaan Banjar. Berikut silsilahnya:
Raja I yaitu Sultan Suriansyah, putera dari pasangan Ratu Intan Sari atau Puteri Galuh dengan Raden Manteri Jaya. Suriansyah cucu Maharaja Sukarama Raja dari Kerajaan Negara Daha. Bergelar Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.
Raja II yaitu Sultan Rahmatullah, putera Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan Batu Putih
Raja III yaitu Sultan Hidayatullah, cucu Sultan Suriansyah. Ia bergelar Susuhunan
Batu Irang.
Raja IV yaitu Sultan Mustainbillah.
Untuk mengetahui nama raja-raja Banjar yang pernah memerintah di Kerajaan Banjar serta periode pemerintahannya, sanggup dilihat pada tabel berikut:
Raja Ke Nama Raja Masa Hidup Periode Pemerintahan
I Sultan Suriansyah wafat 1550 M 1526 - 1550 M
II Sultan Rahmatullah - 1550 - 1570 M
III Sultan Hidayatullah - 1570 - 1595 M
IV Sultan Mustainbillah - -
Wilayah Kekuasaan Struktur Pemerintahan dan Kehidupan Sosial Kerajaan Islam Banjar
Setelah Pangeran Samudera atau Sultan Sariansyah berhasil meruntuhkan kerajaan Daha, maka seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Daha otomatis dikuasainya. Wilayah tersebut mencakup sepanjang Sungai Barito, Sungai Kuwin, Balabong, dan sebagian besar wilayah Kalimantan Timur. Untuk mengatur pemerintahan, Sultan dibantu oleh para Patih, Mufti dan Penghulu.
Raja Ke Nama Raja Masa Hidup Periode Pemerintahan
I Sultan Suriansyah wafat 1550 M 1526 - 1550 M
II Sultan Rahmatullah - 1550 - 1570 M
III Sultan Hidayatullah - 1570 - 1595 M
IV Sultan Mustainbillah - -
Wilayah Kekuasaan Struktur Pemerintahan dan Kehidupan Sosial Kerajaan Islam Banjar
Setelah Pangeran Samudera atau Sultan Sariansyah berhasil meruntuhkan kerajaan Daha, maka seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Daha otomatis dikuasainya. Wilayah tersebut mencakup sepanjang Sungai Barito, Sungai Kuwin, Balabong, dan sebagian besar wilayah Kalimantan Timur. Untuk mengatur pemerintahan, Sultan dibantu oleh para Patih, Mufti dan Penghulu.
Dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas (lapisan). Lapisan paling atas yaitu golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Mereka yaitu kaum ningrat atau “bubuhan raja-raja”. Penghargaan masyarakat terhadap golongan ningrat ini sesuai dengan derajat kebangasawanannya. Mereka, secara turun-temurun, menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta mempunyai gelar-gelar menyerupai sultan, pangeran, ratu, gusti, andin, antung, dan nanang. Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan lain-lain.
Golongan kedua yaitu pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini eksklusif berafiliasi dengan penduduk. Segala macam barang yang diperdagangkan mereka beli dari masyarakat dan dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala masalah aturan pada tingkat tinggi. Sementar ulama-ulama memberikan pemikiran agama Islam.
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu rakyat biasa. Mereka itu yaitu golongan yang hidup dari pertanian dan perdagangan kecil-kecilan, nelayan, kerajinan, industri, dan pertukangan. Golongan bawah yaitu golongan pandeling. Golongan pandeling yaitu mereka yang kehilangan setengah kemerdekaan akhir hutang-hutang yang tak sanggup mereka bayar. Biasanya, merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan ningrat atau pedagang-pedangan kaya. Golongan ini berakhir pada masa ke-19, seiring dengan dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat itu, Banjar telah mempunyai gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra berkembang dengan menggunakan karakter Arab Melayu (Jawi), dan kemungkinan, juga telah berkembang suatu seni, hasil perpaduan antara tonil Melayu dan kisah Seribu Satu Malam. Seni ukir berkembang lantaran adanya kebiasaan para ningrat dan orang kaya untuk menciptakan rumah secara mewah, yang dipenuhi dengan goresan indah. Corak seni lain yang juga telah berkembang dan amat besar lengan berkuasa dipengaruhi kebudayaan Islam yaitu mahidin dan balamut. Ini semua menunjukkan bahwa, di Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni budaya dengan coraknya yang khas.
Sumber:
1. Sejarah Banjar,
2. Profil Republik Indonesia, Kalimatan Selatan. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992
3. Depdikbud, Komplek Makam Sultan Suriansyah.
4. Imansyah Mahbara, Komplek Makam Sultan Suriansyah, Depdikbud Kalsel, 1988
Golongan kedua yaitu pejabat kerajaan, ulama-ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini eksklusif berafiliasi dengan penduduk. Segala macam barang yang diperdagangkan mereka beli dari masyarakat dan dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala masalah aturan pada tingkat tinggi. Sementar ulama-ulama memberikan pemikiran agama Islam.
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu rakyat biasa. Mereka itu yaitu golongan yang hidup dari pertanian dan perdagangan kecil-kecilan, nelayan, kerajinan, industri, dan pertukangan. Golongan bawah yaitu golongan pandeling. Golongan pandeling yaitu mereka yang kehilangan setengah kemerdekaan akhir hutang-hutang yang tak sanggup mereka bayar. Biasanya, merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan ningrat atau pedagang-pedangan kaya. Golongan ini berakhir pada masa ke-19, seiring dengan dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda.
Berkaitan dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat itu, Banjar telah mempunyai gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra berkembang dengan menggunakan karakter Arab Melayu (Jawi), dan kemungkinan, juga telah berkembang suatu seni, hasil perpaduan antara tonil Melayu dan kisah Seribu Satu Malam. Seni ukir berkembang lantaran adanya kebiasaan para ningrat dan orang kaya untuk menciptakan rumah secara mewah, yang dipenuhi dengan goresan indah. Corak seni lain yang juga telah berkembang dan amat besar lengan berkuasa dipengaruhi kebudayaan Islam yaitu mahidin dan balamut. Ini semua menunjukkan bahwa, di Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni budaya dengan coraknya yang khas.
Sumber:
1. Sejarah Banjar,
2. Profil Republik Indonesia, Kalimatan Selatan. Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara. 1992
3. Depdikbud, Komplek Makam Sultan Suriansyah.
4. Imansyah Mahbara, Komplek Makam Sultan Suriansyah, Depdikbud Kalsel, 1988
Buat lebih berguna, kongsi: