Tongkronganislami.net - Ibadah shiyam di bulan Ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang diwajibkan Allah swt pada tahun kedua Hijriyah. Dalam sejarahnya, ibadah puasa ini bukan sesuatu ketentuan yang ditemukan dalam pemikiran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tetapi ibadah ini diwajibkan pula pada zaman nabi-nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an al-Baqarah : 183
Artinya: "wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau semoga kau bertaqwa”.
Syaikhul Islam imam Ghozali menjelaskan bahwa pengertian taqwa yang sebenarnya adalah:
Permulaan Puasa Ramadhah
Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan masuknya awal ibadah puasa. Setidaknya ada 3 cara yang bisa ditempuh berkenaan dengan permasalahan ini yaitu:[3]
a.Ru’yatul Hilal
c. Hisab
Syarat Wajib Menjalankan Puasa Ramadhan
1. Orang Islam
Ketentuan ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah : 183 yang menegaskan bahwa yang terkena kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan hanyalah orang-orang mukmin.
2. Berakal sehat
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa:
”Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda: ”Tiga gologan yang terlepas dari aturan (syara’), yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, orang absurd sehingga sadar dan belum dewasa sehingga baligh”(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)”.
3. Baligh
4. Sehat
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 184
"Maka barangsiapa diantara kalian sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
Dari penegasan ini sanggup diambil pemahaman (mafhum mukholafah) bahwa orang yang sakit tidak ada kewajiban untuk berpuasa.
5. Mukim
Ini juga diambil dari pemahaman (mafhum mukholafah) QS. al-Baqarah : 184.
6. Tidak haid atau nifas
Orang yang sedang haid atau nifas tidak sah mengerjakan puasa. Penegasan ini didasarkan ada hadis Rasulullah saw yang menandakan bahwa kalau seseorang sedang haid atau nifas maka harus berbuka dan kelak kalau sudah suci wajib mengqadhanya.
”adalah kami menstruasi di masa Rasulullah, maka kami diperintahkan semoga mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”.(HR. Jama’ah dari Muadz r.a)
1. Niat
ياايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya: "wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau semoga kau bertaqwa”.
Syaikhul Islam imam Ghozali menjelaskan bahwa pengertian taqwa yang sebenarnya adalah:
- Tumbuhnya perasaan gentar dan takut terhadap murka dan azab Allah swt. Akibat dilanggarnya banyak sekali larangannya.
- Menjaga diri semoga senantiasa sanggup mentaati dan pasrah sepenuh hidupnya apapun yang menjadi kehendak Allah.
- Selalu berusaha untuk mensucikan mata batinnya dari banyak sekali noda dan dosa.
Permulaan Puasa Ramadhah
Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan masuknya awal ibadah puasa. Setidaknya ada 3 cara yang bisa ditempuh berkenaan dengan permasalahan ini yaitu:[3]
a.Ru’yatul Hilal
b. Istikmal
يَقُولُ أَبَ ا هُرَيْرَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ . رواه البخارى ومسلم
c. Hisab
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ وَيُونُسُ لِهِلَالِ رَمَضَانَ اخرجه الشيخان و النساء و ابن ماجه .
Syarat Wajib Menjalankan Puasa Ramadhan
1. Orang Islam
Ketentuan ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah : 183 yang menegaskan bahwa yang terkena kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan hanyalah orang-orang mukmin.
2. Berakal sehat
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa:
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
”Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda: ”Tiga gologan yang terlepas dari aturan (syara’), yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, orang absurd sehingga sadar dan belum dewasa sehingga baligh”(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)”.
3. Baligh
4. Sehat
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 184
ومن كان منكم مريضا او على سفر فعدَة من ايَام اخر
"Maka barangsiapa diantara kalian sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
Dari penegasan ini sanggup diambil pemahaman (mafhum mukholafah) bahwa orang yang sakit tidak ada kewajiban untuk berpuasa.
5. Mukim
Ini juga diambil dari pemahaman (mafhum mukholafah) QS. al-Baqarah : 184.
6. Tidak haid atau nifas
Orang yang sedang haid atau nifas tidak sah mengerjakan puasa. Penegasan ini didasarkan ada hadis Rasulullah saw yang menandakan bahwa kalau seseorang sedang haid atau nifas maka harus berbuka dan kelak kalau sudah suci wajib mengqadhanya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَي وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
”adalah kami menstruasi di masa Rasulullah, maka kami diperintahkan semoga mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”.(HR. Jama’ah dari Muadz r.a)
Rukun Puasa Ramadhan
1. Niat
Ada perbedaan pendapat dikalangan Fuqaha’ berkenaan dengan niat. Menurut Hanafiyyah niat ialah ”keinginan sedangkan keinginan itu ialah perbuatan hati dan niat tidak disyaratkan diucapkan dengan lisan”.
Sedangkan berdasarkan Syafi’iyyah, niat ialah ”bermaksud terhadap sesuatu dan ia bersamaan dengan perbuatan tersebut”.[4]
"Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya dari Hafshah bahwa Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum Fajar maka tiada puasa baginya”.
Menurut Jumhur Ahli Fiqih beropini bahwa yang wajib ialah membangun niat semenjak malam hingga sebelum muncul fajar, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah memperbolehkan niat puasa bulan mulia di waktu malam hingga tengah hari.
Ada lagi kalangan ulama yang beropini bahwa penetapan niat sebelum fajar hanya untuk puasa fardhu, untuk sebelum matahari tergelincir. az-Zuhri, Atha’ dan Zufar tidak mengharuskan niat untuk puasa Ramadhan.
Imam Malik beropini bahwa niat puasa Ramadhan yang ditetapkan di malam pertama bulan Ramadhan sudah cukup untuk puasa sebulan penuh tanpa perlu memperbaharui niat tiap malam, dengan pertimbangan bahwa puasa Ramadhan merupakan satu paket amal.
2. Menahan diri dari segala hal yang sanggup membukakan puasa dari semenjak fajar hingga terbenam matahari.
Sedangkan berdasarkan Syafi’iyyah, niat ialah ”bermaksud terhadap sesuatu dan ia bersamaan dengan perbuatan tersebut”.[4]
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
"Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya dari Hafshah bahwa Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum Fajar maka tiada puasa baginya”.
Menurut Jumhur Ahli Fiqih beropini bahwa yang wajib ialah membangun niat semenjak malam hingga sebelum muncul fajar, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah memperbolehkan niat puasa bulan mulia di waktu malam hingga tengah hari.
![]() |
Puasa di Bulan Ramadhan |
Ada lagi kalangan ulama yang beropini bahwa penetapan niat sebelum fajar hanya untuk puasa fardhu, untuk sebelum matahari tergelincir. az-Zuhri, Atha’ dan Zufar tidak mengharuskan niat untuk puasa Ramadhan.
Imam Malik beropini bahwa niat puasa Ramadhan yang ditetapkan di malam pertama bulan Ramadhan sudah cukup untuk puasa sebulan penuh tanpa perlu memperbaharui niat tiap malam, dengan pertimbangan bahwa puasa Ramadhan merupakan satu paket amal.
2. Menahan diri dari segala hal yang sanggup membukakan puasa dari semenjak fajar hingga terbenam matahari.
Amalan Utama Dalam Puasa Ramadhan
Ada beberapa amalan utama termasuk sunah yang patut sekali dikerjakan selama seseorang melaksanakan ibadah puasa, antara lain:
1. Mempercepat Berbuka
Ada beberapa amalan utama termasuk sunah yang patut sekali dikerjakan selama seseorang melaksanakan ibadah puasa, antara lain:
1. Mempercepat Berbuka
Mempercepat berbuka apabila telah diketahui secara terperinci bahwa matahari telah terbenam. Hal ini berdasarkan tuntunan Rasulullah saw sebagai berikut:
”Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:”Allah Azza wajalla berkata:” sesungguhnya orang yang paling saya sayangi dari hamba-Ku ialah orang yag paling bersegera dalam berbuka”.
2. Doa Setelah Berbuka
” Marwan, yaitu Ibnu Salim telah menceritakan pada kami ialah Rasulullah saw apabila berbuka ia berdoa:” Rasa haus telah hilang, dan telah berair pula segala urat dan mudah-mudahan pahala tetap bila Allah menghendaki-Nya“.
3. Makan Sahur diakhirkan
"Dari Zaid bin Tsabi, ia berkata:” kami telah makan sahur bersama Rasulullah saw, kemudian kami berdiri melaksanakan shalat (subuh). Aku bertanya pada Zaid:”berapa lamakah tempo antara setelah makan sahur dengan shalat tersebut?” Zaid menjawab: ”Kira-kira lima puluh ayat al-Qur’an”.
4. Memberi Makanan untuk Berbuka
"Dari Zaid bin Kholid al-Juhni ia berkata: ”barang siapa memberi masakan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun (ganjaran orang tersebut)”.(HR. Ahmad dari Zaid Ibnu Khalid ra).
5. Memperbanyak shadaqah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
”Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:”Allah Azza wajalla berkata:” sesungguhnya orang yang paling saya sayangi dari hamba-Ku ialah orang yag paling bersegera dalam berbuka”.
2. Doa Setelah Berbuka
حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي ابْنَ سَالِمٍ ... كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
” Marwan, yaitu Ibnu Salim telah menceritakan pada kami ialah Rasulullah saw apabila berbuka ia berdoa:” Rasa haus telah hilang, dan telah berair pula segala urat dan mudah-mudahan pahala tetap bila Allah menghendaki-Nya“.
3. Makan Sahur diakhirkan
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
"Dari Zaid bin Tsabi, ia berkata:” kami telah makan sahur bersama Rasulullah saw, kemudian kami berdiri melaksanakan shalat (subuh). Aku bertanya pada Zaid:”berapa lamakah tempo antara setelah makan sahur dengan shalat tersebut?” Zaid menjawab: ”Kira-kira lima puluh ayat al-Qur’an”.
4. Memberi Makanan untuk Berbuka
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
"Dari Zaid bin Kholid al-Juhni ia berkata: ”barang siapa memberi masakan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun (ganjaran orang tersebut)”.(HR. Ahmad dari Zaid Ibnu Khalid ra).
5. Memperbanyak shadaqah
سئل رسول الله صم ايَ الصدقة افضل؟ قال صدقة فى رمضان
”Rasulullah saw ditanya, shadaqoh manakah yang utama? Beliau menjawab: shadaqah pada bulan Ramadhan”.(HR. Tirmidzi dari Anas ra.).
Dalam hal ini Abu Darda ra mengatakan: ”Shalatlah kalian dalam kegelapan malam dua rakaat, untuk menentang kegelapan kubur. Berpuasalah kalian di hari yang sangat panas, untuk menentang kepanasan di hari padang mahsyar. Dan bersadaqahlah kalian dengan sesuatu sadaqah untuk melawan kesukaran di hari simpulan zaman yang sangat menyukarkan”.
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ialah Rasulullah saw orang yang paling murah hatinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, ketika ia dijumpai malaikat Jibril pada setiap malamnya, maka ia mengajaknya menderas al-Qur’an. Maka Rasulullah saw ketika berjumpa dengan Jibril itu ialah orang yang paling permurah pada hartanya melebihi angin yang bertiup”. ( HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Abbas ra.)
7. Mengerjakan qiyamur-Ramadhan
Shalat tarawih dilaksanakan sebagaimana melaksanakan shalat malam, menyerupai yang telah diterangkan hadis riwayat Aisyah ra:[5]
“Dari Abi Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah. bagaimana shalat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan? Lalu ia berkata: Rasulullah saw tidak pernah melebihi sebelas rakaat di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan yang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).
8. Giat beribadah pada 10 hari terakhir
Dalam hal ini ada beberapa amalan yang ditunjukkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw disaat memasuki 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan.[6]
a. Menghidupkan malam hari bulan Ramadhan
Menghidupkan malam memasuki 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan hendaklah diisi dengan memperbanyak zikir kepada Allah swt atau amalan ibadah lainnya yang telah dituntunkan oleh syara’. Bukan sebaliknya diisi dengan bermain catur, aben petasan dan lain sebagainya.
b. Membangun keluarga dan sanak kerabat
Amalan ini dianjurkan oleh Rasulullah lantaran memang memasuki hari-hari tersebut kebanyakan orang sudah mulai mencicipi kelelahan fisik, apalagi bagi ibu-ibu yang biasanya selama dua puluh hari sudah sibuk menyiapkan makan sahur, maka di sinilah barangkali pesan yang tersirat kenapa Rasulullah menganjurkan semoga membangunkan keluarga.
c. Mengeratkan ikat pinggang
Ajaran ini dimaksudkan semoga dalam rangka memasuki hari-hari terakhir hendaklah mengerahkan segal potensi untuk bertaqrrub kepada Allah swt. Terhadap ketiga tuntunan di atas berdasarkan pada:
”Dari Aisyah ia berkata: ialah Rasulullah saw apabila telah memasuki sepuluh yang simpulan dari bulan Ramadhan ia menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya, serta mengikat pinggangnya”.(HR. Bukhari Muslim dari Aisyah).
d. beri’tikaf dalam masjid
”Dari Aisyah, istri Nabi saw ia berkata: ialah Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan hingga ia wafat”. (HR. Bukhari Muslim dari Aisyah).
9. Memperbanyak doa kepada Allah swt.
Hal-hal yang Dibolehkan Saat Puasa Ramadhan. [7]
Ada beberapa amalan yang diperbolehkan untuk dilakukan pada ketika orang sedang berpuasa. Beberapa amalan tersebut antara lain:
1. Menuangkan Air di atas Kepala
”Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits dari seorang sahabat Nabi SAW menuangkan air di atas kepalanya lantaran kepanasan, sedang ia dalam keadaan puasa”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Bakar bin Abdurrahman).
2. Menggosok gigi di siang hari bulan Ramadhan
”Dari Abdullah bin ’Amir bin Rabi’ah dari kakeknya ia berkata: Saya melihat Rasululah SAW mengosok gigi yang tidak sanggup saya hitung sedang ia dalam keadaan berpuasa” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Amir bin Rabi’ah).
3. Mencium istri
”Dari Aisyah ia berkata: Adalah Nabi saw mencium (saya) dan bersentuhan (dengan saya) sedang ia berpuasa. Akan tetapi ia ialah orang paling mampu/kuat menahan nafsunya”.(HR. Jama’ah selain Nasa’i dari Aisyah ra ).
4. Berbekam
”Apakah di masa Rasulullah saw kasus berbekam itu kalian anggap makruh? Ujar Anas: ”tidak kecuali bilamana melelahkan (orang yang berbekam tersebut).” (HR. Bukhari).
”Aisyah ra berkata: ”saya menyaksikan Rasulullah saw bila Ia memasuki subuh sedang Ia junub dari jima’ bukan lantaran mimpi kemudian Ia berpuasa. Ummu Salamah juga menyampaikan menyerupai itu”. (HR. Bukhari Muslim dari Aisyah ra).
Sikap dan Perilau Orang yang Berpuasa
Ditinjau dari segi aturan maka bagi setiap orang yang telah sanggup menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri dari semenjak terbitnya matahari hingga terbenam matahari maka sudah dianggap sah puasa tesebut. Namun, kalau hal itu disoroti lebih teliti lagi dari sudut yang lain yaitu segi batiniah atau dari segi akhlaq maka sesunggunya puasa itu tidak sekedar bermakna lahiriah sesuai sabda Rasulullah saw dalam hadisnya
"Dari Abu Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw” banyak sekali orang berpuasa, yang tiada mendapat suatu apapun juga dari puasanya kecuali hanya lapar belaka, dan banyak sekali orang yang shalat tiada baginya apapun juga dari hasil shalatnya kecuali hanya kantuk belaka”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Diantara hal-hal tersebut adalah:
1. Meninggalkan perkataan kotor dan caci maki
”Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum saja, sebetulnya puasa itu menahan perkataan kotor dan caci maki”. (HR. Ibnu Huzaimah dari Abu Hurairah).
2. Meninggalkan perilaku dusta dan bohong
”puasa itu perisai selama ia tidak merobeknya dengan perilaku dusta atau ghibah”.(HR. at-Thabrani dari Abu Ubaidah).
3. Meninggalkan perbuatan yang mendatangkan kemarahan Allah swt dan perilaku jahil
”Dari Abu Hurairah ra Ia berkata, bersabdalah saw: ”Barang siapa yang tidak meninggalkn perkataan dusta, mengumpat, fitnah, semua perkataan yang menciptakan kemurkaan Allah dan tidak meninggalkan perkataan zur, serta bersikap jahil, maka tidak ada hajat bagi Allah ia meninggalkan masakan dan minumannya”.(HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
4. Bersikap sabar menghadapi segala persoalan
”Dan dia (Ramadhan) itu ialah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya ialah Surga”. (HR. Ibnu Huzaimah dari Salman)
Hal-hal yang Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja di siang hari Ramadhan
Allah swt berfirman:
”Serta makan dan minumlah sehingga nampak kepadamu benang (garis) putih dari benang hitam dari fajar”.(QS. al-Baqarah: 187)
Rasulullah saw bersabda:
”Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah sekali-kali mencegah kau dari sahurmu, adzan Bilal dan fajar yang melintang pada cakerawala”. (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
2. Mengumpuli istri (bersetubuh)
Jika seseorang bersetubuh di siang hari Ramadhan, maka hendaknya ia membayar kifarat dengan memerdekakan budak sahaya, bila tidak sanggup maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut dan bila tidak sanggup juga maka ia wajib memperlihatkan makan enam puluh orang miskin.[8]
Dan ada pendapat lain yang menambahkan perihal hal-hal yang membatalkan puasa bahwa puasa batal bila melaksanakan 6 perkara[9]:
Makan dan minum
Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam.
”Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqadha puasanya; dan barang siapa yang mengusahakan muntah, maka hendaklah ia mengqadha puasanya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
”Dan janganlah kau menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.(QS. al-Baqarah 195).
”Dan Dia sekali-kali tidak mengakibatkan untuk kau dalam agama suatu kesempitan”. (QS. al-Hajj: 78).
Untuk orang yang kelaparan, kehausan dan takut binasa, maka ia wajib mengqadha puasanya sebagaiman halnya orang sakit.
4. Perempuan hamil & menyusui
Perempuan ketika hamil terkadang merasa khawatir terhadap dirinya dengan merasa payah dalam menjalankan puasa atau juga khawatir terhadap bayi yang dikandungnya, begitu juga dengan keadaan orang yang menyusui. Para Ahli Fiqih setuju bahwa keduanya berhak untuk berbuka, sebagaimana sabda Nabi saw: ”Sesungguhnya Allah mencabut puasa dan separuh shalat dari musafir serta mencabut puasa dari wanita hamil dan menyusui”. (HR. Nasa’i & Ibnu Majah).
Mayoritas Ahli Fiqih memperlakukan kedua orang ini sebagaimana orang sakit sehingga keduanya berbuka dan mengqadha, akan tetapi Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan kalangan tabi’in beropini bahwa mereka harus membayar fidyah dan tidak usah mengqadha. Ibnu Abbas meriwayatkan, dikatakan bahwa ia pernah menyuruh anak perempuannya yang tengah hamil semoga berbuka di bulan Ramadhan, ia berkata ”kamu sama dengan orang bau tanah renta yang tidak bisa berpuasa, kesudahannya berbukalah dan berilah makan orang miskin setiap hari ½ sho gandum.
Ibnu Katsir menuturkan (1/215) bahwa perihal kedua uzur ini banyak perselisihan pendapat, ia berkata: ”sebagian beropini bahwa keduanya berbuka, membayar fidyah dan dan mengqadha dan sebaian ulama yang lain lagi mengharuskan mengqadha tanpa harus membayar fidyah.
5. Orang yang mati meninggalkan hutang puasa
Bagi orang yang mati namun meninggalkan hutang puasa maka hutang dari puasanya tersebut diqadhakan oleh walinya, sebagaimana hadis marfu’ dari Aisyah ra.
”Barang siapa meninggal dunia sedangkan ia mempunyai tanggungan puasa maka walinya wajib berpuasa untuknya!”. (al-Bazzar meriwayatkan dengan pelengkap ” bila ia mau”) [11]
Memberi makan kepada fakir miskin untuk mayat dengan memakai harta peninggalannya sebanyak hari-hari yang ditinggalkan tanpa puasa, lantaran ia berhutang kepada Allah yang berafiliasi dengan peninggalannya. Sebagian ulama mensyaratkan adanya wasiat untuk itu dari si mayit, bila tidak ada maka harta peninggalannya dihentikan dipergunakan sedikit pun lantaran ia hak hebat waris.
Baca Juga:
Dalam hal ini Abu Darda ra mengatakan: ”Shalatlah kalian dalam kegelapan malam dua rakaat, untuk menentang kegelapan kubur. Berpuasalah kalian di hari yang sangat panas, untuk menentang kepanasan di hari padang mahsyar. Dan bersadaqahlah kalian dengan sesuatu sadaqah untuk melawan kesukaran di hari simpulan zaman yang sangat menyukarkan”.
6. Mendaras ayat-ayat suci al-Qur’an
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: ialah Rasulullah saw orang yang paling murah hatinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, ketika ia dijumpai malaikat Jibril pada setiap malamnya, maka ia mengajaknya menderas al-Qur’an. Maka Rasulullah saw ketika berjumpa dengan Jibril itu ialah orang yang paling permurah pada hartanya melebihi angin yang bertiup”. ( HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Abbas ra.)
7. Mengerjakan qiyamur-Ramadhan
Shalat tarawih dilaksanakan sebagaimana melaksanakan shalat malam, menyerupai yang telah diterangkan hadis riwayat Aisyah ra:[5]
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Dari Abi Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah. bagaimana shalat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan? Lalu ia berkata: Rasulullah saw tidak pernah melebihi sebelas rakaat di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan yang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).
8. Giat beribadah pada 10 hari terakhir
Dalam hal ini ada beberapa amalan yang ditunjukkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw disaat memasuki 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan.[6]
a. Menghidupkan malam hari bulan Ramadhan
Menghidupkan malam memasuki 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan hendaklah diisi dengan memperbanyak zikir kepada Allah swt atau amalan ibadah lainnya yang telah dituntunkan oleh syara’. Bukan sebaliknya diisi dengan bermain catur, aben petasan dan lain sebagainya.
b. Membangun keluarga dan sanak kerabat
Amalan ini dianjurkan oleh Rasulullah lantaran memang memasuki hari-hari tersebut kebanyakan orang sudah mulai mencicipi kelelahan fisik, apalagi bagi ibu-ibu yang biasanya selama dua puluh hari sudah sibuk menyiapkan makan sahur, maka di sinilah barangkali pesan yang tersirat kenapa Rasulullah menganjurkan semoga membangunkan keluarga.
c. Mengeratkan ikat pinggang
Ajaran ini dimaksudkan semoga dalam rangka memasuki hari-hari terakhir hendaklah mengerahkan segal potensi untuk bertaqrrub kepada Allah swt. Terhadap ketiga tuntunan di atas berdasarkan pada:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
”Dari Aisyah ia berkata: ialah Rasulullah saw apabila telah memasuki sepuluh yang simpulan dari bulan Ramadhan ia menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya, serta mengikat pinggangnya”.(HR. Bukhari Muslim dari Aisyah).
d. beri’tikaf dalam masjid
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
”Dari Aisyah, istri Nabi saw ia berkata: ialah Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan hingga ia wafat”. (HR. Bukhari Muslim dari Aisyah).
9. Memperbanyak doa kepada Allah swt.
Hal-hal yang Dibolehkan Saat Puasa Ramadhan. [7]
Ada beberapa amalan yang diperbolehkan untuk dilakukan pada ketika orang sedang berpuasa. Beberapa amalan tersebut antara lain:
1. Menuangkan Air di atas Kepala
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ فِي سَفَرٍ عَامَ الْفَتْحِ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِالْإِفْطَارِ وَقَالَ إِنَّكُمْ تَلْقَوْنَ عَدُوًّا لَكُمْ فَتَقَوَّوْا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَامُوا لِصِيَامِكَ فَلَمَّا أَتَى الْكَدِيدَ أَفْطَرَ قَالَ الَّذِي حَدَّثَنِي فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْحَرِّ وَهُوَ صَائِمٌ
”Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits dari seorang sahabat Nabi SAW menuangkan air di atas kepalanya lantaran kepanasan, sedang ia dalam keadaan puasa”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Bakar bin Abdurrahman).
2. Menggosok gigi di siang hari bulan Ramadhan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ زَادَ مُسَدَّدٌ مَا لَا أَعُدُّ وَلَا أُحْصِي
”Dari Abdullah bin ’Amir bin Rabi’ah dari kakeknya ia berkata: Saya melihat Rasululah SAW mengosok gigi yang tidak sanggup saya hitung sedang ia dalam keadaan berpuasa” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Amir bin Rabi’ah).
3. Mencium istri
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
4. Berbekam
Yaitu mengeluarkan darah dari tubuh dengan jalan mematuknya sebagai perjuangan untuk menghilangkan penyakit.
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ ثَابِتًا الْبُنَانِيَّ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ وَزَادَ شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Apakah di masa Rasulullah saw kasus berbekam itu kalian anggap makruh? Ujar Anas: ”tidak kecuali bilamana melelahkan (orang yang berbekam tersebut).” (HR. Bukhari).
5. Keadaan junub sedang waktu sudah masuk subuh
سَمِعَ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ كُنْتُ أَنَا وَأَبِي فَذَهَبْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ مِثْلَ ذَلِكَ
”Aisyah ra berkata: ”saya menyaksikan Rasulullah saw bila Ia memasuki subuh sedang Ia junub dari jima’ bukan lantaran mimpi kemudian Ia berpuasa. Ummu Salamah juga menyampaikan menyerupai itu”. (HR. Bukhari Muslim dari Aisyah ra).
Sikap dan Perilau Orang yang Berpuasa
Ditinjau dari segi aturan maka bagi setiap orang yang telah sanggup menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri dari semenjak terbitnya matahari hingga terbenam matahari maka sudah dianggap sah puasa tesebut. Namun, kalau hal itu disoroti lebih teliti lagi dari sudut yang lain yaitu segi batiniah atau dari segi akhlaq maka sesunggunya puasa itu tidak sekedar bermakna lahiriah sesuai sabda Rasulullah saw dalam hadisnya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
"Dari Abu Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw” banyak sekali orang berpuasa, yang tiada mendapat suatu apapun juga dari puasanya kecuali hanya lapar belaka, dan banyak sekali orang yang shalat tiada baginya apapun juga dari hasil shalatnya kecuali hanya kantuk belaka”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Diantara hal-hal tersebut adalah:
1. Meninggalkan perkataan kotor dan caci maki
ليس الصيام من الأكل والشرب,انٌماالصيام من اللغو والرفث (رواه ابن خزيمة عن أبي هريرة
”Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum saja, sebetulnya puasa itu menahan perkataan kotor dan caci maki”. (HR. Ibnu Huzaimah dari Abu Hurairah).
2. Meninggalkan perilaku dusta dan bohong
الصيام جنٌة ما لم يخرقها بكذب أو غيبة (رواه الطبراني عن أبي عبا دة
”puasa itu perisai selama ia tidak merobeknya dengan perilaku dusta atau ghibah”.(HR. at-Thabrani dari Abu Ubaidah).
3. Meninggalkan perbuatan yang mendatangkan kemarahan Allah swt dan perilaku jahil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
”Dari Abu Hurairah ra Ia berkata, bersabdalah saw: ”Barang siapa yang tidak meninggalkn perkataan dusta, mengumpat, fitnah, semua perkataan yang menciptakan kemurkaan Allah dan tidak meninggalkan perkataan zur, serta bersikap jahil, maka tidak ada hajat bagi Allah ia meninggalkan masakan dan minumannya”.(HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
4. Bersikap sabar menghadapi segala persoalan
و هو شهرالصبر,والصبر ثوابه الجنٌة (رواه ابن خزيمة
”Dan dia (Ramadhan) itu ialah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya ialah Surga”. (HR. Ibnu Huzaimah dari Salman)
Hal-hal yang Membatalkan Puasa
1. Makan dan minum dengan sengaja di siang hari Ramadhan
Allah swt berfirman:
وكلوا واشربوا حتٌى يتبيٌن لكم الخيط الأبيض من الخيط الاسود من الفجر
”Serta makan dan minumlah sehingga nampak kepadamu benang (garis) putih dari benang hitam dari fajar”.(QS. al-Baqarah: 187)
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ
بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ وَلَكِنْ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الْأُفُقِ
”Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah sekali-kali mencegah kau dari sahurmu, adzan Bilal dan fajar yang melintang pada cakerawala”. (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
2. Mengumpuli istri (bersetubuh)
Jika seseorang bersetubuh di siang hari Ramadhan, maka hendaknya ia membayar kifarat dengan memerdekakan budak sahaya, bila tidak sanggup maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut dan bila tidak sanggup juga maka ia wajib memperlihatkan makan enam puluh orang miskin.[8]
Dan ada pendapat lain yang menambahkan perihal hal-hal yang membatalkan puasa bahwa puasa batal bila melaksanakan 6 perkara[9]:
Makan dan minum
Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
”Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqadha puasanya; dan barang siapa yang mengusahakan muntah, maka hendaklah ia mengqadha puasanya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Bersetubuh
Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah setelah melahirkan)
Dari Aisyah, ia berkata: Kami disuruh oleh Rasulullah saw untuk mengqadha puasa dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat. (HR. Bukhari).
Gila (Jika absurd itu tiba waktu siang hari, maka batallah puasanya)
Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan wanita atau lainnya).
Macam-Macam Uzur dalam Puasa Ramadhan
Orang-orang yang diperbolehkan berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan ialah sebagai berikut:
1. Orang yang sakit & Bepergian
Menurut Muhammadiyah, Ijma’ para ulama setuju bahwa orang sakit dan bepergian tidak wajib puasa, lantaran Allah swt telah memperlihatkan keringanan untuk berbuka.
”Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. al-Baqarah 185).
Yusuf Qardhawi menambahkan bahwa yang dimaksud dalil di atas ialah tentu bukan bagi orang sakit yang sudah tidak ada keinginan untuk sembuh, akan tetapi ”orang sakit” yang dimaksud di sini ialah orang sakit yang masih bisa diperlukan kesembuhannya sesuai dengan aturan alasannya ialah akibat.
Sebagian ulama salaf memperbolehkan berbuka lantaran sakit, apapun bentuknya, meskipun sekadar sakit di telunjuk tangan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, salah seorang tabi’in.
Untuk ukuran jarak tempuh perjalanan sehingga diperbolehkannya membatalkan puasa atau tidak berpuasa ialah 80,640 km.[10]
”Dari Ibnu Umar, sebetulnya Nabi saw bersabda: Mengqadha puasa bulan Ramadhan itu diperbolehkan melakukannya secara terpisah atau berturut-turut”.(HR. Daruquthni).
2. Tua renta & Penyakit menahun
Salah satu pemilik uzur yang serupa dengan orang sakit di satu sisi, namun berbeda di sisi lain yaitu lelaki atau wanita bau tanah yang sudah lemah tulangnya, lanjut usianya, sangat berat bahkan tidak bisa untuk berpuasa, juga bagi orang yang punya penyakit menahun yang tidak ada keinginan sembuh, orang menyerupai tersebut di atas tidak perlu berpuasa dan ini tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi dia wajib membayar fidyah.
Imam Ibnu Munzir telah menukilkan ijma’ perihal ini, yaitu perihal diperbolehkannya berbuka, tidak disyaratkan mencapai batas bagi seseorang yang tidak besar lengan berkuasa lagi berpuasa, namun cukuplah ia merasa kepayahan ketika melakukannya. Ada pendapat bahwa (lanjut usia) ialah penyakit, dengan dalil ”Tidaklah Allah swt menurunkan penyakit kecuali niscaya menurunkan untuknya obat selain pikun”. Untuk ukuran fidyah yang difahami oleh Muhammadiyah ialah satu mud yang nilainya kurang lebih 0,5 liter.
3. Orang yang kelaparan, kehausan & takut binasa
Para ulama berkata, ”Barang siapa kelaparan dan kehausan sehingga khawatir binasa maka ia harus berbuka meskipun dalam keadaan sehat dan tidak safar”, berdasarkan firman Allah swt
”Dan janganlah kau membunuh dirimu, sesungguhnya Allah ialah maha penyayang kepadamu”. (QS. an-Nisa: 29).
Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah setelah melahirkan)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ عُبَيْدَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَيْضًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا نَعْلَمُ بَيْنَهُمْ اخْتِلَافًا إِنَّ الْحَائِضَ تَقْضِي الصِّيَامَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَعُبَيْدَةُ هُوَ ابْنُ مُعَتِّبٍ الضَّبِّيُّ الْكُوفِيُّ يُكْنَى أَبَا عَبْدِ الْكَرِيمِ
Dari Aisyah, ia berkata: Kami disuruh oleh Rasulullah saw untuk mengqadha puasa dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat. (HR. Bukhari).
Gila (Jika absurd itu tiba waktu siang hari, maka batallah puasanya)
Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan wanita atau lainnya).
Macam-Macam Uzur dalam Puasa Ramadhan
Orang-orang yang diperbolehkan berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan ialah sebagai berikut:
1. Orang yang sakit & Bepergian
Menurut Muhammadiyah, Ijma’ para ulama setuju bahwa orang sakit dan bepergian tidak wajib puasa, lantaran Allah swt telah memperlihatkan keringanan untuk berbuka.
ومن كان مريضا او على سفر فعدٌة من ايٌام أخر
”Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. al-Baqarah 185).
Yusuf Qardhawi menambahkan bahwa yang dimaksud dalil di atas ialah tentu bukan bagi orang sakit yang sudah tidak ada keinginan untuk sembuh, akan tetapi ”orang sakit” yang dimaksud di sini ialah orang sakit yang masih bisa diperlukan kesembuhannya sesuai dengan aturan alasannya ialah akibat.
Sebagian ulama salaf memperbolehkan berbuka lantaran sakit, apapun bentuknya, meskipun sekadar sakit di telunjuk tangan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, salah seorang tabi’in.
Untuk ukuran jarak tempuh perjalanan sehingga diperbolehkannya membatalkan puasa atau tidak berpuasa ialah 80,640 km.[10]
Sebagai konsekuensinya maka orang yang sakit atau bepergian ialah mengqadha puasanya di hari yang lain, bisa dilakukan dengan berturut-turut atau secara terpisah.
لحديث ابن عمر انَ النبى صم قال : قضاء رمضان ان شاء فرَق وان شاء تابع. (رواه الدَارقطنى
”Dari Ibnu Umar, sebetulnya Nabi saw bersabda: Mengqadha puasa bulan Ramadhan itu diperbolehkan melakukannya secara terpisah atau berturut-turut”.(HR. Daruquthni).
2. Tua renta & Penyakit menahun
Salah satu pemilik uzur yang serupa dengan orang sakit di satu sisi, namun berbeda di sisi lain yaitu lelaki atau wanita bau tanah yang sudah lemah tulangnya, lanjut usianya, sangat berat bahkan tidak bisa untuk berpuasa, juga bagi orang yang punya penyakit menahun yang tidak ada keinginan sembuh, orang menyerupai tersebut di atas tidak perlu berpuasa dan ini tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi dia wajib membayar fidyah.
Imam Ibnu Munzir telah menukilkan ijma’ perihal ini, yaitu perihal diperbolehkannya berbuka, tidak disyaratkan mencapai batas bagi seseorang yang tidak besar lengan berkuasa lagi berpuasa, namun cukuplah ia merasa kepayahan ketika melakukannya. Ada pendapat bahwa (lanjut usia) ialah penyakit, dengan dalil ”Tidaklah Allah swt menurunkan penyakit kecuali niscaya menurunkan untuknya obat selain pikun”. Untuk ukuran fidyah yang difahami oleh Muhammadiyah ialah satu mud yang nilainya kurang lebih 0,5 liter.
3. Orang yang kelaparan, kehausan & takut binasa
Para ulama berkata, ”Barang siapa kelaparan dan kehausan sehingga khawatir binasa maka ia harus berbuka meskipun dalam keadaan sehat dan tidak safar”, berdasarkan firman Allah swt
ولا تقتلوا انفسكم انٌ الله كان عليكم رحيما ( النسأ: 29
”Dan janganlah kau membunuh dirimu, sesungguhnya Allah ialah maha penyayang kepadamu”. (QS. an-Nisa: 29).
ولا تلقوا بايديكم الى التهلكة ( البقرة: 195
”Dan janganlah kau menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.(QS. al-Baqarah 195).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Untuk orang yang kelaparan, kehausan dan takut binasa, maka ia wajib mengqadha puasanya sebagaiman halnya orang sakit.
4. Perempuan hamil & menyusui
Perempuan ketika hamil terkadang merasa khawatir terhadap dirinya dengan merasa payah dalam menjalankan puasa atau juga khawatir terhadap bayi yang dikandungnya, begitu juga dengan keadaan orang yang menyusui. Para Ahli Fiqih setuju bahwa keduanya berhak untuk berbuka, sebagaimana sabda Nabi saw: ”Sesungguhnya Allah mencabut puasa dan separuh shalat dari musafir serta mencabut puasa dari wanita hamil dan menyusui”. (HR. Nasa’i & Ibnu Majah).
Mayoritas Ahli Fiqih memperlakukan kedua orang ini sebagaimana orang sakit sehingga keduanya berbuka dan mengqadha, akan tetapi Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan kalangan tabi’in beropini bahwa mereka harus membayar fidyah dan tidak usah mengqadha. Ibnu Abbas meriwayatkan, dikatakan bahwa ia pernah menyuruh anak perempuannya yang tengah hamil semoga berbuka di bulan Ramadhan, ia berkata ”kamu sama dengan orang bau tanah renta yang tidak bisa berpuasa, kesudahannya berbukalah dan berilah makan orang miskin setiap hari ½ sho gandum.
Ibnu Katsir menuturkan (1/215) bahwa perihal kedua uzur ini banyak perselisihan pendapat, ia berkata: ”sebagian beropini bahwa keduanya berbuka, membayar fidyah dan dan mengqadha dan sebaian ulama yang lain lagi mengharuskan mengqadha tanpa harus membayar fidyah.
5. Orang yang mati meninggalkan hutang puasa
Bagi orang yang mati namun meninggalkan hutang puasa maka hutang dari puasanya tersebut diqadhakan oleh walinya, sebagaimana hadis marfu’ dari Aisyah ra.
من مات وعليه صيام صام عنه وليَه
Memberi makan kepada fakir miskin untuk mayat dengan memakai harta peninggalannya sebanyak hari-hari yang ditinggalkan tanpa puasa, lantaran ia berhutang kepada Allah yang berafiliasi dengan peninggalannya. Sebagian ulama mensyaratkan adanya wasiat untuk itu dari si mayit, bila tidak ada maka harta peninggalannya dihentikan dipergunakan sedikit pun lantaran ia hak hebat waris.
Baca Juga:
- Langkah Meraih Iman dan Ihtisab Puasa Ramadhan yang Melandasi Penghapusan Dosa Kecil
- Kisah Ibnu Mas’ud dan Nabi SAW, Tetap Ceria Saat Berpuasa di Bulan Ramadhan
- Kedahsyatan Puasa Ramadhan Sebagai Bulan Kesabaran
Buat lebih berguna, kongsi: